Pixabay.com |
Friday, January 25, 2019
Untuk Yang Ingin Menulis
Thursday, January 24, 2019
Cap Tikus Legal, Ngana Tambah Nakal?
Sumber foto APINDO |
Kita lantas cerita kalau sebotol Cap Tikus (selanjutnya ditulis cete) itu oleh-oleh. Kita isi di tumbler baru tutup rapat-rapat. Setelah dibujuk, dia akhirnya izinkan kita bawa itu cete. Karena jabatannya lumayan, dia bahkan pindahkan kita dari kelas ekonomi ke bisnis. Kursi nomor satu! Seumur terbang, baru kali ini kita nae kelas bisnis. Bawa cete!
Sebelum penerbangan itu, sebenarnya kita lagi sial atau orang Manado bilang: soe. Malam sebelumnya kita memang so minta tamang-tamang di Manado, sediakan cete bakar manyala. Karena tamang-tamang di Papua pesan itu cete, yang sebenarnya dorang cuma baku sedu tapi kita pukul srius. Karena kita pe tamang beli ada beberapa botol, torang tes-tes samua. Laste kita mabo. Padahal pagi-pagi jam enam kita pe jadwal penerbangan. Meski sempat sampe di Bandara Sam Ratulangi, kita pe usaha sia-sia. Kita dong nyandak kasih izin masuk pesawat karena mabo.
Kita pe perjalanan itu, awal 2018 lalu. Kali kedua mo berkunjung ke Papua. Karena gagal di penerbangan pertama, akhirnya kita bos suruh cari tiket dengan maskapai penerbangan yang berbeda. Beruntung kita pe saudara itu bekerja di salah satu maskapai penerbangan. Sampai akhirnya cete itu lolos. Sebenarnya, boleh bawa cete di penerbangan tapi hanya sebotol. Banyak kita pe saudara kwa sering lolos bawa sampe ke Bali.
Di Papua, minuman beralkohol (selanjutnya ditulis minol ala Papua) memang mahal. Apalagi cete. Boleh sampe ratusan ribu per botol. Tuangala, biasa kitorang mabo cete di Kotamobagu cuma modal lima puluh ribu, itu pun so deng satu bungkus rokok tambah campuran. Mar di Papua? Jang harap! Sedang dua ratus ribu blum mabo itu. Tapi sebenarnya, di Papua memang setahu kita banyak peraturan daerah yang larang minol. Rokok saja jarang sekali kita baku dapa dengan tamang Papua yang perokok. Dong pilih pinang sudah.
Sebenarnya ada beberapa daerah di Papua yang punya minol lokal namanya bobo. Kalau cete dari pohon aren atau nama lokalnya pohong seho, maka bobo ini juga dari pohon aren atau kelapa. Orang-orang Papua selain biasa sebut bobo, dong kasih nama juga sagero. Hampir mirip dengan orang Minahasa biasa sebut saguer.
Sagero dengan saguer ini sama saja. Hampir mirip susu. Karena saguer dibuat dari air nira segar atau mentah berasal dari pohon aren, kemudian dicampur air nira yang so lama, atau so difermentasi. Proses pembuatan itu yang biasa orang Minahasa sebut batifar. Rasa saguer manis tapi kalau diminum berlebihan, bisa memabukkan. Kalau air nira disuling lebih lama, maka kadar alkoholnya naik. Jadilah dia Cap Tikus. Kita yang penyembah air ini, sepakat ketika dong bilang cete adalah air kata-kata. Orang mabo kan jadi cerewet.
Dandhy juga coba menceritakan pengalamannya di Merauke, soal kekhawatiran tokoh-tokoh gereja akan dampak minol. Bukan terkait dosa dan pahala ne, tapi dampaknya terhadap penguasaan tanah. Itu karena masyarakat yang sering mabuk, kehabisan uang, akhirnya jual-jual dong pu tanah.
Berbeda memang dengan di Manado. Ngana mabo nyandak mahal-mahal. Jadi jarang ada pamabo yang sampe jual-jual tanah. Paling yang tidor-tidor tapalaka di got atau leput itu yang banyak. Kita pernah baca status tamang Papua mengenai minol. Tamang ini bilang, "Ah, sa pernah juga lama tinggal di Manado dan terbiasa minum cete, tapi tra banya tingkah. Atau bawa motor laju-laju. Itu memang kitong pu diri sandiri saja yang kontrol."
Menurut kita, benar sudah kata tamang itu. Semua berangkat dari kontrol diri masing-masing. Karena di Manado saja, nyandak samua kuat minum. Kitorang yang dara cicak (cepat mabuk) juga banyak. Tapi ya, semua orang juga kalau sudah minum banyak, pasti hilang kesadaran. Akhirnya tidor di got, bawa motor laju-laju baru cilaka, sambar pal ato tiang listrik, bakuku, deng bakacau. Intinya, kontrol-kontrol diri saja.
Di Manado ngoni pasti tahu pernah rame tagline yang diluncurkan kepolisian deng pemerintah. Tagline itu: brenti jo bagate (berhenti miras). Para petani cete, banyak dibekuk karena pelarangan itu. Kita sering temui berita soal penggerebekan sabua-sabua di kobong tampa para petani batifar cete. Kasiang juga. Tapi, kabar yang merayap dari media sosial akhir Desember 2018 lalu, bekeng kita bangka dada. Kabarnya, cete mulai dilegalkan di Sulawesi Utara, tapi berawal atau khususnya di Kabupaten Minahasa Selatan. Kabupaten yang dipimpin seorang bupati perempuan, Christiany Eugenia Paruntu atau akrab dipanggil Tetty Paruntu. Ia penggagas agar cete bisa diproduksi dan dipasarkan legal.
Tetty memberi cete itu merek dagang: Cap Tikus 1978. So dipatenkan. Kendati menurutnya, berbagai kendala ia alami ketika Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan (Pemkab Minsel), hendak meluncurkan produk itu. Cap Tikus 1978 berkadar alkohol 45 persen. Jika diibaratkan, kalau ngana minum ini cete baru ngana muntah, nanti ngana pe muntah saja dipancing-pancing korek api, pasti tabakar manyala biru-biru. Kalah-kalah Tequila.
Melalui lobi ke pengusaha dan perjuangan izin ke Badan Pengawas Obat dan Makanan, akhirnya legalnya cete bakar manyala jadi kado akhir tahun yang begitu benderang kemarin. Dari informasi sejumlah media di Manado, nantinya Pemkab Minsel akan menfasilitasi PT Cawan Mas untuk membangun pabriknya di Desa Kapitu, Kecamatan Amurang Barat. Rencananya luas pabrik itu sekitar lima hektare. Harapan Tetty, petani cete bisa sejahtera dan produknya bisa menjalar sampai ke luar negeri. Tentunya ini harus terus dipantau oleh media, jang sampe akhirnya penguasa deng pengusaha yang paling banya makang untung dibandingkan para petani.
Soal harga, awal 2018 sewaktu kita masih di Kotamobagu, cete kualitas bagus Rp 30 ribu per botol. Itu ukuran botol kemasan air mineral 600 mililiter. Tentu lebih banyak isinya dari botol Cap Tikus 1978 yang hanya 320 mililiter. Harga Cap Tikus 1978 per botol Rp 80 ribu, tersedia di Bandara Sam Ratulangi Manado. Harga itu so pas dengan kemasannya yang elok. Botolnya gelap, lalu diberi satu pegangan mungil yang serupa daun telinga tepat di samping leher botol. Ada pita bergambar wajah Tetty Paruntu terkalung. Dan tentu saja, ada gambar seekor tikus batengo sei atau menyamping.
Mengenai sejarah kenapa cete identik dengan tikus, dulu kita pernah baca soal itu. Nama cete sebelumnya adalah sopi. Karena di pohon aren terdapat banyak tikus, akhirnya mereka mengubah nama minuman itu menjadi Cap Tikus. Versi lainnya, medio 1900-an tentara Belanda yang kehabisan stok miras, katanya mendapat cete dari para pedagang Cina-Manado yang menjualnya dalam botol bergambar tikus. Kemudian mereka menamakan minuman itu Cap Tikus. Tapi seperti apa pun asal usul yang pasti soal penamaan itu, jelas minuman ini nyandak campur deng tikus. Biasanya, cete ini ada juga yang direndam pakai akar-akaran. Malah kita pernah lihat ada yang rendam janin rusa, sampe kontol buaya di dalam botol. Katanya, itu untuk kejantanan pria kalau sedang baku nae.
Seorang tamang yang jauh lebih dulu menikmati cete pernah memberi petuah ke kitorang: Eh, ngoni kalo minum (alkohol) cukup jadi peminum, jang jadi pamabo. Kita kemudian coba memahami perkataannya. Benar sudah, ketika kita telah sibuk dengan pekerjaan, maka waktu untuk miras, biasanya hanya ketika weekend tiba. Miras dikonsumsi situasional saja. Karena jika kita miras setiap hari ditambah kerja, itu baru namanya: pamabo. Laste, kerja terbengkalai.
Tapi, setiap orang berhak memilih caranya menghidupi hidup to? Yang jelas, cete legal nyandak bekeng ngana tambah nakal. Deng kitorang akhirnya so boleh bawa-bawa for oleh-oleh. Jadi, angka jo ngana pe glas kase tinggi-tinggi! Sampe pesawat kase tinggal pa ngana.
Artikel ini sebelumnya dimuat di locita.co
Wednesday, January 23, 2019
Isyarat atau Berkat?
Pixabay.com |
Sunday, January 20, 2019
Saturday, January 19, 2019
Thursday, January 17, 2019
Wednesday, January 16, 2019
Kamar
Menjadi orang yang suka dengan kesunyian, malah membuat saya lebih aktif di media sosial. Mungkin benar, orang bisa menjadi dua kepribadian sejak media sosial berkembang pesat. Kau bisa menjadi sanguin di keseharian, tapi di media sosial kau bisa menjadi pendiam. Atau sebaliknya.
Tapi bagi seorang penyendiri, media sosial bukanlah satu-satunya ruang untuk menjadi berbeda. Satu ruang lagi, dan yang ini paling membebaskan adalah: kamar.
Kamar, bagi saya bukan hanya sekotak ruang untuk istirah. Baik itu kamar pribadi di rumah, atau hanya kamar kos, saya bisa menikmati berhari-hari di dalamnya. Yang membedakan antara kamar pribadi dan kos, adalah menjadi produktif dalam menulis. Saya bisa menulis banyak di blog, ketika saya berada di kamar di rumah. Itu satu-satunya ruang yang paling istimewa.
Selain itu, saya menggolongkan diri sebagai tipe penulis yang menjadi produktif ketika mabuk. Disaat mabuk, ada parade ide di dalam pikiran saya. Saya selalu didorong untuk menuliskannya. Sementara ketika sadar, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton. Ide-ide hanya datang sesekali.
Buku, bukan lagi sahabat saya. Kalau diingat, buku terakhir yang saya baca penuh takzim adalah Kisah-Kisah Penculikan karya Gabo. Selain itu, tak ada lagi buku yang membuat saya ingin mengejar halaman demi halaman. Saya sudah mencobanya. Tapi minat membaca saya memang begitu. Hanya ada ketika saya benar-benar menyukai buku itu. Bukan karena banyak orang yang menyukai buku itu, kemudian saya harus membacanya. Ada puluhan buku di kamar yang tiada pernah tersentuh lagi. Sampai akhirnya saya meninggalkannya.
Ada yang saya pelajari dari bermedia sosial. Interaksi. Tak banyak kesamaan interaksi antara pertemuan fisik dengan dunia maya. Karena kita tidak berhadap-hadapan, malah itu membuat kita semakin leluasa. Wajah, tidak lagi menjadi gerbang komunikasi. Atau seperti yang digambarkan Emmanuel Levinas, bahwa wajah adalah sentral bagi eksistensi. Di media sosial, wajah-wajah telah berubah menjadi foto profil, dalam bentuk apa pun itu.
Dan... kamar, bagi saya adalah sebuah wajah besar yang tiada pernah jenuh untuk kita ajak bicara.
Monday, January 14, 2019
Peduli Papua? Bersiap-siaplah Menjadi Snob
Saturday, January 12, 2019
Monday, January 7, 2019
Puasa Medsos
Saturday, January 5, 2019
Papa Tua'
Saya baru saja menerima kabar berpulangnya salah satu kerabat dekat mendiang ayah, yang rumah kami berdampingan. Kami kerap menyapanya Papa Tua'. Ibunya adalah kakak perempuan dari ayah saya.
Ingatan purba tentang Papa Tua' segera terlintas. Sewaktu saya masih sekolah dasar, saya sering diajak ayah ketika berkunjung ke kantor Taspen di Manado. Saya masih ingat jelas, ayah sering membeli tiket bus berwarna kuning bergambar Menara Eiffel dan angka 88, yang menjadi logo Pangkalan Paris di Kotamobagu. Kala itu, medio 90-an, harga tiket bus dari Kotamobagu ke Manado hanya enam ribu rupiah, dengan lama tempuh sekitar lima sampai enam jam.
Di Manado, ada tiga kerabat dekat ayah dan ibu yang sering jadi tempat kami menginap. Yang pertama rumah Papa Anti', yang juga tempat tinggal salah satu kakak laki-laki saya yang sedang berkuliah di Manado. Yang kedua rumah Papa Isal, dan yang ketiga rumahnya Papa Tua'.
Ayah sering mengajak saya menginap di rumahnya Papa Tua' atau Papa Isal. Sesekali di rumahnya Papa Anti', tapi tak terlalu sering karena rumahnya dipenuhi anak kos. Papa Tua' membantu mengurus beasiswa saya. Ia kebetulan pegawai di salah satu dinas di kantor Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara. Beasiswa yang saya terima, diperuntukkan bagi siswa berprestasi, lalu orangtua dan siswa harus mengambilnya di Manado.
Di rumahnya, Papa Tua' sering mengajak saya mengobrol. Kemudian ia menyampaikan rencana Gubernur Sulawesi Utara, C.J. Rantung, untuk bertemu dengan siswa-siswa berprestasi se-Sulawesi Utara. Nama saya masuk di daftar itu. Tentu saja, saya bahagia mendengarnya. Apalagi ayah.
Sebulan kemudian, ayah dan saya kembali mengunjungi Manado. Tapi ketika berangkat ke kantor gubernur, ayah tidak ikut karena urusannya di Taspen. Papa Tua' yang menemani saya. Dalam perjalanan, ia sesekali merapikan topi dan dasi sekolah saya. Ia memperlakukan saya seperti anaknya. Ia juga menyemangati saya agar tidak gugup.
Saya terkesima ketika memasuki sebuah gedung besar, dengan deretan meja kursi bersusun serupa di gedung parlemen. Pandangan saya terus menyapu seisi ruangan. Papa Tua' menyadarkan saya dengan tepukan di pundak, lalu mengantar saya sampai ke kursi. Setelah itu ia duduk terpisah dari kami para siswa.
Di setiap meja kami tersedia mikrofon mungil. Bergantian, kami diminta memperkenalkan diri, menyebutkan asal dan nama sekolah. Acara terus berlangsung, dari pidato gubernur, pembacaan puisi, tari-tarian, penampilan paduan suara, dan masih banyak lagi, sampai akhirnya kami disuruh berjabat tangan dengan gubernur dan wakilnya. Papa Tua' dari kejauhan memberi isyarat, agar saya mengikuti anak-anak lain. Keping ingatan itu tak akan pernah saya lupakan. Apalagi kebaikan Papa Tua' selama mendiang ayah dan saya menginap.
Papa Tua' dan Mama Tua' memiliki seorang anak laki-laki bernama Randi. Ketika Randi berseragam abu-abu, iringan sepeda motor yang ia dan teman-teman sekolahnya kendarai, terlibat kecelakaan beruntun saat hendak menyusul Papa Tua' dan Mama Tua' yang berkunjung ke Kotamobagu. Randi dan beberapa teman sekolahnya meninggal di lokasi kecelakaan. Saya menyaksikan bagaimana Papa Tua' begitu kehilangan kala itu.
Mama Tua' telah berpulang beberapa tahun lalu. Sekarang Papa Tua' menyusul Mama Tua', juga anak kesayangannya Randi. Selamat jalan Papa Tua', Papa Randi, segala hormat dan ucapan sukur moanto' atas kebaikan Papa Tua', saya kirimkan bersama doa...
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un...
Wednesday, January 2, 2019
Mahakarya Sigi
Lukisan kedua, dari bentuknya bisa dipastikan itu ikan mujair purba yang pernah hidup 500 juta tahun lalu. Bisa dilihat dari bentuk persegi panjang berdimensi yang mengelilingi ikan, yang mempertegas bahwa fosil ikan itu ditemukan di bongkahan es kutub utara. Karena tidak mungkin itu akuarium. Selain terlalu kecil, kami memang tak punya akuarium di rumah. Atau bisa jadi itu hanya gambar mujair goreng tepung, yang disimpan di dalam tupperware bening.
Lukisan ketiga, karena Sigi tahu saya sering sial seperti Donal Bebek dan punya tato Donal Bebek, jadi dia melukis bebek bermata besar, bundar, dan hitam. Perpaduan antara Walt Disney dan manga Jepang. Sementara ejaan APDEG di badan bebek, sampai sekarang saya belum bisa memecahkan misterinya. Mungkin hanya Leonardo da Vinci yang bisa.
Yang terakhir, lukisan keempat, sepertinya itu sebuah ramalan. Gambar pohonnya pasti familiar bagi yang melihatnya. Itu pohon beringin yang baru dari barbershop. Mungkin Sigi hendak meramalkan, bahwa Orba begitu digdaya. Dan ramalan itu sepertinya benar. Sekarang saja masih mirip Orba. Berarti Sigi cocoknya bukan jadi pelukis. Tapi jadi cenayang. Lumayan, biar bisa bantu mereka yang mau berkomunikasi dengan hantu-hantu komunis.
Tahun Baru
Di langit kita. Mercon-mercon bergantian menampar langit. Warna-warni. Berubah-ubah mekar.
Di langit Nduga. Mata-mata penuh kilatan menancap tinggi. Kabut berarak menghalau bintang dan senyuman. Purnama masih lama.
Di tanah kita. Sampah-sampah kertas terbaring saling menindih. Tepiannya terbakar. Orang-orang berkelakar.
Di tanah Nduga. Bara api berpelukan dengan embun. Tangan-tangan saling menggenggam. Berharap esok nyawa masih ada.
Di rumah kita. Botol-botol bergelimpangan. Asbak-asbak jadi kolam mungil dipenuhi ludah. Puntung-puntung rokok mengambang.
Di honai Nduga. Sepi ditinggal penghuni. Sisa ubi dan pisang bebercak hitam. Ternak babi berkaing kelaparan.
Di tahun baru kita. Kalender berganti menyisakan hari libur. Orang-orang bersalaman. Bertukar terka peruntungan di tahun Babi Tanah.
Di tahun baru Nduga. Tahun demi tahun hanya berdiam. Telapak kaki telanjang terus menebal. Dipakai lari dari perih.