Sekejap ingat menuju masa kerajaan dahulu kala. Ketika para pendekar berlomba pada sayembara. Siapa yang menang, ia akan diberi tahta dan putri nan cantik.
Mengingat hal itu, kampanye pileg adalah serupa sayembara. Saling mempertontonkan kehebatan laku, diadu, meski bukan otot tapi lebih kepada kecerdikan. Tapi apakah masih ada politisi yang memakai kecerdikan strategi dan taktik, di masa semua rakyat seperti buah-buahan yang dilabeli price. Halal dan haram dilebur oleh kebutuhan dan kepentingan.
Kita pun tahu, perangai para pendekar di atas panggung di masa kampanye, setiap ucap mereka masih mengandung enigma. Baik itu dari para pendekar yang sudah berkali-kali maju di medan laga, pun mereka yang masih belia dan baru saja ingin menunjukkan ilmu kanuragan.
Setiap panggung pasti akan ramai dengan teriakan. Dari mulut para hulubalang terkoar angka-angka dan deretan abjad huruf saling mengait. Dan dari para pendekar sendiri, jurus-jurus lama pun masih digunakan, janji diumbar sana-sini, kebijakan disembur kiri-kanan, dan memberi menjadi ajang keharusan balas budi.
Memberi pun sudah menjadi bagian dari ritual kelicikan. Kelicikan-kelicikan datangnya dari masalalu, kita mempelajarinya, dan meskipun sebagian sudah menjadi sifat naluriah manusia. Kelicikan masih akan tetap ada, dan bertahan selama lawan terlalu tangguh untuk dikalahkan. Dan entah apa yang akan terjadi jika masyarakat dididik oleh kelicikan.
Ada beberapa masyarakat yang mulai rindu dengan politik gaya lama, bukan ketika doktrin merajalela, tapi di saat keikhlasan mereka memilih ― yang menurut mereka, ia mampu memimpin. Tanpa otak mereka dijejali setumpuk koin.
Sayembara besar akan digelar 9 April nanti. Kita memilih sendiri kebaikan untuk negeri ini. Karena kemenangan bukan berada di lengan baja dan kecerdikan para pendekar layaknya di sayembara. Tapi murni ikhtiar kita tuk memilih. Siapa sang pendekar yang pantas dipilih, atau sang pecundang yang tak pantas dipilih.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Mengingat hal itu, kampanye pileg adalah serupa sayembara. Saling mempertontonkan kehebatan laku, diadu, meski bukan otot tapi lebih kepada kecerdikan. Tapi apakah masih ada politisi yang memakai kecerdikan strategi dan taktik, di masa semua rakyat seperti buah-buahan yang dilabeli price. Halal dan haram dilebur oleh kebutuhan dan kepentingan.
Kita pun tahu, perangai para pendekar di atas panggung di masa kampanye, setiap ucap mereka masih mengandung enigma. Baik itu dari para pendekar yang sudah berkali-kali maju di medan laga, pun mereka yang masih belia dan baru saja ingin menunjukkan ilmu kanuragan.
Setiap panggung pasti akan ramai dengan teriakan. Dari mulut para hulubalang terkoar angka-angka dan deretan abjad huruf saling mengait. Dan dari para pendekar sendiri, jurus-jurus lama pun masih digunakan, janji diumbar sana-sini, kebijakan disembur kiri-kanan, dan memberi menjadi ajang keharusan balas budi.
Memberi pun sudah menjadi bagian dari ritual kelicikan. Kelicikan-kelicikan datangnya dari masalalu, kita mempelajarinya, dan meskipun sebagian sudah menjadi sifat naluriah manusia. Kelicikan masih akan tetap ada, dan bertahan selama lawan terlalu tangguh untuk dikalahkan. Dan entah apa yang akan terjadi jika masyarakat dididik oleh kelicikan.
Ada beberapa masyarakat yang mulai rindu dengan politik gaya lama, bukan ketika doktrin merajalela, tapi di saat keikhlasan mereka memilih ― yang menurut mereka, ia mampu memimpin. Tanpa otak mereka dijejali setumpuk koin.
Sayembara besar akan digelar 9 April nanti. Kita memilih sendiri kebaikan untuk negeri ini. Karena kemenangan bukan berada di lengan baja dan kecerdikan para pendekar layaknya di sayembara. Tapi murni ikhtiar kita tuk memilih. Siapa sang pendekar yang pantas dipilih, atau sang pecundang yang tak pantas dipilih.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment