Deru helikopter mengitari langit Jayapura. Tumpukan kertas dihambur dari ketinggian. Meski gerimis, capung logam itu terus berdengung di udara.
Bocah-bocah berloncatan girang, berkejar-kejaran, lalu berebut memungut lembar demi lembar. Apa yang tertulis di atas selebaran itu? Akan ada aksi terjun payung Santa Claus. Bagi-bagi hadiah. Tertawa bersama komika ibu kota. Selebaran itu dari Polda Papua.
Selebaran itu disebar, sehari sesudah Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyatakan Natal kali ini tak usah diperingati dengan bersuka-cita. Tak ada open house apalagi untuk para pejabat pemerintahan. Sebab sebangsa di Nduga tengah berduka.
Dari kabar, aksi terjun payung itu bertema "Santa is Coming to Papua". Sebanyak 50 penerjun yang terdiri dari 42 laki-laki dan 8 perempuan, dimuntahkan dari pesawat. Aksi itu katanya meraih rekor MURI. Saya suka alergi mendengar rekor MURI. Para pemuja angka.
Tak ada yang mengunggah atau berkomentar di media sosial saya, tentang seramai apakah aksi itu. Padahal sejak menetap di Jayapura, kakawan di media sosial saya semakin dipenuhi orang asli Papua. Unggahan dan status mereka, rata-rata berisi ucapan duka atau foto-foto aksi solidaritas, untuk saudara mereka di Nduga. Mereka memang tak butuh Santa Claus yang ingin berbagi hadiah. Luka, telah memenuhi seluruh ruang hati dan pikiran mereka.
Arkian, mereka pun kerap mempertanyakan, ketika ada sesama orang Papua tapi tak bersolidaritas dengan rakyat Nduga, yang sebagian banyak merayakan Natal di belantara, berteduh di pepohonan tanpa lilitan warna-warni lampu. Mereka lari ketakutan dan bersembunyi sembari mengusung anak. Mereka hanya berpelita purnama dan bintang gemintang. Tak tahu apakah mereka bisa menyalakan api di tengah hutan, sebab itu membuat persembunyian jadi sia-sia.
Saya tercenung, ketika seorang kawan Papua berkata, "Tiada sedikitpun penghormatan bagi kami yang sedang berduka."
Ucapannya dalam. Bukan hanya menyoal Nduga. Tapi menarik ingatan lalu merentang luka demi luka di Tanah Papua. Tentang bagaimana orang-orang kerap memilah duka. Semakin riuh kesedihan, maka semakin gagap orang-orang yang turut, hanya agar terkesan sebagai manusia paling peduli dengan kemanusiaan. Tapi tidak secuilpun orang-orang itu peduli dengan Papua.
Kali ini, entah bagaimana caranya mengucapkan selamat Natal untuk kakawan Papua. Benar sudah Antonio Porchia dengan sabdanya, "Only the wound speaks its own word."
No comments :
Post a Comment