Saya menulis 'Menu7u Graha Pena' (http://sigidad.blogspot.co.id/2015/08/menu7u-graha-pena.html) beberapa bulan lalu, tulisan yang sebenarnya hanya sebagian yang mafhum, kalau saya saat itu sudah berada di batas kesabaran, untuk bisa bertahan dengan rekan-rekan di Radar Bolmong (RB). Dan akhirnya saya memilih mundur sejak tiga bulan lalu.
Dalam tulisan itu, sengaja saya tidak menyentil satu sosok yakni Budi Siswanto. Sebabnya apa? Karena Bos Budi, begitu kami yang bawahan biasa menyapa — berlaku untuk semua Bos di Manado Post Group — adalah sosok yang suatu saat, ada masa dimana saya akan mengabadikan namanya di blog Getah Semesta ini.
Bos Budi, pertama kali namanya saya tahu dari tulisannya Bang KG — begitu saya kerap menyapa Katamsi Ginano — empu dari blog Kronik Mongondow. Ada beberapa edisi tulisan Bang KG, yang gencar mengais dan menebar kekeliruan RB, yang kala itu tak sesuai kaidah jurnalistik dalam memberitakan satu kasus. RB saat itu masih dipimpin Bos Budi. Kemudian berlanjut dengan seteru secara personal antara keduanya, yang akhirnya seiring waktu, seteru itu tergeser oleh jarum jam secara perlahan. Hilang dan diam.
Dalam tulisan 'Menu7u Graha Pena', saya juga sengaja tidak mencatut nama Bang KG. Padahal saya bisa diterima di Radar Bolmong, di bawah pimpinan Bos Ozi' (Fauzi Permata), Bang KG memiliki andil di sana. Tapi secara pemaknaan saya sendiri, seperti yang saya jelaskan sebelumnya dalam tulisan itu. Terlepas dari rekomendasi Bang KG, Bos Ozi' memang yakin bahwa saya bisa menulis, setelah membaca blog saya, Getah Semesta, yang sebenarnya hanya berisi sampah-sampah pikiran, yang entah mau saya kemanakan, dan akhirnya menjadi TPA (Tempat Pembuangan Angan) saya.
Dalam tulisan itu pula, saya menebar keping-keping perjalanan kami saat ikut pelatihan wartawan liputan khusus, di Graha Pena Manado Post. Saat berada di Manado selama beberapa hari, kami berencana menginap di rumahnya Bos Budi yang, ia pun menawarkannya pada kami. Di situlah awal saya mengenal secara dekat sosoknya. Meski sebelumnya, sudah pernah bertemu pada acara HUT RB yang ke-6.
Saat menyetir mobil menuju rumahnya, kekocakkan Bos Budi mulai nampak. Selera humornya membikin saya terbahak-bahak di mobil. Dari membuli Eling dan Eges (kedua teman saya yang sama-sama ikut pelatihan), dengan kisah-kisah lucu saat keduanya masih menjadi bawahannya di RB. Ini asyik, sebab karakter Bos Budi, sangat jauh dari bos-bos kebanyakan, dari semua perusahaan yang pernah saya singgahi. Sense of humor. Ya.
Sesampai di rumahnya, kami disambut istri dan putrinya (saat itu si bungsu masih dalam kandungan), juga ayah mertuanya. Kami dipersilakan menguasai lantai dua. Rumah itu sangat nyaman dan ideal bagi sepasang suami-istri yang tengah menanti anak kedua, yang nantinya bakal sepasang pula. Pernah lihat iklan Keluarga Berencana (KB)? Nah, cukup ideal bukan? Istri satu, anak dua. Apalagi anaknya sepasang. Sempurna.
Di rumah itu, ayah mertua Bos Budi memperlakukan kami seperti anaknya sendiri. Mengajak makan saja, jika kami belum turun dari lantai dua, akan terus disusulnya berkali-kali sampai kami tidak bisa menolak. Tak tega pula melihat seorang kakek naik-turun tangga. Meski sebenarnya di usia senjanya, ayah mertua Bos Budi dengan rambut peraknya, masih terlihat cukup gesit untuk digolongkan kakek. I Miss You Ayah (saya anggap ayah saya sendiri dah!).
Usai mandi dan beberes, kami bercengkarama di beranda. Tentunya dengan Bos Budi yang mulutnya tak henti-hentinya mengepulkan asap. Ia perokok berat. Gudang Garam Filter atau Surya, dua merek rokok yang ia gemari (rokok bas-bas kata). Menurut saya, ia memang bas (tukang bangunan), sebab jika salah satu anak perusahaan Manado Post Group (MPG) pondasinya mulai rapuh, maka ia akan diutus untuk memperbaikinya. Dan selalu berhasil.
Di malam itu, tanya jawab pengalaman dan sebagainya saling bertukar. Akhirnya kami dipaksa tidur menjelang subuh. Dan dipaksa bangun pukul 7 pagi. Saat mata kami bermekaran meski tubuh kami masih layu, telah ada sosok hitam manis (klaim Bos Budi) di depan kami yang menendang nendangkan kakinya.
"Bangon jo!"
Mandi, sarapan, lalu kami berangkat ke Graha Pena. Tapi sebelumnya kami diajak keliling kota Manado dulu, sebab Bos Budi ingin mengecek loper-lopernya di jalanan. Aih, saat kami temui, anak buahnya senang dengan kedatangan Bos Budi. Sembari mengabarkan bahwa sudah berpuluh-puluh eksemplar yang laku. Mereka merasa diperhatikan, bukan diawasi.
Setelah itu, kami menuju Graha Pena lalu bergegas ke ruangan pelatihan untuk menerima materi. Kami acapkali terlambat beberapa menit. Namun kami bangga karena dari seluruh peserta perwakilan MPG, hasil liputan RB yang terpilih (nyombong dikit kenapa). Bahkan kami dijanjikan hadiah yang sampai hengkang pun, hadiah itu tidak pernah kami terima.
Kala itu, setiap usai pemaparan materi, malam harinya kami kembali ke rumahnya. Masih dengan kelakarnya, kami dibuat terpingkal-pingkal di mobil.
"Nae di oto ini musti baroko, kalo ndak baroko kaluar!"
Eling itu cewek loh, yang di tulisan 'Menu7u Graha Pena', ia menjadi salah satu tokoh cerita (saya berhasil membuatnya menangis saat ia membaca tulisan itu. Ha-ha-ha). Dan ia itu per*k*k berat #sensor.
Setiap malam, waktu kami habiskan di rumah. Mendengarkan kisah Bos Budi dan humor-humor segarnya yang menggiling perut. Kisah bagaimana preman-preman yang diajaknya insaf berjamaah, lalu memilih bekerja dengannya. Juga kisah haru salah satu office boy yang karena sangat rajin dan jujur, diajaknya bekerja di redaksi Posko. Akhirnya, jelang subuh kami mengalah.
Dan sebelum tidur sempat saya tercenung. Apa yang membuat sebagian karyawan RB di masa kepemimpinannya, eksodus? Apa yang salah dengan Bos Budi? Kebijakannya? Target cash in yang ia bebankan? Santer beredar kabar, memang masalahnya seperti itu. Ditambah masalah-masalah
lain yang bersifat personal yang entah apa. Pendeknya, yang memilih eksodus, mereka yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Bos Budi. Tapi mereka yang bertahan dan pernah bertutur pada saya, Bos Budi adalah sosok pemimpin yang sangat memperhatikan karyawan. Saya menyaksikannya sendiri. Dan ini bukan koprol, masing-masing orang punya penilaian sendiri, bukan?
Sampai akhirnya kabar itu tiba. Bos Budi yang dengan segudang prestasi di MPG, memilih mundur. Kabar itu seliweran di status BBM teman-teman di MPG. Pun di status BBM Bos Budi, yang bernada satir. Saya tidak berani bertanya, sebab ia sangat saya hormati. Biarlah itu jadi urusan internal MPG.
Tapi akhirnya saya memilih mencermati, dugaan saya bahwa ada satu kebijakan atasan yang dilawannya. Ada hak dari karyawan yang diserakahi. Dan ia memperjuangkan itu dengan memilih mundur. Pilihan yang makin menabalkan pikir saya. Bahwa ia adalah Bos yang menghamba. Ini pikirku, dan terserah dengan yang berpikir berbeda tentangnya.
Jika alasan Bos Budi untuk mundur karena sakit, maka sehat selalu Bos! Beserta keluarga berencananya, juga ayah mertua yang sudah saya anggap sebagai ayah saya sendiri. Menukil sepenggal pesan di Supernova:
"Bahwa dengan sakit, kita akan dikenalkan dengan lebih banyak pengetahuan. Membuka mata bahwa penyakit bukan sekadar gangguan. Tapi kode. Kode dari tubuh bahwa ada hal dalam hidup kita yang harus dibereskan."
Dalam tulisan itu, sengaja saya tidak menyentil satu sosok yakni Budi Siswanto. Sebabnya apa? Karena Bos Budi, begitu kami yang bawahan biasa menyapa — berlaku untuk semua Bos di Manado Post Group — adalah sosok yang suatu saat, ada masa dimana saya akan mengabadikan namanya di blog Getah Semesta ini.
Bos Budi, pertama kali namanya saya tahu dari tulisannya Bang KG — begitu saya kerap menyapa Katamsi Ginano — empu dari blog Kronik Mongondow. Ada beberapa edisi tulisan Bang KG, yang gencar mengais dan menebar kekeliruan RB, yang kala itu tak sesuai kaidah jurnalistik dalam memberitakan satu kasus. RB saat itu masih dipimpin Bos Budi. Kemudian berlanjut dengan seteru secara personal antara keduanya, yang akhirnya seiring waktu, seteru itu tergeser oleh jarum jam secara perlahan. Hilang dan diam.
Dalam tulisan 'Menu7u Graha Pena', saya juga sengaja tidak mencatut nama Bang KG. Padahal saya bisa diterima di Radar Bolmong, di bawah pimpinan Bos Ozi' (Fauzi Permata), Bang KG memiliki andil di sana. Tapi secara pemaknaan saya sendiri, seperti yang saya jelaskan sebelumnya dalam tulisan itu. Terlepas dari rekomendasi Bang KG, Bos Ozi' memang yakin bahwa saya bisa menulis, setelah membaca blog saya, Getah Semesta, yang sebenarnya hanya berisi sampah-sampah pikiran, yang entah mau saya kemanakan, dan akhirnya menjadi TPA (Tempat Pembuangan Angan) saya.
Dalam tulisan itu pula, saya menebar keping-keping perjalanan kami saat ikut pelatihan wartawan liputan khusus, di Graha Pena Manado Post. Saat berada di Manado selama beberapa hari, kami berencana menginap di rumahnya Bos Budi yang, ia pun menawarkannya pada kami. Di situlah awal saya mengenal secara dekat sosoknya. Meski sebelumnya, sudah pernah bertemu pada acara HUT RB yang ke-6.
Saat menyetir mobil menuju rumahnya, kekocakkan Bos Budi mulai nampak. Selera humornya membikin saya terbahak-bahak di mobil. Dari membuli Eling dan Eges (kedua teman saya yang sama-sama ikut pelatihan), dengan kisah-kisah lucu saat keduanya masih menjadi bawahannya di RB. Ini asyik, sebab karakter Bos Budi, sangat jauh dari bos-bos kebanyakan, dari semua perusahaan yang pernah saya singgahi. Sense of humor. Ya.
Sesampai di rumahnya, kami disambut istri dan putrinya (saat itu si bungsu masih dalam kandungan), juga ayah mertuanya. Kami dipersilakan menguasai lantai dua. Rumah itu sangat nyaman dan ideal bagi sepasang suami-istri yang tengah menanti anak kedua, yang nantinya bakal sepasang pula. Pernah lihat iklan Keluarga Berencana (KB)? Nah, cukup ideal bukan? Istri satu, anak dua. Apalagi anaknya sepasang. Sempurna.
Di rumah itu, ayah mertua Bos Budi memperlakukan kami seperti anaknya sendiri. Mengajak makan saja, jika kami belum turun dari lantai dua, akan terus disusulnya berkali-kali sampai kami tidak bisa menolak. Tak tega pula melihat seorang kakek naik-turun tangga. Meski sebenarnya di usia senjanya, ayah mertua Bos Budi dengan rambut peraknya, masih terlihat cukup gesit untuk digolongkan kakek. I Miss You Ayah (saya anggap ayah saya sendiri dah!).
Usai mandi dan beberes, kami bercengkarama di beranda. Tentunya dengan Bos Budi yang mulutnya tak henti-hentinya mengepulkan asap. Ia perokok berat. Gudang Garam Filter atau Surya, dua merek rokok yang ia gemari (rokok bas-bas kata). Menurut saya, ia memang bas (tukang bangunan), sebab jika salah satu anak perusahaan Manado Post Group (MPG) pondasinya mulai rapuh, maka ia akan diutus untuk memperbaikinya. Dan selalu berhasil.
Di malam itu, tanya jawab pengalaman dan sebagainya saling bertukar. Akhirnya kami dipaksa tidur menjelang subuh. Dan dipaksa bangun pukul 7 pagi. Saat mata kami bermekaran meski tubuh kami masih layu, telah ada sosok hitam manis (klaim Bos Budi) di depan kami yang menendang nendangkan kakinya.
"Bangon jo!"
Mandi, sarapan, lalu kami berangkat ke Graha Pena. Tapi sebelumnya kami diajak keliling kota Manado dulu, sebab Bos Budi ingin mengecek loper-lopernya di jalanan. Aih, saat kami temui, anak buahnya senang dengan kedatangan Bos Budi. Sembari mengabarkan bahwa sudah berpuluh-puluh eksemplar yang laku. Mereka merasa diperhatikan, bukan diawasi.
Setelah itu, kami menuju Graha Pena lalu bergegas ke ruangan pelatihan untuk menerima materi. Kami acapkali terlambat beberapa menit. Namun kami bangga karena dari seluruh peserta perwakilan MPG, hasil liputan RB yang terpilih (nyombong dikit kenapa). Bahkan kami dijanjikan hadiah yang sampai hengkang pun, hadiah itu tidak pernah kami terima.
Kala itu, setiap usai pemaparan materi, malam harinya kami kembali ke rumahnya. Masih dengan kelakarnya, kami dibuat terpingkal-pingkal di mobil.
"Nae di oto ini musti baroko, kalo ndak baroko kaluar!"
Eling itu cewek loh, yang di tulisan 'Menu7u Graha Pena', ia menjadi salah satu tokoh cerita (saya berhasil membuatnya menangis saat ia membaca tulisan itu. Ha-ha-ha). Dan ia itu per*k*k berat #sensor.
Setiap malam, waktu kami habiskan di rumah. Mendengarkan kisah Bos Budi dan humor-humor segarnya yang menggiling perut. Kisah bagaimana preman-preman yang diajaknya insaf berjamaah, lalu memilih bekerja dengannya. Juga kisah haru salah satu office boy yang karena sangat rajin dan jujur, diajaknya bekerja di redaksi Posko. Akhirnya, jelang subuh kami mengalah.
Dan sebelum tidur sempat saya tercenung. Apa yang membuat sebagian karyawan RB di masa kepemimpinannya, eksodus? Apa yang salah dengan Bos Budi? Kebijakannya? Target cash in yang ia bebankan? Santer beredar kabar, memang masalahnya seperti itu. Ditambah masalah-masalah
lain yang bersifat personal yang entah apa. Pendeknya, yang memilih eksodus, mereka yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Bos Budi. Tapi mereka yang bertahan dan pernah bertutur pada saya, Bos Budi adalah sosok pemimpin yang sangat memperhatikan karyawan. Saya menyaksikannya sendiri. Dan ini bukan koprol, masing-masing orang punya penilaian sendiri, bukan?
Sampai akhirnya kabar itu tiba. Bos Budi yang dengan segudang prestasi di MPG, memilih mundur. Kabar itu seliweran di status BBM teman-teman di MPG. Pun di status BBM Bos Budi, yang bernada satir. Saya tidak berani bertanya, sebab ia sangat saya hormati. Biarlah itu jadi urusan internal MPG.
Tapi akhirnya saya memilih mencermati, dugaan saya bahwa ada satu kebijakan atasan yang dilawannya. Ada hak dari karyawan yang diserakahi. Dan ia memperjuangkan itu dengan memilih mundur. Pilihan yang makin menabalkan pikir saya. Bahwa ia adalah Bos yang menghamba. Ini pikirku, dan terserah dengan yang berpikir berbeda tentangnya.
Jika alasan Bos Budi untuk mundur karena sakit, maka sehat selalu Bos! Beserta keluarga berencananya, juga ayah mertua yang sudah saya anggap sebagai ayah saya sendiri. Menukil sepenggal pesan di Supernova:
"Bahwa dengan sakit, kita akan dikenalkan dengan lebih banyak pengetahuan. Membuka mata bahwa penyakit bukan sekadar gangguan. Tapi kode. Kode dari tubuh bahwa ada hal dalam hidup kita yang harus dibereskan."
Hmmm ya ya ya...
ReplyDeleteHahahhahaha
ReplyDeleteMantappppppppppppp!!!