Selasa, 18 Oktober 2022

Selamat Jalan Eca'

Tidak ada komentar

Medio dua ribu sebelasan, saya pernah terlibat dalam kepanitiaan event festival musik di Kotamobagu. Seingat saya, festival musik itu sekalender bulan dengan Pemilihan Putra dan Putri Kota Kotamobagu (P3KK).

Panitia P3KK sempat kewalahan, sebab peserta yang ikut cukup banyak. Karena sesama panitia festival musik dan P3KK beririsan circle pertemanan, maka beberapa panitia festival diperbantukan di kegiatan P3KK.


Para panitia dan peserta P3KK sempat dikarantina di salah satu hotel yang terbilang baru dan mungil di depan Lapangan Sinindian. Hotel ini mirip homestay, dan kamar-kamarnya melingkar saling berhadapan.


Reza Mamonto adalah salah satu panitia P3KK. Ketika itu, di kamar panitia, saya menyetel lagu Vindicated dari Dashboard Confessional. Genre musik yang ia sukai hampir mirip dengan saya. Karena itu, kami lekas akrab.


Seiring waktu, Eca'--nama kecilnya--kerap berjumpa di Gapura, Kelurahan Kotobangon. Rumahnya memang tak jauh dari sana.


Namun, kesibukan kami mulai menjauhkan lingkar sua. Saya menjadi jurnalis, dan ia lulus menjadi ASN. Setelah bertugas di Bolaang Mongondow Timur (Boltim), ia kembali melanjutkan studinya di Makassar. Di sana kami beberapa kali berjumpa.


Eca' termasuk salah satu kawan yang gemar vakansi. Ia telah mengelilingi sejumlah negara di Asia Tenggara.


"Lebih baik tidak usah ikut agen travel, jalan sendiri. Saya bahkan pernah bawa abon ikan sama mi instan sewaktu jalan-jalan," katanya, ketika kami berjumpa di Makassar beberapa tahun lalu.


Sewaktu saya pulang dari Papua dua tahun yang lalu, Eca' telah menyelesaikan studinya di Makassar. Kami sempat berjumpa di Kotamobagu dengan beberapa kawan lainnya di sebuah kafe. Ia mengabarkan, bahwa tak lama lagi ia akan menikah. Kami ikut gembira.


Belum lama ini ia menikah, mungkin sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Ia sempat mengirimi undangan tetapi karena bersamaan dengan jam kerja, saya akhirnya tidak bisa menghadirinya. 


Kemudian, kabar itu datang. Tadi malam, seorang kawan ASN pula di Boltim, tiba-tiba menanyai saya.


"Reza sudah meninggal?"


"Hah!? Reza siapa?"


Lalu ia menyusulnya dengan kiriman foto Eca'. 


"Astaga! Eca'?"


Saya segera beralih ke Instagram untuk memastikannya. Sebab di sana lebih banyak kawan-kawan yang mengenal Eca'. Benar sudah, beberapa kawan sudah berbelasungkawa.


Ah, Eca' ... akhirnya waktumu tiba sudah. Perjalananmu usai, setelah jutaan kali jejakmu tercetak di tanah-tanah asing yang kerap kau kunjungi. 


Selamat jalan Ca' ...

Rabu, 28 September 2022

Ubasute

Tidak ada komentar


Ubasute. Legenda ini mungkin sudah pernah kalian bacai di buku, website, atau unggahan di media sosial. Ini adalah folklor atau cerita rakyat Jepang, mengenai tradisi membuang anggota keluarga yang telah renta ke gunung. Ubasute berarti: pembuangan.

Paragraf pengantar di atas, sudah cukup mendidihkan darah kita. Apalagi jika membaca novel Narayama Bushikō (The Ballad of Narayama) karya Shichirō Fukazawa. Pada 1958, Keisuke Kinoshita mengangkat kisah itu di film layar lebar.

Selanjutnya pada 1983, Shōhei Imamura juga ikut mengangkat kisah itu ke film layar lebar dan berhasil menang di Festival Film Cannes, dengan meraih penghargaan Golden Palm. Saya pernah menonton versi Imamura ini. Jika versi ini diceritakan, akan ada penyerapan berbeda dari masing-masing penonton dan pembaca tentang Ubasute.

Ada beberapa versi mengenai legenda Ubasute. Namun menurutku, sepotong versi "patahan ranting" ini yang paling menyayat:

Seorang anak laki-laki menggendong ibunya yang telah senja usianya, hendak dibawa ke gunung. Ia bermaksud meninggalkan ibunya di sana, dengan alasan untuk mengurangi beban hidup dan jatah mulut atau makan sehari-hari. Ini sudah tradisi dan setiap keluarga melakukannya. Tempat pembuangan yang akan dituju disebut Ubasuteyama yang berarti gunung tempat pembuangan.

Sepanjang perjalanan, tanpa disadari anak laki-laki itu, ibunya kerap mematahkan ranting lalu menjatuhkannya ke tanah yang telah mereka pijaki. Sesampainya di gunung, anak laki-laki itu menyandarkan ibunya di sebuah batu.

Ibunya kemudian berkata, "Nak, perhatikan ranting-ranting itu agar kau tidak tersesat ketika kembali ke desa."

Ucapan dari ibunya itu, hanyalah sepatah ranting perhatian dari sekian banyak perhatian yang telah ditabur seorang ibu sejak anak itu masih bayi. Mendengar apa yang dikatakan ibunya, anak laki-laki itu segera memeluk, lalu kembali menggendong ibunya untuk dibawa pulang.

Bayangkan jika orangtuamu yang telah rengsa dibiarkan di tengah hutan, sampai menemui ajalnya dengan cara kelaparan, kedinginan, atau bahkan disantap binatang buas dan dikelilingi burung gagak?

Meski hanya legenda, namun kisah serupa Ubasute kerap terjadi di sekitar kita dalam wujud yang lain. Masih ada anak-anak yang menelantarkan orangtua dan enggan menguras tenaganya yang, bahkan jika itu segunung pun, tak akan pernah sebanding dengan apa yang telah orangtua ikhlaskan untuk anak-anaknya sepanjang usia mereka.

Senin, 13 Juni 2022

Menjadi Bintang

Tidak ada komentar
Seorang astronaut mungil mengambang berlatar langit malam bertabur bintang gemintang. Suara sengau dari gelombang radio terdengar.

Potongan imajinasi yang singkat itu diakhiri adegan seorang bocah berhelm astronaut yang sedang meloncat-loncat di kasur kamarnya. Adegan itu ada dalam pembuka film Wonder. Bocah astronaut berusia 10 tahun itu adalah August Pullman bernama kecil Auggie yang diperankan Jacob Tremblay.

Film Wonder diadaptasi dari novel karya penulis berkebangsaan Amerika Serikat, Raquel Jaramillo yang bernama samaran R. J. Palacio. Novel ini terbit pada 14 Februari 2012 dengan judul yang sama. 

Auggie seperti bocah lainnya, yang gemar bermain, makan es krim, mengulum permen, dan hal-hal umum lainnya yang dilakukan anak kecil. Namun ada yang tak biasa dengannya. Ia mengidap sindrom Treacher Collins, sebuah kelainan genetik yang sering kali memengaruhi struktur wajah. Bentuk wajahnya dari tulang pipi, hidung, dan telinga terlihat berbeda. Kabarnya, R. J. Palacio terinspirasi menulis novel ini dari sebuah kejadian ketika putranya memperhatikan seorang gadis dengan wajah yang berbeda, dan ia mulai menangis. 

Dalam film ini, Auggie dikisahkan sudah dioperasi sebanyak 27 kali. Tetapi itu hanya untuk membantunya agar bisa mencium, melihat, mendengar, dan berbicara. Karena keterbatasannya itu, Auggie hanya bersekolah di rumah atau home schooling. Tetapi ibunya Isabel (Julia Roberts) memutuskan untuk mendaftarkannya di sekolah, agar ia bisa merasakan kehidupan seperti anak-anak lainnya. 

Ayahnya, Nate (Owen Wilson), sempat tidak setuju. Menurutnya, Auggie belum siap untuk menyesuaikan diri meski sudah memasuki kelas lima. Tapi akhirnya, ayahnya mengalah. Auggie didaftarkan di sebuah sekolah swasta. 

Memiliki keterbatasan seperti Auggie, tentu bukanlah perkara mudah untuk menceburkan diri ke kehidupan di luar sana. Apalagi di sekolah yang berisi ratusan anak, yang mungkin saja belum pernah menemui bocah dengan wajah seperti Auggie. 

Hal yang ditakutkan kedua orangtuanya dan juga Auggie, akhirnya terjadi. Beberapa anak di sekolah merisaknya. Bullyng atau perisakan itu memang sudah diduga atau serupa bom waktu yang sudah disetel. Tinggal menunggu ledakan. Dan, ledekan dari beberapa anak sekolah lainnya membuat Auggie terguncang. 

Kata-kata seperti "anak aneh" kerap dilontarkan kepadanya. Bahkan yang paling keji, ketika ada anak-anak yang mengatakan: mereka akan bunuh diri jika terlihat seperti Auggie. Krisis kepercayaan diri Auggie semakin parah, tetapi ibu, ayah, dan kakak perempuannya selalu menguatkannya. 

Tidak semua anak di sekolah merisak Auggie. Ada yang mulai berteman dengannya meski sempat bertikai dan berdamai lagi. Sikap kepala sekolah dan guru juga tak pernah membedakan anak-anak. Yang salah diskors, meski orangtua mereka terus membela sampai mengatakan anaknya sering bermimpi buruk, lalu dibawa ke psikolog karena takut melihat wajah Auggie. 

Seiring waktu, Auggie bisa merebut simpati dan semakin populer di sekolah karena kepintarannya di bidang sains dan berhasil menang di pameran bersama temannya. Perisak juga perlahan-lahan menyadari kesalahannya. Auggie sampai dianugerahi Medali Henry Ward Beecher karena menjadi teladan di sekolah. 

"Penghargaan ini diberikan kepada murid yang sangat kuat hingga menyadarkan banyak hati," kata Kepala Sekolah Tushman dalam pidatonya. 

Narasi penutup Auggie cukup mengesankan. 

"Jadilah baik, karena semua orang berjuang dalam pertempuran yang sulit. Dan jika kau mau benar-benar mengetahui seperti apa sebenarnya orang itu, yang harus kau lakukan adalah dengan melihat." 

Menjalar dari kisah Auggie, di luar sana ada jutaan anak-anak dengan akar kisah yang hampir sama. Bahkan beberapa hari lalu, peristiwa yang lebih menyedihkan terjadi di kota saya--Kotamobagu. Seorang anak sekolah bernama Bintang yang baru berusia 13 tahun, diduga menjadi korban bullyng hingga berujung penganiayaan yang merenggut nyawanya. 

Dari hasil penuturan korban kepada kedua orangtuanya, ia dipukuli oleh beberapa siswa lainnya di madrasah. Belum ada keterangan jelas tentang dugaan ini, karena kasusnya pun sedang diselidiki. Namun setelah kejadian ini, ada orangtua korban lainnya yang mengaku anak mereka juga sering dirisak di sekolah. 

Riuh tanggapan bahkan kecaman di media sosial kepada pihak sekolah, para pelaku yang masih seusia dengan korban, dan orangtua pelaku. Bahkan foto para pelaku yang masih di bawah umur diunggah, disertai makian dan pelabelan psikopat. Biadab betul yang memotret para pelaku itu lalu menyebarkannya. Selain itu, sejumlah berita tidak berpedoman pada pemberitaan ramah anak. Kendati diduga pelaku, tetap harus melindungi hak anak-anak di bawah umur. 

Namun dari kejadian itu, siapa yang patut disalahkan? Pihak sekolah, parenting atau pola asuh orang tua terhadap anak, para pelaku yang masih anak-anak di bawah umur, atau sistem pendidikan kita? 

Dari keempat itu, saya sejak dulu, selalu kurang puas dengan sistem pendidikan kita. Menengok kejadian Bintang yang bersekolah di madrasah, saya bisa menerka, sekolah-sekolah seperti ini tak jauh beda sistem pendidikannya dengan sekolah lainnya di negeri kita. Bahkan mungkin bisa lebih membebani anak-anak didik. Kenapa? Karena mereka mengajarkan anak-anak untuk menghapal. 

Seberapa banyak surat-surat yang dihapal, seberapa rajin salat, seberapa jauh menguasai fikih dari mulai doa-doa ketika memasuki toilet sampai membersihkan najis. Tapi, mereka selalu lupa, bahwa mendahulukan akhlak di atas fikih itu jauh lebih penting. Akhlak tentunya berbicara tentang pendidikan karakter. Percuma diwajibkan salat lima waktu di musala, puluhan surat dan ayat-ayat dihapal beserta doa-doa lainnya, tapi akhlak atau budi pekerti tidak terdidik dengan baik. Anak-anak seperti terpaksa melakukan itu semua demi nilai yang bagus. 

Untuk madrasah setara SD, ada banyak anak-anak juga yang diharuskan menghapal. Bayangkan, anak SD yang bahkan belum tentu paham dengan arti ayat-ayat apalagi tafsirannya, disuruh menghapalnya demi nilai yang tinggi. Yang bukan madrasah pun kerap ditemui pola pengajaran semacam ini. 

Adakah di sekolah anak-anakmu, yang bahan ajaran mereka menonton film atau membedah buku-buku ringan bertema empati, atau pendampingan emosi lewat permainan, cara mencari solusi ketika ada pertengkaran, atau memberi contoh kasus perundungan dan dampaknya sekaligus cara mengatasinya? 

Sistem pendidikan kita juga masih kaku dengan penggunaan seragam sekolah, apalagi yang mewajibkan sepatu siswa berwarna tertentu, sampai model potongan rambut diurusi. Setiap anak memiliki potensi dan karakter masing-masing, tetapi sistem membuatnya seragam atau menyamaratakannya. Akhirnya, cetakan yang dihasilkan serupa yang terkadang membuat sebagian dari mereka harus berjuang lebih keras lagi di luar sana, untuk bisa menemukan dan mengasah bakatnya. 

Berbicara tentang sistem pendidikan, tentunya berkelindan dengan para tenaga pendidik. Termasuk peran para konselor pendidikan atau di era kami dikenal dengan istilah Bimbingan Penyuluhan (BP) dan sekarang Bimbingan Konseling (BK). Coba periksa sejauh mana kedekatan mereka dengan para anak didik. Adakah laporan atau curhatan siswa setiap pekan? Mereka inilah sebenarnya orangtua kedua bagi anak-anak di sekolah. Mereka adalah psikolog di sekolah. Dari sinilah, pihak sekolah terutama kepala sekolah bisa menakar apa saja yang kurang, atau apa saja celah yang perlu ditambal. 

Mengenai parenting, saya sendiri enggan menyalahkan orangtua para pelaku. Sebab kita tidak akan pernah tahu seperti apa kehidupan dan lingkungan yang mereka jalani saat ini. Didikan masing-masing orangtua tentu berbeda, sesuai dengan porsi pengetahuan mereka. 

Jika orangtua [atau bisa juga guru di sekolah] terbiasa menghukum anak dengan memukul, maka anak-anak yang tidak bisa membalas kemungkinan akan melampiaskannya ke orang lain yang sebaya. 

Namun ada satu hal yang mungkin kita sering kali luput, yakni memperlakukan anak-anak kita layaknya seorang teman agar mereka tak segan berkeluh kesah. Sebelum semuanya terlambat. 

Auggie, ialah contoh kasus yang sangat bagus untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan, pihak sekolah, parenting korban bullyng dan pelaku, untuk bisa duduk bersama menyelesaikan masalah anak-anak dan cara mendampingi mereka. Film ini sangat layak diputar di sekolah setara SD, SMP, bahkan SMA. 

Seorang anak kecil mengajarkan kepada kita, bahwa anak yang kuat bukan mereka yang lihai berkelahi. Tetapi yang kekuatannya mampu menggerakkan banyak hati untuk bisa berbuat baik. Seorang anak yang mampu menjadi bintang dan menerangi sekitarnya. 

Turut berduka cita untuk Adik Bintang. Semakin besar cobaan, semakin besar pula maknanya. Seperti Auggie, ada makna tak ternilai yang Adik Bintang ajarkan untuk dunia pendidikan kita. 

Al-Fatihah ...

Jumat, 20 Mei 2022

Allisya

Tidak ada komentar
Tujuh tahun lalu, negeri kita pernah digegerkan dengan kasus mengerikan pembunuhan Engeline Megawe, di Kota Denpasar, Bali. 

Pada 6 Mei 2015, awalnya nama yang menebal di lini masa ialah Angeline. Anak perempuan berusia 8 tahun ini, sebelumnya dinyatakan hilang oleh keluarga angkatnya, melalui laman Facebook bertitel "Find Angeline-Bali's Missing Child". 

Setelah diselidiki polisi, akhirnya kasus hilangnya Engeline terungkap. Seumpama durian masak, di mana pun kita menyembunyikannya, baunya akan tetap terhidu. Pada 10 Juni 2015, bau menyengat dan gundukan tanah di halaman belakang rumah mereka di Jalan Sedap Malam, Denpasar, membuat polisi curiga lalu menggalinya. Jasad Engeline ditemukan terkubur di sana. 

Ibu angkatnya, Margriet Christina Megawe ditetapkan sebagai tersangka. Melalui persidangan yang panjang, akhirnya Margriet dihukum seumur hidup pada persidangan 29 Februari 2016. 

Pagi tadi, sejumlah media sosial riuh dengan unggahan dugaan penganiayaan yang menyebabkan tewasnya anak perempuan bernama Allisya. 

Dari hasil memindai unggahan di media sosial, Allisya baru berusia 5 tahun. Ia berasal dari kota saya pula: Kotamobagu. Allisya meninggal pada Rabu (18/5/2022), di tempat tinggal barunya di Kota Gorontalo bersama ayah kandung dan istri barunya. 

Awalnya, Allisya tinggal bersama neneknya di Kotamobagu. Kemudian ayahnya mengajak Allisya ke Gorontalo, karena akan disekolahkan di Taman Kanak-Kanak di sana. Pihak keluarga korban menduga Allisya meninggal secara tidak wajar, karena selain ditemukan lebam di tubuhnya, ada patahan gagang sapu di rumah tersebut. 

Belum banyak media yang memberitakan kasus ini secara jernih. Dari laporan Gopos.id, Kasat Reskrim Polres Gorontalo Kota, Iptu Mohamad Nauval Seno STK SIK, mengatakan laporan kasus tersebut sudah diterima. Saat ini masih dalam proses penyidikan lebih lanjut. Kasat sendiri belum menjelaskan detail dan kronologi kejadian tersebut. 

Saya pernah menonton film yang bahkan saking lamanya saya lupa judulnya. Di film itu, ada sejumlah pasangan yang setelah menikah memilih "childfree" atau memutuskan untuk tidak memiliki anak. Ada banyak faktor kenapa mereka memilih childfree misal alasan finansial, latar belakang keluarga, gaya hidup, dan lain sebagainya.

Tetapi dalam film itu, alasan salah satu pasangan ini cukup mencengangkan. Karena mereka berdua pecinta alam, mereka tidak ingin anak mereka tumbuh di kondisi lingkungan yang semakin rusak di masa depan.

Tentu itu bukan hanya terjadi dalam sebuah film. Karena childfree sudah banyak dilakoni sejumlah orang, termasuk di negara kita. Bayangkan saja, untuk memutuskan memiliki atau tidak memiliki anak saja mereka bisa mempertimbangkannya sedemikian rupa.

Maka, sungguh biadab orangtua yang tega menganiaya bocah semungil Allisya. Orang dewasa memang menyebalkan!

Duka sedalam-dalamnya untukmu, peri kecil ...

Al-Fatihah ...

Minggu, 17 April 2022

Selamat Jalan Om Oku

Tidak ada komentar
Polemik rencana pembangunan bandara di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), mungkin sekitar 2013 atau 2014 silam, menyulam perkenalan saya dengan Herson Mayulu.

Kala itu, Herson Mayulu menjabat sebagai Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel). Bandara baru di Provinsi Sulawesi Utara, rencananya akan dibangun di Bolmong. Bolsel dan Bolmong induk sama-sama mempersiapkan kelengkapan pembangunan bandara perintis, untuk diajukan ke Kementerian Perhubungan.

Di tengah polemik itulah, seorang kawan menyarankan saya menulis tentang Herson Mayulu, yang saat itu bersikukuh agar bandara dibangun di Bolsel.

"Nama akrabnya Om Oku," kata kawan saya.

Setelah memindai beberapa pemberitaan terkait itu, saya menulis artikel berjudul "Om Oku Ini Jo tu Loku".

Ponsel terpintar saat itu adalah BlackBerry yang, pada 4 Januari 2022 tinggal menjadi fosil karena sistem operasinya resmi ditutup. Artikel itu kemudian di-broadcast sejumlah kawan, lalu sampai di layar ponsel Om Oku.

Kawan Nev Setiawan yang lumayan dekat dengan Om Oku mengirimkan "PING!!!" di BBM. Disusul dengan pesan bahwa tulisan saya dibaca Om Oku.

Pesan susulan berisi, "Saya kasih PIN BBM-mu kepadanya [Om Oku]."

Sejam kemudian, undangan baru pertemanan masuk. Seorang bupati dari Negeri Selatan. Dan saya hanya seorang wartawan baru, yang bahkan berjumpa dengan pejabat saja masih gugup.

Artikel yang saya tulis dikirimkannya kembali. Lalu kami terlibat percakapan panjang tentang isi artikel. Saya menulis di artikel tersebut, daripada gaduh soal bandara perintis dibangun di Bolsel atau Bolmong, alangkah baiknya Bolsel menarik diri, membiarkan bandara tersebut dibangun di Bolmong. Selain lokasi di Lolak, Bolmong, cukup strategis dan berada di tengah-tengah, lalu lintas kendaraan antarprovinsi lebih banyak melewati Bolmong ketimbang Bolsel.

Bolsel menghadap langsung dengan Teluk Tomini, teluk terbesar di Indonesia. Mungkin Bolsel bisa membangun pelabuhan yang nantinya bisa menjadi pintu masuk jalur laut, jika kelak kita menjadi Provinsi Bolmong Raya. Kalau Bolmong punya bandara, maka Bolsel punya pelabuhan. Seperti Manado dan Bitung. Apalagi, potensi wisata bahari Bolsel sangat menjanjikan. Judul artikel "Om Oku Ini Jo tu Loku" (Om Oku Ini Saja yang Ditangkap) bermaksud demikian. Yang "ditangkap" ide pembangunan pelabuhan saja daripada bandara.

"Betul juga apa yang kamu sampaikan, tetapi saya akan berusaha agar bandara dibangun di Bolsel." Isi pesan Om Oku, sekuat ingatan saya.

Setelah itu, kami masih terlibat percakapan panjang. Dari situlah, saya tahu bahwa Om Oku adalah orang yang sangat teguh dengan pilihannya. Ia tetap bersikeras agar bandara dibangun di Bolsel.

Beberapa tahun kemudian, saya tinggal di Gorontalo--tanah kelahiran Om Oku. Suatu hari, saya pulang ke kampung hanya beberapa hari saja. Nev yang hendak ke Gorontalo, menawarkan untuk berangkat bersama dengan mobilnya, tetapi melewati jalur selatan. Di saat itulah, pertemuan tatap muka dengan Om Oku terkabul. Ia sedang berkampanye untuk periode keduanya sebagai bupati. Nev mempertemukan kami meski hanya sebentar, karena akan melanjutkan perjalanan ke Gorontalo.

Tahun-tahun menggelinding dengan cepat. Saya lebih banyak berada di luar daerah. Tetapi informasi di tanah kelahiran tetap terpindai. Bupati Bolsel dua periode ini, menanggalkan jabatannya karena maju sebagai caleg DPR RI. Pilihan tepat karena Om Oku terpilih menjadi anggota DPR RI pada 2019, menunggangi banteng PDI Perjuangan untuk daerah pemilihan Sulawesi Utara.

Tahun lalu, garis bibir saya melengkung, ketika membaca berita tentang perjuangannya untuk bandara di Lolak, Bolmong. Bandara Lolak menjadi salah satu dari sepuluh bandara, yang ditargetkan pembangunannya selesai pada 2024, sesuai instruksi Ditjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan. Hal itu disampaikan langsung Staf Ahli Anggota DPR RI Herson Mayulu. 

Ketika menjadi Bupati Bolsel, Om Oku ingin melakukan apa yang terbaik untuk masyarakat Bolsel. Lalu ketika menjadi anggota DPR RI, Om Oku ingin yang terbaik pula untuk semua masyarakat Bolmong Raya.

Tahun lalu juga, dalam Rapat Dengar Pendapat antara Komisi V DPR RI dengan Dirjen Perhubungan Laut dan Dirjen Perhubungan Udara, di Jakarta, Om Oku sempat membahas terkait operasional Pelabuhan Torosik, di Kecamatan Pinolosian Tengah, Bolsel. Ia mengunjungi pelabuhan tersebut, dan sangat prihatin dengan kondisinya. Bahkan menurutnya pelabuhan itu tak lagi memiliki pegawai.

Saya teringat kembali percakapan tentang pelabuhan dan bandara kala itu ...

Kemudian ... Minggu kemarin, pukul 09.05 WIB, Om Oku dikabarkan berpulang di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Kabar itu tersiar begitu cepat di media sosial. Beranda Facebook saya bersikut-sikutan ucapan belasungkawa untuk Om Oku.

Ahh umur ... hanya berisi angka-angka. Namun di setiap angka itu ada hal-hal baik yang kita lakukan, itu sudah lebih dari cukup sebagai bekal kita. Mungkin seperti itu pemaknaan Om Oku ...

Selamat jalan Om Oku. Sukur moanto (terima kasih) untuk kebaikan-kebaikan yang Om Oku tinggalkan untuk Tanah Totabuan.

Al-Fatihah ...