Senin, 16 Desember 2024

Mestakung

Tidak ada komentar

Pukul 2 pagi, saya menyibak tirai dari ruang tamu. Di luar berkabut bahkan tebalnya nyaris menelan cahaya lampu-lampu jalan. 


Saya memotret lanskap kampung malam itu lalu mengirimkannya kepada seseorang. "Mestakung!" 


Seperti terhubung, ia juga melakukan hal yang sama. Memotret pekarangan rumah dan hanya hamparan kabut sejauh tangkapan kamera. 


"Benar sudah, semesta mendukung (mestakung)," tulisnya, membalas pesanku.


Ketika linimasa media sosial riuh dengan kasus penangkapan pelaku politik uang, dua hari sebelum pencoblosan tersiar kabar pengerahan seribu pasukan bayangan. Tapi, para siluman pun, akan memilih tidur ketika kabut menebal seperti pagi itu. Apalagi, ada yang lebih mencekam dari itu sedang berkelebat dari ujung Timur, Selatan, Utara, mengitari tanah leluhur dan kota mungilnya.


Saya bilang kepadanya tentang gigil aneh, karena bersamaan dengan damai di hati, lalu seketika menjalar di sekujur tubuh. Perasaan ini, hanya pernah saya rasakan ketika Jokowi menang dan menjadi harapan baru kami, saat pertama kali ia dijunjung rakyat Indonesia termasuk kami Bara JP sepuluh tahun yang lalu. Kala itu, wajah Jokowi bahkan menghiasi sampul majalah TIME dengan judul "A New Hope".


Setelahnya, saya tidak lagi ikut mendukungnya sama seperti sebagian kawan lainnya, bahkan sejak dua tiga tahun ia pertama kali menjabat, karena kebijakan-kebijakannya yang mulai memunggungi wong cilik. Saya jelas memilih golput di pertarungannya yang kedua. Pilpres kemarin, tak ada pula perasaan yang sama. Kami hanya menyimbolkan perlawanan dengan salam empat jari, apalagi "Dirty Vote" semakin menebalkan yakin kami.


"Saya juga merasakan gigil yang sama," balasnya. Lalu kami mulai saling menarik ingatan dan membuka tabungan memori.


Esok harinya, sehari sebelum pencoblosan pilkada serentak, mendung menaungi langit kampung. Tak berselang lama garis-garis gerimis mulai turun. Kemudian hujan serupa butiran jagung sekejap membuat pekarangan rumah seperti kolam-kolam kecil. "Hujan mestakung lagi," tulisku dalam isi pesan.


Malam sebelum pencoblosan atau lazim disebut serangan fajar, gelombang tsunami yang sebelumnya sudah diramalkan, akhirnya terjadi. Malam ini sudah seperti pesta senyap bagi kami. Di luar sana, masing-masing pendukung memarkir berdus-dus bir, menikmatinya hingga mentari pelan-pelan memanjat punggung Gunung Ambang.


Pukul 4 sore, terbangun dari sisa-sisa mabuk dan kantuk yang terpaksa ditahan karena paginya harus ikut mencoblos, perasaan yang sama kembali hadir. Kabar-kabar terus berdatangan, dan katanya kemenangan telah di genggaman. Kabar kemenangan yang sebenarnya tinggal untuk memastikan statistik, atau seberapa banyak kau meraup kelereng di setiap lubang.


Saya menyimpan video dua lilin yang saling berbagi nyala, ketika salah satunya padam. Kemudian menuliskan sebait kalimat, "Siapa pemenangnya? Mereka yang tetap meyakini ikatan darah adalah abadi. Mereka yang menapaki tangga tanpa menginjak orang lain, kerabat, dan sahabat. Dan mereka yang masih percaya bahwa tanah leluhur ini harus dijaga dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."


Setelah mengunggahnya di Facebook pagi hari sebelum mencoblos, kala itu bola mata saya yang berkabut. Ada banyak pertaruhan di luar sana. Ada banyak pertarungan di dalam hati.


Di luar itu semua, Yusra Alhabsyi telah memegang tongkat takdirnya untuk menjadi pemimpin di Tanah Totabuan. Ikhtiarnya bersama pendamping, pendukung, dan orang-orang di balik punggungnya sungguh luar biasa. Melawan dengan gembira, dan menyimpan rapat-rapat apa yang tak layak diumbar. Apalagi, sejak mahasiswa ia kerap turun ke jalan demi memperjuangkan tanah leluhur ini, semenjak saya masih bocah berlelehan ingus. Campur tangan lain, melengkapi ikhtiarnya.


Titip Tanah Totabuan ini, Kak Ucan dan Kak Oning! ✊🏼

Tidak ada komentar :

Posting Komentar