Monday, April 27, 2020
Sembilan
Di matamu ada dua nisan terpancang: satu bertulis ibu, satu bertulis ayah. Masing-masing nisan hilang, setiap kali ada yang pulang. Lalu tumbuh lagi ketika ada yang pergi.
Monday, April 20, 2020
Bait-bait Yang Bicara
Kabut ialah tirai paling tipis yang dimiliki alam. Namun ia mampu menyembunyikan gunung.
Terang tak mengajarkan banyak hal. Tapi gelap menajamkan akal.
Memuliakan pagi tak melulu dengan kopi. Di luar sana ada embun yang tak perlu dibeli.
Sunday, April 12, 2020
Seandainya ...
Tepat di hari raya usia yang kebetulan seiring perayaan Paskah oleh kawan-kawan nasrani, saya terbangun dan menemukan berbagai bentuk ucapan. Saat membuka Instagram, WhatsApp, Facebook, dan Telegram, yang berserakan hanya kebahagiaan.
Saya seketika membayangkan, di tengah pandemi global ini, seandainya setiap orang yang positif Covid-19, mendapat ucapan serupa dengan narasi berbeda-beda yang terus menyemangati mereka? Mungkin, stigma kepada mereka akan pudar. Yang ada hanya kebahagiaan membedaki langit-langit kamar mereka atau ruang di mana mereka dirawat. Mereka yang masih bisa mengakses ponsel mungkin bisa membaca setiap dukungan kita. Mereka yang berventilator dengan mata yang masih terbuka, mungkin bisa ditunjukkan oleh perawatnya bahwa di luar sana ada banyak orang yang menyemangatinya.
Kemarin saya membaca berita yang menuliskan Ikatan Dokter Indonesia tak mempermasalahkan jika data pribadi para pasien dibuka. Beberapa hari sebelum berita ini saya baca, saya dan seorang kawan sempat berbincang tentang ini. Bisa jadi, stigma kepada mereka yang suspect, PDP, ODP, dan segala deret istilah yang dilekatkan pemerintah kepada mereka, berandil menciptakan stigma itu, atau ketika para pasien diubah menjadi angka. Saya dan kawan ini pun bersepakat, bahwa data pribadi mereka memang tak perlu disembunyikan.
Penolakan-penolakan terhadap jenazah yang meninggal akibat Covid-19, menyiratkan bahwa sebagian orang belum benar-benar memahami apa yang mereka hadapi. Ketika melihat video-video pemakaman, saya bersedih bukan karena tak ada orang atau keluarga yang hadir, tapi karena beberapa di antaranya dimakamkan di sudut tanah lapang, seolah-olah terkucilkan hingga mereka berpulang. Apa tidak sebaiknya pemerintah menganjurkan agar jenazah bisa dimakamkan di pemakaman umum atau pemakaman keluarga berdampingan dengan orang-orang yang mereka kasihi. Lahan khusus pemakaman jenazah Covid-19 mungkin bisa dipakai jika sehari atau sepekan jumlah kematian mencapai puluhan.
Beredar pula video ketika seorang perawat perempuan melangkah keluar dari tempat tinggalnya menuju mobil yang terparkir. Di punggung jaketnya tertulis: ambulance. Ia terkejut ketika tiba-tiba suasana menjadi riuh. Gelegar tepuk tangan dari tetangganya, mengiringi niatnya untuk bertugas di masa-masa wabah ini mengancam setiap yang bernyawa. Wajahnya seketika memerah. Ia menangis. Peran-peran kemanusiaan seperti ini layak menjalar dari setiap jemari kita.
Setiap akun media sosial adalah bayangan wajah kita dalam cermin. Kita bisa memindai kepribadian atau masalah seseorang hanya dari unggahan mereka. Di masa-masa sulit seperti ini, kita bisa membaca kawan-kawan kita yang harus mengemasi meja kerja mereka, bukan karena harus bekerja di rumah, tapi karena di-PHK perusahaan tempat ia bekerja. Sebagian orang mungkin bersedih ketika mata pencaharian hilang begitu saja, tapi jauh lebih dalam, ada orang-orang yang lebih bersedih sebab kantor itu adalah tempat ia bisa berkarya. Tempat ia selama berminggu-minggu menyiapkan apa saja dengan penuh semangat.
Sebelum pandemi ini terasa mengintai kita lebih dekat, saya dan seorang kawan di sela-sela pekerjaan, coba menyiapkan usulan-usulan liputan untuk media lain. Hampir sebulan kami menyiapkannya. Saya sampai melakukan detoks media sosial atau menon-aktifkan beberapa akun hampir sebulan, agar fokus dengan pekerjaan ini. Sebagai jurnalis lepas, beginilah cara kami menyiasati agar saku kami tak melulu kosong. Tapi ketika pandemi ini tiba, semuanya tertunda. Beruntung ada saja kawan yang rela membagi pekerjaan mereka untuk kami kerjakan dan diupah.
Bukan hanya pedagang kaki lima, mama-mama penjual pinang dan penganan lokal, warung-warung makan, atau kedai-kedai kopi yang merasakan dampak buruk dari pandemi ini. Segala jenis usaha diliputi awan kelabu. Setiap orang mengecek isi dompetnya, rekeningnya, atau bahkan terpaksa membanting celengan mereka.
Setiap yang agamais juga diajak menepi. Barangkali, Tuhan memang ingin kita merenung, bahwa riuh doa di rumah-rumah ibadah kita yang berkilauan, atau di tanah lapang yang disesaki ribuan umat, tak sebanding ketika kita bersunyi-sunyi dengan-Nya dalam doa dan ibadah.
Seandainya kita bisa selamat dari pandemi ini, kita perlu sadar bahwa kita tak bisa hidup tanpa saling mendukung satu sama lain dalam kemanusiaan. Hal yang sebenarnya telah berkali-kali diajarkan orang-orang Papua kepada kita.
Friday, April 10, 2020
Bocah
Apa yang kau inginkan jika di hari ulang tahunmu, kau diberi satu permintaan keajaiban?
Aku ingin kembali menjadi bocah dan tak pernah tumbuh dewasa.
Usia yang paling aku impikan adalah ketika menjadi balita. Mungkin empat tahun. Karena ketika lima tahun, aku sudah mulai berseragam dan dipaksa bangun lalu mandi pagi. Pergi ke sekolah dasar tanpa melewati masa taman kanak-kanak, karena di usia lima aku sudah bisa membaca dan berhitung.
Kanak-kanak adalah masa keajaiban yang terampas saat kita perlahan-lahan tumbuh. Masa yang belum memikirkan tentang cinta, segala keributan orang-orang dewasa, atau keharusan untuk pergi bersekolah. Kita hanya hidup dalam dunia bermain.
Sesekali aku mencuri dengar kakak-kakak perempuanku berkisah tentang cinta monyet mereka di sekolah, sambil aku sibuk menghabiskan permen. Aku tak terganggu dengan kisah mereka, sebab yang ada di kepalaku hanya: apa yang harus kumakan setelah permen ini habis?
Aku termasuk anak yang dimanjakan karena bungsu dari banyak kakak. Mereka akan bergantian mencubit pipiku, memangkuku, atau membawaku pergi ke tempat-tempat baru yang belum pernah kujangkau. Tentu saja, ketika mereka memiliki sisa jajan sekolah, aku kerap diberi jatah meski tak pernah meminta. Pemilik warung-warung akan selalu tersenyum kepadaku, ketika kakakku membawaku berbelanja apa yang aku suka.
Nenek dari sebelah ibuku yang tinggal di rumah kami adalah idolaku. Nenek sering menyelipkan uang pemberian kerabat di gulungan sarungnya. Ia tak pandai berbelanja dan membagi uangnya kepada kami cucu-cucunya. Jika nilai uangku banyak, kadang kakak-kakakku kerap menipuku. Mereka akan berbelanja makanan ringan atau kue, lalu uang kembalian berlembar-lembar atau koin yang lebih banyak meski nilainya sedikit, akan mereka kembalikan kepadaku.
"Ini, uangnya jadi banyak, kan?"
Aku senang dan tidak merasa tertipu. Betapa menyenangkan menjadi anak-anak, bukan? Seandainya aku tumbuh dewasa dan menjadi seperti mereka, rasa-rasanya aku akan berbuat hal serupa.
Tapi kakak-kakakku kerap mengalah jika menyoal makanan. Bagi mereka, mulut mungil dan usus pendekku tentu membuatku lebih dulu kenyang. Sisa-sisa kue atau buah yang tak habis aku makan, selalu menjadi rebutan mereka. Aku kadang memutuskan kepada siapa sisa makanan kuberikan.
Semua hal di atas, tentu tak akan terulang lagi. Fisik kita terus bertumbuh, lalu berhenti ketika dewasa. Selanjutnya yang menjalar adalah pikiran dan hati. Kita mulai dikenalkan dengan cinta, sampai akhirnya menikah, lalu memiliki anak. Terasa aneh saat kita masih mengingat kenangan masa kanak-kanak, lantas melihat masa-masa itu dalam wujud berbeda dan kali ini ialah anak kita.
Mengenai percintaan, aku memiliki seorang kerabat laki-laki yang meski ia jauh lebih muda dariku, kami sering berbincang tentang dunia cinta. Aku kagum kepadanya, meski pernah sekali aku menyelamatkan kisah cintanya yang nyaris berakhir. Sampai suatu hari, kami tiba pada percakapan yang aku anggap puncak dari segala riuh sebuah hubungan.
"Kau tahu, kenapa banyak kawan-kawanku iri kepadaku?" katanya.
"Soal pacaran?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Mereka merasa iri, karena sedahsyat apa pun masalahnya, sampai aku ketahuan dengan cewek lain, pacarku tetap memilih bersamaku."
Aku kemudian ingat dengan beberapa film yang pernah aku tonton. Aku memaknainya bahwa sebuah hubungan yang berkali-kali diterpa badai namun bertahan olehnya, kelak hubungan itu akan sekokoh gunung. Bahkan ketika gunung menghancurkan dirinya sendiri, ia masih bisa disebut sebuah gunung.
"Seperti itu. Aku pikir, ketika masalah-masalah ini telah kami lalui, masalah berikutnya yang akan kami temui ketika menikah, hanya akan menjadi receh. Karena semua yang terberat sekalipun, berhasil kami lewati," katanya.
Itulah yang membuat aku kagum kepadanya. Ada banyak pasangan di luar sana, bahkan hidup bersama selama bertahun-tahun, baru mereka memutuskan untuk menikah. Mereka melewati dulu segala badai bersama, karena pernikahan bagi mereka begitu sakral untuk diakhiri dengan sebuah perpisahan.
Aku ingin kembali menjadi bocah dan tak pernah tumbuh dewasa.
Usia yang paling aku impikan adalah ketika menjadi balita. Mungkin empat tahun. Karena ketika lima tahun, aku sudah mulai berseragam dan dipaksa bangun lalu mandi pagi. Pergi ke sekolah dasar tanpa melewati masa taman kanak-kanak, karena di usia lima aku sudah bisa membaca dan berhitung.
Kanak-kanak adalah masa keajaiban yang terampas saat kita perlahan-lahan tumbuh. Masa yang belum memikirkan tentang cinta, segala keributan orang-orang dewasa, atau keharusan untuk pergi bersekolah. Kita hanya hidup dalam dunia bermain.
Sesekali aku mencuri dengar kakak-kakak perempuanku berkisah tentang cinta monyet mereka di sekolah, sambil aku sibuk menghabiskan permen. Aku tak terganggu dengan kisah mereka, sebab yang ada di kepalaku hanya: apa yang harus kumakan setelah permen ini habis?
Aku termasuk anak yang dimanjakan karena bungsu dari banyak kakak. Mereka akan bergantian mencubit pipiku, memangkuku, atau membawaku pergi ke tempat-tempat baru yang belum pernah kujangkau. Tentu saja, ketika mereka memiliki sisa jajan sekolah, aku kerap diberi jatah meski tak pernah meminta. Pemilik warung-warung akan selalu tersenyum kepadaku, ketika kakakku membawaku berbelanja apa yang aku suka.
Nenek dari sebelah ibuku yang tinggal di rumah kami adalah idolaku. Nenek sering menyelipkan uang pemberian kerabat di gulungan sarungnya. Ia tak pandai berbelanja dan membagi uangnya kepada kami cucu-cucunya. Jika nilai uangku banyak, kadang kakak-kakakku kerap menipuku. Mereka akan berbelanja makanan ringan atau kue, lalu uang kembalian berlembar-lembar atau koin yang lebih banyak meski nilainya sedikit, akan mereka kembalikan kepadaku.
"Ini, uangnya jadi banyak, kan?"
Aku senang dan tidak merasa tertipu. Betapa menyenangkan menjadi anak-anak, bukan? Seandainya aku tumbuh dewasa dan menjadi seperti mereka, rasa-rasanya aku akan berbuat hal serupa.
Tapi kakak-kakakku kerap mengalah jika menyoal makanan. Bagi mereka, mulut mungil dan usus pendekku tentu membuatku lebih dulu kenyang. Sisa-sisa kue atau buah yang tak habis aku makan, selalu menjadi rebutan mereka. Aku kadang memutuskan kepada siapa sisa makanan kuberikan.
Semua hal di atas, tentu tak akan terulang lagi. Fisik kita terus bertumbuh, lalu berhenti ketika dewasa. Selanjutnya yang menjalar adalah pikiran dan hati. Kita mulai dikenalkan dengan cinta, sampai akhirnya menikah, lalu memiliki anak. Terasa aneh saat kita masih mengingat kenangan masa kanak-kanak, lantas melihat masa-masa itu dalam wujud berbeda dan kali ini ialah anak kita.
Mengenai percintaan, aku memiliki seorang kerabat laki-laki yang meski ia jauh lebih muda dariku, kami sering berbincang tentang dunia cinta. Aku kagum kepadanya, meski pernah sekali aku menyelamatkan kisah cintanya yang nyaris berakhir. Sampai suatu hari, kami tiba pada percakapan yang aku anggap puncak dari segala riuh sebuah hubungan.
"Kau tahu, kenapa banyak kawan-kawanku iri kepadaku?" katanya.
"Soal pacaran?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Mereka merasa iri, karena sedahsyat apa pun masalahnya, sampai aku ketahuan dengan cewek lain, pacarku tetap memilih bersamaku."
Aku kemudian ingat dengan beberapa film yang pernah aku tonton. Aku memaknainya bahwa sebuah hubungan yang berkali-kali diterpa badai namun bertahan olehnya, kelak hubungan itu akan sekokoh gunung. Bahkan ketika gunung menghancurkan dirinya sendiri, ia masih bisa disebut sebuah gunung.
"Seperti itu. Aku pikir, ketika masalah-masalah ini telah kami lalui, masalah berikutnya yang akan kami temui ketika menikah, hanya akan menjadi receh. Karena semua yang terberat sekalipun, berhasil kami lewati," katanya.
Itulah yang membuat aku kagum kepadanya. Ada banyak pasangan di luar sana, bahkan hidup bersama selama bertahun-tahun, baru mereka memutuskan untuk menikah. Mereka melewati dulu segala badai bersama, karena pernikahan bagi mereka begitu sakral untuk diakhiri dengan sebuah perpisahan.
Pacarmu adalah kawan terbaikmu. Nietzsche bersabda, "It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages."
Dua Pusara
Di matamu ada dua pusara terpancang: satu bertulis ibu, satu bertulis ayah. Masing-masing pusara hilang, setiap kali ada yang pulang. Lalu tumbuh lagi ketika ada yang pergi.
Thursday, April 2, 2020
Peludah Langit
Mungkin benar kata beberapa kawan, ada rasa senang ketika melihat satu demi satu penyembah rezim ini, jadi berguguran rasa percaya mereka ketika kasus pandemi Covid-19. Bagaimana saat pandemi dipolitisasi macam pilpres. Sentimen politik di sana-sini. BuzzeRp yang menebar rumor bahwa "lockdown" adalah siasat untuk menggulingkan pemerintahan, jika ekonomi kian terpuruk.
Sebagian media menyediakan panggung pula, kepada tokoh-tokoh yang mempercayakan kekebalan tubuh orang-orang bisa menangkal Covid-19. Mungkin maksud mereka kebebalan mulut. Sebab jika mempercayakan imun tubuh seseorang tanpa ada upaya pemerintah untuk mencegah, sama saja membuka arena tanding buat kita dan virus tersebut.
Belum lagi berbagai macam lelucon dari mulut-mulut yang nasib kita dipercayakan kepada mereka. Sapiens macam apa yang nyawanya dijadikan guyonan, tapi tetap memuja para peludah langit ini? Segelintir penyembah yang tetap percaya ini, telah bermuka-muka dengan fakta sedemikian terang. Namun mereka menyanggah, inilah contoh kaum bebal yang nyata-nyata menjadi budak politikus.
Tak akan berubah nasib suatu kaum, jika kaum itu mempercayakan hidupnya kepada orang-orang yang, sebenarnya tidak peduli dengan nasib mereka. Jelas sudah, akhirnya pandemi Covid-19 membersihkan mata kita dari lumut-lumut, yang selama ini sengaja dipelihara dan dipupuk oligarki. Terparah, ialah bidang kesehatan kita yang ternyata selama ini lemah.
Di saat-saat seperti ini, rasa-rasanya mereka yang paling berbahagia adalah orang-orang di pedalaman. Mereka yang tak menonton televisi, tak membaca berita atau mengakses internet, dan hidup mereka berjalan seperti tak pernah terjadi apa-apa. Mereka inilah yang kerap disebut orang-orang kota: primitif.
Ada yang mengancam hidup mereka di pedalaman, tapi bukan pandemi. Melainkan virus oligarki yang sedang kalian puja selama ini. Dan sudah sebagian dari orang-orang pedalaman ini, telah merasakan bagaimana keserakahan menelan nyawa-nyawa mereka.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)