Papa, sekarang Sigi sudah TK
lho. Di TK Al-Quran. Kata Mama, sekolah itu mahal. Tapi kualitasnya bagus.
Sigi lantas bertanya, "Kualitas itu apa?"
Mama menjawab, "Kualitas itu mutu. Biar lebih sederhana, kata Mama, 'itu TK terbaik, yang bagus, nyaman, yang terbaik pokoknya'."
Suatu hari, Sigi bermain dengan Amel. Dia anak yang rumahnya hanya berdekatan dengan rumah Sigi. Amel juga sedang sekolah. Dia di TK tapi yang hanya jalan kaki. Sementara Sigi harus naik bentor atau diantar dengan motor oleh Mama.
Sigi baru tahu beberapa hari kemudian, ternyata Amel di TK yang jaraknya cuma dekat dengan rumah Sigi. Makanya dia suka jalan kaki.
Sigi lalu bertanya lagi kepada Mama, "Kenapa Sigi tidak sekolah di tempatnya Amel?"
"Sigi kan di TK Al-Quran, biar cepat tahu membaca Al-Quran." kata Mama.
Sewaktu Sigi pulang dari TK, Sigi melihat Amel berjalan dengan teman-temannya menuju rumahnya. Teman-teman Amel, teman-teman Sigi juga. Ada Bonbon, Siti, Ayu, Lesi, dan Jiko. Mereka terlihat senang sekali pulang sekolah bersama-sama sambil jalan kaki.
"Ma, Sigi mau jalan kaki ke sekolah seperti Amel dan teman-teman lainnya."
"Kan sekolahnya Sigi di kota, bukan di desa."
"Tapi Sigi kalau pulang sekolah, dijemput pakai bentor atau motor. Tidak jalan kaki seperti Amel."
"Jauh jaraknya dari kota ke desa, Sigi. Lagipula harus hati-hati biar tidak ditabrak motor, bentor, atau mobil."
"Tapi, sekolah Amel kan dekat. Mereka juga jalannya ikut halaman belakang sekolah."
"Nanti saja kalau Sigi sudah lanjut ke SD. Kan, SD-nya dekat dari rumah."
Nah, suatu hari lagi, Pa, Amel mengajak Sigi bermain. Sewaktu sedang bermain, Amel suka melantunkan doa makan. Dia lancar mengucapkannya.
Sigi lalu bertanya, "Mel, kok bisa membaca doa?"
"Iyalah, kan diajarkan guru di TK."
"Kata Mama, cuma di sekolahnya Sigi di TK Al-Quran yang bisa cepat membaca Al-Quran."
"Di TK kami juga diajarkan, Sigi."
"Waduh, Mama bohong berarti."
Setelah bermain dengan Amel, Sigi segera menemui Mama. Tahu tidak, Pa, Sigi masih saja dibohongin Mama.
"Iya, tapi di TK-nya Amel, tidak selengkap TK-nya Sigi."
"Buktinya, Amel juga bisa doa-doa lainnya. Sama seperti doa-doa yang Sigi hafal
lho, Ma."
Mama kemudian terdiam lama, Pa. Sebenarnya Sigi suka gerah ketika harus ke sekolah kemudian memakai penutup kepala.
"Apa itu harus, Pa?"
"Pakai jilbab?"
"Iya."
"Tidak haruslah, apalagi buat anak-anak tidak wajib."
"Iya, Sigi lihat Amel dan teman-teman lain juga ke TK tidak pakai gituan. Tapi mereka lancar membaca doa-doa."
"Iya, tapi di sekolah Sigi kan aturannya begitu. Jadi ikut dulu aturannya."
Seminggu kemudian, Sigi baru berani bilang sama Mama, kalau Sigi gerah memakai penutup kepala. Tahu apa reaksinya, Pa?
"Kalau begitu, tidak usah sekolah. Mau dibikin bagus, tidak mau."
Begitu jawaban Mama, Pa. Mama marah-marah sambil benerin jilbabnya. Oh ya, Pa, Mama sekarang sudah pakai jilbab.
"Iya, Papa tahu. Itu pilihan Mama. Jika Sigi besar nanti, Sigi juga berhak memilih. Tentu saja tidak boleh dipaksakan."
"Pa, Sigi boleh nanya sama Papa?"
"Nanya apaan?"
"Kok, Papa sama Mama tidak tinggal serumah seperti Kakek dan Nenek?"
"Hmm... Tunggu ya, Papa mikir dulu apa jawaban sederhananya."
"Jangan lama-lama, Pa."
"Iya, tidak lama... Hmm..."
Setelah beberapa menit kemudian...
"Begini, Papa dan Mama sudah bercerai. Cerai itu, kalau misalnya Papa sama Mama sudah tidak sejalan lagi."
"Sejalan?"
"Iya, maksudnya Papa punya pilihan jalan lain. Begitu juga Mama."
"Terus Sigi harus milih jalan mana?"
"Ya, Sigi tidak harus memilih jalan mana. Papa ada untuk Sigi. Begitu juga Mama ada untuk Sigi."
"Kalau Sigi butuh Papa dan Mama?"
"Kan, bisa sewaktu-waktu Papa dan Mama sama-sama dengan Sigi."
"Tapi tidak sering."
"Iya, Sigi... Cerai itu karena agama juga sudah melarang Papa dan Mama sama-sama serumah."
"Kenapa agama melarang?"
"Ya, karena sudah begitu aturannya. Nanti Sigi dari TK terus lanjut sekolah, maka Sigi akan paham soal itu."
"Padahal sekolah Sigi, kata Mama sekolah agama. Tapi Sigi belum dapat pelajaran itu selain membaca, menulis, menggambar, dan baca Al-Quran."
"Iya, karena Sigi belum cukup umur. Nanti Sigi juga akan lebih banyak belajar soal agama. Semua agama. Di TK hanya sebagai dasarnya saja."
"Papa agamanya sama kan dengan Mama?"
"Iya, papa juga punya agama yang sama dengan Mama. Nanti kalau besar, Sigi juga berhak memilih agama apa yang Sigi mau."
"Kata guru di sekolah, tidak boleh ikutan agama lain. Harus tetap dengan agama Islam."
"Itu kata guru. Kalau kata Papa, nanti Sigi berhak memilih mana yang baik untuk Sigi."
"Agama yang baik itu apa sih, Pa?"
"Semua agama baik. Karena semua mengajarkan kebaikan."
"Kalau Sigi memilih semua agama itu?"
"Memahaminya saja. Tidak harus memilih semuanya."
"Memahami itu seperti apa?"
"Sigi mengerti. Sigi tahu apa yang baik dari semua agama. Kemudian Sigi yang menentukan. Seperti Sigi hendak memilih pensil berwarna, yang sesuai dengan yang Sigi mau pakai untuk mewarnai gambar Sigi."
"Sigi suka warna merah."
"Semua warna itu indah. Mau merah, biru, hitam, putih, kuning, dan lain sebagainya. Biar mereka berbeda-beda, mereka tetap disebut warna, kan?"
*Kemudian Sigi dijemput kakeknya*