Kamis, 19 Desember 2024

Braga Jangan Dulu Dewasa

Tidak ada komentar

Hampir pukul 1 malam, aplikasi pesan FB berdenting. Dua pesan mengindik masuk. Yang pertama sapa, selanjutnya selebaran undangan berharap jumpa.

Pesan itu datang dari kawan Vicky Mokoagow. Dia gitaris Beranda Rumah Mangga (Braga), sebuah band indie di Tanah Mongondow, yang akan segera merilis album kedua mereka. Band ini terdiri dari Vicky (gitaris/vokalis latar), Yedi (vokalis), Vicro (gitaris/vokalis latar), Christy (bassist), dan Rian (drummer).

Rencananya album "Kembara Jiwa" akan dilepasliarkan pada 27 Desember 2024 mendatang. Pada Rabu malam, 18 Desember 2024, mereka mengajak karib dan para pendengar setia Braga untuk hadir dalam sesi dengar dan ngobrol. Selain tamu yang diundang khusus, ada 25 kursi yang disediakan bagi para penggemar Braga terpilih. 

Kabarnya, ada banyak yang mendaftar lewat Google Form, tapi hanya 25 orang ini yang beruntung diundang pada sesi dengar dan ngobrol. Lokasinya pun bahkan dirahasiakan. Bukan bermaksud apa-apa, acara ini memang sengaja dibuat intim untuk menghindari riuh. 

Bayangkan jika followers Yedi Mamonto—vokalis Braga—yang hampir menyentuh angka 100 ribu orang itu berkonvoi datang. Jumlah pengikut yang bisa membuatnya pasti duduk di tahta bupati (tinggal pilih mau bupati di mana se-Bolmong Raya). Jadi sabar-sabar ya, nanti pada Januari 2025, rencananya akan ada showcase album kedua mereka yang spesial diadakan untuk para penggemar. 

Kembali ke pesan tengah malam itu, saya belum memastikan datang atau menyanggupi undangan tersebut. Di hari yang sama, saya bekerja di jam piket bersamaan dengan waktu acara. Vicky memberikan dua pilihan: datang atau dikirimi file preview. Untuk berjaga-jaga, saya meminta ia mengirimkan file preview album "Kembara Jiwa" yang bisa saya dengarkan lebih dulu, kemudian membikin ulasannya.

"Boleh, tapi jangan bocor, ha ha ha," tulisnya, mengekspresikan keikhlasan sekaligus ancaman dan canda. 

Link Google Drive membungkuk masuk mungkin saking beratnya memikul 10 lagu, yang pastinya digarap dengan penuh bilur. Saya mulai mengunduhnya satu demi satu. Beranjak dari ranjang, menerjang penyuara jemala di sudut lemari, dan menancapkannya ke telinga.

Braga, dalam sejumlah karya kerap mengultuskan "Mongondow". Lagu pembuka berjudul "Tolatan" yang berarti Angin Selatan, sayup mendesir di kuping. Petikan gitar, menyatu bersama imajinasi para sepuh dan leluhur Tanah Mongondow. Silir angin pelan menggiring mantra Tolatan. Seolah-olah ada yang meniup kuduk. Kepak sayap burung, menambah nuansa magis lagu ini.

Beruntung, di saat-saat ekstase itu, saya luput membayangkan wajah Yedi yang meniup tengkuk saya. Seandainya terjadi, maka luluh lantak momen gigir malam itu. Yedi, dengan tingkah konyol di setiap kontennya, seperti lekas bersulih karakter ketika menjadi Braga. Sangat profesional. Jadi ingat film "Split" yang disutradarai M. Night Shyamalan. James McAvoy yang berperan sebagai Kevin Wendell Crumb, memiliki 24 kepribadian di film tersebut. Mudah-mudahan, Yedi hanya cukup sampai 4 kepribadian saja sebagai vokalis Braga, Lengkebong, guru, dan konten kreator. 

"Senandung Pembuka Jalan" menyusul setelah "Tolatan". Lagu dengan petikan gitar dan ketukan derap kuda ini, menghantar sebuah pengembaraan. Selanjutnya "Jalan Hidup" berkisah tentang segala iklim kehidupan. Bagaimana kita menghalau setiap aral, menembusnya, menyusurinya, sembari bernaung di bawah petuah Ayah dan Ibu.

Dalam setiap perjalanan kehidupan, "Nasib dan Takdir" melekat. Lagu keempat ini, tentang sebuah gerak ikhtiar menjemput takdir dan hasilnya: nasib. Atau seperti apa laku kita, yang kelak memapah kita pada takdir. Lagu ini juga menyelipkan seperti apa lingkar persahabatan, hasil dari upaya atau pilihan-pilihan kita sendiri. Eh, so mulai kasana-kasana ini ngana! (momen pasca-pilkada). Cha ca ca ca!

Mari kita segera beralih dari kajian Qada dan Qadar. Meski lagu kelima "Kembar Jiwa" ini juga masih bertautan dengan konsep di lagu-lagu sebelumnya, namun ini lebih kepada seseorang yang menjadi "Kembar Jiwa" atau twin flame. Kembar jiwa (twin flame) ini berbeda dengan belahan jiwa (soulmate). Jika twin flame memiliki jiwa yang sama atau mirror soul, maka soulmate mempunyai jiwa berbeda. Mungkin seperti itu yang dijelaskan Vicky tentang lagu tersebut. Ada selarik lirik yang juga meminjam kalimat Pramoedya Ananta Toer, "Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan."

Peringatan Darurat! Lagu "Kembar Jiwa" bisa dipakai untuk merayu. Ba bue'-bue' skali pa ade'-ade'. Setelah berhasil memikat, menjalin hubungan, kemudian putus, maka segera tekan tombol next ke lagu keenam "Sedih Akan Pergi". Lagu ini tentang sebuah kerelaan. Cuaca hati akan selalu berganti. Jangan mengumpat mendung, setelahnya akan ada pelangi. Jangan mengutuk kegelapan, tapi nyalakan api. Dan hidup bukan tentang menggapai tujuan, tapi pemaknaan ketika kita menjalaninya.

Senandung ketujuh "Kelana", menyeret saya berkelana ke puncak gunung, tepi pantai, atau "leput-leput" di kampung tempat kami kerap duduk dan bernyanyi bersama. Ingat bagaimana berpuluh-puluh lagu kami nyanyikan sepanjang malam, hanya bermodalkan Cap Tikus dan kunci C, Am, F, G kembali ke C. Bubar ketika orang-orang dengan sajadah terkulai di pundak melintas.

"Subuh" jadi lagu kedelapan di album ini. Lirik "Kabut menebal, menelan jalanku" menarik ingatan tentang Atoga, Katulidan, Tutung, dan tentang jalur-jalur pergi dan pulang. Ada ketukan gendang dan ilusi para penari Kabela, menyambut tiba. Sepertinya, ini sebuah jalan berlangit abu-abu menuju Ibu.

Ibu menunggu di lagu "Pulang Yang Paling Pulang". Di mana pun bertualang, jangan lupa pulang. Ke mana pun kau mengembara, jangan lupa kembali bersimpuh di depan gua garba. Rahim Ibu. 

Lagu ini, mengoyak kantong mata saya malam itu. Tali batinnya begitu erat menyimpul. Menggambarkan kesulitan perjalanan pulang saya dari Jayapura ke kampung halaman di Passi, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, ketika Ibu dikabarkan sakit parah. Kala itu sedang diberlakukan karantina wilayah akibat wabah Covid-19 pada 2020. Pilihan pulang meski sungguh melelahkan dan mengkhawatirkan karena bisa-bisa saya yang membawa virus ke kampung, terpaksa ditempuh. Kisah perjalanan pulang itu pernah saya tulis di sini: "Pulang Kampung".

Tyo Mokoagow yang membantu menulis lirik, juga berangkat dari kegelisahan yang sama. Ketika acara berlangsung, saya dan dia sempat berbincang tentang itu, sebelum "Pulang Yang Paling Pulang" ditayangkan di layar proyektor. Ia juga mengkhawatirkan Ibu di kampung, ketika Virus Corona senyap-senyap di udara dan mulai menjangkau pedesaan. Tyo dan Vicro intens berkutat dengan materi lagu ini. Apalagi, ibunda Vicro juga baru berpulang, pun personel lainnya menyerap aura serupa.

Semua kembara dan perjalanan

mencari arti pulang yang paling pulang

kini kau tahu, rumah dan rindu

adalah senyum ibumu yang menunggu. 

Ada pekik melengking di penghujung "Pulang Yang Paling Pulang". Rasa yang setara ketika kau pulang, kemudian tepat berada di simpang tiga Jembatan Kaiya. Atau melihat tonggak pertanda kau telah berhasil melipat jarak. Pintu rumah sebentar lagi kaujamah.

Minggu, 29 Desember 2024 nanti, tepat dua tahun mendiang Ibu saya berpulang. Dua hari setelah album "Kembara Jiwa" dirilis di aplikasi layanan streaming musik.

Dalam novel "Amba" karya Laksmi Pamuntjak, pembaca dipeluk sebaris kalimat pembuka, "Di Pulau Buru, laut seperti seorang Ibu: dalam dan menunggu." Sosok Ibu dalam "Pulang Yang Paling Pulang" mungkin bisa menjadi siapa dan apa saja bagi setiap orang. Ia bisa menjadi laut di Pulau Buru, harapan antara kampung halaman dan tempat pengasingan; menjadi orang terkasih yang menantimu di rumah; menjadi pusara tempatmu mengadu lara; atau tetap menjadikan lagu itu teristimewa untuk Ibu.

Karna hidup adalah sebuah perayaan, maka lagu pemungkas "Rayakan" meringkus semua perjalanan di album ini. "Bukan Braga yang menemukan Kembara Jiwa, tapi Kembara Jiwa yang menemukan Braga," kata Vicky. 

Tetap seperti ini, Braga. Jangan dulu dewasa. Selamat mengembara "Kembara Jiwa", temukan setiap jiwa yang ingin kausapa. Jangan lupa pulang dan bersulang.

Senin, 16 Desember 2024

Hutan "Dibuang", Sawit "Ditelan"

Tidak ada komentar

Di sela-sela pekerjaan yang lumayan menguras energi dan pikiran, menuntaskan film dokumenter "17 Surat Cinta" bukanlah perkara mudah. Film ini berdurasi hampir satu setengah jam, atau rata-rata durasi film Hollywood di bioskop atau Netflix. Tapi itu tak menyurutkan niat saya untuk menuntaskan film dokumenter ini, sama seperti ketika saya kerap kali menantikan dan menonton tuntas karya-karya WatchdoC lainnya, sejak Ekspedisi Indonesia Biru sampai Ekspedisi Indonesia Baru. 


Film ini bisa dibilang tontonan mahal di penghujung tahun. Saya tahu persis bagaimana susahnya, ketika mengambil rekaman video atau foto satwa-satwa liar dilindungi bahkan yang nyaris punah. Saya pernah ikut beberapa kegiatan Burung Indonesia dulu. Ini adalah Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (BirdLife Indonesia Association), yang berdiri pada 15 Juli 2002, bertujuan melestarikan burung-burung liar di Indonesia dan habitatnya. Mendapatkan gambar-gambar seperti itu, butuh upaya keras, menguras tenaga, butuh kecermatan, dan kesabaran. Dan kita, bisa menikmatinya hanya bermodalkan kuota internet.


Selain itu, nyaris di sepanjang film setiap potongan gambar diambil dengan cermat dan sejumlah momen yang harus ditunggu dengan penuh kesabaran. Belum lagi berbagai upaya investigasi, pengumpulan data, pemetaan, dan bahkan sampai rela "membakar" sejumlah uang yang tak sedikit, demi menjaga Kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Aceh, surga bagi populasi orang utan terbanyak di dunia dan tempat satwa dilindungi lainnya bernaung, yang tengah terancam deforestasi.


Kondisi masyarakat di Boven Digoel, Papua Selatan, sesekali melintas sepanjang film. Mereka yang berupaya melawan deforestasi dengan cara-cara adat hingga memancangkan "Salib Merah". Pejuang lingkungan dan pemimpin Marga Woro, Hendrikus Franky Woro, dikutip dari laporan Jubi.id mengatakan sebanyak 1.400 lebih tanda sasi "Salib Merah" telah ditancapkan di wilayah tanah adat masyarakat suku Awyu, sejak September 2016 sampai dengan Desember 2024.


Bagi masyarakat adat Papua, hutan adalah tempat mereka meramu dan berburu untuk mencari makan, dan mengambil secukupnya apa saja di dalamnya demi menopang penghidupan. Ingin sagu, tinggal tebang dan pangkur. Ingin ikan, tinggal pancing atau jubi. Ingin hewan buruan, tinggal panah atau jerat. Hutan bagi masyarakat adat di Papua adalah "toko besar" tempat berbelanja, tanpa perlu merogoh uang.


Saya tercenung dengan salah satu potongan dalam film, tepat di bagian sejumlah orang Papua berada di hutan Boven Digoel, saat mereka tengah bercerita tentang khasiat kulit kayu yang bisa menjadi obat penyembuh sakit perut. Seseorang mengatakan sambil memperagakan bagaimana kulit kayu itu diisap vitaminnya (sari patinya), lalu setelah itu dibuang. 


Kemudian salah seorangnya lagi menimpali dari belakang sembari bercanda. "Jangan, vitaminnya [yang] dibuang, kulitnya [yang] ditelan."


Orang itu, membalikkan narasi tentang khasiat dari kulit kayu itu yang bisa menyembuhkan sakit perut. Dan apa yang ia narasikan meski dengan candaan—menjadi sarkastis—memiliki arti yang mirip sekali dengan yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini terhadap hutan-hutan di Papua, atau di seluruh wilayah Indonesia. Hutannya "dibuang" (dirusak), dan sawitnya yang "ditelan" (ditanam). Orang ini tanpa sengaja mencela apa yang tengah dilakukan penguasa dan pengusaha (pengpeng) terhadap hutan adat mereka, dan kawasan hutan lainnya termasuk di Sumatra dan Kalimantan.


Perut, sejak manusia bisa berdiri tegak memang kerap menjadi biang masalah. Siapa yang paling diuntungkan dengan maraknya deforestasi? Tentu saja perut para pengpeng. Mereka yang kami lawan selama bertahun-tahun, karena terus merusak paru-paru dunia demi keserakahan. Jokowi berkuasa selama 10 tahun namun daya rusaknya terhadap hutan-hutan di Indonesia, bisa dirasakan hingga 1.000 tahun. Kurang lebih seperti itu maksud kalimat, yang saya kutip dari komentar salah satu penonton, di kolom komentar film "17 Surat Cinta" di kanal Youtube Indonesia Baru. Dan daya rusak ini akan terus berlanjut, setelah sebagian besar masyarakat Indonesia sambil berjoget memilih penerusnya.


Awal November lalu, perjuangan masyarakat adat Awyu dan Moi juga pupus. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi mereka. Ini adalah kabar duka bagi upaya mempertahankan hutan, dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel. Bahkan meski tiga juta lebih pengguna media sosial mendukung kampanye “All Eyes on Papua” dan viral beberapa waktu lalu, Mahkamah Agung tetap bergeming. Kesedihan masyarakat adat Awyu dan Moi turut pula dirasakan oleh mereka yang berjuang melawan deforestasi di Rawa Singkil. Surat-surat "cinta" tak berbalas hingga sekarang.


Ada bagian dalam film yang membuat bola mata kita berkabut dan berembun, serupa lanskap hutan Boven Digoel di pagi hari. Ketika melihat hutan-hutan digunduli di Sorong, gundukan tanahnya serupa kepang rambut seorang gadis timur, serta pohon-pohon rebah tak berdaya diterjang alat-alat berat. 


Film akhir tahun ini, bisa menjadi bahan renung bahwa negeri dan bumi ini sedang terancam, dan di tahun-tahun mendatang kepal kita akan semakin keras untuk melawan. 


Terima kasih untuk tim Ekspedisi Indonesia Baru, Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia, Yayasan HAkA, Greenpeace Indonesia, dan Pusaka Bentala Rakyat, dan semua yang terlibat dalam pembuatan film ini. Hormat! 


#Review17SuratCinta

Mestakung

Tidak ada komentar

Pukul 2 pagi, saya menyibak tirai dari ruang tamu. Di luar berkabut bahkan tebalnya nyaris menelan cahaya lampu-lampu jalan. 


Saya memotret lanskap kampung malam itu lalu mengirimkannya kepada seseorang. "Mestakung!" 


Seperti terhubung, ia juga melakukan hal yang sama. Memotret pekarangan rumah dan hanya hamparan kabut sejauh tangkapan kamera. 


"Benar sudah, semesta mendukung (mestakung)," tulisnya, membalas pesanku.


Ketika linimasa media sosial riuh dengan kasus penangkapan pelaku politik uang, dua hari sebelum pencoblosan tersiar kabar pengerahan seribu pasukan bayangan. Tapi, para siluman pun, akan memilih tidur ketika kabut menebal seperti pagi itu. Apalagi, ada yang lebih mencekam dari itu sedang berkelebat dari ujung Timur, Selatan, Utara, mengitari tanah leluhur dan kota mungilnya.


Saya bilang kepadanya tentang gigil aneh, karena bersamaan dengan damai di hati, lalu seketika menjalar di sekujur tubuh. Perasaan ini, hanya pernah saya rasakan ketika Jokowi menang dan menjadi harapan baru kami, saat pertama kali ia dijunjung rakyat Indonesia termasuk kami Bara JP sepuluh tahun yang lalu. Kala itu, wajah Jokowi bahkan menghiasi sampul majalah TIME dengan judul "A New Hope".


Setelahnya, saya tidak lagi ikut mendukungnya sama seperti sebagian kawan lainnya, bahkan sejak dua tiga tahun ia pertama kali menjabat, karena kebijakan-kebijakannya yang mulai memunggungi wong cilik. Saya jelas memilih golput di pertarungannya yang kedua. Pilpres kemarin, tak ada pula perasaan yang sama. Kami hanya menyimbolkan perlawanan dengan salam empat jari, apalagi "Dirty Vote" semakin menebalkan yakin kami.


"Saya juga merasakan gigil yang sama," balasnya. Lalu kami mulai saling menarik ingatan dan membuka tabungan memori.


Esok harinya, sehari sebelum pencoblosan pilkada serentak, mendung menaungi langit kampung. Tak berselang lama garis-garis gerimis mulai turun. Kemudian hujan serupa butiran jagung sekejap membuat pekarangan rumah seperti kolam-kolam kecil. "Hujan mestakung lagi," tulisku dalam isi pesan.


Malam sebelum pencoblosan atau lazim disebut serangan fajar, gelombang tsunami yang sebelumnya sudah diramalkan, akhirnya terjadi. Malam ini sudah seperti pesta senyap bagi kami. Di luar sana, masing-masing pendukung memarkir berdus-dus bir, menikmatinya hingga mentari pelan-pelan memanjat punggung Gunung Ambang.


Pukul 4 sore, terbangun dari sisa-sisa mabuk dan kantuk yang terpaksa ditahan karena paginya harus ikut mencoblos, perasaan yang sama kembali hadir. Kabar-kabar terus berdatangan, dan katanya kemenangan telah di genggaman. Kabar kemenangan yang sebenarnya tinggal untuk memastikan statistik, atau seberapa banyak kau meraup kelereng di setiap lubang.


Saya menyimpan video dua lilin yang saling berbagi nyala, ketika salah satunya padam. Kemudian menuliskan sebait kalimat, "Siapa pemenangnya? Mereka yang tetap meyakini ikatan darah adalah abadi. Mereka yang menapaki tangga tanpa menginjak orang lain, kerabat, dan sahabat. Dan mereka yang masih percaya bahwa tanah leluhur ini harus dijaga dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."


Setelah mengunggahnya di Facebook pagi hari sebelum mencoblos, kala itu bola mata saya yang berkabut. Ada banyak pertaruhan di luar sana. Ada banyak pertarungan di dalam hati.


Di luar itu semua, Yusra Alhabsyi telah memegang tongkat takdirnya untuk menjadi pemimpin di Tanah Totabuan. Ikhtiarnya bersama pendamping, pendukung, dan orang-orang di balik punggungnya sungguh luar biasa. Melawan dengan gembira, dan menyimpan rapat-rapat apa yang tak layak diumbar. Apalagi, sejak mahasiswa ia kerap turun ke jalan demi memperjuangkan tanah leluhur ini, semenjak saya masih bocah berlelehan ingus. Campur tangan lain, melengkapi ikhtiarnya.


Titip Tanah Totabuan ini, Kak Ucan dan Kak Oning! ✊🏼

Program Sperma Sapi

Tidak ada komentar




Di masa cuti dua pekan ini, saya memiliki banyak waktu luang dan energi untuk sekadar berbual-bual di media sosial. Untuk itu, saya masih mau meladeni akun-akun pengecut yang berlindung di balik ketiak sapi.


Akun-akun ini bermunculan ketika saya mulai mengkritik program sapi dari salah satu paslon. Program yang menurut saya menginjak-injak akal sehat rakyat Bolmong, bahkan seorang kawan ASN yang tahu jelas pos-pos anggaran mengatakan kepada saya, program itu entah duitnya dari mana. Mau lima tahun berjalan, janji satu KK satu ekor sapi itu tak akan kunjung tunai. Mereka saja tidak bisa menarasikan atau membuat simulasi anggaran soal itu.


Deretan status saya di FB soal program tali sapi, eh, satu ekor sapi itu sengaja ditangkap layar kemudian dibagikan di berandanya akun mangkubi'. Mengata-ngatai saya, menyerang personal, pun sebaris komentar-komentar yang tahu sendiri, kalau lagi kesal, apa saja ditumpahkah begitu saja oleh pendukung fanatik.


Selama mengunggah status atau foto-foto di beranda FB, yang saya arsipkan (bukan hapus) setelah 1x24 jam, saya memang fokus ingin menguliti program sapi ini. Paslon lain tidak pernah saya sebut namanya, atau berusaha berkampanye tentang mereka. Lagi pula saya ini jurnalis, pantang memihak seorang paslon, kalau ditemui versi-versi wartawan yang bisa memihak, barangkali mereka memang bakatnya jadi timses daripada wartawan. Coba cari produk jurnalistik saya yang partisan. Kalau pun ada membanding-bandingkan visi misi dengan paslon lain, iya, karena lucu jika ada paslon yang berkoar-koar soal program sapi, tapi malah paslon lain yang punya visi misi di sektor peternakan dan menyebut soal ternak sapi.


Seseorang berkomentar, kalau kritikan saya tidak usah diambil pusing, karena saya cuma tahunya tidur. Mungkin dipikirnya saya ini tidak punya pekerjaan, karena hanya berdiam diri di rumah saja. Pekerjaan saya lumayan menyenangkan di salah satu media di Papua, dan karena saya bebas ke mana saja maka kantor juga virtual. Saya bisa kerja di dapur, dari atas pohon, di kolam belakang rumah, atau di kamar tidur sambil berbaring menghadap laptop, dan syukur digaji UMP Papua.


Tidak butuh waktu lama untuk mengetahui siapa sosok di balik akun bodong ini. Akun aslinya jelas berteman dengan saya. Dugaan lain, ada orang lain yang membantu menangkap layar lalu mengirim kepadanya. Tapi saya lebih yakin, orang ini berteman dengan saya di FB. Setelah membanding-bandingkan akun aslinya dengan yang bodong, karakteristik penulisannya, dan sedikit ilmu kanuragan kami sebagai jurnalis, saya tahu persis siapa dia. Segera saya menghapus pertemanan dengan akun aslinya. Sampah atau limbah seperti ini, memang cocok dienyahkan dari beranda kita.


Ternyata, selain tidak berbakat menjadi intel, orang ini juga tidak tahu membalas budi. Padahal dulunya, dia pernah diberi atap agar tidak tersengat terik matahari atau kehujanan, oleh orang yang kerap dia jatuhkan. Mungkin karena itulah--karmanya--bagian atap kepalanya juga mulai kosong seperti otaknya.


Menyoal program sapi, sesudah saya berbicara panjang lebar tentang program ini, seorang kawan dengan baik hati mengirimi saya daftar visi misi setiap paslon. Saya lalu membacanya, dan lucunya, seperti yang saya katakan di atas, tidak ada program sapi yang tercantum dalam poin-poin visi misi bahkan yang menyebut sektor peternakan. Justru dari paslon lain yang mempunyai program soal sektor peternakan, dan menyebut ternak sapi selain unggas dan lain sebagainya.


Saya jadi penasaran, dari mana bermula moncong itu berujar soal "satu KK satu ekor sapi"? Dugaan saya pernyataan itu secara spontan saja terucap. Tanpa dikonsep dan dipikir matang. Karena janji ini yang paling dekat dengan urusan perut manusia. Sekadar untuk menciptakan ilusi para pendukung bahwa seekor sapi bisa beranak pinak, dijual, menghasilkan banyak uang, mampu membeli kebutuhan apa saja, dan bisa memesan berpiring-piring rahang tuna di Sarang Tude. Tapi sebelum menikmati rahang tuna ini, ada yang tiba-tiba datang menggampar pipi dengan sendal, kemudian segera tersadar dari halusinasi akibat jamur tahi sapi, lalu tahu bahwa program ini ternyata hanya bisa terwujud di Perkebunan Santibanez.


Di daerah lain masih dalam galaksi Bolmong Raya, kawan-kawan berkisah bahwa pernah ada program-program serupa. Bahkan sudah ada sejak lama, menyoal pengadaan ribuan ekor sapi. Ternyata, yang datang hanya alat suntik dan benih sapi, yang bahkan mereka bingung mau disuntikkan ke induk sapi yang mana. Kabarnya, kepala dinas terkait segera ditanduk dari kursi jabatannya. 


"Bure, bule bi' sapi bo popo suntik! (Dasar, ternyata sperma sapi yang mau disuntikkan!)," kata seorang mantan bupati yang cukup dikenal dengan guyonannya.