Bau rusa berkejar-kejaran dengan embun di lindap subuh jalanan yang menghutan. Di kaki Gunung Ambang, masih banyakkah rusa-rusa yang bertahan dengan gempuran perkebunan? Namun sesekali bau itu berubah dari liar menjadi seperti uap air rebusan daging di atas kuali seorang petani. Sepasang pengendara sepeda motor terus menyanyah sepanjang jalan dengan sebotol anggur merah di genggaman. "Barangkali itu bau hantu!"
Rumah-rumah dan jalanan sepi sebab orang-orang lebih memilih berselimut mimpi, tinimbang menyusuri pagi. Dua orang berkepala pengar dan berjaket Bandung itu, terus membelah subuh dengan wajah yang mulai menebal. Tepian jalanan kembali bersulih menjadi perkebunan dengan pondok-pondok tak bermata lampu. Di simpang tiga Danau Mooat, salju seperti turun menggantikan embun.
Bintang-bintang berjatuhan ketika pelukan bertambah erat, lalu sebuah persinggahan menyatukan mimpi keduanya. Hijau dan kuning melebur menjadi satu membentuk warna semesta yang berjanji tak akan pernah memudar. Mungkin, hantu-hantu penunggu bahkan iri melihat mereka. "Perjalanan ini jadi salah satu kenangan yang membuatku tak keberatan lagi dengan maut."
Di punggung bukit yang menghadap danau, berdiri pondok tak berpenghuni. Seonggok televisi rusak tersudut sepi di dalamnya. Dari lantai dua pondok, pastinya matahari terbit di pundak bukit tepat di atas danau, akan tersambut lebih sempurna. Tetapi terang masih terlalu lama datang. Mereka berdua menunda untuk berkata, "Satu-satunya ciptaan Tuhan yang paling adil ialah matahari."
Sunday, May 23, 2021
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment