Thursday, September 26, 2019

Ajak Cucu Jalan-jalan

No comments

Pagi cerah. Rusa-rusa meloncat berlarian di halaman seluas semesta. Jaring-jaring laba-laba di pepohonan diselimuti embun. Seorang kakek yang belum renta turun dari tangga istana. Ia menggendong cucunya yang mungil dan tampak menggigil.

"Kakek ajak jalan-jalan ke Taman Bangsa ya," katanya kepada cucunya.

Istana itu berada di puncak. Taman Bangsa yang baru disebutnya itu, ialah taman luas di halaman belakang. Di sana ada miniatur pulau-pulau.

Ia menurunkan cucunya lalu mereka jalan-jalan. Pertama dikunjungi adalah pulau di mana istana itu berdiri.

"Ini Pulau Jawa," tunjuknya.

"Lihat di sana ada petani Kendeng. Mereka itu membosankan. Selalu berdemo menuntut agar pabrik semen milik teman-teman baik kakek, diusir karena merusak persawahan mereka," ceritanya.

Cucunya hanya mengangguk. Sesekali bocah itu menggaruk punggung tangannya.

Kakek itu kembali menunjuk jalan lebar nan panjang. "Itu tol yang lahan-lahan petani juga kakek gusur. Gerah kakek sama petani."

Meski di masa kecil rumahnya pernah digusur, itu malah membuatnya gemar menggusur rumah-rumah warga. Bukan sadar bahwa itu adalah pengalaman terbaik. Ia malah ingin membalas dendam dengan menggusur. Aneh memang.

Ia lanjut ke pulau seberang. Ada Bali di sana. Ia berkisah kembali kepada cucunya, bahwa di sana ada masyarakat adat yang tak henti-hentinya berjuang, agar Teluk Benoa tidak direklamasi.

"Padahal bagus. Nanti teman kakek bangun gedung-gedung mewah di sana. Buat kita liburan. Masak cuma Kuta, Sanur, Seminyak, Nusa Dua, Ubud. Bosan! Kita butuh yang baru. Peduli apa dengan kerusakan lingkungan," katanya.

"Horeeee! Nanti kalau sudah jadi, bilang papa mama bikin hotel di sana. Kolam yang luaaaaassss! Biar bisa berenaaaaaaang!" kata cucunya dengan gestur lucu.

Dicubitnya pipi cucunya itu, "Jelas, Cuuuuuuk."

Ada pulau-pulau mungil lain di seberang. Tapi ia lewatkan. Meski di sana juga ada masalah antara warga dengan pemerintah, tentang lokasi wisata Pulau Komodo. Ia segera melompat jauh ke Sumatra. Ia lantas bercerita, di pulau ini sering kebakaran hutan. Perusahaan pembakar hutan juga kawan-kawan baik dari kawan baiknya.

"Kakek bilang ke kawan, urus saja itu. Bilang saja peladang yang bakar."

"Di sana anak seusiamu menghirup asap terus tiap tahun. Tapi tenang, asalkan kamu sehat, di sini udaranya segar. Lihat saja pagi indah ini. Langit biru. Di sana pernah jadi merah langitnya. Itu kuasa Tuhan," lanjutnya.

Pulau besar di seberang, juga sering kebakaran hutan, ceritanya kepada cucunya. Namanya Kalimantan. Kalau pulau ini, dulu hutannya begitu luas. Tapi sekarang dipenuhi sawit.

"Sawit itu baik. Mensejahterakan masyarakat sekitar. Daripada hutan, cuma jadi tempat binatang? Kamu pilih mana, manusia atau binatang yang lebih penting?" tanyanya.

"Hmmm... Binatang! Saya suka lele. Ada lele juga di sana?" jawab dan tanya cucunya.

"Lha, kenapa binatang. Sana, empang di rumah banyak lele. Dulu kakek pernah jatuh di situ. Kepala terbentur di batu. Otak kakek sebagian jatuh di sana," katanya.

"Kakek punya otak sebagian di sana? Kok, kakek belum mati?"

"Tenang, lele itu fana, kakek abadi." jawaban yang disusul tawa oleh cucunya.

Berlanjut, mereka menuju Sulawesi. Di sini ada perusahaan pertambangan. Baik gas bumi dan logam mulia. Kakek itu kembali bercerita, di mana ada investor selalu saja ada penolakan dari masyarakat adat.

"Tidak tahu adat baru bilang masyarakat adat. Lawan pemerintah terus!"

"Kakek jangan marah. Kalau marah, dengar lagu metal saja," kata cucunya. Ia lantas mengikuti saran cucunya. Album Metallica, And Justice for All, segera diputar di ponsel pintarnya.

Setelah itu, ia melompat jauh lagi ke sebuah pulau besar. Ia melewati pulau-pulau kecil yang sebenarnya juga banyak bermasalah dengan pemerintah.

Pulau besar yang ia tunjuk kali ini adalah Papua. Ia berkisah di sana ada perusahaan tambang emas terbesar di dunia. Selain itu, perusahaan sawit juga mulai meluas.

"Nanti kalau mau bukan lahan lagi. Bakar saja. Biar ada temannya Sumatra dan Kalimantan," katanya.

Ia berkisah, Papua ini sering menuntut penentuan nasib sendiri. Mereka ingin merdeka. Banyak pelanggaran HAM terjadi di sana. Penjahatnya rata-rata kawan baiknya. Malah dipilih jadi orang yang berwenang untuk bicara hukum dan keamanan.

"Mau sampai di PBB, kek, tetap tidak boleh pisah. Itu lumbung Jakarta. Makanya kakek kirim ribuan pasukan ke sana. Biar aman dan mulus perusahaan-perusahaan yang baik hati di sana," katanya.

Puas mengajak cucunya jalan-jalan, ia kemudian mengajak cucunya itu kembali ke istana. Ada pesan terakhir yang dikatakan kepada cucunya.

"Nanti jangan mau sekolah di STM, ya Cuk."



Cerita di atas hanya fiktif belaka. Kalau pun ada kesamaan kejadian dan tempat, labeli saja itu sebagai hoaks. Sebab fakta itu fana, yang abadi itu hoaks.

No comments :

Post a Comment