Cinta adalah keputusasaan yang harus disimpul kembali. Atau mungkin, tidak sama sekali.
Kalimat itu mungkin cocok denganku. Dalam setahun, aku bisa bergonti-ganti pasangan hingga belasan kali. Dari pegawai negeri sipil, polisi, tentara, om-om berkumis, bahkan remaja belum berbulu. Sebagian ada yang kuputuskan, lalu kembali merajut kasih. Sebagian lagi hilang dan berganti. Aku sebenarnya sudah ingin menikah. Namun tak kunjung menemukan pasangan yang tepat. Entah kenapa, sebenarnya beberapa di antara mereka bersedia mengajakku menikah. Bahkan bela-belaan berjuang hingga ke titik nadir. Tapi, seperti itulah, hatiku belum tertambat. Aku memilih terus berlayar dan terlena dengan kebebasan. Lalu bagaimana aku bisa menikah, jika aku masih ingin bebas?
Aku bertato. Namaku July. Nama panjangku July Maryani. Ya, bisa ditebak aku dilahirkan bulan Juli. Usiaku memang sudah seharusnya bertengger di pelaminan. Genap 24 tahun pada Juli 2016 nanti.
Waktu aku memutuskan bertato, orang tuaku akhirnya bersikap biasa, setelah sebelumnya kerap cemberut. Aku anak perempuan satu-satunya. Kedua adik laki-lakiku masih di bangku sekolah dasar. Jarak usia kami terpaut jauh memang. Untuk itulah, aku yang bekerja di salah satu toko pakaian, menjadi tulang punggung keluarga. Ayahku sudah berpulang sejak aku berseragam putih-biru. Setelah tamat dengan segala tetek-bengek atribut sekolah, aku memutuskan bekerja.
Wajahku oval dan cantik. Tinggi badan dan bentuk tubuhku proposional, berpadu dengan rambut panjang yang dicat merah. Makanya, aku jelas lebih cepat memiliki pacar lagi meski baru saja putus cinta. Aku suka minuman berakohol dan itulah yang membuat pergaulanku tidak berbatas. Di lorong lorong, di pub, di taman kota, di rumah kosong teman, di kos-kosan, kerap menjadi tempat di mana aku memuaskan dunia malamku. Aku binal dan sintal. Dan aku seksi. Aku juga sangat jujur.
Aku sangat terbiasa membagi penggal-penggal kisah hidupku di sosial media. Terlebih di status blackberry messenger. Aku suka membikin status tentang apa saja yang baru kualami. Entah itu soal pacar, dikejar anjing, mencaci teman kerja, dan kisah-kisah putus cinta. Aku terbiasa dan merasa terhibur dengan semua itu. Aku seperti telah membagi gundah dalam hati. Ada beberapa teman yang akhirnya berinteraksi lewat pesan. Aku curhat dan imbalannya solusi. Kadang-kadang malah ada beberapa yang mendukung pilihanku.
"Apa yang kamu lakukan sudah benar!" tulis salah satu teman laki-laki mengomentari statusku. Ah, pesan itu modus. Laki-laki itu menyukaiku dan mencoba merayuku lewat upaya bentuk kepedulian. Bullshit!
Aku baru saja putus dengan pacar tentara. Tahu, kan, tentara itu negara kesatuan saja harga mati! Tapi apakah cinta mereka juga harga mati?
"Sayang, aku sangat mencintaimu, tolong balas pesanku," begitu rajuk pacar tentaraku di pesan. Aku sedikit mual membacanya. Bukan sekali ini aku berpacaran dengan tentara. Sudah berkali-kali. Polisi juga begitu.
Aku sebenarnya mencintainya. Tapi tentara yang namanya Rudi ini, terlalu nampak begitu mencintaiku. Padahal perempuan seperti saya, lebih suka dengan laki-laki yang agak cuek. Biar tak cepat jenuh dengan panggilan sayang. Ah, selain itu Rudi juga tidak terlalu tampan. Bukan tipeku juga. Aku suka pria bertato, seperti mantanku yang hampir sekujur tubuhnya dirajah. Aku mencintainya, tapi seperti itulah, mantan bertatoku itu juga nampak begitu menyukaiku. Aku jadi cepat bosan.
Pacarku yang tentara ini, beberapa hari sebelum kuakhiri kisah cinta kami, pernah mengirim pesan. Ia mengatakan sangat menyesal. Padahal yang harus menyesal itu aku. Sebab aku memutuskannya tanpa alasan yang tepat untuk standar sepasang sejoli.
Selain itu, aku juga sebenarnya takut bertemu orang tua setiap pasanganku. Bagaimana jika mereka mengetahui calon menantu mereka berlumuran tinta di tubuh. Aku kerap takut akan persoalan itu. Sebelum berpacaran dengan tentara ini, aku pernah berpacaran lama dengan seorang remaja manja. Aku mencintainya, tapi saat ia menawari agar aku ke rumahnya untuk bertemu dengan orang tuanya. Aku menolak. Pertengkaran kerap terjadi usai itu. Lalu kami putus. Kami pacaran selama setahun, itu adalah rekor terlama aku berhubungan dengan seorang laki-laki.
Sama seperti pacar tentaraku. Eh, mantan tentaraku. Ia pernah membujuk agar aku bertemu kedua orang tuanya. Sialan. Aku jelas menolak. Saat aku mabuk, aku mengatainya. Padahal minuman alkohol itu ia yang beli. Peduli setan. Aku tetap membentaknya. Kemudian aku meninggalkannya yang saat itu juga tengah mabuk. Ia mengejarku dengan motor berknalpot bising. Aku cuek dan terus menghindar memandanginya. Raungan knalpot mengisyaratkan kesedihannya. Pengemudi becak motor terheran-heran.
Tiba di rumah, pengemudi itu berkata, "Tadi saya sangat takut. Tentara itu berseragam."
Lampu ruang tamu aku padamkan. Aku rebah di sofa, lantas tertawa. Bagaimana itu bisa menakutkan? Seorang tentara berseragam mengejarku, merajuk, terus pengemudi becak motor menyaksikannya. Itu hal terkonyol yang pernah kualami. Aku terus tertawa. Apalagi setelah membaca isi pesan yang susul-menyusul di ponsel.
"Aku mencintaimu!"
"Kemarin saja, aku heran karena setelah aku keluar asrama, kamu sudah tidak ada. Apa salahku?"
"Aku tidak rela diputuskan seperti ini!"
"Tolonglah sayang, aku mengaku salah, aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Dengan jiwa ragaku!"
"Kamu adalah cinta harga matiku!"
Pesan-pesan itu makin membuatku mual. Aku bergegas ke kamar mandi. Ponsel kuletakkan di atas meja ruang tamu. Setiap langkahku dikejar nada dering pesan. Sialan! Kenapa aku pernah menerimanya menjadi pacarku. Beruntung, aku baru dua kali berhubungan intim dengannya. Aku juga menyarankan ia memakai kondom. Aku tidak ingin hamil, yang kemudian itu menjadi alasan aku harus menikahinya.
Usai dari kamar mandi, aku menemukan ponselku dijejali 15 panggilan tak terjawab, 5 pesan singkat, dan 17 pesan blackberry. Aku menghapus semua tentangnya lalu mematikan ponselku. Aku mencoba tidur, tanpa merasa ada beban apa-apa. Tentunya tak seperti apa yang mantan tentara itu rasakan sekarang. Cinta harga mati. Sialan! Ia tak pernah tahu, kalau aku ingin merdeka dari semua yang telah dihargai dan dipenuhi kematian ini.
Kalimat itu mungkin cocok denganku. Dalam setahun, aku bisa bergonti-ganti pasangan hingga belasan kali. Dari pegawai negeri sipil, polisi, tentara, om-om berkumis, bahkan remaja belum berbulu. Sebagian ada yang kuputuskan, lalu kembali merajut kasih. Sebagian lagi hilang dan berganti. Aku sebenarnya sudah ingin menikah. Namun tak kunjung menemukan pasangan yang tepat. Entah kenapa, sebenarnya beberapa di antara mereka bersedia mengajakku menikah. Bahkan bela-belaan berjuang hingga ke titik nadir. Tapi, seperti itulah, hatiku belum tertambat. Aku memilih terus berlayar dan terlena dengan kebebasan. Lalu bagaimana aku bisa menikah, jika aku masih ingin bebas?
Aku bertato. Namaku July. Nama panjangku July Maryani. Ya, bisa ditebak aku dilahirkan bulan Juli. Usiaku memang sudah seharusnya bertengger di pelaminan. Genap 24 tahun pada Juli 2016 nanti.
Waktu aku memutuskan bertato, orang tuaku akhirnya bersikap biasa, setelah sebelumnya kerap cemberut. Aku anak perempuan satu-satunya. Kedua adik laki-lakiku masih di bangku sekolah dasar. Jarak usia kami terpaut jauh memang. Untuk itulah, aku yang bekerja di salah satu toko pakaian, menjadi tulang punggung keluarga. Ayahku sudah berpulang sejak aku berseragam putih-biru. Setelah tamat dengan segala tetek-bengek atribut sekolah, aku memutuskan bekerja.
Wajahku oval dan cantik. Tinggi badan dan bentuk tubuhku proposional, berpadu dengan rambut panjang yang dicat merah. Makanya, aku jelas lebih cepat memiliki pacar lagi meski baru saja putus cinta. Aku suka minuman berakohol dan itulah yang membuat pergaulanku tidak berbatas. Di lorong lorong, di pub, di taman kota, di rumah kosong teman, di kos-kosan, kerap menjadi tempat di mana aku memuaskan dunia malamku. Aku binal dan sintal. Dan aku seksi. Aku juga sangat jujur.
Aku sangat terbiasa membagi penggal-penggal kisah hidupku di sosial media. Terlebih di status blackberry messenger. Aku suka membikin status tentang apa saja yang baru kualami. Entah itu soal pacar, dikejar anjing, mencaci teman kerja, dan kisah-kisah putus cinta. Aku terbiasa dan merasa terhibur dengan semua itu. Aku seperti telah membagi gundah dalam hati. Ada beberapa teman yang akhirnya berinteraksi lewat pesan. Aku curhat dan imbalannya solusi. Kadang-kadang malah ada beberapa yang mendukung pilihanku.
"Apa yang kamu lakukan sudah benar!" tulis salah satu teman laki-laki mengomentari statusku. Ah, pesan itu modus. Laki-laki itu menyukaiku dan mencoba merayuku lewat upaya bentuk kepedulian. Bullshit!
Aku baru saja putus dengan pacar tentara. Tahu, kan, tentara itu negara kesatuan saja harga mati! Tapi apakah cinta mereka juga harga mati?
"Sayang, aku sangat mencintaimu, tolong balas pesanku," begitu rajuk pacar tentaraku di pesan. Aku sedikit mual membacanya. Bukan sekali ini aku berpacaran dengan tentara. Sudah berkali-kali. Polisi juga begitu.
Aku sebenarnya mencintainya. Tapi tentara yang namanya Rudi ini, terlalu nampak begitu mencintaiku. Padahal perempuan seperti saya, lebih suka dengan laki-laki yang agak cuek. Biar tak cepat jenuh dengan panggilan sayang. Ah, selain itu Rudi juga tidak terlalu tampan. Bukan tipeku juga. Aku suka pria bertato, seperti mantanku yang hampir sekujur tubuhnya dirajah. Aku mencintainya, tapi seperti itulah, mantan bertatoku itu juga nampak begitu menyukaiku. Aku jadi cepat bosan.
Pacarku yang tentara ini, beberapa hari sebelum kuakhiri kisah cinta kami, pernah mengirim pesan. Ia mengatakan sangat menyesal. Padahal yang harus menyesal itu aku. Sebab aku memutuskannya tanpa alasan yang tepat untuk standar sepasang sejoli.
Selain itu, aku juga sebenarnya takut bertemu orang tua setiap pasanganku. Bagaimana jika mereka mengetahui calon menantu mereka berlumuran tinta di tubuh. Aku kerap takut akan persoalan itu. Sebelum berpacaran dengan tentara ini, aku pernah berpacaran lama dengan seorang remaja manja. Aku mencintainya, tapi saat ia menawari agar aku ke rumahnya untuk bertemu dengan orang tuanya. Aku menolak. Pertengkaran kerap terjadi usai itu. Lalu kami putus. Kami pacaran selama setahun, itu adalah rekor terlama aku berhubungan dengan seorang laki-laki.
Sama seperti pacar tentaraku. Eh, mantan tentaraku. Ia pernah membujuk agar aku bertemu kedua orang tuanya. Sialan. Aku jelas menolak. Saat aku mabuk, aku mengatainya. Padahal minuman alkohol itu ia yang beli. Peduli setan. Aku tetap membentaknya. Kemudian aku meninggalkannya yang saat itu juga tengah mabuk. Ia mengejarku dengan motor berknalpot bising. Aku cuek dan terus menghindar memandanginya. Raungan knalpot mengisyaratkan kesedihannya. Pengemudi becak motor terheran-heran.
Tiba di rumah, pengemudi itu berkata, "Tadi saya sangat takut. Tentara itu berseragam."
Lampu ruang tamu aku padamkan. Aku rebah di sofa, lantas tertawa. Bagaimana itu bisa menakutkan? Seorang tentara berseragam mengejarku, merajuk, terus pengemudi becak motor menyaksikannya. Itu hal terkonyol yang pernah kualami. Aku terus tertawa. Apalagi setelah membaca isi pesan yang susul-menyusul di ponsel.
"Aku mencintaimu!"
"Kemarin saja, aku heran karena setelah aku keluar asrama, kamu sudah tidak ada. Apa salahku?"
"Aku tidak rela diputuskan seperti ini!"
"Tolonglah sayang, aku mengaku salah, aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Dengan jiwa ragaku!"
"Kamu adalah cinta harga matiku!"
Pesan-pesan itu makin membuatku mual. Aku bergegas ke kamar mandi. Ponsel kuletakkan di atas meja ruang tamu. Setiap langkahku dikejar nada dering pesan. Sialan! Kenapa aku pernah menerimanya menjadi pacarku. Beruntung, aku baru dua kali berhubungan intim dengannya. Aku juga menyarankan ia memakai kondom. Aku tidak ingin hamil, yang kemudian itu menjadi alasan aku harus menikahinya.
Usai dari kamar mandi, aku menemukan ponselku dijejali 15 panggilan tak terjawab, 5 pesan singkat, dan 17 pesan blackberry. Aku menghapus semua tentangnya lalu mematikan ponselku. Aku mencoba tidur, tanpa merasa ada beban apa-apa. Tentunya tak seperti apa yang mantan tentara itu rasakan sekarang. Cinta harga mati. Sialan! Ia tak pernah tahu, kalau aku ingin merdeka dari semua yang telah dihargai dan dipenuhi kematian ini.
No comments :
Post a Comment