Kebiasaan itu dimulai sejak kita mengenal kata jajan. Dari pakaian merah putih, hingga putih abu-abu yang membalut tubuh remaja kita.
Ayah. Seringkali yang paling prioritas untuk selalu disebut-sebut jasanya dalam sebuah keluarga adalah sosok Ibu. Dari mulai pepatah; sorga itu di bawah telapak kaki Ibu, atau kasih Ibu sepanjang masa. Itu mungkin sudah terlalu 'mainstream', bukan mengesampingkan sosok seorang Ibu. Tapi di sini, ada sesosok yang gagah dan agak terlupakan oleh pepatah. Seorang Ayah. Ayah selalu terlupakan karena didikannya yang harus tegas, terkadang pula diselipi amarah dan gertakkan. Sesungguhnya amarah seorang Ayah, adalah bekal kita dalam menjejali carut-marut kehidupan yang begitu keras di luar sana. Sekeras lengan bajanya. Dan kapanpun kita telah siap bertarung di luar sana. Lengan itu mengepal, meninju atap langit, dan menyemangati kita untuk harus selalu siap dalam setiap pertarungan.
Tapi Ayah cukup tahu, bahwa untuk menyusun bata demi bata dalam suatu bangunan itu, butuh sisi kelembutan dan kehati-hatian di sana. Ia cukup tahu entah itu untuk anak gadis atau laki-lakinya, bahwa amarah hanyalah satu bentuk wibawanya sebagai Ayah. Ia 'The Leader' dalam suatu keluarga. Dan pemimpin yang tanpa wibawa itu, seperti singa jantan, ompong, di tengah-tengah hutan yang penuh dengan daging rusa yang sudah dikuliti oleh singa betina. Memang di komunitas singa, jantan tak terlalu dominan. Masih selalu sosok Ibu yang lebih tampak aktif. Tapi sebuah istana kerajaan singa tak akan pernah terbangun kokoh tanpa andil seorang ayah.
Jika sebuah keluarga serupa rimba raya tempat hidupnya kerajaan singa. Fabelnya di sini, sosok Ibu itu seperti singa betina yang mengajari anaknya makan, atau pun sekadar berburu dan melayani si jantan dan anak-anaknya. Sementara sosok Ayah, kita baru temukan saat melihat singa jantan berjuang, bertarung, tercabik-cabik, berdarah-darah, demi melindungi betinanya dari singa-singa jantan kelompok lain, pun mejaga wilayah kekuasaannya. Sosok pemimpin. Seekor singa tak pernah memakan bangkai demi harga dirinya. Di sela-selah taringnya terselip sepotong harga diri. Segar dan terjaga.
Mereka ajarkan adalah sikap dependensi, tak bergantung kepada orang lain. Ini bukan hanya bualan tentang satu sosok yang sangat berarti dalam hidup kita. Tapi ini omong kosong suci dari dua sosok yang tak akan pernah tergantikan posisinya di hati. Sosok Ayah yang akan selalu tampak gagah dengan sedikit kemarahannya. Di setiap seringainya, kita jangan pernah lupa di situ ada sepotong 'harga diri' terselip, tersimpan sebagai pengingat. Menjaga harga diri dan tahu bagaimana caranya memimpin dan mengayomi. Juga sosok Ibu yang mengajarkan kepada para anak perempuannya, bahwa lelaki itu seringkali mencari perempuan yang lihai dalam menghidangkan makanan. Makanan enak itu terkadang mampu meringkus rasa cinta. Kepuasan di ranjang dan dapur harus berbanding lurus.
Aku membual di sini, tentang Ayah, tapi tak sanggup untuk tak menyebutkan---Ibu. Untuk soal kasih-sayang tak pernah ada kata 'mainstream'.
Jika di telapak kaki seorang Ibu ada sorga, maka di telapak kaki seorang Ayah ada neraka sebagai pembanding dan untuk mengingatkan kita akan dosa.
Jika kasih Ibu sepanjang masa, maka di setiap 'masa' itu ada Ayah sebagai 'waktu' yang melebur bersama, tak terpisahkan.
Jika ditanya pepatah untuk seorang Ayah apa?
Kita sudah sering mendengarnya, tak asing lagi. Bahwa Ayah adalah seorang pahlawan.
Mungkin 'Superhero' yang sering kita kenal, di dadanya melekat huruf inisial dari namanya. Dan untuk kepahlawanan seorang Ayah, juga Ibu. Dua huruf inisial "A.I" itu melurut di dada, melesak ke dalam hati, kemudian meruyak di segala pembuluh darah. Darahku adalah mereka berdua.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment