Selasa, 30 Desember 2014

Gereja Tua

Tidak ada komentar
SEEKOR ayam jantan sebagai penanda arah mata angin bertengger di atas atap gereja yang mengerucut. Bangunan Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow (GMIBM), diklaim sebagai gereja GMIMB tertua di Bolmong.Sudah direnovasi sebelumnya, tapi tidak meninggalkan kesan "purba" yang masih melekat, di bangunan gereja. Hanya dilakukan pengecatan, perbaikan kaca-kaca jendela, juga atapnya yang telah diganti genteng. Tapi ornamen-ornamen lainnya tetap dipertahankan.
Pendeta Mawara Wawointana, yang dipercayakan menjadi pimpinan umat kristiani di gereja tersebut, bertutur tentang sedikit sejarahnya."Di penanda arah mata angin, yang berbentuk ayam jantan, tercantum tanggal peresmiannya. Tapi setahu saya, menurut sejarah, dua hari sesudah tanggal yang tercantum di situ, tanggal peresmiannya," cerita pendeta perempuan ini, saat ditemui di kediamannya, yang letaknya tak jauh dari bangunan gereja. Dari penuturannya, tanggal yang tercantum 23 Maret 1923, sedangkan menurut yang ia ketahui, peresmiannya tepat 25 Maret 1923.Pendeta Mawara juga menjelaskan soal perawatan gereja tersebut. Ada tiga orang yang menjadi kastor, bertugas menjaga kebersihan di lingkungan gereja."Ada yang namanya kastor. Mereka bertugas menjaga kebersihan. Untuk renovasi seperti pengecatan, jemaat-jemaat turut membantu pula. Terakhir direnovasi tahun lalu," sampainya.
Bangunan gereja tersebut, diperkokoh oleh susunan kayu cempaka yang terbilang cukup awet dan tahan dimakan jaman. 1923 hingga 2014, sejak tahun peresmiannya. Gereja ini telah 91 kali turut merayakan Natal."Pakai kayu cempaka, jadi memang tahan. Bisa dihitung hingga tahun ini, sejak peresmiannya, sudah berapa tahun gereja ini turut merayakan Natal," kata pendeta.Meski usianya yang hampir menyentuh seabad, gereja tersebut masih menjadi pilihan beberapa mempelai untuk melakukan prosesi pernikahan."Untuk liturgi atau peribadatan sudah menggunakan gereja yang di sampingnya. Kalau pernikahan, ada sebagian mempelai memilih menggelar prosesi pernikahan di situ, karena tertarik dengan sejarahnya," terangnya.
Mendekati perayaan Natal, Pendeta Mawara turut mengucapkan selamat merayakan Natal dan Tahun Baru 2015. Ia pun berharap kerukunan antar umat beragama di Bolmong terus terjaga. 
Selain itu ada pula gereja tertua di salah satu desa di Bolmong. Seminggu yang lalu, keluarga Kolintama di Desa Otam Kecamatan Passi Barat, Bolmong, menemukan surat-surat tulisan tangan, yang menjawab tentang sejarah pembangunan Gereja Immanuel di desa mereka.78 tahun yang lalu, di hari perayaan Natal kedua 26 Desember 1936. Sekira 200 undangan menghadiri acara pentasbihan Gereja Immanuel di Desa Otam. Kala itu, seorang misionaris asal Belanda, Pendeta Kristen Protestan W Dunnebier yang diutus khusus di wilayah Passi dan sekitarnya, meresmikan sebuah gereja yang hingga kini masih berdiri kokoh.Seorang saksi sejarah, yang menjadi generasi penerus Gereja Immanuel Otam, Pendeta Matius Kolintama, di usianya yang ke-71, menarik ingat dan berkisah."Baru saja seminggu lalu, peti yang berisi buku-buku ayah saya, ditemukan surat-surat dengan tulisan tangan, yang dibungkus dengan kain. Surat-surat itu masih ditulis dengan pena yang memakai tinta celup. Jadi tebal dan tipis goresan tinta sangat kentara. Surat-surat itu menjawab pertanyaan-pertanyaan kami keluarga, selama puluhan tahun," kisah Opa Matius. Ingatannya masih segar meski di usia senjanya. Cara ia bertutur, seperti menarik penyimak kembali ke masa lalu."Kakek saya, Abraham Kolintama adalah penganut Kristen Protestan yang pertama di Desa ini. Di surat itu pula, dituliskan tahun pembaptisan mendiang ayah saya Justuf Kolintama dan adiknya Dortje Simbala," tuturnya. Di tahun 1910 keduanya dibaptis. 16 tahun sebelum peresmian gereja."Pendeta Dunnebier usai peresmian, kembali ke Belanda. Rumah pendeta dulu di Desa Passi. Di perbatasan Desa Passi dan Bilalang. Di Passi ada juga gereja, tapi sekarang sudah dijadikan gedung BPU. Saya tahun tujuh puluhan, sering memimpin kebaktian di Desa Passi. Jadi
dari Desa Otam jalan kaki. Pernah diguyur hujan, hanya berpayung daun talas yang dipetik di pinggir jalan," cerita Opa, dengan gestur tubuhnya. Jumlah penganut Kristen di Desa Otam hingga sekarang, tersisa tiga kepala keluarga (KK). "Ada juga dua duda. Total keseluruhan ada dua puluh dua orang. Di tengah ribuan muslim di Otam. Tapi kerukunan antar umat beragama di sini terus terjaga. Setiap hari Minggu masih rutin digelar kebaktian di gereja," sampainya, Senin (15/12) kemarin. Opa Matius menjadi pendeta dari 1968 hingga 2011. Untuk jabatan Ketua Jemaat Gereja Immanuel, sekarang generasi yang dipercayakan meneruskannya adalah Dra Astri Roeroe Kolintama, yang sekarang menetap di Kelurahan Kotobangon Kecamatan Kotamobagu Timur. "Setiap minggu, saya dan keluarga rutin ke Desa Otam. Menggelar kebaktian juga di Gereja Immanuel," terang Astri saat dihubungi lewat telepon. Setelah pamit kepada Opa, wartawan koran ini masih menyempatkan diri bertandang ke Gereja Immanuel. Lonceng tuanya menggantung diam. Hanya di hari Minggu, jemaatnya datang meramaikan gereja dengan kidung-kidung pujian. Lalu loncengnya pun menggema.

Kamis, 27 November 2014

Patung Bogani (Bagian 2 dan 3)

Tidak ada komentar
Liliyanti Mokodompit dan lukisan karya Pak Moko. Foto: Sigidad

KELUARGA SENIMAN PAK MOKO BICARA...

Sesuai penuturan pengiat budaya Chairun Mokoginta, seniman asli Bolmong, Tawakal Mokodompit yang merancang dan membuat patung Bogani. Dari hasil penelusuran, akhirnya keluarga mendiang Pak Moko--sapaan akrab Tawakal Mokodompit--berhasil ditemui lalu berkisah...

Liputan: Kristianto Galuwo

MENDUNG menggantung di langit Kotamobagu. Tidak lama kemudian hujan turun membasahi perjalanan pencarian keluarga mendiang Pak Moko. Tak jauh memang, ternyata hanya sekira 200an meter dari letak patung Bogani.

Seorang ibu di warung menunjukkan rumah adiknya Pak Moko, mendiang Harsono Mokodompit, yang ternyata adalah ayah dari Liliyanti Mokodompit, seorang staf di Sekretariat Dewan DPRD Bolmong. Lili sudah cukup akrab dengan para awak media.

Karena urusan mendadak, ia dan suaminya Soejarwo Kastur mengajak untuk ikut serta di mobil Avanza yang mereka kendarai.

"Ayo ikut, nanti di dalam mobil saya cerita tentang Tua' Moko. Kebetulan lagi hujan," ajak dia dan suaminya.

Di perjalanan menuju kantor cabang Bank Sulut yang terletak di Jalan Kartini Kotamobagu. Pembicaraan pun mengalir begitu saja.

"Tua' Moko memang yang membuat patung Bogani. Kakak beradik dua-duanya seniman. Ayah saya pun seorang pelukis sekaligus pematung. Patung di Gedung Bobakidan, sepasang laki-laki dan perempuan itu ayah saya yang membuat. Juga dengan patung di Taman Makam Pahlawan. Nah, kalau patung-patung karya Tua' Moko, nanti coba saya hubungi lewat telepon salah satu putranya di Jakarta," tutur Lili, putri ke lima dari mendiang Harsono Mokodompit.

Sesampainya di tujuan, suaminya turun lalu masuk ke dalam Bank. Lili pun mencoba menghubungi putranya Pak Moko. Saat berhasil dihubungi, lalu mereka bertegur sapa. Putranya yang bernama Dzikrullah Mokodompit pun menceritakan. Dari penuturan ayahnya (Pak Moko) semasa hidup, ada beberapa patung di Manado yang juga dibuat oleh ayahnya.

"Ayah pernah cerita, kalau patung Bogani itu dia yang membuat. Tahun tepatnya saya tidak ingat lagi. Ada beberapa patung juga yang dibangunnya di Manado dan Gorontalo. Kalau di Manado itu patung Worang di Pasar 45. Terus patung Kuda. Juga patung di lapangan Tikala, ada yang pegang-pegang obor itu. Ada yang di Gorontalo, patung Nani Wartabone," kenang putra kedua Pak Moko, dari tujuh bersaudara ini.

Pak Moko berpulang 4 Desember 2010 silam karena stroke. Ketujuh putra dan putrinya pun menetap di Jakarta dan Manado. Dzikrullah menuturkan, saat di Jakarta, ayahnya pernah beberapa kali menggelar pameran lukisan semasa hidup.

"Ayah beberapa kali menggelar pameran lukisan, di Blok M Square, Ancol, juga di Pasar Seni Jakarta," terangnya, Kamis (27/11).

Ia sekeluarga berencana akan mempertanyakan kembali ke pemerintah setempat, mengenai klaim dari beberapa hasil karya mediang ayahnya. Juga meminta pemerintah agar mencantumkan nama pembuat di setiap patung hasil karya ayahnya.

Pembicaraan pun berakhir. Lili dan suaminya mengajak kembali ke rumah, untuk melihat lukisan hasil karya Pak Moko, yang terpampang di ruang tamu rumahnya. Sesampainya di rumah, sebuah lukisan ukuran 1.30 x 1.30 meter menyambut kami. Terlukis empat orang perempuan cantik berhijab dan seorang bocah perempuan berhijab pula, dengan raut wajah berbeda-beda

"Lukisan ini saya ambil di rumah Tua' di Manado. Beruntung lukisan ini masih ada. Jadi bukti kalau Tua' memang seorang pelukis," katanya. Sambil mengusap-usap lukisan tersebut.

Kemudian ibunya Lili, Ramlah Manoarfa menujukkan foto Pak Moko yang menghiasi dinding ruang tamu.

"Ini foto mendiang Pak Moko, kakak dari suami saya. Rambutnya panjang tapi dikuncir. Istrinya Linawaty Talot, juga sudah meninggal dunia," tutur Ramlah.

Ia juga menunjuk sebuah mural di tembok rumah, karya mendiang suaminya. Sepintas melihat foto Pak Moko, jika rambutnya digerai sambil mengenakan ikat kepala, juga dengan janggut lebatnya semasa ia muda, Pak Moko mirip dengan patung Bogani hasil karyanya. Hal itupun dikatakan Lili, sebab Pak Moko memang sangat mirip dengan wajah patung Bogani.

Tak berlama-lama lagi, wartawan koran ini pamitan. Sesudah itu, Chairun Mokoginta mengabari, ia baru saja bertemu dengan H.D Makalalag, mantan Ketua KPU, yang pada saat patung Bogani dibangun, ia adalah kepala urusan rumah tangga di masa kepemimpinan Bupati O.N Mokoagow.

"Saya baru saja bertemu dengan H.D Makalalag. Ia juga mengatakan patung Bogani di Kotobangon dibangun saat pemerintahan Bupati O.N. Mokoagow dan yang membuatnya adalah Tawakal Mokodompit," terang Chairun.

Terang sudah, siapa yang berjasa dengan karya hebat patung Bogani. Simbol patriotisme di Kabupaten Bolmong. Sejarah harus diluruskan. Sejarah patut dikenang. Agar generasi kita tahu, negeri Totabuan memiliki seniman-seniman hebat.


Patung Bogani (Bagian 3)


Bogani menjadi maskot KPU Kota Kotamobagu. Gambar: KPU Kota Kotamobagu

BOGANI DIJADIKAN MASKOT DAN DIHORMATI

Berbagai cara menjadi bentuk sanjungan mereka kepada tokoh Bogani. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Kotamobagu menjadikan maskot Pemilihan Wali Kota Kotamobagu (Pilwako) 24 Juni 2013 silam, hingga Anggota Dewan Perkawilan Daerah (DPD) RI Benny Ramdhani (BRANI) yang melakukan “ritual” pembasuhan Patung Bogani.

SAAT ditelepon, Ketua KPU Kotamobagu, Nayodo Kurniawan mengatakan sedang berada di acara duka keluarga.

“30 menit lagi yah, kalau sudah di rumah nanti saya hubungi lagi,” katanya. Setelah menunggu, tidak sampai 30 menit lamanya, telepon berdering dan ternyata dari Nayodo yang biasa disapa Kak Nanang.

“Saya sudah di rumah, kesini saja,” ajaknya, disusul dengan sedikit petunjuk letak rumahnya yang berada di Kelurahan Gogagoman, Kecamatan Kotamobagu Barat.

Disambut di teras rumah panggungnya, Kak Nanang segera mengulas tentang penulisan sejarah pembuat Patung Bogani, yang dipublikasikan koran Radar Bolmong, edisi Rabu (26/11) dan Kamis (27/11).

“Iya saya baca, memang seharusnya hal-hal seperti ini digali, agar generasi muda tahu,” katanya, sambil memantik korek apinya. Sebatang rokok tersulut, lalu cerita berlanjut.

Wartawan koran ini menanyakan alasan, kenapa saat Pilwako 24 Juni 2013 silam, KPU Kotamobagu menjadikan Bogani sebagai maskot.

“Bogani adalah sosok kesatria, jujur, amanah dan memiliki keselarasan antara perkataan dan perbuatan. Sehingga KPU Kotamobagu menjadikan Bogani sebagai maskot, dengan maksud agar masyarakat melihat, sosok seperti Bogani yang pantas menjadi pemimpin dalam membawa Kotamobagu ke depan,” jelas Kak Nanang.

Ia pun meminta kepada pemerintah agar terus menjadikan Bogani sebagai maskot Bolmong sepanjang masa.

“Harus jadi maskot sepanjang masa. Insya Allah, jika ada Pilwako selanjutnya, Bogani akan tetap menjadi maskot KPU,” harapnya.

Bukan hanya itu, ia meminta pemerintah agar bisa menganggarkan di Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD), terkhusus untuk dinas terkait melakukan riset sejarah.

“Pemerintah harus ada anggaran untuk itu. Bahkan bisa membuat buku sejarah Bolmong, yang dirangkum dari catatan atau keterangan para sejarahwan. Buku-bukunya bisa dibagi di sekolah-sekolah, biar jadi referensi para generasi muda,” terang Nayodo dengan nada serius.

Tak lama kemudian datang Aditya Tagela, salah satu komisioner devisi hukum dan pengawasan KPU Kotamobagu.

Ditanyai soal ide pencatutan Bogani sebagai maskot. Nayodo dan Aditya sepakat, itu adalah ide bersama.

“Itu ide bersama, ada plenonya juga saat itu,” terang Nayodo yang disepakati Aditya.

Setelah bercerita panjang lebar, ia mengambil sebuah kaos yang bergambar tokoh kartun Bogani-yang menjadi maskot-lalu menghadiahkan kaos itu kepada wartawan koran ini.

Berpamitan pulang, wawancara pun berlanjut kepada salah satu anggota DPD RI perwakilan Bolmong, Benny Ramdhani. Sedang berada di Ibukota Jakarta, Benny diwawancarai melalui sambungan telepon. Salah satu momen penting yang dilakoninya saat Pesta Demokrasi 9 April 2014. Ia yang mencalonkan diri sebagai perwakilan Bolmong untuk merebut kursi di DPD RI, berhasil menarik simpatik masyarakat dengan aksinya yang melakukan “ritual” pembasuhan patung Bogani.

Bogani adalah simbol heroisme dan patriotisme. Patung Bogani itu seolah-olah dilupakan. Momennya pada saat itu, tatkala suara calon perwakilan Bolmong terancam dicuri, maka itu sebagai bentuk permintaan restu kepada Bogani, untuk siap melakukan perjuangan jika nanti ada kecurangan,” terang Benny dengan nada suara penuh semangat

Selain itu, ditambahkannya, pembasuhan patung Bogani adalah bentuk kritik kepada semua pihak, yang mengabaikan dan bertindak seasalnya terhadap patung Bogani.

“Kita lihat saat ramai pesta demokrasi, ada beberapa stiker partai yang ditempelkan di tubuh patung Bogani. Selain itu di ujung tombaknya diikatkan bendera partai, harusnya itu dilarang,” sampai Benny, Jumat (28/11).

Benny juga mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah untuk melakukan perawatan patung-patung dan monumen-monumen bersejarah di Bolmong. Juga kepada generasi muda, ia menyampaikan agar terus menjaga dan membuka mata hati, supaya bisa meneladani tokoh Bogani, sebagai simbol perjuangan.

Besar harapan Benny, agar seluruh elemen masyarakat di Bolmong, bisa mengenal lebih jauh ke dalam, menggali sejarah dan budaya daerah yang mulai terlupakan.

Benny Ramdhani saat aksinya membasuh patung Bogani. Foto: Koleksi pribadi

Catatan: Ketiga liputan bersambung Patung Bogani, dimuat di koran Radar Bolmong, sewaktu saya masih sebagai wartawan di sana. Sengaja saya sadur di blog, untuk kepentingan dokumentasi pribadi.

Rabu, 26 November 2014

Patung Bogani (Bagian 1)

Tidak ada komentar
Patung Bogani di simpang tiga Kotobangon. Foto: Sutha

PATUNG BOGANI YANG TERLUPAKAN

Tak banyak yang memperhatikan lalu prihatin dengan sebuah patung, yang berdiri tegar di simpang tiga Kelurahan Kotobangon. Patung Bogani, sekujur warna cokelat tubuhnya memudar dan berlumut, seakan waktu memakannya perlahan dan membuat kita melupakannya.

Liputan: Kristianto Galuwo

SEJARAH memang untuk diingat. Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, akan dikutuk untuk mengulanginya. Begitu kata George Santayana, filsuf asal Spanyol (1863-1952). Begitu pun dengan masyarakat Bolmong, mungkin harus diingatkan kembali dengan sejarah Bogani. Tidak banyak generasi muda yang mengenal dan tahu siapa Bogani, bahkan hanya untuk seonggok patungnya pun, mungkin sebagian masyarakat Bolmong tidak atau belum mengetahui sejarahnya.

Menurut sejarah, Alex B. Wetik yang merupakan salah satu pendiri Jurusan Seni Rupa di Lembaga IKIP Manado atau UNIMA, ia adalah pelukis sekaligus pematung yang mendesain Patung Bogani. Ia pun dikenal membuat patung-patung di Sulawesi Utara di antaranya: patung Sam Ratulangi di Manado, Yesus di Gereja Katolik St. Ignasius Manado, relief di Gedung Bukit Inspirasi Tomohon, patung Sam Ratulangi di Tondano, patung Sarapung dan Korengkeng di Tondano, dan patung Bogani di Kotamobagu, pun masih banyak karya-karya lainnya.

Akan tetapi, sumber lain yang merupakan budayawan Bolmong, Chairun Mokoginta mengatakan, dari hasil penelusurannya, pelukis dan pematung yang membuat patung Bogani adalah Tawakal Mokodompit.

"Menurut sepengetahuan saya, Tawakal Mokodompit yang membuat patung Bogani. Kiprahnya dalam seni lukis pun hingga ke ibukota Jakarta. Dia bersama Pak Tino pernah mengisi program acara 'Mari Menggambar' di stasiun TVRI dulu. Adiknya pun Harsono Mokodompit adalah seorang pelukis. Tapi saya pernah menelusuri keberadaan mereka, hingga diketahui keduanya sudah meninggal dunia. Yang saya kenal, keduanya adalah budayawan sekaligus pematung di Bolmong," tutur Chairun saat ditemui di kediamannya di Kelurahan Genggulang Kecamatan Kotamobagu Utara, Rabu (26/11).

Kedua kakak beradik itu menurut Chairun, sangat memperhatikan kebudayaan Bolmong dari segi adat istiadat, semboyan-semboyan budaya, juga simbol-simbol.

"Setahu saya juga keduanya itu di masa muda mulai eksis di dunia seni. Seingat saya saat kepempimpinan Bupati O.N Mokoagow, mungkin di periode tahun 1966-1976, patung Bogani dibuat," tutur Chairun, sambil mengingat-ingat.

Diceritakannya, tokoh Bogani yang menjadi model patung adalah Bogani Paloko. Sebab yang bermukim di sekitar aliran sungai dan wilayah Kotobangon sampai ke puncak Ilongkow adalah bogani Paloko.

"Ada begitu banyak Bogani di Bolmong, seperti Bogani Ki Bagat, Inde Indou, Inde Dikit, Dugian, Paloko, Ponamboian, Dondo, Pongayow, Lingkit, Mogedag dan masih banyak lagi. Tapi menurut saya, yang menjadi tokoh patung Bogani adalah Bogani Paloko. Sebab dulu yang berdiam di sekitar aliran sungai adalah Bogani Paloko dan masyarakat yang dipimpinnya," urainya, sambil mempersilakan wartawan koran ini, untuk minum teh yang dihidangkan istrinya.

Diketahui ada dua sebutan untuk simbol patriotisme di Bolmong itu. Bogani untuk laki-laki dan Bigani untuk perempuan. Dari bahasa 'purba' Mongondow, diartikan Bogani adalah manusia yang bisa menghilang.

"Artinya Bogani itu manusia yang bisa menghilang. mereka pun dipilih karena sifat dan sikap mokodotol atau patriotisme yang dimilikinya," terangnya.

Menurut Chairun ada satu semboyan yang menjadi sebuah prinsip bagi para Bogani.

"Prinsipnya yakni tampangan dodot atau artinya pemimpin dulu yang harus mati baru sesudah itu rakyat," dituturkan Chairun dengan gestur tubuhnya yang mengisyaratkan seorang Bogani menaungi rakyatnya di antara kaki kiri dan kanannya.

Ada empat kriteria menurut Chairun agar bisa menjadi Bogani. Yang pertama Mokodotol atau sikap patriotisme. Yang kedua adalah Mokorakup yang artinya bisa mengayomi masyarakat yang dipimpinnya, baik itu dari kecukupan sandang dan pangan. Ketiga Mokodia yang diartikan mampu mengemban amanah, paham dengan budaya dan adat istiadat, juga mampu menerapkan keadilan tidak terkecuali anggota keluarga. Yang keempat Mokoanga' yang diartikan harus simpatik perilakunya.

Mengenai dua senjata yang digenggam patung Bogani, diberi nama Tungkudon untuk tongkat yang juga sekaligus sebuah tombak, di genggaman tangan kanannya. Sedangkan tameng di tangan kiri diberi nama Kaleaw. Dari posisi Patung, diutarakan Chairun adalah apa yang disebut dengan opat noponulukan atau empat penjuru angin.

"Ini dari perspektif budaya yah, kiblatnya orang Mongondow itu menghadap utara. Jadi Tungkudon-nya menghadap utara atau Tombaian artinya kebahagiaan atau kesenangan. Kalau ke barat itu disebut Toyopan yang artinya tidak baik, karena itu patungnya agak condong ke selatan. Sedangkan timur itu disebut Silangan, makanya harus dibelakangi karena tidak baik menantang arah terbitnya matahari. Untuk ke selatan itu Tontongan artinya apa yang nampak dalam pandangan," urai Chairun. Ia kembali memantik api dan menyulut rokoknya, kemudian melanjutnya cerita.

"Tidak pernah para Bogani dulu berselisih. Ada sejarah soal Mokodoludut, pemimpin dari Dumoga. Versinya ada dua menurut hikayat, Mokodoludut itu berasal dari telur. Sementar versi logisnya, ia bayi yang ditemukan Bogani Amalie dan Inalie. Saat ditemukan katanya ada suara gemuruh dan angin yang bertiup kencang. Semua Bogani berkumpul dan kemudian disepakati bayi tersebut diasuh dan dibesarkan. Sebab akan menjadi pemimpin nantinya," tuturnya.

Chairun pun mengakhiri perbincangan panjang dengan penyampaian, bahwa budaya-budaya Bolmong beraneka ragam. Tokoh-tokoh dan para pelaku sejarah pun harus diingat. Agar generasi bisa memahami, betapa Bolmong ini begitu kaya kebudayaannya dan memiliki sejarah patriotisme yang patut dikenang.

Minggu, 19 Oktober 2014

Anuar

Tidak ada komentar
Novel-novel karya Anuar Syukur
Nama depanmu, menarik ingatku pada Chairil Anwar, meski dengan ejaan berbeda. Tapi sekali berarti, sudah itu mati kata Charil Anwar, lalu kalimat itu merangkul kalian.

Kau, Anuar. Tak pernah kita bersua, karyamu tak pernah kubacai, suaramu tak pernah kudengar. Hingga corong pada pagi pemakamanmu, mengisyaratkan duka yang seharusnya tertunda. Sebab mungkin, di suatu kala, kita bisa duduk sembari menyesap segelas kopi bersama, di pojok saung yang tengah kau raut dengan keringat. Kita bicara tentang bibit tanaman apa yang sedang kau semai. Pun kisah cinta apa lagi yang mau kau sampulkan.

Anuar, aku mau menyapamu penulis dan marhaenis. Itu jauh lebih merdeka. Semerdeka buku-buku novel berdebu yang bertumpuk di rak lemarimu. Tadi adik perempuanmu menyeka debu-debu itu. Seketika kenangan yang menebal di sampulnya terbang.

Anuar, ada belasan novelmu. Mau kupinjam tapi pemiliknya sedang istirah. Mau kubaca tapi penulisnya sudah berpulang. Tapi kata adikmu, sekali-kali datanglah ke rumah. Ada dinangoi, secangkir kopi, dan buku-bukumu menunggu.

Apa kabar grup Pinotaba di Facebook? 2012 silam, pernah aku mengirim pesan ke admin grup, agar aku bisa diterima membaur. Tapi kau tolak, kau kurang yakin kalau aku anak asli Mongondow. Iya, Pinotaba itu Perhimpunan Putra Totabuan. Mungkin marga Galuwo-ku begitu purba bagimu. Aku mengirimimu pesan lagi, "Mungkin Dinangoi sudah dilabeli seperti Pizza, jadi hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mencicipinya. He-he-he...."

Lalu kau sapa aku, utat. Segera pula kau terima permintaanku untuk bergabung dengan grup Pinotaba. Ah, lucu kala mengingatnya. Padahal itu hanya canda. Hingga dua tahun kemudian, tiga bulan yang lalu, aku meminta nomor ponselmu lewat pesan Facebook. Cukup lama kau balas. Mungkin karena kesibukanmu berkebun. Tak sempat pula kuhubungi. Sampai di sini, ada sesalku yang tersisa.

Berita pemakamanmu, sedang dicetak. Aku yang meliputnya tadi. Sempat kunukil status di akun Facebook-mu, "sibuk dgn alam nyata, hp tinggal satu2nya membuat malas gonta-ganti kartu. Mau beli hp tapi tak beruang. Akhirnya dunianya si maya sering kutinggalkan, hehe... Konsentrasi mononggoba' (berkebun)."

Iya, Anuar, menulis dan berkebun, keduanya giat yang mencipta sesuatu, jauh melampaui usia kita. Di antara nyata dan maya, ada keabadian. Semoga damai di sana. Di saung tak berujung.

Sukur moanto' utat, Anuar Syukur.

Rabu, 13 Agustus 2014

Kopi Kotamobagu

Tidak ada komentar

Kopi Kotamobagu


Gunung Ambang terlihat dari Tudu Passi.
Gunung Ambang terlihat dari Tudu Passi.

Kotamobagu adalah salah satu kota di provinsi Sulawesi Utara. Dulunya wilayah ini menjadi ibukota kabupaten Bolaang-Mongondow. Setelah terjadi pemekaran wilayah, Kotamobagu menjadi masuk wilayah kotamadya dan ibukota kabupaten berpindah ke kota Lolak. Wilayah Kotamobagu dikelilingi pegunungan. Dari sekian gunung yang di sana terdapat satu gunung yang paling mencuat. Gunung Ambang namanya.

Dari tanah di sekitar gunung Ambang inilah dulu kopi Kotamobagu dihasilkan. Sama seperti wilayah lain di Nusantara, kopi menjadi tanaman yang wajib tanam penduduk pada jaman penjajahan Belanda di daerah ini. Tanaman kopi ditanam di lahan belakang rumah atau di lahan perkebunan. Sampai sekarang sebagian kecil penduduk desa masih mempertahankan untuk membudidayakan tanaman kopi.

Desa saya, desa Passi, terdapat di bagian puncak salah satu bukit di Kotamobagu. Dari desa ini jika kita naik ke puncak bukit yang disebut Tudu Passi, kita bisa menikmati kopi Kotamobagu sambil melihat pemandangan yang terhampar luas termasuk kerlap-kerlip Kotamobagu di malam hari.
Secangkir Kopi Kotamobagu siap disruput.
Secangkir Kopi Kotamobagu siap disruput.

Ada satu kisah yang menohok hati beredar kala kopi masih menjadi pundi gulden bagi kas kolonial Belanda. Kisahnya, di setiap dasar lesung yang terparkir di rumah-rumah penduduk diberi plakat dari tembaga yang berguna untuk memantau lesung itu digunakan untuk menumbuk padi atau biji kopi. Siapa yang ketahuan telah menumbuk kopi akan dihukum tembak. Bayangkan saja, untuk menikmati secangkir kopi nyawa menjadi taruhan. Di hitam cangkir kopi kita sekarang, selalu ada cerita kelam dan perjuangan di baliknya. Ada kisah penindasan juga kisah heroik yang tenggelam di hitam kopi. Karena dengan tindakan sewenang-wenang penjajah saat itu, bangkit jiwa untuk melawan dari rakyat. Kopi adalah revolusi. Hal ini memperkuat pendapat bahwa di setiap revolusi ada andil bercangkir-cangkir kopi yang menghadirkan buah-buah pikiran perlawanan.

Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 hingga kini kopi Kotamobagu masih tetap bertahan dari segala perubahan jaman. Meski banyak juga yang telah menggantinya dengan tanaman yang lebih menjanjikan seperti tanaman vanilli dan cengkeh, karena mengejar harga vanilli dan cengkih yang sempat melambung tinggi. Tanaman kopi masih terus bertahan di daerah kaki gunung Ambang, tepatnya di kecamatan Modayag. Desa-desa di kecamatan ini sebagian kecil masih menjadi penghasil tanaman kopi. Dulu, sebagian dari penduduk desa ini datang dari pulau Jawa sebagai buruh di perkebunan kopi pada jaman penjajahan Belanda. Sampai masa kemerdekaan mereka beranak-pinak dan memilih tinggal. Sekarang, para penghasil kopi sudah tersebar di wilayah-wilayah lain di kabupaten ini.

Kopi Kotamobagu merupakan jenis arabica yang ditanam pada ketinggian 600-2200 mdpl di kaki dan punggung gunung Ambang. Kopi Kotamobagu sudah cukup terkenal kenikmatannya. Dalam gala dinner antara pemerintah Republik Ceko dan Kedutaaan Besar Indonesia kopi Kotamobagu turut dihadirkan. Kopi ini merupakan trade mark provinsi Sulawesi Utara, dan menjadi satu-satunya produk kopi berkualitas di sana yang tidak kalah dengan jenis kopi-kopi lainnya di Indonesia. Meski kita tahu bahwa soal citarasa mungkin lebih bersifat subjektif, tapi untuk bisa berkomentar lebih Anda harus mencoba kenikmatan kopi Kotamobagu ini.
Kopi Kotamobagu
© kopikotamobagu.com

Ada satu kedai kopi di Kotamobagu yang sekarang cukup populer meski tempatnya kecil layaknya kedai-kedai kopi biasanya. Tak sulit untuk menemukannya karena kota ini tak terlalu besar. Letaknya tepat di depan lapangan desa Sinindian yang tak jauh dari pusat kota Kotamobagu. Namanya mirip dengan nama tempat minum kopi di kota Manado yakni Jarod (jalan roda). Bedanya di sini bukanlah sederetan kedai-kedai kopi. Hanya ada satu kedai kopi. Saya lebih suka menamainya Kedai Kopi Aba' (sebutan di sini untuk orang tua yang artinya sama dengan sebutan ‘Abah’). Aba' pemilik sekaligus peramu kopi cukup familiar di seantero Kotamobagu.

Meski kedainya sederhana tempat ini dilengkapi fasilitas jaringan wi-fi, dengan pengunanya dipungut biaya Rp 5.000 setiap datang berkunjung. Aba' tak ketinggalan jaman meski usianya hampir menginjak 50 tahun (prediksi saya). Selain untuk menarik pelanggan, Aba' cukup tahu apa yang dibutuhkan orang-orang saat ini untuk bisa mengakses informasi selain tumpukan koran di meja rotannya. Itu yang membuat banyak mahasiswa dan wartawan sering mangkal di sini. Para pejabat kabupaten sesekali juga datang berkunjung, kemudian berbincang-bincang soal isu hangat perkembangan politik. Secangkir kopi dan roti bakarnya harganya cukup murah meriah. Uang limabelas ribuan tak akan tandas di kantongmu.

Sebenarnya selain di kedai kopinya Aba', ada beberapa tempat tongkrongan lain yang menyajikan minuman kopi di kota ini tapi tak sepopuler tempatnya Abak. Mungkin karena rasanya yang khas mampu meringkus hasrat orang-orang untuk selalu kembali ke sini. Kopi ini dibikin dari sejuta pengalaman hidup Aba' dengan cerek kopinya. Cara membuatnya pun sederhana. Cukup menjerang air dengan campuran kopi Kotamobagu dan gula yang hanya Aba' sendiri tahu takarannya. Kopi panas tersaji begitu cepat dan cekatan. Sempat saya berpikir, jika Aba' nanti mangkat, posisinya akan digantikan oleh siapa, karena tak pernah saya lihat ada orang lain di sana selain tubuh ringkih namun cekatan ini. Semoga saja Aba' selalu dianugerahi kesehatan dan umur panjang agar kami masih tetap bisa menjadi bala seruputnya. Satu yang Aba' tak bisa lakukan adalah menahan tidur dengan lebih lama, pukul 01.00 lewat tengah malam ia sudah dibuat menyerah oleh kantuk. Dan para pengunjungnya pun memaklumi.

Hingga hari ini saya cukup lega karena meski telah menetap di Bali, tapi masih saja sering dikirimi kopi Kotamobagu oleh keluarga. Pernah pula saya membaca buku Dewi Lestari, Filosofi Kopi. Dari sana saya bersama seorang teman tergerak hati ingin membuka rumah kopi sekaligus rumah baca di kota Lolak. Kami memilih kota itu, karena selain tak ingin bersaing dengan kedai kopinya Aba' atau lebih tepatnya khawatir kalah bersaing, lahan di sana adalah satu-satunya lahan yang tersedia dan milik teman saya. Kedai impian itu bakal diwujudkan sekembalinya kami dari perjalanan mengelilingi nusantara. Teman saya pun masih akan menyelesaikan studi di kota Makassar.

Secangkir kopi adalah mimpi. Hitamnya adalah warna pembuka kita saat bermimpi. Hari ini, mau pagi, siang, sore atau malam, saya masih menyempatkan diri beranjak untuk menjerang segelas air, dengan dua sendok kopi Kotamobagu, satu sendok gula pasir “Persia” diaduk melawan atau pun searah jarum jam hingga uapnya berfatamorgana. Kopi Kotamobagu siap diseruput. Tersesap begitu nikmat di dalam mulut. Lengkaplah sudah komposisi hari ini.

(Artikel ini pernah dimuat di www.minumkopi.com website punyanya Puthut Ea (penulis), tapi ada beberapa kesalahan editing, jadi di sini saya edit lagi) :D

Kamis, 07 Agustus 2014

Gelora Ambang, Riwayatmu Kini...

Tidak ada komentar
Penulis: Kristianto Galuwo 

Gelora Ambang, stadion yang pernah menjadi kebanggaan kita. Saya yakin, ada banyak kenangan, pengalaman, kisah, dan prestasi yang pernah terukir di sini, oleh kita orang Bolaang Mongondow.
Bukan sedikit cerita yang pernah saya dengar tentang Gelora Ambang dari mereka yang di era 80 hingga 90-an adalah remaja-remaja yang aktif dan penuh kenangan di stadion ini. Ada lomba renang, pertunjukan sandiwara, teater, pacuan kuda, ragam perlombaan seni budaya, kejuaran atletik, dan pameran. Bahkan arena konser artis-artis lawas seperti: Nike Ardila, Poppy Merkuri, Andy Liani, Power Metal, Andromeda Band, Nicky Astria, Gito Rollis, Ikang Fauzi, dan sederet artis ibukota lainnya termasuk yang paling jadul, Euis Darliah. Saya salah satu yang pernah menyaksikan langsung  konser Power Metal, saat  masih duduk di bangku sekolah dasar.

Waktu melaju cepat, kekuasaan berganti,  stadion yang dibangun pada era kepemimpinan Bupati Drs Jambat Damopolii (alm) yang dahulunya dikunjungi ribuan manusia, kini sepi dari riuh kegiatan, bak bentangan belantara belukar yang mengubur ribuan kenangan pada masa keemasan di jaman 80 hingga 90-an.

Tapi stadiun ini, di awal millenium, seolah kembali menemukan roh-nya lewat aksi Persibom yang seolah hadir sebagai pengganti kuda-kuda pacu yang ‘mati’, pertunjukan seni budaya yang hilang, perlombaan ragam jenis olah raga atletik, entertain, serta pameran pembangunan yang dahulu biasa di gelar pemerintah kabupaten di tempat ini.

Saya mungkin adalah generasi penghabisan yang, masih sempat menyaksikan langsung kejayaan Persibom berlaga. Baru-baru ini, saat mencoba menengok kembali gambaran-gambaran yang pernah ada di stadion yang kini merana, sontak ada rasa sedih mengharu-biru dan menggulung dalam benak;  dulu kami berdesak-desakan di sini, mengantri tiket masuk, menyoraki Persibom, dan pulang dengan rasa bangga meski seringkali juga dengan kepala tertunduk.

Tapi pekan kemarin, ketika memacu sepeda motor ke tempat ini, mulut saya ternganga melihat Gelora Ambang yang kini bak hutan belantara; tribun depan yang digulung semak-belukar, puluhan mess atlit yang raib entah kemana hingga menyisakan reruntuhan pondasi pondok yang berbentuk semacam batu kubur yang tak dikenali. Lapangan basket yang digagahi belukar, arena teater yang menyimpan bau pesing jaman ‘purba’, dan pemandangan lain menyerupai bangunan bangunan ‘mati’ di Chernobyl  Ukraina.

Saya lantas berkendara  ke area tribun sebelah barat yang dibangun pada masa kejayaan klub sepakbola Fajar Bulawan era kepemimpinan Bupati Marlina Moha Siahaan. Tribun yang dulu disesaki para Bom Mania kini lebih mirip gudang  kayu  yang  jadi santapan rayap. Tinggal tunggu topan meniup maka bablaslah sudah.  Belukar juga ganas menggerayangi onggokan kayu yang rapuh.

Saat sedang miris dengan pemandangan ini, telinga saya menangkap sayup  suara anak-anak yang sepertinya datang dari arah kolam renang. Saya bahkan hampir tidak bisa menemukan jalan ke arah itu sebab belukar rimbun di mana-mana. Sejenak sempat usil berpikir, jangan-jangan itu suara penunggu Gelora Ambang. Maklum, suasana horror entah kenapa cepat menyergap  tatkala berada di sini.

Saya bergerak mencari ringkih suara yang tersisa itu dan akhirnya menemu jalan tikus yang menuntun saya memasuki area kolam renang.  Gerimis turun ketika itu. Ada empat orang  bocah laki-laki dan dua perempuan yang sedang mandi. Ada dua fasilitas kolam renang di sini; yang berukuran besar tinggal menambah kemirisan tatkala pemandangan yang ditampilkan adalah ubin raksasa tempat berkubangnya rawa dan tetumbuhan yang akan cepat benakmu mengambil prasangka bahwa, jangan-jangan ada anakonda bersemayam di situ, atau mungkin buaya, soa-soa (biawak), patola (ular piton) dan binatang berbisa lainnya. Sedangkan kolam yang satunya lagi, di mana para bocah sedang latihan berenang, itu satu-satunya fasilitas yang dirawat seadanya oleh seorang perempuan berumur  50-an yang biasa disapa Tanta Ebi.

Ia adalah penjaga  kolam. Suaminya “juru kunci” Gelora Ambang.  Perempuan ini membuka  kantin seadanya di tepi kolam yang menawarkan pisang goroho goreng sebagai menu andalan. Sebagai penjaga kolam yang luput perhatian dari pemerintah, ia cukup meminta Rp 3.000 kepada setiap orang yang datang mandi sepuasnya.

Usai bercakap-cakap sejenak dengan Tanta Ebi, saya pamit pulang dan menyempatkan diri  bersinggah di Kantor Pemkot Kota Kotamobagu hendak menemui  Asisten III, Dra Djumiati Makalalag, untuk bertanya seputar status Stadion Gelora Ambang yang masih terhitung sebagai aset Pemkab Bolmong.

Ia tak berada di tempat sehingga saya mengontaknya melalui telepon selular. Makalalag, menyampaikan bahwa saat pemekaran dan Ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow pindah ke Lolak, aset itu masih terhitung sebagai aset milik Pemkab Bolmong dan hingga kini belum ada penyerahan secara resmi.

“Memang baru-baru ini antara Pemkot dan Pemkab, ada rencana pembahasan untuk penyerahan aset secara resmi. Tapi waktunya belum disepakati kapan persisnya,” kata Makalalag melalui pesan singkat via handphone, Rabu 30/10/2013, lalu ia menyarankan saya selaku wartawan lintasbmr.com supaya bertemu langsung dengan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Kotamobagu Mustafa Limbalo, atau menemui Kepala Dinas PPKAD.

Pada sebuah kesempatan saat  Dialog Publik yang dilangsungkan HMI Bolmong pada, Sabtu 16/11/2013, di Restoran Lembah Bening Sinindian, saya sempat bertemu Sekda Kota Kotamobagu Mustafa Limbalo dan menanyakan soal status Gelora Ambang. Dikatakan oleh Limbalo bahwa, Gelora Ambang memang terhitung sebagai  salah satu aset di antara 39 aset milik Pemkab Bolmong yang masih berada di wilayah Kotamobagu. Ia mengatakan, persoalan aset ini akan segera diselesaikan dalam waktu dekat ini.

Untuk diketahui, persoalan aset milik Pemkab Bolmong yang berada di wilayah pemerintahan Kotamobagu, hingga kini masih terkatung-katung pengelolaanya semenjak Ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow pindah ke Lolak tahun 2010 silam. Mengemuka wacana  agar aset yang tertinggal, diserahkan saja pihak Pemkab Bolmong ke Pemkot Kotamobagu. Para pemangku kebijakan antara kedua belah pihak telah ada kata sepakat. Akan tetapi realisasi penyerahan aset tersebut hingga saat ini urung dilakukan. Alhasil, banyak aset terbengkalai, termasuk bekas Kantor Pemkab Bolmong dan sejumlah kantor SKPD, termasuk Rumah Jabatan Bupati di Bukit Ilongkow yang santer dijadikan lokasi judi sabung ayam oleh masyarakat.

Akan halnya dengan Stadion Gelora Ambang, aset yang satu ini memang sudah lama terbengkalai melewati hitungan 1 dekade bahkan  sebelum pemekaran terjadi dan jauh hari sebelum pemerintah kabupaten Bolaang Mongondow pindah alamat ke Lolak, kondisi stadion Gelora Ambang memang sudah ‘sakit’ kronis.

Ah, Gelora Ambang. Riwayatmu kini....

 (Tulisan ini pernah dimuat di media elektronik www.lintasbmr.com, waktu saya masih sebagai reporter di media itu. Saya bermaksud ingin mengabadikan tulisan ini di blog pribadi saya.)

Selasa, 22 Juli 2014

Sapu Lidi dan Sebuah Pelukan

Tidak ada komentar
Sampang. Januari 1996 ...

Masih terlalu pagi, ketika ibu membangunkanku untuk bersegera ke sekolah. Usiaku kini sepuluh tahun. Kelas 3 Sekolah Dasar.

"Ini sapu lidi yang dipesan ibu gurumu," kata Ibu sambil meletakkan sapu lidi itu di sampingku. Ibuku merautnya sendiri.

Kebetulan hari ini hari Jumat. Ada mata pelajaran Olahraga, Agama, dan PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Sapu lidi itu pesanan ibu guru Suhasni, ia guru mata pelajaran PMP.

Namaku Shadra Ghadir Khum, biasa dipanggil Saga. Entah kenapa ayah dan ibu menamaiku demikian. Aku berusaha mencari tahu. Tapi tak kunjung kutemukan di buku-buku perpustakaan sekolah apalagi di setiap mata pelajaran yang guru-guru ajarkan. Sebenarnya mudah, aku tinggal bertanya kepada ayah ataupun ibu, atau kepada guru-guru. Tapi terlalu mudah, tidak mendidikku untuk belajar mencari tahu. Pikirku begitu. Nantilah, pasti ada buku yang kutemukan dan bisa menjawabnya.

"Aku pamit dulu Bu," kuciumi punggung tangannya.

Ah, lagi-lagi olahraga. Senam. Lalu dilanjutkan dengan praktek lari maraton. Setelah fisik terasa lelah, tapi bugar seketika hadir saat selesai mandi. Hari Jumat, hari ini biasanya aku mandi hingga empat kali. Pagi tadi, selesai olahraga, pergi ke masjid untuk sholat Jumat, dan mandi lagi sore nanti.

Setelah pelajaran olahraga, kali ini ada mata pelajaran Agama. Setelah itu baru masuk pada jam mata pelajaran PMP.

Ibu Suhasni dengan wajah cerah masuk ke ruang kelas, "Ayo anak-anak, kumpulkan sapu lidi yang kemarin ibu pesan kepada kalian."

Setelah semua murid mengumpulkan sapu lidi. Ibu Suhasni mengambil satu sapu lidi yang berada di sudut ruangan kelas. Bukan di antara puluhan sapu lidi yang kami kumpulkan tadi. Sapu lidi itu warnanya kecoklatan. Warisan dari kakak-kakak kelas.

"Kali ini kita akan membahas soal Bhineka Tunggal Ika," kata Ibu Suhasni sambil mengambil sebatang lidi dari himpunan sapu lidi.

Ia mematahkannya. "Lihat anak-anak. Dengan mudahnya sebatang lidi ini bisa dipatahkan. Akan tetapi, jika kita mencoba mematahkan ratusan batang lidi yang disatukan, akan sulit nantinya."

Ia mengambil sapu lidi itu dan coba mematahkannya, "Coba kalian perhatikan."

Semakin kuat ia mencoba mematahkan sapu lidi itu. Himpunan batangan lidi itu makin merangkul satu dengan lainnya dengan erat.

Kejadian itu, kembali terbayang di benakku. Di tahun 2014. Ketika arti dari namaku sendiri yakni Shadra Ghadir Khum telah kuketahui. Di tahun sekarang ini rakyat Indonesia merayakan pesta demokrasi. Tanggal 9 Juli kemarin.

Ingatan ketika sebatang lidi yang ringkih dan kecoklatan itu, yang tampak telah biliun debu dibelainya dan yang diterbangkannya ke udara, coba kuhubungkan dengan Pemilu (Pemilihan Umum) sekarang ini. Siapa yang memiliki jumlah batangan lidi terbanyak, maka akan menjadi satu kekuatan yang tak akan terpatahkan.

Dari dua calon pemimpin. Aku memilih Jokowi. Bukan Prabowo si mantan jendral itu. Ayahku pun suka dengan sosok Jokowi. Kata ayah, mudah-mudahan Jokowi bisa memperhatikan pemeluk agama minoritas di Indonesia, khususnya di wilayah tempat kelahiran kami.

Di tahun 2014 teknologi makin pesat perkembangannya. Aku mulai mengenal internet selain buku-buku bacaan yang sudah lebih mudah didapatkan pula. Arti namaku pun kutemukan dari internet. Shadra, adalah nama filsuf atau pemikir islam asal Syiraz, sebuah kota yang paling terkenal di Iran. Filsuf pada abad 16 Masehi. Sedangkan Ghadir Khum, adalah lokasi yang terletak di antara Kota Makkah dan Kota Madinah, Saudi Arabia. Menurut penganut Syiah, di tempat inilah Ali bin Abu Thalib dinobatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Wali dan Khalifah Ar-Rasyidin umat Islam. Aku makin mengenal dengan baik namaku sendiri, sama seperti aku mengenal baik Prabowo.

Aku dan keluargaku tidak tinggal lagi di Sampang, Madura. Sekarang kami menetap di Banjarmasin. Alasan kami pindah bukan karena direlokasi oleh pemerintah sejak konflik Sampang kemarin. Ayah memang dipindah-tugaskan ke sini sejak tahun 2000. Ayahku seorang PNS. Ketika ditanya kenapa tidak suka dengan Prabowo. Jawaban yang kudapati hanya sebait kalimat singkat, "Ini persoalan akidah, Nak."

Aku kembali teringat dengan kisah sapu lidi tadi. Waktu ke TPS kemarin untuk mencoblos. Alat yang digunakan untuk mencoblos adalah sebuah paku. Kali ini imajinasiku bukan lagi tentang sebatang lidi. Sebatang lidi tadi mungkin adalah pengandaian ketika aku masih bocah. Aku telah tumbuh menjadi sebuah logam besi. Aku kali ini sebuah paku yang berhimpun dengan jutaan paku lainnya dan menjelma menjadi palu besar. Palu yang siap menghantam bangunan kokoh yang bernama kekuasaan.

Dalam permenungan, aku melihat Prabowo serupa palu yang selalu melihat masalah adalah sebuah paku. Siap memukul dan menancapkan kami ke setiap tempat yang ia suka. Sementara Jokowi, adalah ia yang membangkitkan semangat perlawanan kami. Jokowi berhasil menghimpun kami menjadi satu kekuatan. Menjadi sebuah godam.

Lidi, paku, dan sebuah palu. Ketiganya adalah alat. Bukan berarti kita rakyat yang bisa diperalat. Keputusan ada pada kita. Kita tinggal memilih. Kita tidak ingin amnesia terus, lantas mencambuki tubuh kita dengan seikat lidi, menghujamkan paku ke kepala, dan menenggelamkannya ke dalam akal sehat kita dengan satu pukulan palu.

"Kamu telah sembuh, Nak!" teriak Jokowi dari podium kemenangan.

Aku melangkah ke halaman belakang. Mendapati ayah yang sedang mengurusi ayam jagonya. Ia menatapku. Kali ini ada bulir-bulir air matanya memberat jatuh. Mengundang satu-dua bulir air mata dari kelopak mataku.

"Ayah rindu kampung halaman, Nak!"

Aku lantas merangkulnya. Memeluk layaknya seorang kawan lama yang baru saja berjumpa.

"Ayah, kenapa kita bisa saling membenci?"

"Kita bisa saling membenci, tapi entah kenapa kita harus saling membunuh. Ayah tak pernah mengerti."

"Saga. Pergilah ke rumah Fatan, kalian lama tak saling tegur hanya karena beda pilihan calon pemimpin. Terlebih, Fatan satu sekolah denganmu di Sampang pula. Pelukanmu ini pantas untuk dia."

Kini, aku lebih termaknai akan arti dari Bhineka Tunggal Ika.

Kamis, 22 Mei 2014

Saung Layung Arus Balik

Tidak ada komentar
Aku pernah bermimpi, tinggal di sebuah desa terpencil dan menjadi seorang pengajar di tingkat sekolah dasar. Terlebih setelah beberapa kali membaca novel dan menonton film mengenai abdi seorang guru yang rela meringkuk di antara belantara hutan dan jauh dari ramai riuh perkotaan.
Begitu nikmatnya ketika kita membuka mata di kala pagi, dan disambut dengan kemuning cahaya mentari di punggung pegunungan dan hijau hamparan persawahan. Menghidu aroma sejuk yang menebal di udara, dan telinga yang dihibur kicau burung-burung mencicit di desir angin pagi. Maka nikmat Tuhan manalagi yang kamu dustakan di keadaan seperti itu?

Yah, sampai di suatu hari, seorang sahabat yang mempunyai cita-cita yang kurang lebih sama mengabariku lewat SMS. "Sigidad, kami berencana mendirikan rumah belajar di sana, lokasinya di desa Moyag, dan satunya lagi di desa Bakan. Nanti kita ketemuan untuk membicarakannya."
Mimpi itu terwujud sudah. Setelah perjumpaan yang singkat di rumahnya, rencana kami itu akan coba dirampungkan setelah segala urusan perkuliahannya selesai. Beberapa orang teman kuliahnya yang berasal dari Makassar melakukan riset di lingkar tambang di desa Bakan, dan akhirnya tugas mereka pun selesai dan waktunya untuk mereka kembali ke Makassar.

Setelah sebelumnya diajak keliling-keliling kota Manado hingga menyempatkan diri menyelam di keindahan taman laut dan terumbu karang pulau Bunaken, akhirnya bandara Samratulangi menunggu mereka untuk membawa mereka kembali pulang. Misi selesai sudah.

Setelah itu, di rumah saudaranya yang menjadi tempat kami menginap sementara, tepatnya di tepi kolam ikan yang letaknya di halaman belakang rumah, ide segar itupun tiba-tiba benderang di atas kepala kami. Satu kata telah ditemukan, Saung. Dan setelah itu kata kedua, Layung. Dan sisanya kami mencuri judul bukunya Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik.

Jadilah sebuah nama untuk rumah belajar kami "Saung Layung Arus Balik". Dan tanpa disengaja, "Saung" itu mengidentikkan dengan tempat rumah belajar itu sendiri, yakni desa Bakan yang memang sebuah wilayah yang dikelilingi area persawahan dan terdapat beberapa saung di setiap hamparan persawahan. Dan kata "Layung" yang jika di desa Moyag, di kala sore hari, maka warna kuning kemerah-merahan di ufuk barat Kotamobagu akan terlihat begitu indah dari sana.

Apa sebenarnya yang menggerakkan hati kami untuk mencoba mendirikan rumah belajar yang orientasinya memang bukan hanya untuk anak-anak putus sekolah, pun dengan metode belajar yang berbeda dari sekolah formal?

Kami hanya ingin agar dada anak-anak ini tak berdebar takut kala malam hari, tersebab pekerjaan rumah mereka yang belum selesai, atau dengan mata pelajaran yang membuat mereka pusing keesokan harinya. Tapi kami ingin supaya dada mereka bergemuruh tak sabar menanti esok hari, karena pelajaran-pelajaran itu mereka sukai dan dinanti-nantikan. Keajaiban masa kanak-kanak tak boleh direbut oleh pekerjaan rumah yang menumpuk dan mata pelajaran yang memusingkan.

Nak, ambil penamu dan menulislah sesuka hatimu. Corat-coretlah lembaran putih itu, gambarlah apa saja yang terlintas di imajinasi kalian, lalu namai sesuka hati kalian. Dan tanyailah kami apa saja, sebab kami akan coba menjawab dengan bahasa yang kalian tahu.
***
Kemarin kami menyempatkan diri mengunjungi desa Bakan dan bertemu dengan kepala desa di kediamannya. Respon yang mulia itu tertutur haru dengan diijinkannya kami menempati salah satu ruangan di bangunan sekolah dasar. Karena waktu mengajar kami sore hari, maka tak menggangu aktivitas belajar mereka.

Terima kasih pak kepala desa...

Sedangkan untuk lokasi di desa Moyag. Kebetulan akses di sana pun cukup merangkul kami.
Ah, tak sabar menunggu saat mulai mengajar itu tiba. Apapun yang menyoal kemanusiaan, terlebih itu mengenai pendidikan, seperti kata Pram, "Pendidikan untuk mengagungkan kemanusiaan."
Setelah ini, mungkin aku berniat ingin membukukan pengalaman-pengalaman mengajar kami nantinya. Dan untuk teman-teman yang tergerak hatinya ingin turut berpartisipasi dengan kami. Ringankan langkah kalian demi mencerdaskan generasi Nusantara.

Saung Layung Arus Balik. Tuhan tahu apa yang ada di benak kami. Dengan niat yang tulus, maka setelah itu yang ada hanyalah kata, "Mari berbuat!"













Sabtu, 03 Mei 2014

Dumoga, Negeri Para Shinobi

Tidak ada komentar
Yang akrab dengan manga (komik Jepang) apalagi yang berlatar Ninja, pasti familiar dengan sebutan Shinobi. Shinobi atau Ninja, yang ingin saya hubungkan dengan suatu wilayah rentan rusuh, Dumoga.

Saya mendengar seorang kawan pernah melontarkan kalimat itu, "Dumoga, negeri para Shinobi," Sebulan yang lalu, jauh sebelum Doloduo dan Ikhwan saling terkam dalam rusuh tarkam pekan lalu. Pun disusul bentrok antara desa Imandi dan Tambun, dan kini dilanjutkan pula seteru yang melibatkan tiga desa. Ibolian, Tonom, dan Mogoyunggung.

Memang warga Dumoga identik dengan perangai yang keras sebab terbiasa hidup keras. Hampir sebagian penduduk Dumoga yang bermata pencaharian sebagai penambang tradisional, liar, dan seringkali tak segan mengorbankan nyawa untuk berebutan lokasi tambang, hingga terbisiklah istilah "Baninja" dari kuping ke kuping, mereka yang rela mati demi suap nasi untuk bini dan anak mereka. Terlepas dari persoalan sengketa wilayah tambang, kini betrok mulai disebabkan oleh hal-hal sepeleh, yakni pemuda-pemuda yang mabuk.

Bicara soal ninja, tak banyak memang dari para ninja-ninja Dumoga ini memiliki ninjutsu, keahlian seni beladiri di atas rata-rata, bahkan santer terdengar ilmu beladiri mereka yang tak bisa dilogiskan pun sempat menjadi ketakutan di antara para ninja-ninja lainnya. Selain kelihaian mereka memainkan samurai tentunya.

Saya ingin mendedah sedikit soal rusuh tarkam antara Doloduo dan Ikhwan. Soal penembakan aparat kepada enam orang warga yang di antaranya ada dua orang ibu rumah tangga. Sungguh tragis. Peluru yang menembus payudara ibu. Payudara yang menyusui putra-putri Dumoga. Meski dengan alasan prosedural, kenapa moncong senapan tak kalian arahkan ke kaki duluan? Melumpuhkan.

Ibu-ibu yang melahirkan putra dan putri Dumoga tak pernah ingin keturunan mereka meliar seperti sekawanan serigala. Tapi alam dan keadaan yang mendidik mereka. Air susu dari puting payudara dua ibu yang terluka oleh terjangan peluru dari aparat, tak pernah berharap otak anak-anak mereka terganggu oleh sebab gizi yang mereka asup dan membaur di air susu membikin otak anak-anak mereka bebal. Dan tentu saja, dua ibu itu tak pernah menyadari, akan diterjang oleh peluru-peluru nyasar. Sebab apapun yang nyasar, pasti selalu tentang ketidaktelitian.

Saat gejolak konflik ini merembet ke desa-desa lainnya yang juga sudah cukup mainstream kita dengar seperti bentrok antar Imandi dan Tambun, juga Ibolian dan Tonom berlanjut. Sikap pihak keamanan yang dengan sigap berjibaku menentramkan konflik, mulai awas dengan kejadian penembakan sebelumnya. Semua memang tak ingin "perang", dan kala api temu bensin, yang harus menyiapkan setimba air itu siapa?

Dalam kasus ini, saya bukan menyalahkan aparat kepolisian yang mengamankan rusuh tarkam. Siapa pun tak setuju dengan perbuatan tak memanusiakan manusia lainnya. Tapi mampukah para pihak keamanan ini bersikap netral? jika kita telaah lebih cerlang, bahwa bentrok yang terjadi selalu antara dua penganut agama yang berbeda.

Tentunya kita tak ingin di negeri Totabuan ini, sampai pecah konflik yang dilatarbelakangi oleh konflik antar agama. Solusi yang terbaik, kenapa tak menggiatkan kegiatan-kegiatan yang mempersatukan tali persaudaraan? semisal membiasakan setiap hari-hari besar masing-masing agama, agar saling turut membantu keamanan di hari-hari perayaan itu. Mari kita ciptakan kembali budaya gotong-royong. Anak-anak sedari usia dini dididik agar saling menghargai desa tetangga, dan tentunya penganut agama yang berbeda.

Sekejam-kejamnya para Shinobi, di saat sebelum membunuh, coba ditatap kembali dengan seksama lagi binar mata korban. Rasakan kehidupan di sana dan maknai bahwa kita adalah sesama manusia yang, untuk apa saling tengkar. Apalagi sebab yang selalu didasari hal sepeleh: karena alasan mabuk, teriak, dan raungan bising knalpot racing.

Saya sungguh prihatin dengan konflik yang terjadi di Dumoga. Dan jika benar kalian para Shinobi sejati, kenapa tak kalian gunakan keahlian kalian dengan sebuah prestasi? Atau kenapa tak banyak merekrut calon polisi ataupun TNI dari warga Dumoga?
Ah, ini bumi jika terbelah dua dan yang di antaranya hanya langit. Manusia akan tetap menyeberanginya untuk berperang. Kalian di Dumoga bukan bodoh, tapi tak mau belajar untuk membuka diri dengan perbedaan.

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, 27 April 2014

Sigi, Selamat Ultah yang ke-3 Tahun

Tidak ada komentar

Dulu ia pernah menjadi aib, tapi sekarang ia adalah segala iba. Aku menamainya Sigi, akronim dari nama panjangnya, Sistha Ghasyafani.

Tiga tahun sudah Sigi meliar di lorong-lorong dekat rumahnya. Digendong, dibiarkan berlari, terjatuh dan tersungkur di kerikil-kerikil yang tega. Sigi selalu bangkit meski dengan jerit tangis, tapi satu bujukan permen selalu membikinnya kembali tersenyum.

Setahun aku tinggalkan, membuatnya semakin berjarak denganku. Hanya disaat Sigi pulas, aku bisa memeluknya, menciuminya dengan leluasa. Sigi sangat "mahal" sekarang, mungkin itu sebuah harga yang pantas kubayar, sebab aku tak pernah ada disaat ia ingin mengenali wajah seorang ayah.

Sigi memiliki dua wajah. Mirip wajah ibunya saat keduanya sedang foto bersama. Dan mirip wajahku disaat ia berfoto denganku. Anak ini lihai berpose. Itu bakat dari ibunya. Kukira iya.

Sigi tak mau tahu dengan sekelilingnya tadi. Ia hanya ingin menangis saat mimpinya direnggut, karena dibangunkan hanya untuk meniupi lilin di kue ulang tahun. Kalau soal tidur yang tak mau diganggu, mungkin ini bakat dari ayahnya. Iya.

Sigi, wajahmu begitu kusut tadi. Aku ingin mengungkai rautmu, menyulamkan kembali menjadi senyum indah. Aku ingin mengacak-ngacak keriting rambutmu dan ingin mendengar tawamu. Meski hanya sekali, tawamu selalu terngiang abadi.

Tadi, saat menciuminya. Napasnya memburu seakan ingin mengejar kembali mimpinya. Ah, Sigi, tidur lagi saja. Yang Maha Tak Tidur masih mau memberi kita usia untuk bersua lagi.

Terima kasih untuk satu kecupan engganmu tadi. Itu sudah lebih dari cukup. Tidurlah lagi. Dan selamat ulang tahun yang ke-3. Jangan pernah dewasa...

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 12 Maret 2014

Hibah Nyawa dari Timur Bolmong Raya

Tidak ada komentar
M Fahri Damopolii
"Optimism," said Cacambo, "What is that?" "Alas!" replied Candide, "It is the obstinacy of maintaining that everything is best when it is worst."

Penggalan dialog itu dikutip dari novel "Candide", karya termasyhur Voltaire, yang ditulis pada tahun 1751 di tengah zaman yang penuh optimisme. Yang menarik dari novel ini adalah cara Voltaire menyajikan itu. Bahwa ruang optimisme yang pada akhirnya muncul ke permukaan, diraih dengan sederet rasa pesimis. Bahwa pelita adalah omong kosong ketika tak pernah ada ruang gelap. Dan orang-orang mungkin benar; dalam setiap optimisme, ada se-titik keraguan.

Kita mungkin tak pernah tahu dalam batas apa ketika optimisme harus mekar, dan di titik mana ketika keraguan datang meredup. Tapi broadcast BBM yang saya terima Sabtu siang pekan lalu, dari Buyung Algiffari Potabuga, seorang sahabat di ujung Timur Bolmong Raya, cukup menggugah rasa, pun menohok harapan sekaligus ilusi; "Jika Bukan Provinsi BMR Maka Kami Negara BMR". Di dalamnya ada pengumuman terbuka—untuk tak menyebut radikal—dari para pemuda yang menuntut pembentukan Provinsi Bolmong Raya, hingga batas menghibahkan nyawa. Singkatnya; jika Provinsi Bolmong Raya tidak direstui Pemerintah Pusat, elemen pemuda ini akan memperjuangkan BMR menjadi Negara sendiri, meski nyawa adalah taruhan.

Gaung provinsi Bolmong Raya memang sedang menggema, merasuk, mencumbu tiap insan Mongondow—tak terkecuali kaum muda, yang telah butuh waktu cukup panjang menggantung asa di atas langit ketidakpastian. Saya, yang hampir 13 tahun lalu, pernah menuliskan pemekaran wilayah Bolmong Raya, pun ketika itu tak bisa mangkir dari rasa itu; bercengkrama dengan ketidakpastian, sekaligus ilusi. Sebuah ketidakpastian memang mengandung optimisme dan keraguan, termasuk ilusi.
Tapi perjuangan panjang untuk membentuk Provinsi Bolmong Raya; dari wacana, konsepsi serta aksi, terutama dari Panitia Pemekaran Provinsi Bolmong Raya yang mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat, telah cukup membungkam ilusi. Yang tersisa kemudian adalah rasa optimis, meski keraguan masih saja tak bisa ditelungkup. Dan kita tahu setiap perjuangan adalah perhelatan, dan tiap perhelatan menghadirkan panggung bagi siapa saja untuk menggelar eksistensi.

Aksi hibah nyawa yang digagas teman-teman dari wilayah Bolaang Mongondow Timur, bagi saya juga adalah sebuah panggung dengan segala rupa eksistensi yang hendak dipertontonkan. Rasa optimis dan pesimis sering membuka ruang bagi orang-orang untuk melahirkan laku, bahkan nekat. Dan keduanya sering saling mendesak diantara panggung-panggung yang tersedia. Tak kala sebagian besar orang optimis atas kunjungan tim DPOD ke Kota Kotamobagu untuk memantau kesiapan calon ibu kota provinsi, lengkap dengan gegap gempitanya panggung yang tersaji, di timur Bolmong Raya pesimisme hadir dengan panggung yang cukup menghentak, menuntut, mengancam—juga menggugah, yang dicetus kaum muda. Dari ujung timur itu mereka berteriak tentang ketidakpastian. Di sana mereka menggagas sebuah cita-cita. Di sana mereka menghibah nyawa sambil menggelegar; Merdeka atau Mati!

Hibah nyawa tentu bukan perkara sembarang. Kita tahu nyawa tak pernah dipajang di etalase pertokoan atau dijual ecer di lapak pedagang. Sebagaimana kita tahu juga anak-anak muda memang penuh dengan letupan jiwa, bahkan misteri ketika mereka hendak menghentak sebuah panggung. Mungkin untuk itu Chairil Anwar lantang berteriak; "Sekali berarti sudah itu mati". Bisa jadi karena itu pula Voltaire mengatakan; "anak-anak muda itu belum diajar oleh usia menua, dan belum mau berbagi keinsafan tentang kelemahan manusia". Tapi bukankah setiap panggung yang tersaji harus tetap dihargai? Termasuk panggung yang digelar seorang Buyung Algiffari Potabuga; "Di jalan ini tiada tempat berhenti, sikap lamban berarti mati. Siapa bergerak dialah yang di depan, yang menunggu sejenak sekalipun pasti tergilas. Kami tak perlu mengemis mata orang lain untuk melihat, kami melihat dunia dengan mata kami sendiri. Itulah semboyan perjuangan kami".

Panggung ketidakpastian memang sering mengguncang, bahkan jika nyawa menjadi syarat utama suksesnya sebuah pentas. Yang belum—dan mungkin sering lalai—kita sadari adalah; apakah dengan taruhan nyawa dan "Abrakadabra" optimisme seketika menjulang tinggi? Ataukah kematian bisa jadi peretas jalan menghilangkan keraguan. Bukankah dunia ini hanya sementara? Termasuk manusia-manusia didalamnya dengan pemikiran maupun tindakan yang juga sementara. Dan kesementaraan ini pula yang sering kali menyebabkan sebuah panggung yang menghentak bisa tiba-tiba bisu, tanpa suara, tanpa gerak, tapi membekas jejak—bertahan atau ditinggalkan.

Tak kala wartawan Colombia, Eduardo Santos diusir dari negerinya di penghujung tahun 1955, Albert Camus menuliskan sebuah kalimat; "Di hari-hari ini kemerdekaan tak punya banyak sekutu". Namun ikhtiar harus terus dikedepankan; "You can't cross the sea merely by standing and staring at the water", kata Rabindranath Tagore. Dan mengutip penyair Edgar Allan Poe; "Hari ini aku memakai rantai ini, dan aku di sini. Besok aku akan lepas—tapi di mana?". Semoga masih di sini, di Indonesia.

Oleh : M. Fahri Damopolii

Powered by Telkomsel BlackBerry®