Mungkin pagi, yang bisa membuatku tertambat pada kisah-kisah tentangmu. Di saat aku mencari perca-perca kenangan di setiap sudut kamar. Aku menemukanmu di cangkang kaset pita itu...
Malam hari di Desa Passi, sekitar 12 tahun yang lalu. Seorang remaja lelaki duduk di tepi jalan. Ia menatap ke arah tanah lapang yang luas di depan rumahnya. Lalu kerikil-kerikil dipungutinya. Dilemparkannya ke semau arah.
Ia suka menyendiri sebab belum akrab dengan anak-anak sekitar. Tak aneh, sebab masa SMP dihabiskannya di pondok pesantren di Manado. Hingga seiring tahun bergulir, ia akhirnya memilih meloncat kembali ke Desa Passi. Kemudian menikmati masa putih abu-abu di Kotamobagu.
Di tanah lahirnya, tanah lapang dan simpang tiga membikinnya akrab dengan anak-anak lain. Rerumputan di lapangan Elang Taruna lincah ia jejaki. Dan di simpang tiga, mereka menamai komunitas tongkrongan itu Anak-anak Pertigaan. Berbagai usia dan kelas berbaur di sana. Hampir tiada batas.
Remaja itu bernama Fajri Syamsudin Mokodompit. Ia akrab disapa Ewin. Tapi seiring waktu, nama-nama lain mulai melekat padanya. Ketika ia lulus SMA dan melanjutkan pendidikan di Akademi Perikanan Bitung (APB), kepalanya botak. Sapa sekaligus ejekan Sukro (merek kacang telur), kerap membikinnya cemberut.
Di hari-hari itu, sifat aslinya mulai nampak. Ia sangat jahil, nyeleneh, dan punya berbagai macam cara untuk membuat kami tertawa. Ada mop (cerita lucu) Mongondow, yang pernah membuat kami terpingkal-pingkal saat diceritakannya.
Anak: Mak, minta' doi!
Mamak: Dega' bubul!
Anak: Ah, itu jo!
Iya, cerita itu kerap terngiang-ngiang di telinga bersama suara sengaunya.
Kemudian seperti anak laki-laki lainnya, Ewin yang gemar bermain sepak bola, mulai mengidolakan klub raksasa asal Spanyol, Real Madrid. Sponsor utama klub itu 'bwin' perlahan-lahan membuatnya semakin akrab dipanggil Bedewin atau disingkat Bedew. Sebab jersey putih Real Madrid bertuliskan 'bwin' jadi andalannya. Tentu saja, panggilan itu tak membuatnya cemberut. Ia senang. Nama Bedew, kinumompit (melekat sudah).
Setelah menyelesaikan pendidikannya di APB, Bedew pulang dan tumbuh dewasa dengan penuh tawa di Rumah Pemuda Merdeka (RPM). Ia menambah daftar pengangguran di RPM. Masa-masa itu, dipenuhi oleh kenakalan-kenakalan yang lazim. RPM adalah padepokan yang mendidik penghuninya menjadi manusia-manusia merdeka.
Tahun berlalu, sampai akhirnya ia diterima bekerja di Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ditugaskan di Desa Tompaso, ia tetap tak ketinggalan dengan riuh RPM. Juga keramaian di Mabes'Pond Benggaul, rumah Delianto Bengga (Sangadi Desa Passi, sekarang) dan istrinya Rahma Ulaan. Anak-anak RPM adalah anak-anak angkat mereka berdua. Termasuk aku, juga Bedew.
Di Kotamobagu, rumah Ega, pacarnya, juga menjadi markas kami. Di lantai dua, kami kerap reriungan dan menyudahi malam dengan penuh tawa. Sama seperti toko dan bengkel Ko' Dobeng dan Ci' Sari di Kelurahan Biga, yang menjadi persinggahan untuk sekadar melepas penat.
"Supaya Oxa masih tahu, ada sudara di sini," begitu kata Bedew saat mengajak Oxa ke toko dan bengkel Dragon.
***
Tangan Bedew ringan. Pun lehernya sangat licin. Kudapan apa saja yang melintas di benaknya, pasti akan ia borong dan bagi dengan senang hati.
Aku mulai mengingat apa yang pernah menjadi seteru di antara kami. Dengan teman-teman lain mungkin pernah. Tapi hanya hal-hal sepele dan selalu ia yang mengawali tegur dan maaf.
Denganku, nyaris tak ada seteru. Aku coba mengingat lagi, tapi memang tak ada. Mungkin karena ibu dari ayahnya adalah kakak ayahku. Meski neneknya dan ayahku adalah kakak beradik dari ibu yang berbeda.
Itu pula sebab, yang menjadikan rumah dan kamarku sudah seperti miliknya. Hampir setiap hari, ia makan di rumah. Jika hendak tidur, kantuknya lekas. Hanya beberapa menit rebah, ia sudah mendengkur keras. Ah, andai saja tidur seperti itu bisa dibeli, begitu kataku padanya suatu kali.
Tahun terus menggelinding, yang membawa kami anak-anak RPM terpisah oleh jarak. Hampir semua mengadu nasib di kota-kota lain. Ia menetap di Desa Passi, setelah pindah tugas di Kotamobagu. Aku di Gorontalo.
Di hari ulang tahunnya, 15 Januari 2016, ia menanyai kabarku.
"Ya', di mana?"
"Masih di Gorontalo."
"Hai, kita pe ulang tahun ndak ada ngoni samua. Sedih."
Baru pada akhir Januari, aku punya kesempatan untuk pulang ke Desa Passi. Tepat pernikahan Ardi dan Lara. Aku sempat ditertawainya, karena rebah di tanah lapang. Kami mendustai pagi kala itu.
Aku kembali ke Gorontalo, setelah memburu beberapa narasumber di Manado dan Kotamobagu untuk liputan khusus. Selang beberapa bulan, usai menuntaskan liputan, aku kembali ke Desa Passi. Dan aku menemui Bedew yang begitu berbeda. Tubuhnya kurus tak seperti biasanya. Aku sempat bercanda kala itu yang membuatnya sedikit tersinggung. Tampaknya, sakit mengubahnya menjadi begitu sensitif.
Untuk menebus canda yang telah membuatnya sedih, aku mengajaknya pergi melihat tuyul. Kami berempat turun gunung menuju Kotamobagu. Aku, dia, Bulog (Yunus), dan Andol (Ardi).
"Wei! Gaga skali ini no! Ha-ha-ha. Gaga skali!" teriaknya usai ritual kami melihat tuyul.
Ia terlihat begitu senang. Tertebus sudah candaku sebelumnya yang membuat ia sedih. Bahkan setelah beberapa hari kemudian, ia kembali mengajakku melihat tuyul sekali lagi. Bersama Ses (Rulli), Sutha (Sut), dan Ape' (Yanto). Sekali lagi, ia terbahak-bahak melihat tuyul yang, hingga hari ini masih menjadi rahasia kami.
Dan hari demi hari bergulir seperti biasanya. Bedew masih sering kutemui di RPM dan tanah lapang saat turnamen sepak bola dihelat. Ia masih meramaikan tanah lapang, dengan memanejeri klub Fajar Passi, bersama pelatih Oxa. Piala juara kedua diangkatnya tinggi usai laga final.
Lalu, tanah lapang kembali sepi. Sampai kabar duka sahabat kami, Yayang, merambat ke desa, 31 Mei 2016. Ia menghubungiku dini hari.
"Ya', Yayang so meninggal. Ada cilaka!"
"Iyo, napa banyak ba sms deng bbm pa kita," jawabku.
Di hari yang sama, saat pemakaman Yayang, aku sempat mengajaknya menuju rumah duka. Tapi sakit menghalanginya.
"Masih moterapi pa kita ini."
Itu terakhir kalinya kami berkomunikasi.
Setelah itu... Hanya beberapa hari setelah Yayang berpulang, Bedew tiba-tiba harus dirawat di rumah sakit. Belum sempat menjenguknya, ia telah dirujuk ke Manado.
Dan... Seminggu setelah Yayang berpulang, Bedew menyusul dengan ucap janji yang terakhir kalinya.
"Terima kasih for samua doa deng semangat dari ngoni kita pe tamang. Kita janji Insya Allah sebelum Hari Raya, kita so mo sehat. Amin."
***
Di kamarku, sewaktu Bedew SMA, ia suka membawa kaset pita di tas punggungnya. Kaset pita berisi album Greatest Hits, Blink-182. I Miss You adalah lagu favoritnya. Suaranya keras meniru jika lagu itu sedang diputar. Cangkang kaset itu hingga sekarang masih terpajang di kamarku, berisi cover dan bentangan lirik-lirik lagu. Kaset pitanya raib entah kemana.
Mungkin seperti itulah Bedew. Kaset pita itu adalah kesatuan raga dan ruhnya. Sedang cangkang berisi cover dan lirik-lirik lagu adalah perca-perca kenangan tentangnya.
We'll wish this never ends
I miss you, miss you
I miss you, miss you