Ilustrasi NaturePhoto-CZ.com |
Alamat email saya dua bulan lalu pernah saya bagikan di laman Facebook. Bukan apa-apa, hanya sepenggal pemberitahuan bagi siapa yang berkenan mengirimkan artikel, cerpen, atau puisi, di situs berita degorontalo.co yang saya asuh bersama teman-teman AJI Kota Gorontalo.
Sejak alamat email itu saya bagikan, satu per satu teman-teman mengirim karya. Ada yang layak tayang, ada pula yang tidak. Bukan sok selektif, tapi begitulah aturannya. Kalau bagus ya dimuat. Bahkan, status panjang teman-teman di Facebook, jika menarik akan kami minta untuk ditayangkan.
Kecuali bagi para blogger, kami menyediakan sindikasi Gorontalo Blogger yang kontennya kami beri nama: GoBlog!. Di situ wadah bagi para blogger yang baru belajar menulis. Tidak hanya pemula, beberapa penulis dan penyair andal di Gorontalo dan Manado, blog mereka juga sering kami sindikasi di GoBlog!. Semua tulisan jika memenuhi standar—asal orisinil—pasti tayang. Saya senang elan teman-teman yang turut memajukan dunia literasi. Saya bahkan banyak belajar dari mereka.
Tapi bukan itu masalahnya. Sejak alamat email saya bagikan kemarin, kemudian berdatangan pesan-pesan aneh. Lucu, sebab rata-rata menyinggung soal seteru antara Katamsi Ginano dan Audy Kerap. Pun sama kasus yang jalin-kelindan dengan satu-dua pewarta, termasuk dengan beberapa situs berita di Bolmong.
Jika saya rangkum, akan menjadi satu pertanyaan: kenapa berdiri di pihak Kronik Mongondow? Maaf, sejak beberapa tahun lalu saya akrab dengan Bang KG (sapa saya kepada Katamsi Ginano). Kami akrab karena saya ingin belajar menulis. Papa Attar (Ahmad Alheid) yang pertama mengenalkan kami. Selain dengan Bang KG, Papa Attar juga memberi petunjuk agar saya belajar kepada Ayah Abang (Amato Assagaf).
Saya bukan bagian dari orang-orang yang suka mendikotomikan hitam-putih. Bahkan saya tidak sedang berdiri di atas cacian malaikat, atau berdiri di atas lantunan ayat-ayat suci dari setan.
Alam raya sekolah saya. Dan segala isinya adalah guru. Bahkan semut pun mengajarkan: ketika bertemu salinglah bertegur sapa. Tidak sedikit fabel yang mengajarkan baik-buruk perilaku dengan mengibaratkan binatang.
Kali pertama saya menjadi wartawan, saya tidak pernah memilih berteman. Saya juga bukan apa-apa, kenapa harus memilih? Bukan hanya di Kotamobagu, di Bolmut pun cara saya bergaul begitu. Silakan tanya wartawan-wartawan di sana. Di Gorontalo juga sama, atau di Jakarta ketika bertemu 19 jurnalis se-Indonesia penerima beasiswa liputan. Mereka sampai hari ini menganggap saya lucu, unyu, dan target empuk untuk diolok. Makanya mereka kerap kangen merisak saya. Dan saya hanya pasrah.
Di Manado apalagi; tempat saya pernah mengamen, menjadi binatang di jalanan, dan menumpang sana-sini. Tapi saya bukan dubuk! Yang suka memakan bangkai sisa buruan dan santapan singa.
Bukankah begitu yang kalian maksudkan? Tiga tulisan saya; Menjadi Wartawan Tak Semudah Mengupil, Untuk Neno, dan Kualitas Buruk Media Online di Bolmong di blog pribadi, kalian anggap memihak Kronik Mongondow. Baca lagi dengan saksama tiga tulisan itu. Tentunya setelah otak kalian direbus dulu biar berguguran bakteri-bakteri. Atau usai kedua bola mata kalian direndam deterjen seharian, gahar sampai terang.
Di artikel Menjadi Wartawan Tak Semudah Mengupil saya menyinggung tentang wartawan-wartawan karbitan. Yang tersinggung berarti mereka karbitan. Di artikel Untuk Neno bahkan si Neno bersepakat dengan apa yang saya tulis. Semerunduk padi, saya coba membalas tulisan Neno yang, memang bukan dimaksudkan kepada saya. Tapi saya hanya hendak berbagi dengannya. Di artikel Kualitas Buruk Media Online di Bolmong saya mengajak untuk mari belajar sama-sama. Jika sekerdil itu pemahaman kalian, wahai para anonymous, maka tebaslah bambu lalu buatlah tangga. Biar tinggi sudah akal kalian. Biar ketika makan, kalian tahu memilah mana beras, mana pasir.
Sekali lagi, saya tidak sedang menyantap sisa buruan singa; mengambil untung, menempel tenar, atau hendak mendompleng popularitas. Saya ini dilingkari "kutukan donal bebek". Bagaimana mau cari untung? Paling-paling tetap sial juga. Kalian terlalu kemaruk menilai saya yang unyu ini.
Jika saya ikut terpingkal-pingkal dengan artikel di Kronik Mongondow, lalu membagikannya, itu karena saya sepakat bahwa orang-orang yang dirisak adalah mereka yang dakar. Apa repotnya sih mengaku salah? Tentu saja sedari awal, bukan nanti ketika perkara telah dihampar. Jangan pernah menunda maaf, itu saja.
Purbasangka negatif hanya akan berakhir di sumur bekas. Tilik lagi tulisan saya, tulisan Bang KG, terkait permasalahan Olden—yang bahkan sudah berjabat erat dengan orang-orang sadar sikap. Baca sesudah salat juga bisa biar dapat hidayah. Saya bahkan tidak menyelungkur perkara Olden, tapi soal perangai buruk wartawan.
Kalau masih tidak suka, sila terang-terangan lewat tulisan. Saya heran kenapa negeri para Bogani dan Bigani ini, akhirnya hanya berisi orang-orang pecundang seperti kalian. Di luar pemilik blog Buruh Kata yang tulisannya meski ia memilih menjadi anonim, tapi sarat pesan positif. Menjadi ghost writer tidak apa-apa, asalkan tulisannya bernas.
Itu bukan alibi, sebab berkali-kali orang mengira Buruh Kata itu saya. Dan saya malah menduga itu Bang KG, yang sedang iseng lantas pura-pura menurunkan maqam. Tapi Bang KG saja heran lantas mengaku itu bukan dia. Masing-masing penulis memang memiliki langgam. Dari situlah sidik jari membekas. Siapapun pemilik akun Buruh Kata, tetaplah menulis; sesadis-sadisnya sadis, sepedis-pedisnya pedis.
Saya juga tidak akan repot-repot menekan pilihan capture atau screenshot, untuk mengabadikan isi email kalian. Kalau mau mengetahui siapa kalian, mudah saja. Saya punya teman peretas sakti, yang bisa menelusuri bahkan sampai ke akun medsos kalian. Ia pernah membuktikan ketika blogger haters Jokowi di Pilpres, diretasnya hingga ke juntai akar terdalam.
Tapi isi email kalian, nasibnya sudah di logo tong sampah. Tempat yang sama, yang cocok untuk kalian. Sebab cukup sudah, orang-orang dijejali istilah baru: kita mokapcur pa ngana!