"Bintang kecil di langit yang kecil, amat kecil menghias yang kecil, aku kecil terbang dan mengecil, jauh kecil ke tempat yang terkecil," Sayup nyanyian itu terdengar seperti direbut angin. Malam makin meninggi dengan ribuan bintang terhampar di bidang hitam langit. Kedua lengan gadis kecil itu menyilang sembari memangku dagunya yang sedari tadi bertengger di antara ruas-ruas jendela. Matanya mengkilat disaput temaram lampu. Ia sedang memikirkan sesuatu sambil bernyanyi atau lebih tepatnya berbisik, apa yang ia pikirkan, jelas sesuatu yang tak kecil.
Dalam degup jantung belianya sudah terbiasa dengan tangis dan jeritan yang senantiasa merobek hari, yang sesekali melambatkan detak jantungnya. Malam ini, ada satu bintang yang redup. Seorang anak laki-laki seusianya sekaligus tetangganya baru saja meregang nyawa di seberang sana. Matanya yang mengkilat tadi, kini semakin berbinar seiring selaput basah yang bening serupa kaca menyemir kelopak matanya. Retak, lalu kemudian di kedua pipinya tergaris sudah sungai kecil dengan air mata deras mengalir. Anak laki-laki yang meninggal itu, si Bintang, adalah satu-satunya teman baiknya yang tersisa. Dan kini ia harus kehilangan lagi. Setelah Wulan, Mirah, Uncit, dan Ranggas yang juga meninggal berturut-turut setahun yang lalu.
Bintang sakit sudah hampir sebulan, dukun kampung yang membantu pengobatannya tak bisa lagi berbuat apa-apa. Dan seperti hari-hari kemarin, ada saja anak meninggal karena sebab yang sama. Demam berdarah. Wabah ini menjangkiti anak-anak riang dengan begitu gembira. Merenggut nyawa tanpa suara. Mengendap dalam tubuh yang masih liat. Menurut rumor di desa ini, demam berdarah ini kutukan karena penduduk desa tak lagi menggelar sesajen di sebuah pohon beringin tua di ujung desa. Rumor itu semakin menyeruak tatkala anak-anak yang menjadi korban kemarin, adalah mereka yang sering duduk gembira bermain di bawah rindangnya pohon itu. Apalagi ada kabar kalau Bintang pernah mengencingi pohon itu dua bulan yang lalu sebelum ia jatuh sakit. Dan aku, anak perempuan yang paling diwanti-wanti oleh orang tuaku untuk ke sana. Aku yang tersisa dari teman sebayaku, menebalkan keyakinan mereka tentang mitos itu.
Sepuluh meter dari pohon beringin tua itu ada cerukan besar yang seringkali digenangi air karena hujan deras yang mengguyur di musim penghujan. Di musim paceklik biasanya cerukan itu akan kering. Dan di desa ini, sejak lima bulan yang lalu hujan masih awet hingga sekarang. Bahkan di malam ini, gerimis baru saja bercinta dengan udara di gelap gulita. Bintang gemintang di langit tersaru gerimis, sama seperti Bintang yang juga jasadnya tersaru kain lusuh bercorak batik. Dengan wajah pucat setengah mengintip di balik kain. Ia menjadi benda mati serupa kain. Lusuh dan bisu.
Aku menutup jendela kemudian berbaring sembari membungkusi tubuh menggigil ini dengan selimut. Lelap hingga pagi datang menyapa lewat corong toa tua yang melantunkan ayat-ayat suci. Tak lama lagi acara penguburan Bintang. Aku mandi, mengganti pakaian serba hitam, lalu bergegas ke rumah penuh duka itu. Diusiaku yang baru mau menginjak 13 tahun, kata ayah dan ibu, aku terlalu jauh berbeda dengan anak seusiaku. Padahal sebenarnya Bintang tak jauh berbeda denganku, orang tua kami kurang memantau gerak-gerik keingintahuan kami yang berlebih, juga sifat pembangkang kami. Setahun yang lalu, aku sering diajak Bintang bermain di sekitar pohon beringin itu secara diam-diam. Satu-satunya alasan klasik adalah belajar kelompok dengan teman. Kubangan air yang tak jauh dari pohon besar itu kami sempat bermain dedaunan yang dibentuk mirip perahu. Dengan meletakkan dua semut api di atasnya, berharap itu adalah miniatur kami. Kubangan air itu cukup jernih hingga puluhan atau mungkin ratusan jentik-jentik nyamuk bisa terlihat jelas menyerupai segerombolan ikan piranha yang menunggu karamnya perahu daun yang ditumpangi dua semut api. Mereka memang tak akan memangsa kedua semut api itu, cukup air yang membunuh api. Pun untuk membunuh, jentik-jentik nyamuk hanya menunggu untuk dewasa, dan sebenar-benarnya mangsa adalah kita. Tak kusangka Bintang salah satu mangsa yang diintai mereka.
Gundukan tanah basah mulai ditinggalkan para pelayat, yang tersisa hanya aku dan pusara. Aku mengelus-ngelus pusara, maaf Bintang, karena aku pernah mengingatkanmu untuk jangan keseringan bermain di sana. Jentik-jentik nyamuk itu, mereka berubah dengan cepat menjadi pembunuh keji yang sudah menjadi kodratnya. Tapi karena kamu anak laki-laki, mungkin sifat pembangkangmu melebihi aku. Cengengesan kamu bilang, "Bintang kecil di langit, jauh dari jangkauan larva-larva kecil." Kamu lupa kalau mereka nanti bersayap.
Setelah dari kuburan aku sempatkan ke pohon beringin tua, memang jaraknya tak jauh dari kuburan umum desa kami. Di bawah pohon ada sesajen yang masih segar tergeletak ramah membujuk, begitu rapi dan menghamba. Alisku beradu. Kemudian tubuhku membungkuk, memunguti sekuntum bunga kemboja di antara tumpukan sesajen. Menuju ke arah belakang pohon, ke cerukan itu. Kubangan airnya masih tetap jernih, sangat jernih. Aku meletakkan bunga kemboja di atas air, tak ada semut api. Air memang selalu lebih berkuasa atas api dan apa yang ada di atasnya. Aku bernyanyi dengan suara kecil, "Bintang kecil di langit yang kecil, amat kecil menghias yang kecil, aku kecil terbang dan mengecil, jauh kecil ke tempat yang terkecil." Jentik-jentik nyamuk itu menari-nari. Berenang tenang tak mau mengenang. Padahal ibu mereka baru saja membunuh. Sama seperti yang dilakukan para leluhur-leluhur mereka. Tapi, mereka diciptakan untuk menjadi para pembantu malaikat maut. Ah, Aedes aegypti... hanya dengan ujung proboscis, kalian menikam sahabat-sahabatku. Para betina yang tak pernah dilema di antara memberi makan larva-larvanya atau membunuh.
Langkah kaki ini pelan sampai di rumah. Aku duduk tercenung di teras, memandangi rumah Bintang yang masih ramai. Almarhum Bintang. Hingga sore tiba, ada sesuatu yang masih tersangkut di hati. Aku menemui ayah dan ibuku kemudian bercerita panjang hingga menciptakan puluhan mimik di wajah keduanya. Soal jentik-jentik nyamuk dan maut. Soal sesajen dan mitos yang harus segera diplontosi. Ayahku kepala desa. Ia kagum dengan apa yang aku bicarakan barusan tapi sebelumnya ia marah soal "alasan klasik". Tapi beginilah orang tua, sekejap pengampunan terjadi di meja makan. Setelah itu baru aku beranjak ke kamar. Bertengger kembali di antara ruas-ruas jendela dengan dua lengan yang masih tetap menyilang. Seperti malam kemarin. Menunggu Bintang yang biasanya datang mengajakku melompati jendela. Berlari di malam hari sambil menghitung bintang gemintang. Kali ini, tak ada lagi nyanyian. Aku lelah sekaligus lega. Kemudian terlelap. Keesokan harinya bukan jeritan corong toa yang membangunkanku. Tapi kepulan asap dari si tukang fogging. Hari ini penduduk desa sibuk dengan pengasapan dan program 3-M yang seharusnya sudah sejak dulu digalakkan dan baru sekarang disemangati setelah sekian banyak kematian yang telah 'menguras' nyawa, 'menutup' mata anak-anak, dan 'mengubur' mereka beserta mimpi-mimpinya. Kenapa baru sekarang aku dan mereka jujur, Bintang.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment