*Episode Ardi
Kini, bagi keluarganya, Ardi adalah cahaya. Ia suluh dalam lorong-lorong gelap yang sebelumnya berupa jalan terang benderang. Dalam gelap itu, Ardi selalu mencoba ada, mengawasi, dan menjaga. Meski sebelumnya, ia pernah menganggap dirinya hanya tembikar dalam keluarganya itu. Bukan emas yang bercahaya dan dielus-elus dengan kasih-sayang.
Suatu hari, ia pernah menangis sebab di hari ulang tahunnya, tak diberi uang untuk membikin senang teman-temannya. Ia memilih tak meratap meminta ke ayah-bunda. Tapi memilih mengadu dan menangis pada rumput-rumput yang dicabutinya. Semua itu, hanya kerikil-kerikil yang perlahan-lahan membuatnya tetap sesekali merasakan hangatnya kasih-sayang. Dan itu menempanya menjadi anak yang tak manja. Begitulah ia coba memaknai hidup di usia belasan tahun.
Ardi tumbuh menjadi tembikar yang bertahan dalam hari-hari yang menggemaskan. Di antara panas, hujan, dan badai, ia tak pernah retak. Sebab ia terlalu banyak menebar kebaikan-kebaikan dengan hatinya yang rendah.
Semakin berlalu tahun, ia semakin tegar hingga memiliki tameng berupa seragam Polri. Tameng yang diberikan ayahnya dengan sisa-sisa kilatan penuh harapan di bola mata. Kemudian, menurutnya, nasib hanyalah soal seberapa kuat ia mampu bertahan. Bahkan dalam kesendirian.
Sekali-dua Ardi termenung. Ada debur di dadanya. Masalah silih berganti memaksanya melurut dahi. Namun ia yakin, bahwa hidup tetap akan berjalan dengan semestinya. Sebab pengalaman hidup akan memberinya makna yang tiada tara.
Pernah kala itu, ia belum memikirkan untuk mencari pasangan hidup. Ia masih dengan nakalnya menggoda gadis-gadis. Pacarnya berganti-ganti untuk sekadar menghibur diri.
Tanpa gadis-gadis, ia seperti ladang gersang tanpa tanaman. Sama seperti ketika ia diasingkan ke sebuah pulau seberang dalam tugas yang sunyi. Meski terbiasa dengan kesendirian, ia tak mampu tanpa pemanis.
Lalu, siklus hidup terus berputar. Ardi kembali dari pulau seberang. Tugasnya kini riuh di bawah lampu-lampu kota. Hingga akhirnya ia bertemu Lara. Seorang teman lama.
**Episode Lara
Lara adalah bunga di sudut pekarangan. Tumbuh dari lingkungan yang berlapang dada. Tubuhnya yang semampai suka sekali dibelai angin. Wajah tirus dengan kulit eksotis membuat ia menonjol sebagai sekuntum bunga. Di usia remaja, ia suka meloncat-loncat dan bersenandung. Burung-burung, kupu-kupu, dan kelinci-kelinci kerap iri dengannya.
Pernah dalam diam, Lara melirik arloji mungil yang melingkar di lengannya. Menghitung waktu agar ia lekas dewasa. Ia ingin pergi sejenak dari desa. Merasai bagaimana memasak, mencuci, dan tertawa lepas di kamar sewaan. Akhirnya ia disetujui menempuh jarak enam jam dari rumah. Mendidik pikir di negeri berlanskap pegunungan dan kembang-kembang.
Di tempat itu, dengan centil, Lara meloncat-loncat girang. Jenjang kakinya seakan menjejak pada tumpukan awan. Kini bukan hanya burung, kupu-kupu, dan kelinci yang iri. Bahkan masa lalu pun iri dibuatnya. Sebab Lara telah direbut hari sekarang, pun masa depan yang dengan sembunyi-sembunyi membauinya. Lara tumbuh semakin cantik.
Tahun meluncur deras tanpa disadari. Jelas Lara telah merasai cinta kali pertama, kedua, hingga ia suka tersenyum sendiri sembari memeluk guling. Ia juga suka menduga-duga nasib hubungannya. Baginya, mencari pasangan yang tepat bukan persoalan seberapa lama berpacaran. Sebab waktu bisa saja berdusta.
Sampai akhirnya ia bertemu dengan Ardi, teman sepermainan di usia belasan tahun tatkala masih di desa. Sebuah desa yang sejuk dan tempat di mana semestinya telah tumbuh benih-benih cinta di antara mereka.
***Episode Bersama
30 Januari 2016, keduanya bakal berikrar mengekalkan hubungan di altar yang lebih sakral. Menjadi sepasang suami-istri. Bola mata Lara berbinar-binar kala itu, tepat di hari mereka bertukar-lingkar dengan cincin di jari manis. Sementara Ardi masih coba menemukan, adakah kecemasan-kecemasan kecil yang tersisa.
Kali ini, sebuah tanggung jawab harus ia genggam. Masa pacaran secepat kilatan tak terasa di selang tugas-tugasnya yang jujut-menjujut. Menjadi seorang suami, atau kelak menjadi ayah, adalah jalan yang tak mudah untuk dijejaki. Hingga kecemasan itu akhirnya berganti sebuah kesiapan. Ia melirik lencananya.
Ardi sebenarnya masih terlalu menikmati kesendiriannya. Meski terkadang ia membutuhkan bahu untuk bersandar. Ia ingin menceritakan gundah tentang hari yang selalu lekas berlalu. Ia yang gemar menatap langit dalam kesendirian, kerap kali bercakap-cakap dengan angin, dan mendengar bisikan-bisikan tentang apa yang harus atau tidak ia lakukan.
Pernah rasa kesendirian itu diungkapkannya. Kilatan matanya merindui seseorang tatkala sedang bertutur kata demi kata.
"Ia adalah lelaki yang telah memberikan warna dalam hidupku. Ia lelaki yang selalu ada di saat aku susah maupun senang. Ia lelaki yang tak pernah bosan mendengarkan curhatanku saat sedang banyak masalah. Tapi di saat ia sakit, apa balasanku? Seakan tak ada waktu untuknya, seakan aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, padahal tanpanya aku bukanlah siapa-siapa, dan tak mungkin menjadi seperti ini. Di saat aku sendiri seperti ini, dan merenungkan semuanya, aku hanya bisa menangis dan mengatakan betapa bodohnya diriku ini, yang tak bisa membalas segala kebaikannya. Padahal ia hanya ingin sebuah perhatian sederhana, untuk sedikit mengurangi beban dan sakit yang ia rasakan. Saat ini, sebelum terlambat, aku ingin memperbaiki semuanya. Karena aku tahu di saat ia sudah tidak ada lagi, hanya tangisan dan rasa rindu yang akan selalu ada. I Miss You Dad."
Lalu Lara datang menyondongkan bahu. Ardi melekatkan wajahnya tanpa syarat. Lara mengusap rambut kekasihnya itu, menyeka air matanya, menenangkannya, lalu melebur rasa bersama. Lara menjadi jembatan yang menghubungkannya akan sebentuk rasa rindu yang dalam. Rindu akan kasih-sayang yang semakin hari, semakin menjauh darinya.
Apalagi yang bisa diragukan akan kesendirian yang saling datang melengkapi? Sekuntum bunga yang dibentengi tembikar, kini mekar dan terlindungi. Kemudian, mereka berdua memutuskan menikah tanpa sedikitpun ragu. Ardi sekali lagi harus menjadi cahaya bagi keluarga mungilnya, yang kelak akan melahirkan kesendirian dan kerinduan baru.
Selamat menikah Ardi dan Lara. Jangan pernah takut gulungan ombak yang acap kali datang menerjang. Sebab itu hanya hentakan yang membuat kalian semakin erat berdekapan.
Selamat menikah Ardi dan Lara. Jangan pernah takut gulungan ombak yang acap kali datang menerjang. Sebab itu hanya hentakan yang membuat kalian semakin erat berdekapan.
No comments :
Post a Comment