Ratusan kasus atau perkara berbeda yang bertengger, datang dan pergi, di sebuah gedung yang bernama Pengadilan Negeri Kota Kotamobagu. Muara dari semua rekam-jejak dan putusan peristiwa pidana maupun perdata di Bolaang Mongondow Raya.
Pengadilan Negeri Kota Kotamobagu. Gedungnya dua lantai yang diapit oleh Jalan Ade Irma dan Jalan Datoe Binangkang, di pusat Kota Kotamobagu.
Lingkungannya asri didekap rerimbun pepohonan. Saat masuk, sebuah tangga di sebelah kiri menuntun kita ke lantai dua, di mana para hakim berkantor dengan tumpukan perkara di dalam hati dan akal mereka, untuk ditimang-timang.
Sementara untuk dua ruang sidang perkara, tangganya paling belakang bangunan, pun ada musholah di sana. Ruang sidang yang di sebelah kanan saat kita kesana, ada dua sel tahanan tiarap di bawah tangga. Di situ tempat bercokol para tahanan dengan mimik wajah dan perkara yang berbeda-beda. Nasib mereka, tergantung dari ketukan palu sang hakim.
Enam orang hakim yang tersisa di Pengadilan Negeri Kotamobagu ini. Ketua Majelis Hakim namanya I Dewa Made B. Watsara S.H, yang masing-masing formasi hakim anggotanya, Christy A. Leatemia S.H dan Harianto Mamonto S.H. Sedangkan formasi satunya lagi, Hakim Ketua Nur Dewi Sundari S.H, dengan hakim anggotanya Erick I. Christoffel S.H dan B. M. Cintia Buana S.H.
Ketika para hakim menganalisa sebuah perkara, itu tidak mudah. Ada tahapan-tahapan di mana setiap perkara harus ditelisik seksama.
"Mulanya kita mengkonstatir perkara, kita menganalisanya lalu merumuskan peristiwa. Setelah itu kita mengkualitisir, menetapkan peristiwa hukumnya dari yang sudah dikonstatir. Nah, tahap ketiga kita mengkonstituir, tahap penetapan hukum dan memberi keadilan suatu putusan," jelas Erick layaknya seorang dosen Fakultas Hukum kepada mahasiswanya.
Seringkali juga diakui Erick, bahwa beban psikis hadir seketika saat menganalisa sebuah perkara yang berbeda-beda.
"Beban psikis pasti ada. Perkara yang kita analisa berbeda-beda," akunya, Kamis (28/8) kemarin. Saat itu ia duduk di kursi dan meja kerja yang berdekatan dengan pintu masuk ruang sidang sebelah kanan, dari arah pintu masuk para hakim menuju ruang sidang. Selangkah dua langkah saja, ruang sidang terbentang sudah.
Sesaat kemudian, ia bersiap diri menuju ruang sidang, sembari membuka lemari tempat "jubah keadilan" menggantung di dalam. Sebuah bef putih berbentuk dasi dikalungkan di leher. Disusul toga hitam yang sudah terjahit simare merah dikenakannya. Tampak bef menyembul keluar dari dalam balutan toga.
Kali ini, Hakim Ketua Nur Dewi Sundari S.H, Erick I. Christoffel S.H dan B. M. Cintia Buana S.H, tepatnya akan memutuskan sebuah perkara pidana perlindungan anak. Sebuah sidang tertutup untuk umum.
Di dalam ruang sidang yang terlihat lapang, berjejeran di belakang, kursi memanjang yang dikhususkan bagi pengunjung sidang yang, kali ini hanya seorang tahanan dengan rompi oranyenya menunggu lugu. Jaksa Penuntut Umum dan seorang pengacara duduk di tempat biasanya, mereka berdua duduk di samping kanan dan kiri, serupa pengawal keadilan. Seorang panitera pun telah siap dengan pena di samping kiri para hakim, jika posisi kita dari pintu masuk pengunjung sidang. Setelah itu pintu ditutup rapat oleh penjaga. Ketukan palu terdengar. Nasib terdakwa ditentukan di dalam.
Setelah sidang putusan selesai, Hakim Ketua Nur Dewi Sundari S.H, meluangkan waktu untuk diwawancarai.
"Setelah semua tahap, kami musyawarah. Dan pada saat sidang, kami harus yakin saat membacakan putusan dan mengetukkan palu. Beban psikis saat memutuskan itu tidak ada, karena kita sudah melewati semua tahap saat menganalisa perkara," jelas hakim yang biasa disapa Dewi. Ia memang satu di antara dua "dewi" di Pengadilan Negeri ini, yang satunya lagi Christy A. Leatemia S.H.
Tidak mudah menjadi seorang hakim. Dari memeriksa sebuah perkara, menganalisa secara seksama, hingga merunutkan sebuah peristiwa. Di "jubah keadilan" para hakim, terjahit pula ratusan helai benang perkara, hingga kebenaran terurai dan diputuskan dengan gema ketukan palu.
No comments :
Post a Comment