Indonesia dan Jubi sama-sama lahir Agustus. Indonesia telah 74 tahun. Sudah renta. Jubi 18 tahun. Baru mau beranjak dewasa.
Hampir tiga tahun sa bekerja di Koran Jubi dan media daringnya jubi.co.id. Tapi baru mau dua tahun sa tinggal di Papua, semenjak dipindahkan di redaksi koran.
Pada 31 Agustus 2019 kemarin, Jubi merayakan usianya yang ke-18. Namun kali ini tak seriuh biasanya. Kami hanya berdiam di rumah atau di kamar sewaan. Jayapura tengah membara. Kami merayakan hari ulang tahun dalam senyap.
Catatan ini sudah sa bikin sejak Sabtu menjelang pagi, 31 Agustus 2019. Di kamar kos, hampir semua penghuni tak bisa lelap. Kabar-kabar burung hinggap di ponsel yang telah mundur peradaban. Semua tentang suasana mencekam. Sejak internet diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 19 Agustus 2019, ponsel pintar kami hanya bisa untuk menelepon dan berkirim pesan singkat. Jika ada kejadian di satu tempat, kami terlambat tahu. Kami serupa katak dalam tempurung yang siap diinjak retak.
Saat menulis ini, sa sempat menunda meneruskannya akibat suara tembakan terdengar memecah pagi. Kami saling bertukar kabar, tentang situasi di masing-masing tempat. Ada yang di tempat tinggalnya listrik dipadamkan dan orang-orang mulai berjaga-jaga, ada yang mendengar suara teriakan bersahut-sahutan, ada juga yang baru mendapat kabar bahwa konflik sudah menjalar menjadi antar-orang Papua dan pendatang.
Semua kabar yang datang dikemas dalam cemas. Nyala pagi, jadi satu-satunya yang dinanti agar bisa bebas dari keterjagaan. Lonceng gereja saja kerap membuat kaget, karena dianggap dentang tiang listrik. Tinggal berdekatan dengan rumah sakit, kami juga sering terkejut oleh sirene ambulans. Jalanan begitu sunyi, sudah sejak langit mulai gelap.
Di kosan sa yang baru, ada berbagai macam latar belakang daerah yang berdiam. Ada dari Jawa, Toraja, Bima, Wamena, Batak, dan kamar-kamar lainnya yang penghuninya belum saling mengenal. Bahkan para penghuni di kosan sa sebelumnya, sering bertukar tanya.
Para pendatang yang memiliki paguyuban, saling berkirim kabar agar berhimpun dan mengungsi ke tempat-tempat aman. Sa seketika menjadi asing di sini. Meski warga Bolaang Mongondow ada juga paguyubannya di Jayapura, sa tak pernah membangun silaturahmi dengan mereka. Karena sa kerap berpikir, untuk apa jauh-jauh ke Papua hanya untuk berkumpul dengan orang sedaerah? Tapi ketika ada kejadian ini, sa jadi sadar, penting juga untuk mengenal orang-orang sedaerah di sini.
Meski tinggal di salah satu sudut Kota Jayapura, kami tidak tahu pasti apa yang terjadi di Abepura, Kotaraja, Entrop, dan Kota Jayapura, yang hanya berjarak beberapa kilo dari kos. Bukan hanya jaringan internet di ponsel yang diblokir, tapi Wi-Fi ikut mati. Jika ingin mengakses informasi lewat internet, kami harus memberanikan diri ke hotel-hotel yang menyediakan jaringan internet satelit. Sa sudah pernah merasakan sebulan lebih tak bisa mengakses internet di Jayapura, karena fiber optik bawah laut putus tahun lalu. Tapi saat itu kondisi kota aman-aman saja. Sekarang? Bahkan keluar mencari warung yang buka saja susahnya minta ampun.
Setiap kali terkoneksi dengan internet, sa berkesempatan mengunduh beberapa informasi di grup kantor, Youtube, dan media sosial. Semua sebagai bekal ketika pulang ke kos agar informasi masih bisa terserap. Semua kabar yang pernah sa terima, beberapa di antaranya mulai terang. Ada yang benar. Ada yang keliru. Tapi ketika membaca bahwa ada korban berjatuhan, sa makin tambah khawatir. Sempat terpikir, untuk jenak pergi dari Jayapura sampai kondisi kondusif.
Koran terpaksa terhenti produksi. Hanya media daring yang tetap jalan, meski dengan terbatasnya jaringan internet. Berita masih bisa diunggah. Sebelum aksi kedua yang rusuh tempo hari, kami masih berjuang agar koran tetap terbit. Melompat dari hotel ke hotel, hanya agar bisa mengakses berita-berita. Tapi sejak rusuh, jadi berisiko bagi kami yang terbiasa keluyuran mencari jaringan internet. Banyak humor yang terlontar saat itu, seperti bagaimana cara mengakses internet di kafe hotel dengan hanya memesan air hangat. Sampai sa sempat berujar, "Kegilaan-kegilaan kecil ini, kelak akan tercatat di buku sejarah pers Papua."
Tiga hari setelah kerusuhan di Kota Jayapura dan sekitarnya, baru sa bisa menyaksikan di media sosial seperti apa letupan demi letupan amarah kala itu. Banyak ruko dan tempat usaha terbakar. Kaca-kaca kantor berguguran. Beberapa kantor tersisa puing.
Beruntung, saat aksi kedua sa tidak turun ke jalan untuk liputan seperti saat aksi pertama. Salah satu alasan sa, saat itu kamera yang biasa sa pinjam ke kawan sekantor, sedang dipakainya untuk liputan di Jakarta dan Surabaya bersama gubernur Papua. Kedua, ketika diajak kawan wartawan Jubi yang orang Papua, sa sudah diingatkan agar tidak turun liputan oleh beberapa teman.
Seorang kawan di Entrop berkisah, ia terjebak dengan massa aksi ketika pulang dari pasar membeli ikan. Ia merogoh saku untuk mengambil ponsel bermaksud menelepon, tapi disangka hendak memotret. Ia ditampar. Ponselnya mau direbut untuk dibanting. Parang sempat mengikis kepalanya. Ia selamat dari amuk itu. Kaca distronya bertebaran dilempari batu. Distro yang di dalamnya ada Bintang Kejora terpampang. Orang tuanya pendatang dari Sulawesi Selatan. Ia lahir dan besar di Jayapura.
Mendengar kisahnya, sa sadar, membela hak-hak orang Papua atau setia berdiri di samping mereka, tak menjamin kita tak akan disakiti. Ada ribuan orang Papua di luar sana yang tak tahu sepak terjang kita. Tapi apakah dengan begitu, kita lantas segera beralih membenci mereka? Jawabannya ada ketika kawan ini menceritakan kisahnya lewat pesan singkat, tapi diselingi "ha-ha-ha". Mungkin, di saat-saat seperti itulah, kukuh kita bersama mereka benar-benar diuji.
Sampai saat ini, Jubi adalah media di Papua yang tetap bersetia dengan orang Papua. Isinya bukan hanya orang Papua, meski didirikan dan dipimpin oleh orang-orang Papua. Di Jubi-lah sa banyak belajar bagaimana susahnya menjadi jurnalis di Papua. Sebagai redaktur, kau mungkin bisa memberi kuliah berjam-jam kepada wartawan orang Papua, tentang bagaimana caranya menembus narasumber. Tapi ketika kita turun sendiri ke lapangan, baru kita akan merasakan betapa segala kanuragan yang pernah kita bagi, tiba-tiba menguap begitu saja.
Selain Jubi dan suarapapua.com, tak ada lagi media lain di Papua yang mampu menjahit perca-perca yang hilang tentang Papua secara utuh. Berharap kepada media di Jakarta, mungkin hanya ada satu atau dua media saja yang masih menyediakan ruang khusus untuk Papua. Selebihnya, hanyalah media-media yang penuh parade para jenderal dan penguasa.
Selama di sini, sa bersyukur mulai mengenal Papua keping demi keping, meski memang masih begitu luas dan dalam lagi yang siap untuk kita arungi dan selami. Tapi setidaknya sa mengerti, merekalah yang mengajari sa bagaimana caranya memuliakan harga diri dan menghargai sebuah nyawa.
Menghormati hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, bukanlah jalan untuk memanusiakan mereka. Tapi itu adalah jalan untuk memanusiakan kita.
Terima kasih Jubi untuk kesempatan yang tak ternilai ini. Selamat hari raya usia. Tetap menjadi bintang sebagai penunjuk arah, agar orang-orang tak tersesat mencari kebenaran di Tanah Mama ini.
No comments :
Post a Comment