Siang itu, mungkin bagi Ramah, akan seperti hari-hari biasanya ketika ia hendak menjahit wawancara demi wawancara, menjadi sebuah berita. Ramah adalah jurnalis Jubi, sepayung kerja dengan saya, dan seorang pendatang dari Buton, Sulawesi Tenggara. Tapi tak ternyana, Kamis itu akan tragis. Demonstrasi kedua mengutuk rasisme terhadap mahasiswa Papua di luar sana, berujung amuk massa.
Ramah, seperti yang ia tuturkan dengan narasi menyentuh di grup kantor kami, berada tepat di antara segitiga bara. Aparat, massa Orang Asli Papua (OAP), dan massa pendatang yang mendaku sebagai masyarakat nusantara (selanjutnya disingkat manus). Kebanyakan dari massa manus itu dari BBM, kepanjangan dari Bugis, Buton, Makassar. Gelombang ketiga massa pendemo tak tahu, pada gelombang sebelumnya, terjadi amuk massa yang membakar sejumlah tempat usaha di sekitar Entrop. Massa OAP yang juga terdiri dari perempuan dan anak-anak ini, terjebak di antara aparat dan massa manus.
Jiwa kemanusiaan Ramah meronta, ketika melihat perempuan dan anak-anak itu panik dan ketakutan di atas tanah mereka sendiri. Seketika mereka menjadi asing di negeri sendiri. Menengok ke belakang, ada aparat yang represif. Di depan, ada manus yang marah karena tempat mereka mengais rezeki hangus. Sehitung detik, Ramah berusaha melindungi mama-mama dan anak-anak mereka, dari aparat dan manus yang mulai bertindak kasar. Ramah kemudian mengantar mereka dengan sepeda motor ke titik teraman di Skyland. Tempat sebelumnya yang sudah dilalui massa aksi. Berkali-kali ia bolak-balik.
Mama-mama itu mengaku berangkat dari Sentani, Expo, Kotaraja, dan Furia. Ketika mengamankan mereka dari aparat dan manus itu, Ramah menanggalkan profesi jurnalisnya. Ia tak mengaku seorang wartawan. Baginya, kali ini kemanusiaan harus paling depan. Hanya kepada mama-mama itulah ia bilang, ia seorang jurnalis.
"Melihat senyum mereka ketika aman, saya merasa ikut bahagia," kata Ramah.
Ramah, bisa jadi salah satu dari sebagian kecil pendatang yang mafhum, ia bukan sekadar mencari makan di tanah Papua. Ia yang sadar bahwa di mana bumi dipijak, di sana langit kemanusiaan dijunjung. Ia bahkan tak memikirkan keselamatannya. Pinta istrinya agar ia segera pulang, tak diindahkannya kali itu.
Kisah Ramah ini, direkam dengan wajah jurnalisme damai yang apik oleh kawan-kawan CNN Indonesia. Saya berada di kantor Jubi ketika potongan wawancara Ramah direkam. Dari durasi yang panjang, kawan-kawan CNN mengemasnya menjadi singkat, tapi begitu tebal narasi kemanusiaan di sana-sini. Beberapa bagian penting dijahit, dan yang paling mengharu-biru, ketika Ramah begitu sedih mengingat perca demi perca kejadian kala itu.
Kawan-kawan CNN membikin video berdurasi 6.50 menit itu, begitu seadanya. Saya segera ingat ketika banjir bandang yang menerjang Sentani belum lama ini, beberapa jurnalis foto dan video dari Jakarta berdatangan. Mereka mulai menemui para korban dan mendramatisir fakta. Para korban diatur sedemikan rupa, agar hasil foto dan video menjadi tragis. Meski sebenarnya para korban saat itu sedang berusaha tegar dari tangis.
Meski belum berselang lama kejadian banjir bandang di Sentani, demonstrasi yang sengaja digeser oleh beberapa massa siluman menjadi konflik antarsipil ini, sebenarnya adalah dua kutub yang begitu cepat saling bertolak. Di Sentani kemarin, kita bisa melihat bagaimana sirnanya sekat antara OAP dan non-OAP. Mereka saling bantu. Namun secepat itu, amukan Robhongholo tak bersisa pemaknaan. Bertahun-tahun merakit kebersamaan, sekali diterjang gelombang, rusak sudah sekali jalan.
Belum lama ini, saya pergi menemui kerabat dari kampung, salah satu anggota Brimob yang ditugaskan di Jayapura. Ketika pulang dari Tanah Hitam, titik penjagaan mereka, saya memilih menggunakan jasa ojek di sekitar situ. Sekalian sepanjang jalan saya hendak bertanya-tanya, tentang suasana genting beberapa lalu di sekitar Tanah Hitam.
Pengendara ojek itu dari Bugis. Ia bercerita tentang malam ketika mereka berjaga-jaga.
"Ada informasi massa dari arah Abe Pantai sana mau serang kami," kisahnya.
"Tapi tidak ada serangan, kan?" tanya saya.
"Iya, semalaman tidak tidur, ternyata aman-aman saja. Tidak tahu dari mana informasi itu," katanya.
Dari mana informasi itu? Ia mengatakan dari mulut ke mulut. Bagaimana agar informasi seperti itu bisa cepat ditangkal? Selain dari pemberitaan media, bisa dari media sosial yang saat ini jaringan internet masih diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Ketika banjir bandang di Sentani, kita bisa menyaksikan bagaimana internet sangat membantu. Ada beberapa hoaks tentang runtuhnya beberapa jembatan, bisa sekilat terang oleh masyarakat sendiri di lokasi. Meski yang ini adalah duka bencana, sementara bara di Jayapura adalah amuk massa, internet hanyalah alat yang bergantung kepada penggunanya. Pisau bisa digunakan membunuh, tapi bisa juga digunakan untuk melindungi diri atau sekadar mengiris bawang. Seandainya hoaks tersebar ketika rusuh di Jayapura, maka masyarakat bisa terlibat untuk menangkalnya lewat media sosial. Bahkan mungkin, narasi seperti yang Ramah tuturkan, akan bermunculan satu demi satu.
Pengendara ojek ini mengaku lahir dan besar di Tanah Hitam. Baginya, rusuh seperti itu sudah pernah ia lewati beberapa dekade. Sedang pendatang yang baru satu dua tahun datang, ada yang memilih pulang.
"Selama di sini kami aman-aman saja dengan orang Papua. Saya tiga puluh tahun lebih di sini. Teman-teman ojek juga ada orang Papua. Jadi kalau orang baru datang, ya pasti ketakutan lihat macam kemarin," katanya.
Sesampai di lingkaran Abepura, saya dihubungi lagi oleh saudara Brimob. Ia akan menyusul dengan temannya, untuk mengajak saya makan. Ketika ia datang, baru kali itu ia berjalan-jalan di keramaian Abepura, yang juga dipenuhi Brimob di beberapa titik. Sehabis makan, kami masih berkeliling di pusar Abepura. Ia hendak melihat-lihat noken. Saya menunjuk puluhan noken yang dijajar mama-mama di depan ruko-ruko yang sebagian kacanya hancur, sisa amuk massa kemarin.
Ia sempat heran, karena mama-mama itu berderet di sepanjang trotoar dan bermandi debu jalanan. Tanda herannya yang kedua, adalah harga-harga noken akar anggrek yang mencapai lima jutaan. Saya menjelaskan pencarian bahan dan proses pembuatannya, sampai kenapa harganya begitu. Ketidaktahuan tentang suatu daerah, budayanya, kebiasaannya, terkadang membawa seseorang pada penilaian yang keliru. Saya hendak mengenalkan sedikit demi sedikit tentang Papua kepada saudara saya. Setidaknya ia bisa memiliki gambaran sedikit demi sedikit.
Tak jarang, ketidaktahuan seperti itu yang membawa petaka. Sama seperti yang terjadi di Deiyai baru-baru. Kasus berdarah yang menambah daftar pelanggaran Hak Asasi Manusia di negeri ini. Kala itu, massa aksi tengah mengadakan waita, salah satu tradisi penyemangat yang ditandai dengan orang-orang membentuk pusaran sembari berteriak-teriak. Aparat menganggap mereka akan memulai kericuhan. Salah satu mobil menabrak para pendemo. Pengemudinya seorang aparat. Massa marah dan terjadilah kericuhan. Kemudian, satu demi satu nyawa luruh oleh peluru.
Betapa ketidaktahuan itu adalah satu-satunya musuh yang harus dimusnahkan di tanah Papua ini. Saya ingat seorang kawan kos dari Jawa Timur. Ia seorang sarjana lulusan Universitas Surabaya, yang setelah berhenti dari pekerjaannya di salah satu diler mobil, memilih menjadi sopir rental mobil untuk mengisi waktu luangnya. Ia membaca buku saya, Kisah Hidup Tokoh-tokoh Papua. Di situ ada nama Jesua Nehemia Jikwa. Orang yang sering memakai jasanya.
"Kalau saya tahu dia, saya tidak akan meminta uang untuk jasa saya mengantarnya. Hanya sewanya saja. Saya baca kisahnya, sedih. Pernah ia lapar dan hanya membakar jambu," katanya, setelah tahu siapa tokoh itu dan kisah perjalanan hidupnya.
Dalam buku itu, ada pula ditulis ujaran kebencian yang mendera Jikwa selama Sekolah Menengah Pertama di Ujung Pandang. Ia ikut ayahnya yang melanjutkan sekolah di sana kala itu. Menjadi satu-satunya orang Papua di sekolah, ia kerap dipanggil 'monyet', 'kanibal', 'kamu makan orang', dan lain sebagainya. Pada akhirnya, orang yang sering mereka ejek itu sekarang menjadi salah satu tokoh yang dihormati dan dikagumi di Papua, di antara deretan nama Amelia Jigibalom, Benny Giay, Willem Rumsawir, Obed Komba, Marjono Murib, Helena Mantuan, Octovianus Mote, Uma Markus Kilungga, Noakh Nawipa, Herman Arom, Nicholas Jouwe, dan masih banyak panutan-panutan lainnya.
Sesungguhnya, orang-orang Papua yang hingga saat ini tetap menuntut hak penentuan nasib sendiri, telah belajar sejarah dengan sebaik-baiknya, dan sehormat-hormatnya.
Ketika mengetahui tentang Papua, maka Anda akan segera beranjak dari kubangan ketidaktahuan. Berjalan dari satu tanda heran ke tanda heran lainnya, hingga menemui seperti apa wajah kemanusiaan itu.
Ramah, seperti yang ia tuturkan dengan narasi menyentuh di grup kantor kami, berada tepat di antara segitiga bara. Aparat, massa Orang Asli Papua (OAP), dan massa pendatang yang mendaku sebagai masyarakat nusantara (selanjutnya disingkat manus). Kebanyakan dari massa manus itu dari BBM, kepanjangan dari Bugis, Buton, Makassar. Gelombang ketiga massa pendemo tak tahu, pada gelombang sebelumnya, terjadi amuk massa yang membakar sejumlah tempat usaha di sekitar Entrop. Massa OAP yang juga terdiri dari perempuan dan anak-anak ini, terjebak di antara aparat dan massa manus.
Jiwa kemanusiaan Ramah meronta, ketika melihat perempuan dan anak-anak itu panik dan ketakutan di atas tanah mereka sendiri. Seketika mereka menjadi asing di negeri sendiri. Menengok ke belakang, ada aparat yang represif. Di depan, ada manus yang marah karena tempat mereka mengais rezeki hangus. Sehitung detik, Ramah berusaha melindungi mama-mama dan anak-anak mereka, dari aparat dan manus yang mulai bertindak kasar. Ramah kemudian mengantar mereka dengan sepeda motor ke titik teraman di Skyland. Tempat sebelumnya yang sudah dilalui massa aksi. Berkali-kali ia bolak-balik.
Mama-mama itu mengaku berangkat dari Sentani, Expo, Kotaraja, dan Furia. Ketika mengamankan mereka dari aparat dan manus itu, Ramah menanggalkan profesi jurnalisnya. Ia tak mengaku seorang wartawan. Baginya, kali ini kemanusiaan harus paling depan. Hanya kepada mama-mama itulah ia bilang, ia seorang jurnalis.
"Melihat senyum mereka ketika aman, saya merasa ikut bahagia," kata Ramah.
Ramah, bisa jadi salah satu dari sebagian kecil pendatang yang mafhum, ia bukan sekadar mencari makan di tanah Papua. Ia yang sadar bahwa di mana bumi dipijak, di sana langit kemanusiaan dijunjung. Ia bahkan tak memikirkan keselamatannya. Pinta istrinya agar ia segera pulang, tak diindahkannya kali itu.
Kisah Ramah ini, direkam dengan wajah jurnalisme damai yang apik oleh kawan-kawan CNN Indonesia. Saya berada di kantor Jubi ketika potongan wawancara Ramah direkam. Dari durasi yang panjang, kawan-kawan CNN mengemasnya menjadi singkat, tapi begitu tebal narasi kemanusiaan di sana-sini. Beberapa bagian penting dijahit, dan yang paling mengharu-biru, ketika Ramah begitu sedih mengingat perca demi perca kejadian kala itu.
Kawan-kawan CNN membikin video berdurasi 6.50 menit itu, begitu seadanya. Saya segera ingat ketika banjir bandang yang menerjang Sentani belum lama ini, beberapa jurnalis foto dan video dari Jakarta berdatangan. Mereka mulai menemui para korban dan mendramatisir fakta. Para korban diatur sedemikan rupa, agar hasil foto dan video menjadi tragis. Meski sebenarnya para korban saat itu sedang berusaha tegar dari tangis.
Meski belum berselang lama kejadian banjir bandang di Sentani, demonstrasi yang sengaja digeser oleh beberapa massa siluman menjadi konflik antarsipil ini, sebenarnya adalah dua kutub yang begitu cepat saling bertolak. Di Sentani kemarin, kita bisa melihat bagaimana sirnanya sekat antara OAP dan non-OAP. Mereka saling bantu. Namun secepat itu, amukan Robhongholo tak bersisa pemaknaan. Bertahun-tahun merakit kebersamaan, sekali diterjang gelombang, rusak sudah sekali jalan.
Belum lama ini, saya pergi menemui kerabat dari kampung, salah satu anggota Brimob yang ditugaskan di Jayapura. Ketika pulang dari Tanah Hitam, titik penjagaan mereka, saya memilih menggunakan jasa ojek di sekitar situ. Sekalian sepanjang jalan saya hendak bertanya-tanya, tentang suasana genting beberapa lalu di sekitar Tanah Hitam.
Pengendara ojek itu dari Bugis. Ia bercerita tentang malam ketika mereka berjaga-jaga.
"Ada informasi massa dari arah Abe Pantai sana mau serang kami," kisahnya.
"Tapi tidak ada serangan, kan?" tanya saya.
"Iya, semalaman tidak tidur, ternyata aman-aman saja. Tidak tahu dari mana informasi itu," katanya.
Dari mana informasi itu? Ia mengatakan dari mulut ke mulut. Bagaimana agar informasi seperti itu bisa cepat ditangkal? Selain dari pemberitaan media, bisa dari media sosial yang saat ini jaringan internet masih diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Ketika banjir bandang di Sentani, kita bisa menyaksikan bagaimana internet sangat membantu. Ada beberapa hoaks tentang runtuhnya beberapa jembatan, bisa sekilat terang oleh masyarakat sendiri di lokasi. Meski yang ini adalah duka bencana, sementara bara di Jayapura adalah amuk massa, internet hanyalah alat yang bergantung kepada penggunanya. Pisau bisa digunakan membunuh, tapi bisa juga digunakan untuk melindungi diri atau sekadar mengiris bawang. Seandainya hoaks tersebar ketika rusuh di Jayapura, maka masyarakat bisa terlibat untuk menangkalnya lewat media sosial. Bahkan mungkin, narasi seperti yang Ramah tuturkan, akan bermunculan satu demi satu.
Pengendara ojek ini mengaku lahir dan besar di Tanah Hitam. Baginya, rusuh seperti itu sudah pernah ia lewati beberapa dekade. Sedang pendatang yang baru satu dua tahun datang, ada yang memilih pulang.
"Selama di sini kami aman-aman saja dengan orang Papua. Saya tiga puluh tahun lebih di sini. Teman-teman ojek juga ada orang Papua. Jadi kalau orang baru datang, ya pasti ketakutan lihat macam kemarin," katanya.
Sesampai di lingkaran Abepura, saya dihubungi lagi oleh saudara Brimob. Ia akan menyusul dengan temannya, untuk mengajak saya makan. Ketika ia datang, baru kali itu ia berjalan-jalan di keramaian Abepura, yang juga dipenuhi Brimob di beberapa titik. Sehabis makan, kami masih berkeliling di pusar Abepura. Ia hendak melihat-lihat noken. Saya menunjuk puluhan noken yang dijajar mama-mama di depan ruko-ruko yang sebagian kacanya hancur, sisa amuk massa kemarin.
Ia sempat heran, karena mama-mama itu berderet di sepanjang trotoar dan bermandi debu jalanan. Tanda herannya yang kedua, adalah harga-harga noken akar anggrek yang mencapai lima jutaan. Saya menjelaskan pencarian bahan dan proses pembuatannya, sampai kenapa harganya begitu. Ketidaktahuan tentang suatu daerah, budayanya, kebiasaannya, terkadang membawa seseorang pada penilaian yang keliru. Saya hendak mengenalkan sedikit demi sedikit tentang Papua kepada saudara saya. Setidaknya ia bisa memiliki gambaran sedikit demi sedikit.
Tak jarang, ketidaktahuan seperti itu yang membawa petaka. Sama seperti yang terjadi di Deiyai baru-baru. Kasus berdarah yang menambah daftar pelanggaran Hak Asasi Manusia di negeri ini. Kala itu, massa aksi tengah mengadakan waita, salah satu tradisi penyemangat yang ditandai dengan orang-orang membentuk pusaran sembari berteriak-teriak. Aparat menganggap mereka akan memulai kericuhan. Salah satu mobil menabrak para pendemo. Pengemudinya seorang aparat. Massa marah dan terjadilah kericuhan. Kemudian, satu demi satu nyawa luruh oleh peluru.
Betapa ketidaktahuan itu adalah satu-satunya musuh yang harus dimusnahkan di tanah Papua ini. Saya ingat seorang kawan kos dari Jawa Timur. Ia seorang sarjana lulusan Universitas Surabaya, yang setelah berhenti dari pekerjaannya di salah satu diler mobil, memilih menjadi sopir rental mobil untuk mengisi waktu luangnya. Ia membaca buku saya, Kisah Hidup Tokoh-tokoh Papua. Di situ ada nama Jesua Nehemia Jikwa. Orang yang sering memakai jasanya.
"Kalau saya tahu dia, saya tidak akan meminta uang untuk jasa saya mengantarnya. Hanya sewanya saja. Saya baca kisahnya, sedih. Pernah ia lapar dan hanya membakar jambu," katanya, setelah tahu siapa tokoh itu dan kisah perjalanan hidupnya.
Dalam buku itu, ada pula ditulis ujaran kebencian yang mendera Jikwa selama Sekolah Menengah Pertama di Ujung Pandang. Ia ikut ayahnya yang melanjutkan sekolah di sana kala itu. Menjadi satu-satunya orang Papua di sekolah, ia kerap dipanggil 'monyet', 'kanibal', 'kamu makan orang', dan lain sebagainya. Pada akhirnya, orang yang sering mereka ejek itu sekarang menjadi salah satu tokoh yang dihormati dan dikagumi di Papua, di antara deretan nama Amelia Jigibalom, Benny Giay, Willem Rumsawir, Obed Komba, Marjono Murib, Helena Mantuan, Octovianus Mote, Uma Markus Kilungga, Noakh Nawipa, Herman Arom, Nicholas Jouwe, dan masih banyak panutan-panutan lainnya.
Sesungguhnya, orang-orang Papua yang hingga saat ini tetap menuntut hak penentuan nasib sendiri, telah belajar sejarah dengan sebaik-baiknya, dan sehormat-hormatnya.
Ketika mengetahui tentang Papua, maka Anda akan segera beranjak dari kubangan ketidaktahuan. Berjalan dari satu tanda heran ke tanda heran lainnya, hingga menemui seperti apa wajah kemanusiaan itu.
Terima kasih pencerahannya kak.
ReplyDelete-Grace-