Artikel ini mengintip di kolom chat BBM, Dengan Segala Hormat, Ibu Kartini http://arusutara.com/. Uwin Mokodongan dengan begitu hormat membentangkan tentang ketidakpantasan Kartini menjadi tokoh emansipasi.
Yang lampau, artikel yang mirip substansinya, mengenai keraguan ketokohan Kartini, pernah kubacai melalui sebuah link yang dikirimkan kawan saya. Serupa, Kartini disandingkan dengan pahlawan perempuan asal Aceh, Cut Nyak Dien yang, berdarah-darah di medan tempur. Seperti kita tahu, Aceh adalah wilayah dengan kultur islami yang begitu erat. Bahkan kedudukan perempuan pun, disamakan pula dengan negeri Sahara di zaman para Nabi. Kaum perempuan begitu dihormati di kalangan Islam. Singkatnya, Cut Nyak Dien berjuang dan mendapat tempat. Tak begitu dengan Jawa. Tak begitu pula dengan Kartini.
Jepara, 21 April 1879, lahirlah Raden Adjeng Kartini. Beruntung atau kesialan, ia lahir dari kalangan priyayi. Dibebat dengan adat yang begitu lekat, Kartini besar dengan sempurna. Sebab kenapa? Di usianya yang begitu muda, Kartini yang gadis sudah membaui begitu banyak buku. Iya, membaca kerap diidentikan dengan anak rumahan, bukan?
Karya Multatuli nama pena dari penulis asal Belanda Eduard Douwes Dekker pun, membuatnya tak tuli dengan peradaban di luar sana. Novel-novel berisi kritik perlakuan buruk penjajah, terbenam di kasur tepat di samping lelapnya. Kartini membaca, sastra di genggamannya. Itu saja.
Agamais dan plural. Tak perlu menunggu Gus Dur. Kartini yang berkakek Kyai Haji Madirono, guru agama di Telukawur, Jepara, telaten mempelajari Islam. Ia mengkritik kitab Al-quran yang tak diterjemahkan. Apa yang bisa dipahami bahkan dari ayat-ayat api, jika kita tak tahu maknanya? Kartini pun mengkritik kondisi sosial mengenai perbedaan agama yang selalu menjadi seteru. Bahkan baginya poligami pun tak masalah meski terpaksa. Nabi juga begitu kepada perempuan, katanya. Lalu Kartini menulis. Itu saja.
Pramoedya Ananta Toer hanya bisa memanggil ruh Kartini, dari buku karyanya Panggil Aku Kartini Saja, yang sisanya dilalap si jago Orde Baru.
"Aku yang tiada mempelajari sesuatupun, tak tahu sesuatupun, berani-beraninya hendak ceburkan diri ke gelanggang sastra! Tapi bagaimanapun, biar kau tertawakan aku, dan aku tahu kau tak berbuat begitu, gagasan ini tak akan kulepas dari genggamanku. Memang ini pekerjaan rumit; tapi barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang: itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!" geletar Pram. Kartini mengarang. Itu saja.
Ia memberontak lewat tulisan yang, katanya surat-surat itu hilang. Sungguh hebat Abendanon, ketika berhasil menyerupai Kartini sebegitu dalamnya. Sungguh hebat pula, saat ia bisa mendalami karakter Kartini yang mungkin ia reka, atau yang mereka reka. Abendanon berhasil menjadi Kartini, kata mereka. Bahkan Abendanon yang seorang Yahudi itu disebut-sebut Freemason. Iya, Kartini memang doyan berkawan dengan Yahudi. Padahal, barat tak selalu buruk. Itu saja.
Kartini yang terkungkung seorang pahlawan. Pahlawan tak harus berdarah-darah dan terkaing-kaing di medan perang. Bahkan dari balik tembok keraton atau jeruji, sastra bisa berperang. Itu saja
Yang lampau, artikel yang mirip substansinya, mengenai keraguan ketokohan Kartini, pernah kubacai melalui sebuah link yang dikirimkan kawan saya. Serupa, Kartini disandingkan dengan pahlawan perempuan asal Aceh, Cut Nyak Dien yang, berdarah-darah di medan tempur. Seperti kita tahu, Aceh adalah wilayah dengan kultur islami yang begitu erat. Bahkan kedudukan perempuan pun, disamakan pula dengan negeri Sahara di zaman para Nabi. Kaum perempuan begitu dihormati di kalangan Islam. Singkatnya, Cut Nyak Dien berjuang dan mendapat tempat. Tak begitu dengan Jawa. Tak begitu pula dengan Kartini.
Jepara, 21 April 1879, lahirlah Raden Adjeng Kartini. Beruntung atau kesialan, ia lahir dari kalangan priyayi. Dibebat dengan adat yang begitu lekat, Kartini besar dengan sempurna. Sebab kenapa? Di usianya yang begitu muda, Kartini yang gadis sudah membaui begitu banyak buku. Iya, membaca kerap diidentikan dengan anak rumahan, bukan?
Karya Multatuli nama pena dari penulis asal Belanda Eduard Douwes Dekker pun, membuatnya tak tuli dengan peradaban di luar sana. Novel-novel berisi kritik perlakuan buruk penjajah, terbenam di kasur tepat di samping lelapnya. Kartini membaca, sastra di genggamannya. Itu saja.
Agamais dan plural. Tak perlu menunggu Gus Dur. Kartini yang berkakek Kyai Haji Madirono, guru agama di Telukawur, Jepara, telaten mempelajari Islam. Ia mengkritik kitab Al-quran yang tak diterjemahkan. Apa yang bisa dipahami bahkan dari ayat-ayat api, jika kita tak tahu maknanya? Kartini pun mengkritik kondisi sosial mengenai perbedaan agama yang selalu menjadi seteru. Bahkan baginya poligami pun tak masalah meski terpaksa. Nabi juga begitu kepada perempuan, katanya. Lalu Kartini menulis. Itu saja.
Pramoedya Ananta Toer hanya bisa memanggil ruh Kartini, dari buku karyanya Panggil Aku Kartini Saja, yang sisanya dilalap si jago Orde Baru.
"Aku yang tiada mempelajari sesuatupun, tak tahu sesuatupun, berani-beraninya hendak ceburkan diri ke gelanggang sastra! Tapi bagaimanapun, biar kau tertawakan aku, dan aku tahu kau tak berbuat begitu, gagasan ini tak akan kulepas dari genggamanku. Memang ini pekerjaan rumit; tapi barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang: itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!" geletar Pram. Kartini mengarang. Itu saja.
Ia memberontak lewat tulisan yang, katanya surat-surat itu hilang. Sungguh hebat Abendanon, ketika berhasil menyerupai Kartini sebegitu dalamnya. Sungguh hebat pula, saat ia bisa mendalami karakter Kartini yang mungkin ia reka, atau yang mereka reka. Abendanon berhasil menjadi Kartini, kata mereka. Bahkan Abendanon yang seorang Yahudi itu disebut-sebut Freemason. Iya, Kartini memang doyan berkawan dengan Yahudi. Padahal, barat tak selalu buruk. Itu saja.
Kartini yang terkungkung seorang pahlawan. Pahlawan tak harus berdarah-darah dan terkaing-kaing di medan perang. Bahkan dari balik tembok keraton atau jeruji, sastra bisa berperang. Itu saja
No comments :
Post a Comment