Jemari saya masih kilat berminyak usai makan gorengan. Jempol saya yang kapalan spontan mendarat di dengkul yang menjadi tisu alternatif. Klik. Tulisan sanggahanmu, Haz, saya iqro'. Cblskdhkskszvsbzfx. Selesai. Saya kembali masuk ke Joglo tempat workshop kami berlangsung. Coffee break sepuluh menit lumayan membikin kenyang.
Ponsel yang layarnya masih nyala, saya letakkan di atas meja. Saya kembali fokus dengan materi. Belum tebersit untuk kembali bergayung-sambut dengan tulisanmu. Sepintas, semua sanggahanmu konseptual. Nanti saja kalau saya sudah leluasa, tulisanmu saya jawab. Sebab workshop ini sangat penting buat saya. Usai workshop, kami terikat kontrak untuk membikin liputan sesuai proposal yang kami ajukan. Sebuah tanggung-jawab yang dengan binar mata akan saya tuntaskan. Deadline pun saya anggap hanya garis merah yang malah membuat jantung ini memompa riang.
Usai workshop dua hari, usai pula jumpa dengan peserta se-Indonesia, panitia, dan pemateri. Saya memilih pulang dengan rute Jakarta-Manado. Sebab Manado, kota yang sudah dua tahun terakhir belum pernah saya kunjungi lagi. Sumber yang nanti bakal saya wawancarai pun ada di kota ini.
Saya memang lebih berdebar-debar, ketika terbang menuju Manado, kemudian pulang ke Kotamobagu. Sebab saat ke Jakarta, setibanya, saya sesak dengan bising kendaraan, padatnya lalu lintas, serta langitnya yang kerap hitam. Kumpulan awannya seperti menyimpan debu yang meruap dari keserakahan yang sudah terbiasa. Lalu saya putuskan, saya tidak menyukai kota ini.
Tiba di Manado, saya menginap di sangkar karib. Saya rebah sejenak. Laptop kemudian saya nyalakan. Outline liputan saya pertajam lagi. Setelah itu, saya memutuskan menjenguk kembali tulisan sanggahanmu, Haz.
Imajinasi purba saya yang lebih menyenangi gorengan; tahu, tempe, pisang, yang minyaknya memoles sidik jari, mulai berloncatan. Saya memang lebih senang gorengan ketimbang Pizza. Untuk itulah, tulisanmu yang diawali dengan bayangan leleh keju, tak membuat imajinasi saya melengkung. Hanya datar. Bahkan tanpa bunyi.
Cerpenmu yang diakronimkan menjadi Serat Dapala itu, hadir begitu saja. Ia menyelinap ke kolom chat saya tiga tahun lalu. Bukan saya yang mencari atau menemukannya dari tumpukan-tumpukan di antara ratusan cerpen bermutu di jagat maya. Namun, saya coba bersepakat, mungkin saja Serat Dapala hendak berpinta, agar nukil itu harus diberi kaki. Lalu, kenapa saya yang dipilihnya?
Intertekstual yang dijadikan tameng olehmu, hanya menambah tawa saya. Nuruddin Asyhadie, Executive Director di Teteruga Indonesia dan Executive Director di Pustaka Kushala, usai membaca cerpenmu, yang bahkan sudah bertahun-tahun itu, baru ia bacai, segera berkata, "Itu plagiat!". Penjelasan lengkapnya tak mau saya beberkan di sini. Jangan-jangan dikira saya memplagiat komentar lagi.
Yang lebih menambah tawa saya, ketika itu adalah karya GM pula, yang membuatmu mengakui begitu mengidolakannya. Sanggahanmu begitu konseptual. Jika ingin memahami intertekstual lebih dalam, baca kembali penjelasan Julia Kristeva soal Intertextuality and Plagiarism. Di wikipedia akan lekas terpindai oleh jemari kejumu. Saya tidak ingin menguras energi untuk tulisan yang malah — saya tidak bisa membeda — antara sebuah tulisan atau selembar tisu. Saya seketika ingat mulut nakal Saut. Ha-ha-ha. Ta*k!
A.S Laksana pun pernah mengulas soal itu, pada karya Dadang Ari Murtono, yang memplagiat karya Akutagawa Ryunosuke, Roshomon. Cerpen Dadang, Perempuan Tua dalam Rashomon (saya singkat Peret Daras), yang dimuat di Lampung Post, sangat identik dengan Roshomonnya Akutagawa. Sama seperti yang saya contohkan kemarin, antara GM dan Haz (kamu). Ingin saya paparkan contoh cerpen Dadang dan Akutagawa? Ya, ya, ya, meskipun karyamu adalah sepotong puisi yang terprosakan.
Alangkah lebih lucunya (pokoknya banyak lucunya), ketika saya ingin sedikit menyenangkan hatimu, saat menyebut ribuan kata di cerpenmu adalah karya orisinil, yang dirusak sepotong "Gandari". Kamu malah berapologi dengan sepotong ayat, yang bahkan tanpa diberi kaki pun, sepotong ayat itu bisa diendus bocah-bocah santri berleleh ingus. Jika itu adalah jejak intertekstual, saya kira kamu kurang berhasil. Terlebih, kilahmu akan judul tulisan saya, yang dengan sengaja meringkus substansi akan kritik plagiarism karyamu.
Mengenai Plato dan Aristoteles, dengan Homo Mimesis, tak perlu dijelaskan, kawan. Di Kompasiana, ada yang menulis sama persis dengan sanggahanmu, soal Homo Mimesis. Jangan-jangan.... Aih, memang sepintas semua isi tulisanmu terkesan konseptual. Tapi sudahlah, penulis muda memang begitu. Penuh amarah dan semoga saja tidak terpikir bakar naskah, apalagi bunuh diri.
No comments :
Post a Comment