Tuesday, October 22, 2024
Hambur Sapi
"If you tell a big enough lie and tell it frequently enough, it will be believed."
Kalimat itu dikutip dari Walter Langer, seorang psikoanalis kelahiran Boston Selatan, Amerika Serikat, dari ayah dan ibu imigran Jerman. Ia pernah menganalisis karakter atau mental Hitler, dan membukukannya. Arti dari kalimat itu kurang lebih seperti ini, "Jika Anda berbohong cukup besar dan cukup sering, kebohongan tersebut akan dipercaya."
Pernyataan itu menggambarkan tentang illusory truth effect atau efek kebenaran ilusi. Ini adalah sebuah fenomena seperti kebohongan yang diucapkan berkali-kali kepada seseorang, kemudian orang tersebut pada akhirnya percaya bahwa itu sebuah kebenaran.
Seperti di hari-hari ini, kita kembali menemui janji-janji kampanye jelang Pilkada Serentak 2024. Orang Papua punya istilah sendiri untuk orang yang suka menebar janji: hambur madu. Tentu saja, saat kampanye berbagai program disampaikan para paslon. Hambur madu di sana sini, hampir di setiap panggung. Bahkan sampai di panggung-panggung yang tidak semestinya.
Salah satu program yang riuh di kampanye Pilkada Bolmong, keluar dari moncong pasangan Limi Mokodompit dan Welty Komaling. Mereka berdua diusung oleh partai berlambang banteng, PDIP. Dan programnya tidak main-main, paslon ini berjanji akan memberikan satu ekor sapi bagi satu kepala keluarga (KK) di Bolmong, jika terpilih nanti sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bolmong. Hambur sapi!
Apakah janji itu [berpotensi menjadi] sebuah kebohongan?
Mari kita kuliti mulai dari kepala. Pertama, jika satu ekor sapi ini untuk satu KK, maka jumlah KK di Bolmong ada 85.673 sesuai informasi yang diakses dari Satudata Bolmong milik Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Untuk harga bibit sapi dari berbagai jenis dan variasi ukuran, yang paling standar berada di kisaran Rp10 juta ke atas. Kita pakai patokan harga Rp10 juta saja. Jika 10 juta dikalikan jumlah KK 85.673, maka hasilnya mencapai Rp856.730.000.000 miliar.
APBD 2024 yang telah disetujui DPRD dan Pemkab Bolmong sebesar Rp1.094.397.401.079. Bandingkan dengan anggaran Rp856.730.000.000 miliar untuk program sapi yang dijanjikan paslon tersebut. Bahkan jika dikurangi setengah pun dengan mematok harga satu ekor sapi Rp5 juta, angka Rp400 miliar ini masih terbilang besar untuk menangani satu program saja. Apalagi anggaran tersebut baru pengadaannya, belum pada pendampingan, pengembangbiakan, penanganan penyakit dan lain sebagainya. Kalau untuk membeli royco atau masako rasa sapi, satu miliar saja mungkin sudah bisa mendapat stok tahunan setiap KK. Mar ini satu ekor sapi. Keode!
Kedua, tidak semua masyarakat berbakat menjadi peternak sapi. Bakat yang saya maksud di sini, sebagian besar masyarakat Bolmong terdiri dari petani dan nelayan. Apakah mereka ini juga disasar oleh program sapi tersebut, sebab hitungannya setiap KK? Jika dalam satu dusun ada satu kelompok tani yang diberikan bantuan sejumlah bibit sapi, dan bantuannya bagi wilayah yang ideal untuk peternakan sapi, mungkin masih masuk akal. Kemudian untuk sektor lain, ada program-program tertentu juga sesuai jenis usaha.
Tidak mungkin kan, nelayan diberi bantuan ternak sapi? Kalau alasannya bisa buat usaha sampingan, eh, hele mopiara ayam atau bebek satu ekor laste di blanga ngoni rampa, apalagi ini sapi? Kalau mau dipotong buat dijual dan dijadikan modal, lalu apa guna program yang katanya buat menggenjot produksi ternak sapi di Bolmong?
Ketiga, program tersebut kerap disandingkan dengan program-program terkait sapi di beberapa daerah yang diklaim sukses. Misal, program SMS PISAN (Sapi Manak Setahun Sepisan) di Banyuwangi? Padahal, program Pemkab Banyuwangi itu untuk penanganan gangguan reproduksi. Tujuannya agar sapi dapat bereproduksi secara maksimal lalu produktivitasnya meningkat.
Dinas Pertanian dan Pangan setempat mendampingi para peternak, yang reproduksi sapi milik mereka bermasalah. Sapi-sapi ini diberi hormon, mineral, dan obat-obatan yang dirancang untuk mendukung kesehatan reproduksi sapi indukan. Selain itu, ada program inseminasi buatan atau kawin suntik pada sapi. Ini juga membantu peternak mengembangbiakkan sapi dengan cepat. Sejumlah program ini memang ada yang berhasil, tapi ada juga yang gagal.
Tapi apakah suksesnya program itu pantas disamakan dengan rencana pemberian satu ekor sapi untuk satu KK? Yang satu adalah bantuan yang dikhususkan bagi para peternak sapi, pendampingan, dan penanganan masalah reproduksi, sedangkan satunya lagi adalah janji pengadaan satu ekor sapi untuk setiap KK, yang bahkan angka anggarannya hampir menyentuh total APBD 2024.
Pada ekornya, janji ini dinilai sangat tidak rasional. Janji kampanye ini berpotensi menjadi sebuah kebohongan. Bahkan meski sudah dirinci anggarannya dan memang sangat tidak masuk akal, serta masih dalam bentuk sebuah janji, hambur sapi ini tetap dipercayai sebagian orang karena berulang kali disampaikan.
Orang-orang yang telah mengetahui sebuah kebohongan, atau tahu bahwa hal itu berpotensi menjadi sebuah kebohongan tapi mengabaikannya, mungkin adalah orang-orang yang memang sengaja diternak oleh penguasa untuk dikendalikan dengan tali moncong.
Sunday, June 25, 2023
Emosi
Sejauh mana samudra kauarungi? Pulang membawamu pada puncak sebuah bukit. Di sana ada tangan siap memijat punggungmu, tempat di mana sebuah jangkar pernah tertancap, dan menahanmu di lautan bertahun-tahun.
Di kabut pagi, hening kerap membawa ketukan di jendelaku. Senyummu kemudian tergaris di antara cahaya malam. Ada angin yang merayap di sekujur tubuhku ketika melihatmu siap-siap memanjat takdir yang aku pun tak pernah menyangkanya hadir.
Namun selalu ada tingkahmu yang membuatku bertanya-tanya: seperti apa dirimu? Kau bisa menjadi serigala bertaring penuh darah, tetapi bisa sekejap berubah menjadi seekor kucing lucu dengan kibasan ekormu mengelus punggung lenganku.
Di saat semua membara, kita bisa saling mengutuk dan mengancam. Lalu candamu serupa bongkahan es yang diletakkan di ubun-ubunku. Dan amarah seketika memudar menjadi tawa. Kau selalu berhasil mencuri angkuhku, lalu melemparkannya jauh-jauh.
Aku kadang mengumpati pekerjaanmu karena kerap memeras keringatmu. Namun aku kadang kagum pula dengan kegigihanmu akan hari esok yang lebih cerah. Kau selalu menepis mendung hadir di atas kepalamu, dan melawannya berkali-kali dengan jas hujan murahmu.
Cinta memang aneh. Meski ia hanya bertepuk sebelah tangan, tetapi ia selalu menghadiahiku rasa cukup. Iya, cukup dengan mencintamu aku benar-benar tahu, bahwa Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan aku.
Tuesday, April 25, 2023
Rindu
Di lebaran hari ketiga, ketika hendak makan sore, entah kenapa aku tiba-tiba rindu mendiang ibu. Tirai kamarnya kusingkap, dan hanya ada kesunyian tertangkap. Sore hari, ibu memang terbiasa memanggil untuk memutar posisi badannya. Tapi kali ini, suara itu tak terdengar.
Sejak kepergian ibu hampir seratus hari lebih lamanya, aku tak menulis obituari atau kisah panjang tentangnya. Hanya sepenggal cerita yang kubawa ketika mengunjungi Jogja baru-baru, yang kutulis karena ada sosok ibu kutemui di pameran lukisan.
Blogku ini sudah berdebu. Tak ada tulisan-tulisan lagi lahir di sini. Selain itu, aku tak tahu harus menulis apa tentang ibu. Selama tiga tahun bersamanya di rumah di kampung, sudah cukup mengalahkan ribuan kisah di buku-buku.
Terkadang, kita juga akan sampai pada titik, jenuh dengan media sosial, jarang mengunggah apa-apa, bahkan buku-buku bacaan pun terlantar. Waktuku kini lebih banyak berkutat dengan pekerjaan, menonton film, atau bermain game daring.
Orang-orang yang menjadi ruh tulisanku pun, satu demi satu pergi dan menjauh. Jalan buntu kerap kali kutemui ketika muncul keinginan untuk menulis lagi di blog. Seperti apa yang selama ini aku pelajari dari menulis, sirna seketika.
Kini, tinggal berita-berita kaku yang berulang-ulang aku hadapi setiap hari. Turun liputan pun jarang, karena aku sedang berada di kampung. Rasa-rasanya, insting menulis bahkan ide-ide liar seperti hilang dari gelembung-gelembung pikir.
Ketika selesai salat Id kemarin, aku langsung mengunjungi makan ibu dan bapak yang berdampingan. Makam ibu paling baru di antara makam-makam lainnya. Aku tercenung sejenak, dan merasakan angin pagi serupa jarum-jarum es menusuk. Doa kupanjatkan.
Ah, ibu, maaf jika masih ada salah dan keinginan ibu yang belum kupenuhi.
Al-Fatihah ...
Tuesday, October 18, 2022
Selamat Jalan Eca'
Medio dua ribu sebelasan, saya pernah terlibat dalam kepanitiaan event festival musik di Kotamobagu. Seingat saya, festival musik itu sekalender bulan dengan Pemilihan Putra dan Putri Kota Kotamobagu (P3KK).
Panitia P3KK sempat kewalahan, sebab peserta yang ikut cukup banyak. Karena sesama panitia festival musik dan P3KK beririsan circle pertemanan, maka beberapa panitia festival diperbantukan di kegiatan P3KK.
Para panitia dan peserta P3KK sempat dikarantina di salah satu hotel yang terbilang baru dan mungil di depan Lapangan Sinindian. Hotel ini mirip homestay, dan kamar-kamarnya melingkar saling berhadapan.
Reza Mamonto adalah salah satu panitia P3KK. Ketika itu, di kamar panitia, saya menyetel lagu Vindicated dari Dashboard Confessional. Genre musik yang ia sukai hampir mirip dengan saya. Karena itu, kami lekas akrab.
Seiring waktu, Eca'--nama kecilnya--kerap berjumpa di Gapura, Kelurahan Kotobangon. Rumahnya memang tak jauh dari sana.
Namun, kesibukan kami mulai menjauhkan lingkar sua. Saya menjadi jurnalis, dan ia lulus menjadi ASN. Setelah bertugas di Bolaang Mongondow Timur (Boltim), ia kembali melanjutkan studinya di Makassar. Di sana kami beberapa kali berjumpa.
Eca' termasuk salah satu kawan yang gemar vakansi. Ia telah mengelilingi sejumlah negara di Asia Tenggara.
"Lebih baik tidak usah ikut agen travel, jalan sendiri. Saya bahkan pernah bawa abon ikan sama mi instan sewaktu jalan-jalan," katanya, ketika kami berjumpa di Makassar beberapa tahun lalu.
Sewaktu saya pulang dari Papua dua tahun yang lalu, Eca' telah menyelesaikan studinya di Makassar. Kami sempat berjumpa di Kotamobagu dengan beberapa kawan lainnya di sebuah kafe. Ia mengabarkan, bahwa tak lama lagi ia akan menikah. Kami ikut gembira.
Belum lama ini ia menikah, mungkin sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Ia sempat mengirimi undangan tetapi karena bersamaan dengan jam kerja, saya akhirnya tidak bisa menghadirinya.
Kemudian, kabar itu datang. Tadi malam, seorang kawan ASN pula di Boltim, tiba-tiba menanyai saya.
"Reza sudah meninggal?"
"Hah!? Reza siapa?"
Lalu ia menyusulnya dengan kiriman foto Eca'.
"Astaga! Eca'?"
Saya segera beralih ke Instagram untuk memastikannya. Sebab di sana lebih banyak kawan-kawan yang mengenal Eca'. Benar sudah, beberapa kawan sudah berbelasungkawa.
Ah, Eca' ... akhirnya waktumu tiba sudah. Perjalananmu usai, setelah jutaan kali jejakmu tercetak di tanah-tanah asing yang kerap kau kunjungi.
Selamat jalan Ca' ...
Wednesday, September 28, 2022
Ubasute
Ubasute. Legenda ini mungkin sudah pernah kalian bacai di buku, website, atau unggahan di media sosial. Ini adalah folklor atau cerita rakyat Jepang, mengenai tradisi membuang anggota keluarga yang telah renta ke gunung. Ubasute berarti: pembuangan.
Paragraf pengantar di atas, sudah cukup mendidihkan darah kita. Apalagi jika membaca novel Narayama Bushikō (The Ballad of Narayama) karya Shichirō Fukazawa. Pada 1958, Keisuke Kinoshita mengangkat kisah itu di film layar lebar.
Selanjutnya pada 1983, Shōhei Imamura juga ikut mengangkat kisah itu ke film layar lebar dan berhasil menang di Festival Film Cannes, dengan meraih penghargaan Golden Palm. Saya pernah menonton versi Imamura ini. Jika versi ini diceritakan, akan ada penyerapan berbeda dari masing-masing penonton dan pembaca tentang Ubasute.
Ada beberapa versi mengenai legenda Ubasute. Namun menurutku, sepotong versi "patahan ranting" ini yang paling menyayat:
Seorang anak laki-laki menggendong ibunya yang telah senja usianya, hendak dibawa ke gunung. Ia bermaksud meninggalkan ibunya di sana, dengan alasan untuk mengurangi beban hidup dan jatah mulut atau makan sehari-hari. Ini sudah tradisi dan setiap keluarga melakukannya. Tempat pembuangan yang akan dituju disebut Ubasuteyama yang berarti gunung tempat pembuangan.
Sepanjang perjalanan, tanpa disadari anak laki-laki itu, ibunya kerap mematahkan ranting lalu menjatuhkannya ke tanah yang telah mereka pijaki. Sesampainya di gunung, anak laki-laki itu menyandarkan ibunya di sebuah batu.
Ibunya kemudian berkata, "Nak, perhatikan ranting-ranting itu agar kau tidak tersesat ketika kembali ke desa."
Ucapan dari ibunya itu, hanyalah sepatah ranting perhatian dari sekian banyak perhatian yang telah ditabur seorang ibu sejak anak itu masih bayi. Mendengar apa yang dikatakan ibunya, anak laki-laki itu segera memeluk, lalu kembali menggendong ibunya untuk dibawa pulang.
Bayangkan jika orangtuamu yang telah rengsa dibiarkan di tengah hutan, sampai menemui ajalnya dengan cara kelaparan, kedinginan, atau bahkan disantap binatang buas dan dikelilingi burung gagak?
Meski hanya legenda, namun kisah serupa Ubasute kerap terjadi di sekitar kita dalam wujud yang lain. Masih ada anak-anak yang menelantarkan orangtua dan enggan menguras tenaganya yang, bahkan jika itu segunung pun, tak akan pernah sebanding dengan apa yang telah orangtua ikhlaskan untuk anak-anaknya sepanjang usia mereka.
Saturday, September 3, 2022
Sunat perempuan di Gorontalo, bersimpang tradisi dan risiko
Usianya baru 11 bulan. Rambutnya tampak jarang, belum subur benar. Sepasang anting emas mungil menggantung di kedua cuping telinganya.
Namanya Mikhayla Al Mahirah Az Zahra alias Khayla, anak perempuan pasangan Nirun Helingo (48) dan Lily Tulen (37), warga Kelurahan Tapa, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
Sabtu (9/9/2017), rumah pasangan Nirun dan Lily tampak ramai. Sebuah panggung lengkap dengan hiasan bak pelaminan berdiri di bagian depan rumah mereka.
Keluarga itu sedang menggelar hajatan untuk Khayla. Hajatan termaksud adalah Mopolihu lo Limu dan Molubingo (sering ditulis Mongubingo), rangkaian tradisi khas Gorontalo yang dilakukan sebelum anak perempuan menginjak usia dua tahun.
"Mopolihu lo Limu itu mandi air ramuan limau purut, orang sini biasa bilang mandi lemon. Untuk khitanan, biasa disebut cubi kodo (mencubit vagina), atau istilahnya Molubingo," kata ibu Khayla, Lily, perihal seremoni adat yang bakal dijalani anaknya.
Rangkaian seremoni dipimpin seorang bidan kampung atau dalam Bahasa Gorontalo disebut Hulango.
Selama proses Mopolihu lo Limu, Khayla kerap tersenyum seolah menikmati tiap guyuran air ramuan dari Hulango. Lepas itu, Khayla didandani mengenakan pakaian adat Gorontalo guna mengikuti seremoni lanjutan, sekaligus jadi tontonan famili dan undangan.
Boleh jadi karena lelah, Khayla tertidur sebelum upacara Molubingo terlaksana. Tangisnya baru terdengar kala dibangunkan Lily jelang Molubingo.
Sambil menenangkan Khayla, Lily menggendong dan membawa anaknya itu masuk ke sebuah bilik di rumah mereka. Sang Hulango menyusul di belakang keduanya.
Di dalam kamar, Khayla dibaringkan di pangkuan Lily. Di hadapan mereka, Hulango duduk sambil menyanyikan senandung penenang bayi kepada Khayla yang belum berhenti menangis. Pun, di antara jari Hulango telah terselip satu pisau kecil seukuran pinset.
Tak berapa lama, seorang perempuan datang membawa kain tudung berwarna putih, yang langsung dipakai menutupi Hulango, Khayla, dan Lily. Momen berbungkus tudung berlangsung lekas, tak sampai hitungan menit.
Ritual Molubingo selesai ketika Hulango menyingkap tudung. Sejumlah famili yang ada di dalam kamar menyambutnya dengan seru riang, beberapa yang lain mengucap hamdalah.
Tiada yang tahu persis kejadian di dalam tudung selain Lily dan Hulango. Sedang Khayla hanya punya kesadaran terbatas. Saat seremoni tersebut berlangsung, Khayla hanya sempat menjulurkan tangan keluar tudung, jari-jarinya menegang, dan suara tangisnya meninggi.
"Sebenarnya, saya juga khawatir, tapi tidak sampai dilukai. Hanya diambil sedikit selaput di klitoris," kata Lily, lepas upacara Molubingo. "Ini juga sudah bagian dari adat istiadat Gorontalo yang harus dilaksanakan."
Lily mengaku, momen ini merupakan upacara Molubingo kedua baginya sebagai seorang ibu. Sekitar sepuluh tahun silam, ia pernah melaksanakan seremoni serupa untuk kakak Khayla--kini duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ia mengklaim, dalam dua seremoni itu tiada masalah serius terjadi.
Merujuk data Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), hampir separuh anak perempuan Indonesia pernah melewati praktik sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasi FGM sebagai, "Seluruh prosedur penghilangan bagian genital perempuan baik secara keseluruhan atau sebagian pada bagian luar kelamin, atau melukai organ kelamin perempuan untuk alasan non medis."
Secara umum, ada dua model sunat perempuan di Indonesia. Pertama, model simbolis, yang sekadar menyentuh atau mengorek bagian genital--tanpa melukai. Kedua, model mutilasi sebagian atau seluruh organ genital dengan menggunakan benda tajam--bisa pula sekadar melukai dengan jarum.
Lewat kacamata di muka, tradisi Molubingo di Gorontalo bisa masuk kategori FGM. Pun, Riset Kesehatan Dasar (2013) menempatkan Gorontalo sebagai provinsi dengan tingkat FGM tertinggi di Indonesia. Riset yang diselenggarakan PBB itu menemukan 83,7 persen anak perempuan (0-11 tahun) di Gorontalo telah melewati praktik FGM.
Praktik FGM, menurut UNICEF, merupakan pelanggaran terhadap hak anak serta menyalahi pelbagai perjanjian internasional--termasuk Konvensi Hak-hak Anak. Praktik ini juga berbahaya karena bisa menyebabkan pendarahan, infeksi, cacat, gangguan saluran kencing, hingga masalah seksualitas.
Pada 2006, Kementerian Kesehatan melarang petugas kesehatan melakukan sunat perempuan. Namun, ikhtiar tersebut bersemuka penentangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan dalil sunat perempuan bertujuan makrumah (baca: memuliakan perempuan).
Pemerintah pun melunak. Sunat perempuan kembali diizinkan dengan batasan tertentu, yang termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/2010.
Belakangan, aturan itu dicabut lewat terbitnya Permenkes Nomor 6/2014, yang menegaskan sunat perempuan bukan tindakan kedokteran. Permenkes anyar itu juga memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara'k untuk membuat pedoman sunat perempuan yang aman.
Adapun Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Gorontalo, dr. Nur Albar (57), mengakui pihaknya tak melarang praktik sunat anak perempuan di Gorontalo.
"Itu ranah lembaga adat. Dinas kesehatan tidak turut campur, apalagi melarang," kata Nur, saat bertemu Beritagar.id di Kantor Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Gorontalo, Selasa (12/9/2017).
Nur beralasan, sejauh ini belum ada riset mendalam tentang metode sunat anak perempuan di Gorontalo. "Apakah itu melukai atau hanya mengusap. Sejauh ini, yang diketahui hanya menghilangkan selaput tipis pada klitoris di vagina," katanya. "Juga belum ada kasus pendarahan serius yang terjadi."
Meski demikian, kata Nur, pihaknya sudah berencana menggelar konseling ke rumah-rumah ibu yang baru melahirkan. "Pada kunjungan, bidan-bidan akan menyampaikan agar sunat anak perempuan diawasi, jangan melukai kemaluan anak, jangan sampai infeksi," kata dokter ahli penyakit dalam itu.
Bayi berusia 11 bulan menjalani prosesi menginjak piring yang jadi bagian dari Molubingo atau sunat anak perempuan, di Kelurahan Tapa, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Sabtu (9/9/2017).
Beritagar.id bertemu seorang perempuan asli Gorontalo, Rizki Mardianti Bungi (26), di sebuah warung kopi di Gorontalo, Minggu malam (10/9/2017). Perempuan berjilbab nan karib disapa Kiky itu memberi testimoni sebagai individu yang pernah menjalani sunat perempuan.
Kiky mengaku sering merasa sakit di bagian kelamin ketika masa datang bulan. "Rasanya seperti mau copot," keluhnya.
Ia bilang, pernah menceritakan pengalamannya kepada beberapa teman sesama perempuan Gorontalo dan mendapat pengakuan senada. Sebaliknya, cerita berbeda didengarnya kala berbincang dengan perempuan non-Gorontalo.
"Waktu tinggal di Jakarta, tahun 2016, saya tanya teman-teman non-Gorontalo. Katanya kalau haid, sakit hanya di perut. Bukan di kemaluan," ujar Kiky, yang kini berprofesi sebagai karyawan swasta di Gorontalo.
Kiky juga mengaku mengalami gangguan ketika berhubungan seks. "Ini jujur ya, saya sulit mencapai klimaks," ujar orang tua tunggal beranak satu itu. Keanehan lain terjadi saat buang air kecil, sebab semburan urinnya miring ke kiri.
Ia pun menduga serangkaian masalah tak lazim itu berkelindan dengan praktik sunat perempuan semasa kecil. "Mau konsultasi ke dokter. Biar tahu apakah memang karena itu (sunat)," katanya.
Pengalaman tak lazim seperti yang menimpa Kiky, tak lantas terjadi pada semua perempuan Gorontalo yang melewati proses khitan.
Pengakuan berbeda datang dari Atay Hala (32), aktivis Women Institute for Research and Empowerment of Gorontalo (WIRE-G)--organisasi nonpemerintah di Gorontalo yang berfokus pada isu perempuan.
Atay mengaku tidak punya masalah berkenaan sunat perempuan yang dilewatinya semasa kecil. "Setelah remaja, memasuki masa haid biasa saja. Setelah menikah, tidak ada pengalaman mengganggu," katanya, kepada Beritagar.id, Kamis (14/9/2017).
Atay, yang menikah pada 2012, mengaku pernah pula menggelar Molubingo untuk anaknya. "Sempat khawatir. Saya tanya Hulango, apakah kemaluan anak saya sampai terluka dan berdarah? Ternyata aman-aman saja."
Guna beroleh konteks tradisi Molubingo, Beritagar.id berjumpa Alim S. Niode (53), seorang pakar adat Gorontalo. Tokoh yang berstatus Kepala Kantor Ombudsman Republik Indonesia (RI) perwakilan Provinsi Gorontalo itu pernah menulis empat buku tentang adat dan budaya Gorontalo.
Alim mengklaim Molubingo sebagai tradisi yang sejalan dengan Islam. "Molubingo adat berdasarkan hukum agama," kata Alim, yang ditemui di Kantor Ombudsman Republik Indonesia (RI) perwakilan Provinsi Gorontalo, Rabu (13/9/2017).
Menurutnya, filosofi tradisi Molubingo berkelindan dengan keutamaan Thaharah (bersuci) dalam Islam. Molubingo, katanya, merupakan pembersihan atas bagian kelamin anak perempuan, yang terangkai dengan seremoni penyucian--misal, siraman air limau purut.
Konon, Molubingo telah eksis di Gorontalo sebelum Islam masuk (1525 Masehi). "Setelah Islam masuk, terjadi asimilasi budaya sehingga disatukan," ujar Alim.
Alhasil, tradisi Molubingo hanya berlaku untuk penganut Islam saja. Meski begitu, seorang perempuan mualaf--misal, karena menikah dengan lelaki Muslim--harus pula melewatinya.
Alim berpandangan, tradisi Molubingo harus dipertahankan sebagai kekhasan Gorontalo. "Kan, tidak melanggar hukum? Ketika disunat, hanya dibersihkan selaput pada klitoris. Harapannya kelak perempuan bisa mengendalikan hasrat seksual atau libido," katanya.
Pandangan tersebut bersimpang dengan kacamata para pegiat isu perempuan, seperti Nong Darol Mahmada.
Aktivis yang berbasis di Jakarta itu menyebut sunat tak bermanfaat bagi perempuan. "Kalau untuk laki-laki alasannya kesehatan, tapi kalau untuk perempuan enggak ada," kata Nong, yang dihubungi Beritagar.id lewat telepon, Kamis (28/9/2017).
Nong mengaku pernah melewati praktik sunat perempuan secara simbolis pada usia sembilan tahun. "Meskipun simbolis, menimbulkan trauma. Apalagi kalau dimutilasi, bukan hanya trauma fisik, bahkan psikis, pendarahan, dan lain-lain," ujarnya.
Ia juga mendebat dalil agama yang dipakai membenarkan praktik ini. "Hadis yang dirujuk enggak kuat. Dalam Alquran enggak ada. Itu tradisi jahiliyah yang merendahkan kaum perempuan," kata tokoh yang namanya terkatrol lewat Jaringan Islam Liberal (JIL) itu.
Perihal pandangan yang menyebut perempuan tanpa sunat tak bisa mengontrol libido, Nong menganggapnya sebagai cara berpikir "patriarkis dan male-egoist".
Ia pun mendesak agar praktik sunat perempuan dihentikan. "Dalam sebuah budaya, biasanya ada penjelasan tentang manfaatnya. Dalam konteks sunat perempuan, saya belum melihat ada penjelasan," ujarnya. (*)
Laporan ini sebelumnya dimuat di Beritagar.id: https://beritagar.id/artikel-amp/laporan-khas/sunat-perempuan-di-gorontalo-bersimpang-tradisi-dan-risiko.