Hampir pukul 1 malam, aplikasi pesan FB berdenting. Dua pesan mengindik masuk. Yang pertama sapa, selanjutnya selebaran undangan berharap jumpa.
Pesan itu datang dari kawan Vicky Mokoagow. Dia gitaris Beranda Rumah Mangga (Braga), sebuah band indie di Tanah Mongondow, yang akan segera merilis album kedua mereka. Band ini terdiri dari Vicky (gitaris/vokalis latar), Yedi (vokalis), Vicro (gitaris/vokalis latar), Christy (bassist), dan Rian (drummer).
Rencananya album "Kembara Jiwa" akan dilepasliarkan pada 27 Desember 2024 mendatang. Pada Rabu malam, 18 Desember 2024, mereka mengajak karib dan para pendengar setia Braga untuk hadir dalam sesi dengar dan ngobrol. Selain tamu yang diundang khusus, ada 25 kursi yang disediakan bagi para penggemar Braga terpilih.
Kabarnya, ada banyak yang mendaftar lewat Google Form, tapi hanya 25 orang ini yang beruntung diundang pada sesi dengar dan ngobrol. Lokasinya pun bahkan dirahasiakan. Bukan bermaksud apa-apa, acara ini memang sengaja dibuat intim untuk menghindari riuh.
Bayangkan jika followers Yedi Mamonto—vokalis Braga—yang hampir menyentuh angka 100 ribu orang itu berkonvoi datang. Jumlah pengikut yang bisa membuatnya pasti duduk di tahta bupati (tinggal pilih mau bupati di mana se-Bolmong Raya). Jadi sabar-sabar ya, nanti pada Januari 2025, rencananya akan ada showcase album kedua mereka yang spesial diadakan untuk para penggemar.
Kembali ke pesan tengah malam itu, saya belum memastikan datang atau menyanggupi undangan tersebut. Di hari yang sama, saya bekerja di jam piket bersamaan dengan waktu acara. Vicky memberikan dua pilihan: datang atau dikirimi file preview. Untuk berjaga-jaga, saya meminta ia mengirimkan file preview album "Kembara Jiwa" yang bisa saya dengarkan lebih dulu, kemudian membikin ulasannya.
"Boleh, tapi jangan bocor, ha ha ha," tulisnya, mengekspresikan keikhlasan sekaligus ancaman dan canda.
Link Google Drive membungkuk masuk mungkin saking beratnya memikul 10 lagu, yang pastinya digarap dengan penuh bilur. Saya mulai mengunduhnya satu demi satu. Beranjak dari ranjang, menerjang penyuara jemala di sudut lemari, dan menancapkannya ke telinga.
Braga, dalam sejumlah karya kerap mengultuskan "Mongondow". Lagu pembuka berjudul "Tolatan" yang berarti Angin Selatan, sayup mendesir di kuping. Petikan gitar, menyatu bersama imajinasi para sepuh dan leluhur Tanah Mongondow. Silir angin pelan menggiring mantra Tolatan. Seolah-olah ada yang meniup kuduk. Kepak sayap burung, menambah nuansa magis lagu ini.
Beruntung, di saat-saat ekstase itu, saya luput membayangkan wajah Yedi yang meniup tengkuk saya. Seandainya terjadi, maka luluh lantak momen gigir malam itu. Yedi, dengan tingkah konyol di setiap kontennya, seperti lekas bersulih karakter ketika menjadi Braga. Sangat profesional. Jadi ingat film "Split" yang disutradarai M. Night Shyamalan. James McAvoy yang berperan sebagai Kevin Wendell Crumb, memiliki 24 kepribadian di film tersebut. Mudah-mudahan, Yedi hanya cukup sampai 4 kepribadian saja sebagai vokalis Braga, Lengkebong, guru, dan konten kreator.
"Senandung Pembuka Jalan" menyusul setelah "Tolatan". Lagu dengan petikan gitar dan ketukan derap kuda ini, menghantar sebuah pengembaraan. Selanjutnya "Jalan Hidup" berkisah tentang segala iklim kehidupan. Bagaimana kita menghalau setiap aral, menembusnya, menyusurinya, sembari bernaung di bawah petuah Ayah dan Ibu.
Dalam setiap perjalanan kehidupan, "Nasib dan Takdir" melekat. Lagu keempat ini, tentang sebuah gerak ikhtiar menjemput takdir dan hasilnya: nasib. Atau seperti apa laku kita, yang kelak memapah kita pada takdir. Lagu ini juga menyelipkan seperti apa lingkar persahabatan, hasil dari upaya atau pilihan-pilihan kita sendiri. Eh, so mulai kasana-kasana ini ngana! (momen pasca-pilkada). Cha ca ca ca!
Mari kita segera beralih dari kajian Qada dan Qadar. Meski lagu kelima "Kembar Jiwa" ini juga masih bertautan dengan konsep di lagu-lagu sebelumnya, namun ini lebih kepada seseorang yang menjadi "Kembar Jiwa" atau twin flame. Kembar jiwa (twin flame) ini berbeda dengan belahan jiwa (soulmate). Jika twin flame memiliki jiwa yang sama atau mirror soul, maka soulmate mempunyai jiwa berbeda. Mungkin seperti itu yang dijelaskan Vicky tentang lagu tersebut. Ada selarik lirik yang juga meminjam kalimat Pramoedya Ananta Toer, "Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan."
Peringatan Darurat! Lagu "Kembar Jiwa" bisa dipakai untuk merayu. Ba bue'-bue' skali pa ade'-ade'. Setelah berhasil memikat, menjalin hubungan, kemudian putus, maka segera tekan tombol next ke lagu keenam "Sedih Akan Pergi". Lagu ini tentang sebuah kerelaan. Cuaca hati akan selalu berganti. Jangan mengumpat mendung, setelahnya akan ada pelangi. Jangan mengutuk kegelapan, tapi nyalakan api. Dan hidup bukan tentang menggapai tujuan, tapi pemaknaan ketika kita menjalaninya.
Senandung ketujuh "Kelana", menyeret saya berkelana ke puncak gunung, tepi pantai, atau "leput-leput" di kampung tempat kami kerap duduk dan bernyanyi bersama. Ingat bagaimana berpuluh-puluh lagu kami nyanyikan sepanjang malam, hanya bermodalkan Cap Tikus dan kunci C, Am, F, G kembali ke C. Bubar ketika orang-orang dengan sajadah terkulai di pundak melintas.
"Subuh" jadi lagu kedelapan di album ini. Lirik "Kabut menebal, menelan jalanku" menarik ingatan tentang Atoga, Katulidan, Tutung, dan tentang jalur-jalur pergi dan pulang. Ada ketukan gendang dan ilusi para penari Kabela, menyambut tiba. Sepertinya, ini sebuah jalan berlangit abu-abu menuju Ibu.
Ibu menunggu di lagu "Pulang Yang Paling Pulang". Di mana pun bertualang, jangan lupa pulang. Ke mana pun kau mengembara, jangan lupa kembali bersimpuh di depan gua garba. Rahim Ibu.
Lagu ini, mengoyak kantong mata saya malam itu. Tali batinnya begitu erat menyimpul. Menggambarkan kesulitan perjalanan pulang saya dari Jayapura ke kampung halaman di Passi, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, ketika Ibu dikabarkan sakit parah. Kala itu sedang diberlakukan karantina wilayah akibat wabah Covid-19 pada 2020. Pilihan pulang meski sungguh melelahkan dan mengkhawatirkan karena bisa-bisa saya yang membawa virus ke kampung, terpaksa ditempuh. Kisah perjalanan pulang itu pernah saya tulis di sini: "Pulang Kampung".
Tyo Mokoagow yang membantu menulis lirik, juga berangkat dari kegelisahan yang sama. Ketika acara berlangsung, saya dan dia sempat berbincang tentang itu, sebelum "Pulang Yang Paling Pulang" ditayangkan di layar proyektor. Ia juga mengkhawatirkan Ibu di kampung, ketika Virus Corona senyap-senyap di udara dan mulai menjangkau pedesaan. Tyo dan Vicro intens berkutat dengan materi lagu ini. Apalagi, ibunda Vicro juga baru berpulang, pun personel lainnya menyerap aura serupa.
Semua kembara dan perjalanan
mencari arti pulang yang paling pulang
kini kau tahu, rumah dan rindu
adalah senyum ibumu yang menunggu.
Ada pekik melengking di penghujung "Pulang Yang Paling Pulang". Rasa yang setara ketika kau pulang, kemudian tepat berada di simpang tiga Jembatan Kaiya. Atau melihat tonggak pertanda kau telah berhasil melipat jarak. Pintu rumah sebentar lagi kaujamah.
Minggu, 29 Desember 2024 nanti, tepat dua tahun mendiang Ibu saya berpulang. Dua hari setelah album "Kembara Jiwa" dirilis di aplikasi layanan streaming musik.
Dalam novel "Amba" karya Laksmi Pamuntjak, pembaca dipeluk sebaris kalimat pembuka, "Di Pulau Buru, laut seperti seorang Ibu: dalam dan menunggu." Sosok Ibu dalam "Pulang Yang Paling Pulang" mungkin bisa menjadi siapa dan apa saja bagi setiap orang. Ia bisa menjadi laut di Pulau Buru, harapan antara kampung halaman dan tempat pengasingan; menjadi orang terkasih yang menantimu di rumah; menjadi pusara tempatmu mengadu lara; atau tetap menjadikan lagu itu teristimewa untuk Ibu.
Karna hidup adalah sebuah perayaan, maka lagu pemungkas "Rayakan" meringkus semua perjalanan di album ini. "Bukan Braga yang menemukan Kembara Jiwa, tapi Kembara Jiwa yang menemukan Braga," kata Vicky.
Tetap seperti ini, Braga. Jangan dulu dewasa. Selamat mengembara "Kembara Jiwa", temukan setiap jiwa yang ingin kausapa. Jangan lupa pulang dan bersulang.