Aku seringkali menghabiskan waktu hingga sejam lebih di teras ini sembari menatap pohon kamboja yang hampir setiap rumah di Bali menanamnya. Dulu di desa kami pun budidaya menanam pohon ini pernah begitu gencarnya, hampir di setiap halaman rumah ditanami pohon kamboja, hingga seiring waktu telah banyak yang tumbang atau terpangkas dan tergantikan dengan tanaman-tanaman lainnya yang tidak terlalu angker. Kita tahu tanaman ini kebanyakan di tanam di areal pekuburan. Tapi di sini, menjadi tanaman wajib karena hampir setiap upacara keagamaan Hindu mengikutsertakan bunga kamboja untuk setiap ritual upacaranya.
Tanaman pohon kamboja yang bernama latin plumeria acuminata ait ini sebenarnya berasal dari Amerika dan Afrika. Manfaatnya pun sangat banyak, aku juga baru mengetahui kalau tanaman ini bisa difungsikan untuk pengobatan. Lebih jelasnya mungkin bisa dibuka link di bawah ini.
http://www.deherba.com/khasiat-tanaman-kamboja-untuk-kesehatan.html
Kemarin pernah sekali aku bertanya kepada seorang bapak yang tetanggaan dengan rumah kontrakan tanteku. Soal kenapa di sini pohon-pohon seperti ini begitu lestarinya, bukan hanya pohon kamboja, tapi juga pohon-pohon lainnya yang juga berukuran besar dan yang menjulang tinggi berusia ratusan tahun. Kata bapak ini, di setiap pohon ini mempunyai makna filosofis bahwa kita manusia harus mencotohi cara hidup pepohonan, mereka tak pernah saling mengganggu satu sama lainnya. Tetap tenang hidup memancang di bumi hingga ratusan tahun. Mungkin konsep pemujaan terhadap pepohonan di sini kurang lebih maknanya seperti itu. Aku juga baru bisa membedakan yang mana 'sembah' dan yang mana 'puja'. Mereka bukan sedang menyembah pohon, bukan pula memberhalakannya. Tapi mereka memuja kearifan dari makna filosofis yang terkandung dari cara hidup pepohonan tersebut.
Budaya Bali yang begitu kaya dan relevansinya dengan kehidupan antar makhluk untuk saling menghargai ini yang begitu mengubah cara pandangku soal 'pemberhalaan'. Kearifan lokal yang terus bertahan dan tak pernah tergerus oleh perubahan jaman, meski ada juga sebagian wilayah di sini yang sudah acuh tak acuh dengan persoalan ini. Tapi kebanyakan hal itu terjadi bukan karena penduduk lokalnya, tapi karena para pendatang yang sudah menetap di sini. Karena itu Bali yang seperti di wilayah Kuta, aroma dupa dan upacara-upacara agak jarang kita saksikan lagi. Pun disemaraki oleh ras-ras kaukasoid yang lalu lalang dan bangunan-bangunan tak berarsitektur Bali lagi.
Untuk mendapati halaman rumah yang penuh berserakan bunga-bunga kamboja, kita tinggal memilih kota mana di sini yang masih sangat lekat dengan kearifan lokalnya. Ada banyak pilihan, dan di tempatku menetap sekarang di kota Denpasar hal seperti ini masih banyak ditemukan. Halaman-halaman rumah yang dijejali tetumbuhan dan pepohonan rindang. Meski sesekali mengeluh karena kota ini pada malam hari pukul 22:00 sudah mati dibunuh sepi, tapi ada sisi lain yang semburat keluar dan termaknai saking jauhnya dari keramaian. Ada kedamaian di sini, hembusan angin sejuk yang sesekali membelai dengan lembut. Di Denpasar memang suasana siangnya begitu ramai jika di pusat kotanya. Hiruk pikuk yang hampir sama dengan Kuta. Tapi di wilayah tempatku tinggal, di Kampung Jawa, di sini masih agak sepi dengan sesekali raungan kumandang adzan bersahut-sahutan dengan kidung, puja dan doa berbahasa Bali yang juga sering terdengar dari banjar-banjar terdekat.
Di Kampung Jawa ini rumah-rumah orang Bali dan Jawa-Madura berderetan acak. Dan untuk mengenalinya kita cukup melihat mana rumah yang halamannya ditanami pohon kamboja. Ada makna filosofis lainnya yang bisa kugali dari pohon ini. Bunga-bunga yang gugur dan tumbuh begitu cepat, juga tak mengenal musim. Kekal mengakar dan berbunga. Seperti kehidupan kita yang terus silih-berganti. Kematian dan kehidupan terus bersanding. Hingga keabadian itu datang.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment