Kamis, 24 Januari 2019

Cap Tikus Legal, Ngana Tambah Nakal?

Tidak ada komentar

Sumber foto APINDO
"Ngana bawa Cap Tikus?" Kita pe saudara kage. Wajar saja, karena dia staf di maskapai penerbangan yang mo kase terbang kita dari Manado ke Jayapura.

Kita lantas cerita kalau sebotol Cap Tikus (selanjutnya ditulis cete) itu oleh-oleh. Kita isi di tumbler baru tutup rapat-rapat. Setelah dibujuk, dia akhirnya izinkan kita bawa itu cete. Karena jabatannya lumayan, dia bahkan pindahkan kita dari kelas ekonomi ke bisnis. Kursi nomor satu! Seumur terbang, baru kali ini kita nae kelas bisnis. Bawa cete!

Sebelum penerbangan itu, sebenarnya kita lagi sial atau orang Manado bilang: soe. Malam sebelumnya kita memang so minta tamang-tamang di Manado, sediakan cete bakar manyala. Karena tamang-tamang di Papua pesan itu cete, yang sebenarnya dorang cuma baku sedu tapi kita pukul srius. Karena kita pe tamang beli ada beberapa botol, torang tes-tes samua. Laste kita mabo. Padahal pagi-pagi jam enam kita pe jadwal penerbangan. Meski sempat sampe di Bandara Sam Ratulangi, kita pe usaha sia-sia. Kita dong nyandak kasih izin masuk pesawat karena mabo.

Kita pe perjalanan itu, awal 2018 lalu. Kali kedua mo berkunjung ke Papua. Karena gagal di penerbangan pertama, akhirnya kita bos suruh cari tiket dengan maskapai penerbangan yang berbeda. Beruntung kita pe saudara itu bekerja di salah satu maskapai penerbangan. Sampai akhirnya cete itu lolos. Sebenarnya, boleh bawa cete di penerbangan tapi hanya sebotol. Banyak kita pe saudara kwa sering lolos bawa sampe ke Bali.

Di Papua, minuman beralkohol (selanjutnya ditulis minol ala Papua) memang mahal. Apalagi cete. Boleh sampe ratusan ribu per botol. Tuangala, biasa kitorang mabo cete di Kotamobagu cuma modal lima puluh ribu, itu pun so deng satu bungkus rokok tambah campuran. Mar di Papua? Jang harap! Sedang dua ratus ribu blum mabo itu. Tapi sebenarnya, di Papua memang setahu kita banyak peraturan daerah yang larang minol. Rokok saja jarang sekali kita baku dapa dengan tamang Papua yang perokok. Dong pilih pinang sudah.

Sebenarnya ada beberapa daerah di Papua yang punya minol lokal namanya bobo. Kalau cete dari pohon aren atau nama lokalnya pohong seho, maka bobo ini juga dari pohon aren atau kelapa. Orang-orang Papua selain biasa sebut bobo, dong kasih nama juga sagero. Hampir mirip dengan orang Minahasa biasa sebut saguer.

Sagero dengan saguer ini sama saja. Hampir mirip susu. Karena saguer dibuat dari air nira segar atau mentah berasal dari pohon aren, kemudian dicampur air nira yang so lama, atau so difermentasi. Proses pembuatan itu yang biasa orang Minahasa sebut batifar. Rasa saguer manis tapi kalau diminum berlebihan, bisa memabukkan. Kalau air nira disuling lebih lama, maka kadar alkoholnya naik. Jadilah dia Cap Tikus. Kita yang penyembah air ini, sepakat ketika dong bilang cete adalah air kata-kata. Orang mabo kan jadi cerewet.

Tapi di Minahasa, dong paling terbiasa dengan cete. Meski tak melulu penolakan minol itu karena motif agama. Di Minahasa, ada banyak daerah yang berada di ketinggian, lalu mereka minum cete untuk menghangatkan tubuh. Mar memang banyak juga yang minum cete karena ingin mabuk-mabukkan. Apa pun itu, jika dikonsumsi berlebih, jelas tubuh akan bereaksi.

Menyoal minol di Papua, memang ada berbagai macam alasan penolakan. Kita pernah baca statusnya Dandhy Dwi Laksono soal itu. Dandhy mengutip pernyataan mantan tahanan politik di Papua, Filep Karma, yang bilang dia so stop minum bir. Tepatnya sejak 1998, ketika segar-segarnya reformasi. Alasan Karma, Amerika menindas warga Indian dengan alkohol. Begitu juga dengan Australia terhadap warga Aborigin. Jadi Karma tidak ingin hal yang sama terjadi di Papua.

Dandhy juga coba menceritakan pengalamannya di Merauke, soal kekhawatiran tokoh-tokoh gereja akan dampak minol. Bukan terkait dosa dan pahala ne, tapi dampaknya terhadap penguasaan tanah. Itu karena masyarakat yang sering mabuk, kehabisan uang, akhirnya jual-jual dong pu tanah.

Berbeda memang dengan di Manado. Ngana mabo nyandak mahal-mahal. Jadi jarang ada pamabo yang sampe jual-jual tanah. Paling yang tidor-tidor tapalaka di got atau leput itu yang banyak. Kita pernah baca status tamang Papua mengenai minol. Tamang ini bilang, "Ah, sa pernah juga lama tinggal di Manado dan terbiasa minum cete, tapi tra banya tingkah. Atau bawa motor laju-laju. Itu memang kitong pu diri sandiri saja yang kontrol."

Menurut kita, benar sudah kata tamang itu. Semua berangkat dari kontrol diri masing-masing. Karena di Manado saja, nyandak samua kuat minum. Kitorang yang dara cicak (cepat mabuk) juga banyak. Tapi ya, semua orang juga kalau sudah minum banyak, pasti hilang kesadaran. Akhirnya tidor di got, bawa motor laju-laju baru cilaka, sambar pal ato tiang listrik, bakuku, deng bakacau. Intinya, kontrol-kontrol diri saja.

Di Kepulauan Pasifik, ada juga minuman lokal bernama kava. Kita pe tamang Papua, yang pernah rasa itu barang bilang, kava termasuk minuman beralkohol sebenarnya. Meski kava lebih condong ke herbal, karena dari akar tumbuh-tumbuhan bernama latin Piper metysticum. Beberapa suku di Kepulauan Pasifik, kerap menelan sari dari akar kava yang dong kunyah, untuk tidur lebih cepat. Bahkan kava bisa menjadi alat pertukaran untuk ritual adat antara dua suku, selain babi hutan. Dong sampe ekspor ke luar negeri itu barang. Di New York, bahkan ada namanya kavatail, campuran antara kava dan cocktail. Banyak testimoni yang mengutarakan, kavatail bisa menjadi alternatif bagi mereka yang alkoholik. Dong bilang, orang yang minum kavatail masih bisa menulis, hilang stres, dan ketika bangun tidur tubuh terasa segar. Dulu di hutan Papua apalagi di Merauke, kava banyak tumbuh. Entah sekarang masih ada atau nyandak.

Di Manado ngoni pasti tahu pernah rame tagline yang diluncurkan kepolisian deng pemerintah. Tagline itu: brenti jo bagate (berhenti miras). Para petani cete, banyak dibekuk karena pelarangan itu. Kita sering temui berita soal penggerebekan sabua-sabua di kobong tampa para petani batifar cete. Kasiang juga. Tapi, kabar yang merayap dari media sosial akhir Desember 2018 lalu, bekeng kita bangka dada. Kabarnya, cete mulai dilegalkan di Sulawesi Utara, tapi berawal atau khususnya di Kabupaten Minahasa Selatan. Kabupaten yang dipimpin seorang bupati perempuan, Christiany Eugenia Paruntu atau akrab dipanggil Tetty Paruntu. Ia penggagas agar cete bisa diproduksi dan dipasarkan legal.

Tetty memberi cete itu merek dagang: Cap Tikus 1978. So dipatenkan. Kendati menurutnya, berbagai kendala ia alami ketika Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan (Pemkab Minsel), hendak meluncurkan produk itu. Cap Tikus 1978 berkadar alkohol 45 persen. Jika diibaratkan, kalau ngana minum ini cete baru ngana muntah, nanti ngana pe muntah saja dipancing-pancing korek api, pasti tabakar manyala biru-biru. Kalah-kalah Tequila.

Melalui lobi ke pengusaha dan perjuangan izin ke Badan Pengawas Obat dan Makanan, akhirnya legalnya cete bakar manyala jadi kado akhir tahun yang begitu benderang kemarin. Dari informasi sejumlah media di Manado, nantinya Pemkab Minsel akan menfasilitasi PT Cawan Mas untuk membangun pabriknya di Desa Kapitu, Kecamatan Amurang Barat. Rencananya luas pabrik itu sekitar lima hektare. Harapan Tetty, petani cete bisa sejahtera dan produknya bisa menjalar sampai ke luar negeri. Tentunya ini harus terus dipantau oleh media, jang sampe akhirnya penguasa deng pengusaha yang paling banya makang untung dibandingkan para petani.

Soal harga, awal 2018 sewaktu kita masih di Kotamobagu, cete kualitas bagus Rp 30 ribu per botol. Itu ukuran botol kemasan air mineral 600 mililiter. Tentu lebih banyak isinya dari botol Cap Tikus 1978 yang hanya 320 mililiter. Harga Cap Tikus 1978 per botol Rp 80 ribu, tersedia di Bandara Sam Ratulangi Manado. Harga itu so pas dengan kemasannya yang elok. Botolnya gelap, lalu diberi satu pegangan mungil yang serupa daun telinga tepat di samping leher botol. Ada pita bergambar wajah Tetty Paruntu terkalung. Dan tentu saja, ada gambar seekor tikus batengo sei atau menyamping.

Mengenai sejarah kenapa cete identik dengan tikus, dulu kita pernah baca soal itu. Nama cete sebelumnya adalah sopi. Karena di pohon aren terdapat banyak tikus, akhirnya mereka mengubah nama minuman itu menjadi Cap Tikus. Versi lainnya, medio 1900-an tentara Belanda yang kehabisan stok miras, katanya mendapat cete dari para pedagang Cina-Manado yang menjualnya dalam botol bergambar tikus. Kemudian mereka menamakan minuman itu Cap Tikus. Tapi seperti apa pun asal usul yang pasti soal penamaan itu, jelas minuman ini nyandak campur deng tikus. Biasanya, cete ini ada juga yang direndam pakai akar-akaran. Malah kita pernah lihat ada yang rendam janin rusa, sampe kontol buaya di dalam botol. Katanya, itu untuk kejantanan pria kalau sedang baku nae.

Seorang tamang yang jauh lebih dulu menikmati cete pernah memberi petuah ke kitorang: Eh, ngoni kalo minum (alkohol) cukup jadi peminum, jang jadi pamabo. Kita kemudian coba memahami perkataannya. Benar sudah, ketika kita telah sibuk dengan pekerjaan, maka waktu untuk miras, biasanya hanya ketika weekend tiba. Miras dikonsumsi situasional saja. Karena jika kita miras setiap hari ditambah kerja, itu baru namanya: pamabo. Laste, kerja terbengkalai.

Tapi, setiap orang berhak memilih caranya menghidupi hidup to? Yang jelas, cete legal nyandak bekeng ngana tambah nakal. Deng kitorang akhirnya so boleh bawa-bawa for oleh-oleh. Jadi, angka jo ngana pe glas kase tinggi-tinggi! Sampe pesawat kase tinggal pa ngana.



Artikel ini sebelumnya dimuat di locita.co

Senin, 14 Januari 2019

Peduli Papua? Bersiap-siaplah Menjadi Snob

Tidak ada komentar

Saya bersentuhan lebih erat dengan Papua tepatnya dua tahun yang lalu, setelah menjadi editor dan jurnalis yang mewajibkan saya harus menetap di Papua. Sebelumnya, saya bisa mengendus apa pun menyoal Papua, hanya ketika angin timur sedang bertiup ke barat.

Sudah hampir setahun saya menetap di Jayapura. Sepanjang itu, saya mulai merasakan ada yang berubah dalam diri saya. Perasaan itu kerap hinggap, ketika ada yang membahas Papua di media sosial, lalu saya membaca satu per satu komentar. Beberapa komentar sejalan pikir, tapi tak sedikit pula yang saling memunggungi. Mereka yang tak sejalan itu, saya nilai sebagai orang yang ingin menang sendiri. Mereka merasa paling tahu soal Papua. Anehnya, penilaian yang kedua, pun saya tujukan kepada mereka yang sejalan.

Pernah seorang kawan sepayung kerja bertanya, "Kris, semenjak tinggal di Papua, apakah kau merasa berbeda dengan dirimu yang sebelumnya?"

Pertanyaan kawan saya itu, membuat saya harus menjawabnya setelah detik menyentuh angka belasan. Saya masih berpikir, coba membanding-bandingkan, dan akhirnya memutuskan menjawab, "Iya, benar. Saya berubah. Saya seperti bukan diri saya yang sebelumnya. Saya semakin aktif di media sosial, dan terus menerus membicarakan Papua. Setelah tinggal di sini, saya semakin banyak menelan informasi dan bisa menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi di Papua."

Sebenarnya, saya baru menginjak dua daerah selama di Papua. Jayapura dan Timika. Tapi, bahkan baru dua kota ini saja, sudah membuat saya berubah total. Ketika orang-orang di luar sana membicarakan Papua, saya merasa, hanya sayalah yang berhak tahu. Karena saya berada di sini. Belakangan saya sadar, saya sedang berproses menjadi seorang snob. Barangkali, proses inilah yang hendak ditangkap kawan saya itu, melalui pertanyaannya.

Tapi apakah saya berhak menyalahkan tingkah saya itu? Tidak. Sebab saya merasa, ketika kita teramat peduli dengan sesuatu, maka bersiaplah untuk menjadi sesuatu itu. Karena itu, ketika orang lain membicarakan Papua, saya pikir mereka sedang membicarakan diri saya. Saya merasa mereka sedang membelai, atau malah menguliti saya hidup-hidup.

Sampai akhirnya, pada suatu malam, saya coba merenung, sudah sejauh mana pemaknaan saya tentang Papua. Tentang tokoh-tokoh Papua yang terbunuh, para penyintas, gaung Free West Papua, ekspansi perkebunan sawit di Merauke, gizi buruk di Asmat, kasus-kasus berdarah merajah sejumlah daerah, demonstrasi menuntut referendum, kekerasan aparat, divestasi saham Freeport, tragedi di Nduga, sampai hal remeh-temeh: kenapa saya tidak menyukai mereka yang menyetel dangdut koplonya Via Vallen? Dan, dalam perenungan itu, yang saya temukan hanyalah diri saya sendiri. Saya yang diliputi kebencian membabi-buta.

Yang membuat saya tercenung, ketika saya pernah menghakimi orang lain. Mereka yang sebenarnya tidak memahami Papua, atau yang memahami, akan tetapi cinta mereka kepada tanah air Indonesia sudah terlalu dalam. Saya tidak berhak merebut itu. Saya hanya bisa memberi gambaran, agar setitik nurani dalam diri mereka bergetar. Itu sudah lebih dari cukup.

Saya ingat pernah memaksa dengan pertanyaan: kenapa orang-orang itu tidak peduli dengan Papua? Sungguh, hal seperti itulah yang akhirnya merusak makna dari kepedulian itu sendiri. Kita berbicara tentang kemanusiaan, sembari melucutinya satu demi satu. Bukankah orang-orang itu berhak tak peduli? Bagaimana jika satu-satunya yang mereka pedulikan hanyalah diri mereka sendiri? Apakah kita berhak membuat sedih orang lain dengan tudingan, sebab mereka tak seisi kepala dengan kita?

Kemudian saya bertanya lagi kepada diri saya: bagaimana dengan mereka yang tak hanya berkomentar, tapi bertindak? Sebuah pendapat, ketika ia berubah menjadi kebencian, lantas menjelma tindakan, maka dengan sendirinya orang itu telah membuang jauh-jauh akal budinya. Dan di sanalah posisi kita tak lagi menuding. Tapi menyaksikan jelmaan kebencian.

Sekarang, ketika saya menghadap ke sebuah cermin, saya menemukan bayangan tanah air tempat saya dilahirkan. Indonesia. Kemudian saya menemukan bayangan wajah saya di sana. Masih penuh amarah. Saya membasuh wajah saya dengan penyesalan berkali-kali, kemudian becermin kembali. Coba memastikan apakah saya masih seorang snob, atau sudah beranjak darinya.

Lalu saya disapa sebuah puisi dari Amato Asaggaf...

Di Nduga, hari itu, Sigi berduka bersama Papua. “Sekali waktu aku pernah punya sebuah Indonesia,” katanya. Tapi, hari itu, dia hanya punya mata.

Sigi adalah putri saya satu-satunya. Sekarang ia jauh di belalai Sulawesi, sedang berseragam merah putih. Saya tak boleh merebut kedua warna itu darinya. Biarkan dia menemukan sendiri jejak-jejak saya, bersama apa yang pernah saya saksikan, dan apa yang terakhir kali saya lihat dalam diri saya.



Artikel ini sebelumnya dimuat di locita.co

Senin, 07 Januari 2019

Puasa Medsos

Tidak ada komentar


Sewindu yang lalu, saya mulai mengantongi Blackberry Gemini. Aplikasi Blackberry Messenger (BBM), sedang meriuh. Belum lagi aplikasi media sosial (medsos) Facebook.
Seingat saya, akun Facebook pertama saya, dibuatkan seorang teman sekitar tahun 2009. Tidak memakai alamat email. Tapi hanya menggunakan nomor ponsel. Saat itu kami masih sering menghabiskan waktu di warung internet (warnet).

Setelah belajar cara membuat email dan akun Facebook, saya coba membuat sebuah akun untuk pacar saya dengan alamat email yang memakai namanya. Tapi ia akhirnya tidak menggunakan akun itu. Katanya ia baru dibuatkan oleh temannya. Akun tersebut akhirnya saya pakai dengan anonim. Biasanya untuk bermain poker online di warnet.

Zaman terus bergulir. Sampailah ke kiwari, yang medsosnya tak hanya Facebook. Beberapa yang pernah saya gunakan adalah Twitter, Path, dan Instagram. Tapi sejak 2016, saya mulai meninggalkan Path dan Twitter. Sampai akhirnya Path resmi ditutup 2018 kemarin. Sementara Twitter, saya terpaksa membuat akun baru, hanya karena "tengkar" Jerinx S.I.D dan Maderodog. Kebetulan saya sedang suka mendengarkan lagu-lagunya Maderodog. Jadi ingin memindai seperti apa orangnya.

Belakangan, tepatnya pada Minggu malam, 6 Januari 2019 kemarin, saya mulai berpikir untuk puasa Twitter dan Facebook. Bagi saya, dua medsos ini yang paling parah candunya. Arus informasi di kedua medsos ini begitu deras. Saya memilih berhenti sementara. Apalagi hiruk pikuk menjelang pemilihan presiden April nanti.

Saya jadi ingat akun Facebook saya yang satu. Akun yang pernah saya buatkan untuk (mantan) pacar. Sejak putri saya lahir tahun 2011, saya mengubah akun itu menjadi namanya: Sistha Ghasyafani. Foto-foto atau video tentang Sigi saya unggah semuanya di sana. Daftar pertemanan di akun itu, hanya orang di desa saya. Desa Passi.

Saya kemudian mengaktifkan akun itu lagi. Sesekali saya melihat unggahan orang-orang di desa, dan melihat dunia lebih kecil lagi. Rasanya sangat berbeda dengan akun pribadi saya. Di akunnya Sigi, segala kekhasan orang desa tampak. Saya jadi rindu dengan desa.

Tapi, berikutnya ada masalah terkait salah satu game favorit saya: Board Kings, yang ternyata harus terhubung dengan akun pribadi saya. Akhirnya akun yang saya tutup sementara, saya aktifkan lagi hanya agar bisa memainkan game ini. Jadi akun pribadi itu tidak boleh dinonaktifkan. Harus tetap aktif, meski kita bisa keluar dari akun. Jadi, orang-orang yang berkawan di akun pribadi masih bisa melihat beranda saya. Berbeda dengan ketika dinonaktifkan, nama saya hilang dari daftar pertemanan.

Untuk game, saya tinggal memiliki satu game yakni Board Kings. Ini jenis game yang tidak adiktif. Setelah Clash of Clans meredup, saya memang tak ingin lagi kecanduan game. Setop sudah. Sejatinya game untuk membuat kita terhibur ketika mengisi waktu luang. Bukan malah menyita banyak waktu kita.

Semua hal di atas saya lakukan, hanya agar saya bisa jenak istirah dari bisingnya dunia internet. Mengenai digital detox, tentu saja saya yang setiap hari kerjaannya terhubung dengan gawai, tidak mungkin total menghilangkan kecanduan atas ponsel pintar atau laptop. Meski digital detox itu berarti periode waktu ketika seseorang menahan diri, dari menggunakan perangkat elektronik seperti ponsel pintar dan komputer.

Digital detox yang sedang saya jalankan, hanya untuk media sosial saja. Jadi mungkin bisa disebut: detoks medsos. Saat ini, satu-satunya medsos yang tetap saya akses hanya Instagram, karena saya juga menjadi admin akun media online kami: jubi.co.id. Selain itu, di Instagram kita tak menjadi monster yang melahap sedemikian banyak informasi. Kita bisa bersenang-senang dengan diri sendiri, dengan bebas memilih konten apa saja sesuai minat. Alangkah baiknya, jika informasi kita sendiri yang mencari, bukan informasi yang berjujut mendatangi kita. Ini agar kita bisa mengontrol, apa yang layak kita konsumsi sesuai kebutuhan.

Puasa medsos memang sering saya lakoni setiap tahun. Ada bulan-bulan di mana per pekannya, saya coba puasa medsos. Ini baik untuk mengurangi candu. Apalagi untuk orang-orang berkarakter introver seperti saya. Sehari, bahkan sepekan, saya bisa menghabiskan waktu di kamar. Dan saya tetap nyaman dengan keadaan itu. Karena itu juga, waktu berinteraksi saya paling banyak di medsos.

Pernah ketika ingin menamatkan lima buku, saya berpuasa medsos selama sebulan. Caranya, saya tidak mengisi paket data. Kerjaan pun waktu itu kerap saya selesaikan dengan akses internet di kantor. Tapi sekarang, minat membaca saya menurun. Apalagi ketika tidak berada di rumah. Tinggal satu atau dua buku yang selesai dibaca dalam beberapa bulan. Kecuali saya sedang berada di rumah. Ada puluhan buku yang belum saya baca, dan itu bisa selesai satu atau dua buku dalam sebulan. Sekarang, ketika jauh dari rumah, saya lebih banyak menghabiskan waktu menonton film. Sehari, saya bisa menonton tiga film dengan durasi dua jam per film.

Manfaat ketika berpuasa medsos, mulai saya rasakan. Misalnya ketika terbiasa berinteraksi nonfisik, kini saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan sekitar. Misal, pakaian kotor dari sepekan baru dicuci, kini setiap tiga hari sudah masuk ember air. Kemudian menjadi rajin menjemur bantal dan kasur, kamar berdebu segera disapu, dan sampah lebih cepat dibuang. Kita jadi terkoneksi dengan hal-hal di sekitar kita. Khususnya lebih aktif lagi menulis.

Salah satu manfaat lainnya, ya, ini, saya jadi terbiasa menulis lagi di blog, bukan lagi di status Facebook. Sebenarnya untuk bermedsos, saya sudah mengantisipasinya dengan mematikan semua nada pemberitahuan. Ini baik untuk mengurangi candu medsos. Setelah itu, kita bisa mulai meninggalkan satu per satu medsos yang tidak terlalu perlu. Bisa dimulai dari tiga hari atau sepekan. Kemudian berlanjut sebulan, atau mungkin setahun.

Saya mungkin baru akan terkoneksi lagi di Facebook dan Twitter, selesai pemilihan presiden pada April nanti. Urusan Nurhadi Aldo, biarkan saja mereka bergembira dengan itu. Ada hal yang lebih besar lagi yang harus fokus dilaksanakan tahun ini. Yaitu diet plastik, dan mengubah diri ini menjadi naik setingkat dari tahun kemarin.

Daripada kita mencibir orang lain, lebih baik kita mencibir diri sendiri, dengan mengingat apa saja yang belum berhasil kita ubah di tahun kemarin. Tapi ingat, jangan lupa tetap kritis kepada penguasa zalim!

Sabtu, 05 Januari 2019

Papa Tua'

Tidak ada komentar

Saya baru saja menerima kabar berpulangnya salah satu kerabat dekat mendiang ayah, yang rumah kami berdampingan. Kami kerap menyapanya Papa Tua'. Ibunya adalah kakak perempuan dari ayah saya.

Ingatan purba tentang Papa Tua' segera terlintas. Sewaktu saya masih sekolah dasar, saya sering diajak ayah ketika berkunjung ke kantor Taspen di Manado. Saya masih ingat jelas, ayah sering membeli tiket bus berwarna kuning bergambar Menara Eiffel dan angka 88, yang menjadi logo Pangkalan Paris di Kotamobagu. Kala itu, medio 90-an, harga tiket bus dari Kotamobagu ke Manado hanya enam ribu rupiah, dengan lama tempuh sekitar lima sampai enam jam.

Di Manado, ada tiga kerabat dekat ayah dan ibu yang sering jadi tempat kami menginap. Yang pertama rumah Papa Anti', yang juga tempat tinggal salah satu kakak laki-laki saya yang sedang berkuliah di Manado. Yang kedua rumah Papa Isal, dan yang ketiga rumahnya Papa Tua'.

Ayah sering mengajak saya menginap di rumahnya Papa Tua' atau Papa Isal. Sesekali di rumahnya Papa Anti', tapi tak terlalu sering karena rumahnya dipenuhi anak kos. Papa Tua' membantu mengurus beasiswa saya. Ia kebetulan pegawai di salah satu dinas di kantor Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara. Beasiswa yang saya terima, diperuntukkan bagi siswa berprestasi, lalu orangtua dan siswa harus mengambilnya di Manado.

Di rumahnya, Papa Tua' sering mengajak saya mengobrol. Kemudian ia menyampaikan rencana Gubernur Sulawesi Utara, C.J. Rantung, untuk bertemu dengan siswa-siswa berprestasi se-Sulawesi Utara. Nama saya masuk di daftar itu. Tentu saja, saya bahagia mendengarnya. Apalagi ayah.

Sebulan kemudian, ayah dan saya kembali mengunjungi Manado. Tapi ketika berangkat ke kantor gubernur, ayah tidak ikut karena urusannya di Taspen. Papa Tua' yang menemani saya. Dalam perjalanan, ia sesekali merapikan topi dan dasi sekolah saya. Ia memperlakukan saya seperti anaknya. Ia juga menyemangati saya agar tidak gugup.

Saya terkesima ketika memasuki sebuah gedung besar, dengan deretan meja kursi bersusun serupa di gedung parlemen. Pandangan saya terus menyapu seisi ruangan. Papa Tua' menyadarkan saya dengan tepukan di pundak, lalu mengantar saya sampai ke kursi. Setelah itu ia duduk terpisah dari kami para siswa.

Di setiap meja kami tersedia mikrofon mungil. Bergantian, kami diminta memperkenalkan diri, menyebutkan asal dan nama sekolah. Acara terus berlangsung, dari pidato gubernur, pembacaan puisi, tari-tarian, penampilan paduan suara, dan masih banyak lagi, sampai akhirnya kami disuruh berjabat tangan dengan gubernur dan wakilnya. Papa Tua' dari kejauhan memberi isyarat, agar saya mengikuti anak-anak lain. Keping ingatan itu tak akan pernah saya lupakan. Apalagi kebaikan Papa Tua' selama mendiang ayah dan saya menginap.

Papa Tua' dan Mama Tua' memiliki seorang anak laki-laki bernama Randi. Ketika Randi berseragam abu-abu, iringan sepeda motor yang ia dan teman-teman sekolahnya kendarai, terlibat kecelakaan beruntun saat hendak menyusul Papa Tua' dan Mama Tua' yang berkunjung ke Kotamobagu. Randi dan beberapa teman sekolahnya meninggal di lokasi kecelakaan. Saya menyaksikan bagaimana Papa Tua' begitu kehilangan kala itu.

Mama Tua' telah berpulang beberapa tahun lalu. Sekarang Papa Tua' menyusul Mama Tua', juga anak kesayangannya Randi. Selamat jalan Papa Tua', Papa Randi, segala hormat dan ucapan sukur moanto' atas kebaikan Papa Tua', saya kirimkan bersama doa...

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un...

Rabu, 02 Januari 2019

Mahakarya Sigi

Tidak ada komentar
Ini empat lukisan mahakarya Sigi waktu dia umur empat tahun lebih. Sepertinya hantu Picasso bakalan iri melihatnya. Apalagi lukisan pertama, yang sepertinya itu saat saya pulang dalam keadaan mabuk lalu muntah. Muntahannya tak hanya keluar dari mulut, tapi dari otak juga. Dan karena warna muntahannya hitam, kayaknya itu minuman alkohol campuran bir hitam dan cap tikus. Picasso mungkin bisa melukis seperti ini, dengan membayangkan Modigliani sedang muntah di atas lukisan Dora Maar au Chat, yang susah ditafsir itu. Atau bisa juga itu hanya gambar rambut dan jenggot. Mungkin harapan Sigi, saya bisa panjangin jenggot tempat berayun-ayunnya para bidadari.
Lukisan kedua, dari bentuknya bisa dipastikan itu ikan mujair purba yang pernah hidup 500 juta tahun lalu. Bisa dilihat dari bentuk persegi panjang berdimensi yang mengelilingi ikan, yang mempertegas bahwa fosil ikan itu ditemukan di bongkahan es kutub utara. Karena tidak mungkin itu akuarium. Selain terlalu kecil, kami memang tak punya akuarium di rumah. Atau bisa jadi itu hanya gambar mujair goreng tepung, yang disimpan di dalam tupperware bening.

Lukisan ketiga, karena Sigi tahu saya sering sial seperti Donal Bebek dan punya tato Donal Bebek, jadi dia melukis bebek bermata besar, bundar, dan hitam. Perpaduan antara Walt Disney dan manga Jepang. Sementara ejaan APDEG di badan bebek, sampai sekarang saya belum bisa memecahkan misterinya. Mungkin hanya Leonardo da Vinci yang bisa.

Yang terakhir, lukisan keempat, sepertinya itu sebuah ramalan. Gambar pohonnya pasti familiar bagi yang melihatnya. Itu pohon beringin yang baru dari barbershop. Mungkin Sigi hendak meramalkan, bahwa Orba begitu digdaya. Dan ramalan itu sepertinya benar. Sekarang saja masih mirip Orba. Berarti Sigi cocoknya bukan jadi pelukis. Tapi jadi cenayang. Lumayan, biar bisa bantu mereka yang mau berkomunikasi dengan hantu-hantu komunis.