Monday, December 27, 2021

Desember

No comments
Setiap tahun disimpul oleh Desember. Bulan ketika rumah-rumah beratap bocor harus menyediakan ember. Aku selalu ingat mendiang ayah di saat musim penghujan. Ia yang kerap sabar menata kembali pipa-pipa air, menambal atap berlubang, dan memberi jalan bagi air agar mengalir ke tempat yang semestinya.

Pernah suatu hari, ayah terjatuh dari meja tempat ia berjinjit. Lantai basah menjadikan insiden itu bertambah parah. Tetapi begitulah ayah. Ia akan bangkit lagi, memperbaiki atap lagi, dan lagi, agar penghuni rumah bisa nyaman berjalan di dapur ketika hujan. Mungkin baginya, cukuplah ia yang terjungkal asal jangan sampai ibu atau anak-anak.

Tahun-tahun berlalu sepeninggalan ayah. Kini, berganti ibu yang kuyu di kasur. Sakitnya yang mengajak aku harus segera pulang. Menerobos wabah dari satu penerbangan ke penerbangan lainnya. Udara mungkin bukan jalan terbaik sebab kita diterungku di dalam tabung raksasa, bersama orang-orang yang mungkin luput dari tes sembari membawa virus di hela napas mereka. Tetapi akhirnya aku sampai di tanah lahir disambut wajah-wajah bahagia.

Aku tidak sepenuhnya membenci tahun ini. Sebab ia menyeretku untuk kembali ke kampung halaman. Berlama-lama dengan orang-orang terkasih, sebelum sesal datang menghampiri. Setidaknya aku bisa mengelabui atau berhasil menang dari penyesalan yang, kita tahu selalu datang belakangan.

Monday, November 22, 2021

Mana Kepalmu?

No comments
Kerusakan tanah leluhurmu bukanlah masalah rumah tangga yang, harus kau diamkan. Bukan pula cinta rahasia yang tak boleh kau ungkapkan. Ini adalah tabungan bencana yang akan kau tumpahkan ke anak-cucumu.

Dari etalase wisata yang tampak seperti travesti itu, ada jerit seorang petani yang gagal panen karena parit-parit sawah mengering. Ada ikan-ikan di sungai yang tak lagi mengandung protein, tapi secuil limbah di dagingnya yang tak akan terasa oleh lidahmu.

Bibir-bibir pantai dan hutan bakau yang diuruk, dimanterai sekejap lalu bersulih menjadi lokasi swafoto. Hutan-hutan yang kulitnya penuh gelegata, pohon-pohon membungkuk, dan bukit-bukit yang terus didinamit hingga dedemit pun enyah.

Lalu roh-roh leluhur yang mana lagi, yang ingin kau panggil untuk membakar kepalmu?

Sunday, November 14, 2021

Selamat Jalan Jijah

No comments

Lima tahun lalu, saya pernah serumah bahkan sekamar dengan Rio, di Teling, Manado. Sama-sama mengadu nasib di sana. 

Kala itu, Rio bekerja di bengkel yang tak jauh dari rumah kontrakan. Rumah ini ditempati Kiki, jatah dari kantornya. Anak-anak pertigaan Desa Passi, bukan sekali ini tinggal bersama jika sedang berada di Manado. Ini yang kesekian kalinya. 

Rio pintar memasak. Dapur adalah urusannya. 

"Ya' [nama panggilan saya], sana ada ikang putih kita da masa, hobimu," katanya. 

Sedetik, saya berlari menuju dapur, lalu menyantap masakannya di balkon belakang rumah yang menghadap Gunung Klabat. Ini tempat favorit kami. 

Selama berbulan-bulan rumah di Teling ini, jadi tempat berteduh yang menyenangkan bagi kami. Siapa yang gajian, giliran mentraktir. Kulkas pasti penuh dengan apa yang membuat cerita dan tawa kami pecah. 

Di rumah ini pula, kami sempat mengurus Rio yang terbaring sakit. Ia sering lumpuh beberapa hari karena menderita hipokalemia. Kadar kaliumnya sering rendah. Jika sang koki sakit, maka gantian kami yang merawatnya, seperti ia kerap merawat perut lapar kami. 

Saat ia rengsa, kami memapahnya ke kamar mandi, membedaki dan menggaruk punggungnya, memberi makan dan obat, bahkan Opan kakaknya Kiki terkadang harus mengurus lebih, ketika ia tak bisa lagi dipapah ke kamar mandi. 

Jangan heran dengan sakitnya ini, tiga atau empat hari kemudian, ia sudah bisa berdiri tegak dan melangkah, meski masih seperti balita sedang belajar jalan. 

"Eh, Jijah [panggilan akrabnya] so lincah ulang eee," gurau kami, saat melihatnya berangsur pulih. 

Nama Rio memang kurang akrab di telinga anak-anak kompleks. Jijah lebih melekat kepadanya. Sebenarnya, awal penamaan Jijah dari panggilan: Aisyah. Kemudian berubah menjadi Ajijah. Akhirnya memendek menjadi hanya Jijah. Saya lupa kisah di balik julukannya ini. Kakak-kakak kompleks yang merekatkan nama itu. 

Ada satu tingkahnya yang kerap membuat kami kesal. Jika kami sedang duduk mengobrol, ia terlalu sering menggamit. Tingkahnya ini bahkan menjadi istilah lagi: ki kamber (si tukang menggamit). 

Tapi ... sekarang, kami mengakui bahwa kami akan rindu dengan tingkahnya itu. Siang tadi, Jijah berpulang. 

Anak-anak kompleks terkejut mendengar berita dukanya. Tak ada yang menyangka, sebab ada yang masih sempat bersamanya beberapa hari lalu. Namun, ia memang telah terbaring sakit selama dua hari. Sama seperti kami, keluarga yang merawatnya pasti berpikir, kalau ia akan baik-baik saja. Sakitnya memang sudah begitu. Tiga atau empat hari lagi, pasti ia sembuh dari lumpuh. 

Pada akhirnya, Jijah pasrah dengan sakitnya. Maut diam-diam datang, mencuri kejenakaannya. 

Usai memandikan jenazahnya tadi sore, Kaka Oxa bertanya berkali-kali, "Hai asli ini? Jijah so nda ada? Bukang mimpi ini?" 

Padahal, Kaka Oxa tepat berada di telapak kakinya yang memucat, saat jenazahnya sedang dimandikan. 

Ah, Jijah, selamat jalan. Al-fatihah ...

Sunday, October 31, 2021

Goodbye Octrouble

1 comment
November basah
bulan di puncak masa
selamat berdoa.

Monday, October 4, 2021

Selamat Merangkul Hidup Barumu

No comments

Di sebuah kantor yang mungil, sepotong harapan kubawa di dalam lipatan map dokumen. Di dalamnya tersusun 'bujuk rayu' agar perusahaan media Radar Bolmong menerimaku.

Harapan itu berbuah kerja. Keesokan harinya, aku sudah bisa meliput ke lapangan ditemani seorang perempuan. Dari kartu pers yang ia kenakan, tercantum nama Roslely Sondakh. Yang akrab menyapanya Eling.

Selayaknya tandem, Eling terus menunjuk ini dan itu. Sesekali tertawa. Menjelaskan begini dan begitu. Sesekali berdengus. Kantor Polres dan Pengadilan, jadi rumah singgah kami sepanjang pagi menjelang senja. Bahkan malam hingga pagi, kami harus mengawasi apa saja peristiwa yang terjadi.

Bagi wartawan pemula yang bekerja di surat kabar harian, liputan hukum dan kriminal adalah gerbang. Di situlah kami diajarkan untuk memverifikasi data.

"Bahkan warna celana dalam korban [pembunuhan] pun kau harus tahu!" kata Eling, dengan gaya khasnya bercekak pinggang.

Eling pernah tergelak-gelak, ketika melihat caraku menyusun berita berbasis data. Ia baru mengajariku setelah diteriaki redaktur senior.

Sepekan, kemudian, sebulan bergulir. Pertemanan kami mengalir. Hampir seisi kantor tentu saja menjalin pertemanan. Namun selalu ada dua, tiga atau empat orang yang berhimpun menjadi karib.

Rumah kontrakan Eling, jadi tempat kami menghamburkan berbagai perca ingatan. Kami seperti adik kakak yang, kadang bertengkar hanya karena terlambat membeli obat magnya.

Kemudian kami diutus ke kantor raksasa Manado Post, untuk dilatih menjadi wartawan liputan khusus. Semua anak media Manado Post Group bahkan dari Luwuk sampai Maluku diundang perwakilannya. Kendati kami yang paling bandel dan sering telat hadir mengikuti materi, hasil liputan kamilah yang terpilih dan dipajang di halaman satu koran Manado Post.

Sebenarnya, alasan kenapa kami sering telat, karena kami hanya menumpang tinggal di rumah salah satu mantan pimpinan Radar Bolmong. Jarak rumahnya cukup jauh. Peserta lainnya tinggal di penginapan yang berdekatan dengan kantor Manado Post.

Waktu, tanpa disadari menyeret kami begitu cepat. Satu per satu dari kami mulai ditugaskan di daerah terpisah. Setelah itu, pesanan advetorial dan target kontrak menyeleksi kami. Padahal, menurut Dahlan Iskan, kami wartawan liputan khusus dibebaskan dari target kontrak, advetorial, dan iklan-iklan. Satu demi satu melepas kemeja hitam kebanggaan bertuliskan Radar Bolmong.

Sebelum melepas diri, kami pernah sempat bergurau bahwa suatu saat akan berada di pucuk pimpinan, duduk di ruang kerja sendiri di kantor baru nan megah yang saat itu tengah dibangun, dan menua dengan menikmati hasil kerja kami di masa muda. Kawan-kawan seangkatan kami saat pelatihan, beberapa di antaranya sekarang sudah menjadi pemimpin redaksi di masing-masing perusahaan yang menaungi mereka kemarin.

Namun akhirnya aku sendiri sadar, harta adalah teman yang aneh. Ia hanya menyenangkanmu, ketika ia meninggalkanmu. Aku lebih memilih hendak menimbun pengetahuan.

Eling mendahuluiku pergi menginjakkan kaki ke Papua Barat. Di tanah di mana Injil kali pertama menjejak di Bumi Cenderawasih. Di Manokwari, media yang masih berpayung di grup yang sama--Jawa Post Group--rencananya akan merintis nasib di sana. Tetapi, hanya beberapa bulan mereka kembali ke Manado. Saat itu, aku sudah hijrah ke Gorontalo dan bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo.

Kemudian, aku berpindah lokus liputan di Manado. Di sanalah kami dipertemukan lagi. Eling juga sudah di media yang baru dan menetap di Manado.

Di Manado inilah, hari-hari yang pernah kami lalui di masa-masa awal berkarir di media, kembali terulang. Kami bunuh diri karir. Merintis dengan nyawa yang baru lagi.

Saat ayahnya dirawat di rumah sakit di Manado, aku dan Nanang sering menemaninya. Koridor rumah sakit kadang menjadi tempat di mana kami rebah, bercanda, dan mengenang apa saja yang bisa membuat kami menertawai hidup. Pun sekadar untuk menghibur hatinya yang, kami tahu berharap besar agar ayahnya segera pulih. Pada akhirnya, Eling ikut pasrah ketika ayahnya menyerah pada sakitnya. Ayahnya berpulang.

Tak lama kemudian, kami terpisah lagi. Aku kembali ke Gorontalo. Lalu bertambah jauh lagi karena harus pindah ke Papua. Eling kembali ke Kotamobagu.

Dua tahun yang lalu, kali pertama aku kembali dari Papua saat liburan lebaran, Eling mengendarai mobil barunya saat menjemputku di rumah. Ia mengajakku jalan-jalan. Senyumku merekah. Setidaknya, apa yang telah ia bunuh dulu, telah berbuah hasil dengan nyawa baru itu.

Hari ini, perempuan yang gemar menendang, melantak, dan menyumpahi kami dengan suara kalengnya akan memupus masa lajangnya.

Sewaktu malam peminangannya beberapa pekan lalu, ia mungkin menyumpahiku lagi meski jauh nun dari rumahnya di Bolaang Mongondow Selatan. Aku tak bisa hadir karena urusan pekerjaan yang lumayan menguras energi.

Calon suaminya, Razak, ternyata dulu pernah juga bekerja di Radar Bolmong. Sempat bersua denganku belum lama ini. Sepertinya, lelaki ini mampu meredam segala apa yang bergemuruh dari dalam diri Eling.

Selamat menikah sahabat terbaik. Akur hingga uzur.

Sunday, September 5, 2021

Terjagalah ...

No comments
Udara malam desa tak pernah tergesa-gesa. Diam, lambat, dan terkadang seperti seorang petapa yang khusyuk. Kau bahkan bisa mendengar derit pepohonan yang melayah.

Tetapi di luar sana, selalu ada kehidupan yang lain. Mungkin sesekali ada serangga tergelincir oleh embun yang menempel di telapak dedaunan. Atau, burung hantu yang berdengkus karena tak ada buruan melintas.

Raung kendaraan hanya hadir sekali dalam beratus detak jantung. Kemudian senyap di bilik parkiran dengan tuan yang menggigil.

Dulu, selalu ada pemabuk yang menyeret sendal, sembari terus menyanyah sepanjang jalan yang mampu ia susuri. Penaka berbicara kepada angin malam, mungkin hendak bertanya arah pulang, atau mencari di mana lagi gelas dan botol masih berdentang.

Pukul 3 pagi, adalah puncak kesunyian. Waktu yang paling sakral bagi kelopak-kelopak mata. Bahkan dengkur ialah deru yang paling merdu. Sebelum subuh kembali bersetia dengan para pengkhidmatnya.

Allahu Akbar ...

Tuesday, August 3, 2021

Mata

No comments
di matamu berziarah
sederet rasa yang 
sirna ketika amarah
menjadi nyalang.

Friday, July 16, 2021

Mungkin

No comments
Mungkin kita akhirnya jenuh berjalan, setelah melihat langit menjadi api oleh senja. Menyapukan jelaga agar bintang bisa berbinar, sebagai penanda perhentian.

Wednesday, July 7, 2021

Obituari Kaka Cece

No comments

"Apa bedanya sarung dan kotak?"

Pertanyaan itu terlontar di dalam mobil.

"Nyerah?" tanya Defaw kepada kami. Tebak-tebakan itu darinya.

"Kalau sarung itu bisa kotak-kotak, kalau kotak tidak bisa sarung-sarung."

Tawa kemudian menebal di dalam mobil. Malam itu, seingat saya, ada Ann, Kaka Cece, Sandi, Fawaz a.k. a Defaw (Dede Fawaz). Kami pergi mencari makan. Dalam perjalanan, akhirnya kami bertarung tebak-tebakan dan terus tertawa terbahak-bahak.

Lalu Kaka Cece tiba-tiba berujar, "Saya mampir di rumah dulu ya?" Sambil menunjuk sebuah rumah bergerbang raksasa. Jelas saja kami semua tertawa. Kaka Cece memang sering kali bergurau seperti itu. Beberapa kali ia menunjuk perumahan elite, kemudian seolah-olah ingin memutar kemudi mengarah ke pintu masuk.

Kaka Cece adalah satu-satunya saudara laki-lakinya Ann. Mereka empat bersaudara. Tiga lainnya perempuan. Jelas sekali, Kaka Cece pasti anak yang begitu dimanja sejak kecil. Gurauannya tentang rumah-rumah gedongan itu, sebenarnya ialah apa yang pernah dirasakannya. Kaka Cece beruntung terlahir dari keluarga yang mapan. Kakak tertua mereka di Makassar, Kaka Ida, punya rumah lebih dari satu dan sebesar rumah-rumah yang kerap kali dijadikannya gurauan.

Kaka Cece menetap di Tangerang. Namun ia sering kali berkunjung ke Cirebon. Karena sering ke Cirebon, saya dan Kaka Cece cukup akrab. Kami beberapa kali keluar pagi-pagi hanya untuk mencari nasi jamblang, makanan khas Cirebon. Nasi ini berwadah daun jati, kemudian lauknya bisa diambil sesukanya, ada udang goreng, telur, perkedel, hati ayam, dan masih banyak lagi. Saya sempat berujar heran, karena harganya hanya sepuluh ribu.

Pernah ketika Kaka Cece esoknya hendak kembali ke Tangerang, dan kebetulan saya juga tidak lama lagi akan kembali ke Papua, kami pergi mencari tempat makan yang terletak di puncak. Cirebon memang dekat dengan daerah puncak, lokasinya di jalan menanjak menuju Kuningan. Dokter Sukma, teman praktik Ann, datang bersama istri dan anaknya. Kami melahap hidangan di Restoran Salt dengan suguhan pemandangan malam hari Kota Cirebon yang indah, sembari bertukar cerita.

Lama tak bersua dengan Kaka Cece. Sejak wabah ini mengganas tahun lalu, saya memberanikan diri pulang dari Papua menuju kampung halaman karena ibu sakit. Itu pun dengan hati berdebar-debar karena tak ada pesawat langsung menuju Manado. Saya harus pulang lewat Makassar, sedangkan saat itu kota ini masuk zona merah Covid-19.

Kemudian ... kemarin, Rabu 7 Juli 2021, sebaris pesan dari Ann menyelinap di gerbang pagi, seusai Spanyol bertekuk lutut kepada Italia lewat adu penalti.

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke rahmatullah adik kami M. Jusri Hidajat Tahir. Mohon dimaafkan segala salah dan khilafnya. Mohon doanya Kris ...

Saya sempat memastikan bertanya lagi apakah ini Kaka Cece, meski sudah mengira karena Ann menyebut 'adik kami' bersama marga. Pertanyaan saya itu seperti sebuah sanggahan. Itu bukan Kaka Cece. Berulang kali dalam hati saya coba meyakinkan bahwa itu bukan Kaka Cece.

"Ya Allah, sakit apa?"

"Covid."

Ann kemudian menyumpahi virus itu. Kejam. Iya, virus ini memang kejam. Virus ini terasa berada di depan mata karena mulai merenggut orang-orang di lingkaran terdekat. Kaka Cece sempat dirawat di ICU dua malam. Sempat membaik karena saturasi naik 90. Namun pukul 3 pagi kembali drop.

Jakarta dan sekitarnya sekarang zona hitam. PPKM Darurat sudah diberlakukan. Sayangnya, Kaka Cece belum sempat ikut vaksinasi dan memiliki komorbid atau penyakit penyerta. Bahkan ketika jatuh sakit, cukup sulit mencari rumah sakit. Hampir semua penuh. Ada yang menolak karena tabung oksigen semuanya terpakai di ICU. Sebagian pasien ada yang dirawat di tenda-tenda darurat. Selain itu, perjalanan ambulans juga memakan waktu lebih lama, karena sebagian jalan diblokade.

Kaka Cece bisa dirawat di salah satu rumah sakit pun akhirnya karena privilese. Kaka Ida menghubungi kenalan di Jakarta yang segera menghubungi direktur rumah sakit tersebut. Meski ada rasa penyesalan, karena terlambat bertindak seperti itu.

Saat menghubungi Ann lewat video call, saya terus menangis tak percaya. Ann juga terisak-isak. Air matanya seperti sudah mengering. Yang teramat biadab ketika virus ini menjemput keluarga terdekat, kita tidak tahu lagi bagaimana caranya berduka. Tidak ada pelukan terakhir. Bahkan untuk sekadar mengunjungi makam saja tak bisa dilakukan saat ini. Jakarta telah menjadi tuan rumah dari virus varian Delta. Varian terkuat.

Ketika varian Delta ini mulai menjalar di India, Ancol dibuka saat liburan lebaran. Muncul meme yang membandingkan tumpukan orang di Ancol dengan orang-orang di Sungai Gangga. Selain itu, sejumlah WNA asal India sempat masuk lewat Bandara Soetta, April 2021 lalu. Peringatan pakar-pakar epidemiologi diabaikan.

Di tengah lonjakan kasus, pemerintah mengirimkan 1.400 tabung oksigen ke India. Sekarang, banyak rumah sakit yang mengalami kelangkaan tabung oksigen. Pemerintah terkesan baru mulai awas dan menerima impor tabung oksigen dari sejumlah negara, setelah gempar kabar meninggalnya puluhan pasien di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, diduga karena krisis tabung oksigen. Publik mengutuk kejadian itu, meski bantahan dari pihak rumah sakit menyusul belakangan.

Namun, kabar Ann bahwa sejumlah rumah sakit beralasan kekurangan tabung oksigen, menandakan bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak nyawa di luar sana yang bergantung pada tabung oksigen. Tabung yang menyimpan apa yang sedang kita hirup gratis saat ini.

Selamat jalan Kaka Cece. Al-Fatihah ...

Sunday, June 27, 2021

Tunggu

No comments
Aku berkali-kali menolak tidur dengan mata berdarah, hanya untuk menunggumu datang menjarah apa saja yang ada di dalam dada.

Thursday, June 24, 2021

Kotaku

No comments
aku nikmati kotaku
dari berkerak neraka
lalu
berlicin surga.

Thursday, May 27, 2021

Menatang Nasib

No comments
Jemala ini kusandarkan di dadamu. Berkali-kali pusaran ingatan mengibas rambutmu. Aku memeluk kekal. Dosa-dosa menguap ditatap poster-poster berjanggut tebal.

Lekukan alis lebat menaungi mata indahmu. Tempat segala duniaku tenggelam semu. Kita hendak menatang nasib. Sementara di seberang ada janji-janji raib.

Katamu, ini bukan tentang masa lalu. Namun seteguk lendir yang kausesap tuk mengusir malu. Sesekali kubiarkan kakimu menari-nari di udara. Bertukar tangkap seperti lengan sepasang saudara.

Bagaimana jika aku mati? Kau bertanya. Aku menumbuk pelan pipimu sembari menunjuk kursi purba. Di sanalah aku akan meletakkan jasadmu. Bahkan meski harus kugali di hadapan ibumu.

Ke mana kita pergi setelah bulan itu tiba? Apakah rimba tetap lebat oleh luka? Mari segera pergi dari sini. Melewati simpang tiga ketika aku menatapmu pertama kali.

Wednesday, May 26, 2021

Bulan Merah

No comments
seekor naga menelan purnama
dimuntahkannya dengan darah
bulan merah
di langit Waisak
di langit Kotamobagu
di mana sebaris toko
menjual tiket ke sana.

Sunday, May 23, 2021

Sebotol Pagi

No comments
Bau rusa berkejar-kejaran dengan embun di lindap subuh jalanan yang menghutan. Di kaki Gunung Ambang, masih banyakkah rusa-rusa yang bertahan dengan gempuran perkebunan? Namun sesekali bau itu berubah dari liar menjadi seperti uap air rebusan daging di atas kuali seorang petani. Sepasang pengendara sepeda motor terus menyanyah sepanjang jalan dengan sebotol anggur merah di genggaman. "Barangkali itu bau hantu!"

Rumah-rumah dan jalanan sepi sebab orang-orang lebih memilih berselimut mimpi, tinimbang menyusuri pagi. Dua orang berkepala pengar dan berjaket Bandung itu, terus membelah subuh dengan wajah yang mulai menebal. Tepian jalanan kembali bersulih menjadi perkebunan dengan pondok-pondok tak bermata lampu. Di simpang tiga Danau Mooat, salju seperti turun menggantikan embun.

Bintang-bintang berjatuhan ketika pelukan bertambah erat, lalu sebuah persinggahan menyatukan mimpi keduanya. Hijau dan kuning melebur menjadi satu membentuk warna semesta yang berjanji tak akan pernah memudar. Mungkin, hantu-hantu penunggu bahkan iri melihat mereka. "Perjalanan ini jadi salah satu kenangan yang membuatku tak keberatan lagi dengan maut."

Di punggung bukit yang menghadap danau, berdiri pondok tak berpenghuni. Seonggok televisi rusak tersudut sepi di dalamnya. Dari lantai dua pondok, pastinya matahari terbit di pundak bukit tepat di atas danau, akan tersambut lebih sempurna. Tetapi terang masih terlalu lama datang. Mereka berdua menunda untuk berkata, "Satu-satunya ciptaan Tuhan yang paling adil ialah matahari."

Tuesday, April 27, 2021

Sepuluh

No comments

Manusia selalu tabah
sebab mereka tak tahu
tercipta dari apa
Sigi ...

Nenekmu pernah berkata, "Walaupun ayah dan ibumu gemar bertualang dan jarang sekali berada di sisimu, akhirnya kamu tumbuh dengan pintar." 

Nenekmu menjadikan standar penilaian pintarnya dirimu dari caramu mengeja sampai melantunkan ayat-ayat suci. Iqro hingga Quran. Ayah masih ingat ketika 2019 lalu sempat pulang ke kampung, kemudian mengajakmu membeli seragam sekolah. Ayah bertanya apa lagi yang mau Sigi beli. Lalu kau menunjuk deretan kitab suci di balik lemari kaca toko.

Ulang tahunmu kali ini tepat Ramadan. Bulan suci yang kerap kali dirindukan umat Islam sebumi bahkan mungkin oleh astronot muslim di angkasa sana. Namun Ramadan tak melulu tentang rasa bahagia. Di bulan ini, sebagian orang masih kehilangan satu per satu kerabat dan sahabat karena wabah.

Tak hanya wabah, Sigi. Pekan kemarin negeri ini berduka, KRI Nanggala 402 remuk karena renta. Media berlomba-lomba menyisir hati-hati yang tengah berduka. Merekam setiap air mata keluarga yang meruah. Padahal mungkin, duka mereka terlalu dalam untuk digali-gali.

Di Papua, kontak senjata terus berlangsung di Ilaga. Saat ini, peluru terus berdesing. Baling-baling helikopter menderu di langit yang telah merah dengan darah yang menguap. Perang yang tak pernah usai, menyasar semua nyawa hingga tumpur di medan tempur. Nyawa guru, pelajar, ojek, tentara, jenderal, brimob, warga sipil, dan anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) terenggut. Dua kubu yang berperang saling klaim kebenaran ketika ada korban tewas. Saling mencurigai bahwa warga yang pantas dibunuh adalah mata-mata.

Setelah negara melabeli TPNPB-OPM sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), kini bersulih nama lagi menjadi Kelompok Separatis dan Teroris. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar, juga sempat mengatakan bahwa tengah mengkaji opsi untuk memasukkan KKB sebagai organisasi teroris. TPNPB-OPM bukan kelompok kriminal, separatis atau teroris. Masing-masing memiliki definisi yang berbeda-beda. Jika memperjuangkan hak kemerdekaan bangsanya sendiri dicap teroris, maka leluhur dan para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan kita dari Belanda disebut apa?

Sementara presiden kita yang mulia, tetap memerintahkan untuk menumpas TPNPB-OPM meski di bulan suci. Bulan bagi kita menahan segala nafsu. Mungkin presiden kita hendak meniru perang-perang di zaman Nabi Muhammad yang pernah terjadi saat Ramadan, seperti Perang Badar dan Khandaq. 

Pada akhirnya, masyarakatlah yang terus menerus menjadi korban dari konflik bersenjata ini. Papua, ialah pakus emas yang telah menghasilkan kekayaan bagi negeri ini. Meski mereka hanya menerima reja-reja. Ditimpa kemalangan lagi dengan raga mereka yang terus berjatuhan. Merekalah manusia paling tabah yang pernah ayah temui, Sigi.

Ramadan. Bulan di atas nisan makam-makam korban wabah dan konflik bersenjata di Papua. Pun cahayanya menaungi makam-makam tak bernisan di laut terdalam. Tuhan mengerangkeng setan. Sedang maut tetap menjadi tuan. 

Ah, sudah sepuluh tahun, Sigi. Lesung pipitmu semakin dalam terlihat. Selamat hari raya usia. Jangan pernah dewasa. Kelak, jika waktu mulai merampas keping demi keping masa kanak-kanakmu, ingatlah bahwa di masa kecilmu perang hanyalah perang-perangan. Tiada nyawa yang tiada.

Saturday, April 17, 2021

Don't Grow Up

No comments
Sebuah perayaan kerap kali dengan bersuka ria. Syukurlah aku pernah diajari menjadi orang Bali ketika menetap di sana setahun lebih. Di Bali ada Hari Raya Nyepi. Perayaannya justru dilakukan dalam hening. Kita diajak untuk banyak-banyak merenung. Seperti pada momen hari raya usiaku ini yang berada di gerbang bulan suci Ramadan, saat ini, mungkin menunduk akan lebih baik ketimbang menengadah dan mengangkat gelas.

Sunyi bukan berarti kosong. Dalam perjalanan hidup, aku dipertemukan dengan orang-orang hebat yang memilih mengambil jalan sunyi dalam perjuangannya. Mereka yang tak pernah mau menepuk dada sebagai "aku" ketika sesuatu yang diperjuangkan berhasil. Aku juga bersua dengan banyak orang separuh abad yang tak peduli dengan usia, sebab yang terpenting ialah jalan pikiran tak ikut kaku dan menua.

Karena itu, di hari ini tetap dengan doa yang sama: jangan pernah dewasa, karena menjadi dewasa itu membosankan. Seorang bocah bisa berkali-kali menatap langit malam lalu terkagum-kagum dengan bintang gemintang dan bulan menggantung di atas sana. Tetapi banyak orang dewasa tak akan terhibur dengan hal itu lagi. Mereka butuh sesuatu untuk bisa mengagumi angkasa. Tak akan pernah sesederhana cara seorang bocah lugu, hanya perlu lengan untuk menyangga dagu.

So, don't grow up, it's a trap!

Tuesday, February 9, 2021

Ingatan

No comments
Setiap kau melihat ke arah mana pun, selalu ada ingatan tentangku di sana. Begitu pun aku. Mungkin kita memang saling sengaja menebar semua itu di sekitar. Biar kelak ada senyuman terukir dan mata berbinar di sudut kamar. Sebab hidup tak melulu tentang penyesalan atau harapan, kendati keduanya berkelindan dengan ingatan.

Friday, January 8, 2021

Jenuh

No comments
Kau boleh jenuh dengan kata: kopi, hujan, atau senja. Namun kau tak bisa mendustai: rasa, aroma, dan keindahannya.

Friday, January 1, 2021

Dua Ribu Dua Puluh Satu

No comments
malam ketika menyambutmu, aku bingung berkabar dengan siapa. setiap nomor telepon dan nama-nama di ponselku menjadi asing. sampai seorang kawan meletakkan keping-keping cahaya di sepanjang setapak. aku menyusurinya dengan gembira dan botol-botol terus berdenting.

di langit yang sepi dengan warna-warni, coba kucari wajah-wajah yang akrab. tiada siapa-siapa di sana, hanya seekor rusa kutub terbang dengan tanduk yang patah. dari balik cangkir aku memastikan semua bola mata menyaksikan keajaiban itu. namun hanya sekali kibasan ekor, bayangan itu menghilang.

pagi mengecup kening malam yang semakin abu-abu dengan sempurna. udara dingin berembus dari dengusan bukit-bukit, memaksa orang-orang saling berpelukan. kemudian tahun baru terus berjalan menuju terang. mungkin di ujung sana, ada jejak-jejak yang mulai terhapus.