Sunday, December 27, 2020
Saturday, December 19, 2020
Friday, December 4, 2020
Kau
pergi mencarimu hingga nyala pagi serupa bara. aku menemukanmu di ujung petang. lihat kesabaran doa yang menunggu dilafalkan. ada butir namamu dan namaku saling memagut. berdebur pada musim terindah. mengguruh penuh seluruh.
Tuesday, September 22, 2020
Apa Kabar?
Eropassi memang selalu punya cerita. Entah itu kisah yang membuatmu merangkul dengkul atau tentang tawa yang tak akan pernah usai. Tapi aku selalu menyukai apa pun yang diberi oleh desa ini kendati itu ialah luka. Karena di sinilah aku bertumbuh meski nanti akan menua dan rengsa di tempat berbeda.
Pada 30 Agustus kemarin, aku kecelakaan. Tapi luka di desa atau di kota mungil ini, ialah bagian dari kisah-kisahku. Seberapa bedebah kami di sini mengagumi air-air suci. Seberapa biadabnya kami mendustai pagi.
Lingkaran pertemanan di sini terus berubah. Ada yang pergi, menghilang, tumbuh dewasa, menikah, menua, dan segala siklus hidup yang pasti. Tapi ada yang tetap menolak untuk beranjak dewasa, menikmati hidup seolah-olah kita hanya terlahir ke dunia sekadar untuk mampir menikmati bir.
Aku bersua lagi dengan cerita-cerita baru meski yang lampau sesekali mengulang. Bagaimana kami membunuh kesepian desa, dengan telapak tangan yang menggenggam api. Sekali lagi desa ini menuliskan banyak hal untuk menambah tabung ingatan.
Sampai di sini, sudah sejauh apa jalan yang kalian tempuh? Tapi apakah kalian pernah berpikir, kalian hanya terus kembali ke permulaan, setiap kali menemui hal-hal yang melebihi apa yang telah kalian lalui. Maka jika hidupmu mulai terasa bajingan, jalani saja sebedebah mungkin. Sampai kau merasa tak ada satu pun manusia yang sama kisah denganmu.
Friday, July 31, 2020
Seandainya ...
Thursday, July 16, 2020
Pulang Kampung
Tiga puluh ribu kaki meninggi. Empat ribu kilometer mengudara. Hanya untuk satu kata: Ibu.
Apa jadinya ketika hal yang ikut kau tentang, akhirnya terpaksa harus kau jalani? Pulang kampung. Saya harus melintasi setengah langit Indonesia dari Timur menuju Barat. Kemudian melanjutkan lagi setengah perjalanan udara dari Selatan ke Utara.
Selama masa pandemi Covid-19, perjalanan pulang kampung memang cukup berbahaya. Apalagi ketika kita dari dan akan memijak wilayah-wilayah yang virusnya tengah mengganas. Seandainya Ibu tidak sakit, saya memilih untuk tetap mengurung diri di kamar kos. Bahkan lebaran kemarin, saya memutuskan tak pulang karena tahun baru kemarin saya baru dari kampung.
Perjalanan ke luar Papua cukup menguras energi dan saku. Tenaga bisa pulih, uang bisa dicari, tapi kesempatan merawat orang tua yang sakit tak ternilai. Saya yang bekerja di Jayapura dan tidak mengantongi Kartu Tanda Pengenal (KTP) Papua, harus mengikuti aturan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.
Syarat pertama bagi non-KTP Papua, saya harus membuat surat pernyataan untuk tidak kembali ke Papua selama setahun. Surat ini bisa dibikin sendiri, tapi ditanda-tangani di atas materai 6.000. Ini alternatif atau pilihan tercepat, daripada mengurus Surat Persetujuan Keluar Masuk (SPKM) yang harus melewati ruangan Sekretaris Daerah Pemprov Papua lalu Dinas Perhubungan Pemprov Papua. Jika mengurus SPKM butuh berhari-hari dan biasanya ini bagi yang ber-KTP Papua atau yang melakukan perjalanan dinas.
Saya yang berniat kembali Papua, memang bisa mengurus SPKM dengan menyertakan surat keterangan dari kantor. Tentu saja saya tidak akan sempat mengurusnya, sebab tiket pesawat sangat sulit mendapatkannya dan kebetulan tiga hari berikutnya, dengan dibantu seorang kerabat saya, kami berhasil mendapatkan tiket karena ada yang menunda perjalanannya. Saya dan dia yang tinggal di Boven Digoel, yang juga hendak pulang ke kampung yang sama, sempat berniat melalui jalur laut dan mengunjungi kantor Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) Jayapura, namun antrean panjang dan tiket cepat habis.
Kedua, saya harus melakukan tes cepat atau rapid test. Pukul 9 pagi, saya sudah berada di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) di Rumah Sakit (RS) Dok II Jayapura. Tapi pagi itu antrean seperti orang-orang ini sudah berdatangan sejak matahari baru saja semburat. Penuh. Biaya tes cepat di sini, berkisar antara Rp 150 ribu. Saya memutuskan melakukan tes di RS Provita. Di RS ini antrean tidak seular di Labkesda. Hanya beberapa orang saja. Setelah mengisi formulir, saya ditanyai tiket pesawat. Sebaiknya sebelum melakukan tes cepat, kita sudah memesan tiket pesawat atau kapal laut.
Setelah membayar Rp 400 ribu di loket, saya disuruh ke ruang lab untuk mengambil darah. Saya pikir, tes cepat hanya meneteskan darah di alat rapid dan hasilnya segera diketahui. Tapi di sini, saya diambil darah hampir setabung jarum suntik ukuran sedang. Tiga jam kemudian hasilnya diketahui. Saya sempat cemas, karena kondisi tubuh saya sedang dalam masa pemulihan karena sakit. Beberapa hari sebelumnya saya dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Dian Harapan, karena asam lambung naik. Awalnya saya mengira akan serangan jantung karena dada sakit dan sulit bernapas. Kata dokter, selain karena pola makan dan tidur tidak teratur, asam lambung naik juga dipicu stres. Berkurung diri di kamar selama berbulan-bulan dan dikabari orang tua sakit keras memang menambah beban pikiran. Beruntung, hasil tes cepat menyatakan saya nonreaktif.
Ketiga, syarat ini sudah jauh-jauh hari saya urus. Surat keterangan yang menyatakan Ibu sedang sakit, dari Kepala Desa Passi, tempat asal saya. Tapi karena pembatasan akses terus diperpanjang, surat ini baru bisa terpakai sekarang. Ibu juga memang kembali dirawat cukup lama hingga berminggu-minggu di RS.
Keempat, saya tinggal memfotokopi KTP yang ikut dilampirkan di surat pernyataan tidak kembali ke Papua. Bisa juga tiket ikut dicetak agar semua berkas menyatu. Tapi saya tidak mencetak tiket, nanti hanya menunjukkannya lewat email kepada petugas bandara.
Saat hari keberangkatan tiba, sebaiknya kita tiga jam sebelum berangkat sudah berada di bandara. Ini sebenarnya mungkin hanya berlaku di Papua. Karena penerbangan antardaerah Papua ikut dibuka, maka antrean memanjang. Saya direkomendasikan nomor seorang petugas di Bandara Sentani, oleh kerabat saya yang lebih dulu pulang sehari sebelum keberangkatan saya. Petugas bandara yang orang Papua ini, membantu saya membawa berkas-berkas untuk diparaf. Surat pernyataan harus ada paraf dari Dinas Perhubungan yang sudah menyediakan petugasnya di bandara.
Selanjutnya, kita harus bersabar untuk mengantre, karena ada sekitar 50-an orang berjajar untuk menunjukkan berkas mereka ke petugas Dinas Kesehatan. Semua dokumen kelengkapan akan diparaf dan dicap lagi. Serasa seperti sedang ke luar negeri lalu melewati pintu-pintu imigrasi. Sambil menunggu antrean, saya mengisi data di aplikasi eHAC Kementerian Kesehatan. Nanti barcode-nya akan di-scan di setiap bandara karena itu wajib diisi. Usai berlama-lama mengantre dan urusan selesai, suhu tubuh kita diukur dengan thermal scanner. Kemudian kita bisa melenggang bebas ke dalam bandara.
Saat mengurus boarding pass, kelengkapan berkas akan diperiksa lagi. Jika lengkap, maka kita bisa menuju ruang tunggu dan bernapas lega. Saat pesawat akan berangkat, saya kira semua urusan selesai. Ternyata masih ada satu formulir yang dibagikan petugas maskapai Garuda Indonesia yang saya tumpangi, untuk diisi. Penjelasan dalam formulir, tentang kelengkapan berkas saja selain kita kembali mengisi data pribadi. Kalau ada yang tidak lengkap kita harus menanggung semua risikonya, termasuk pembatalan penerbangan.
Bagian tengah kursi di pesawat sengaja dikosongkan untuk menjaga jarak antarpenumpang. Di sandaran kursi tertulis tagar #BecauseYouMatter. Karena penerbangan sore dan diperkirakan saya tiba di Makassar pukul 5 sore, saya tidak bisa mendapatkan tiket langsung ke Manado di hari yang sama. Tidak ada penerbangan malam. Penerbangan dari Jayapura ke Manado juga tidak ada, karena itu banyak yang harus ke Makassar dulu, lalu melanjutkan penerbangan ke daerah tujuan selanjutnya.
Hampir tiga jam mengudara dengan cuaca buruk, saya tiba di Makassar. Di Bandara Sultan Hasanuddin, kita disuruh mengisi formulir berwarna kuning atau biasa mereka sebut kartu kuning yang sudah disiapkan petugas, baru bisa ke luar bandara. Sebenarnya ini kalau sudah mengisi data di aplikasi eHAC, tinggal di-scan saja barcode-nya. Tentunya dengan menunjukkan kembali kelengkapan berkas termasuk hasil rapid test.
Saya segera mencari loket penjualan tiket di bandara, tapi semuanya tutup sore hari. Saat memesan hotel transit di bandara, untuk bermalam di Makassar, petugasnya membantu menghubungi kenalannya yang biasa menjual tiket. Saya mendapat tiket Citilink pukul 4 sore esok hari. Lion Air siang hari pelit jatah bagasi. Harganya juga hanya selisih 200-an ribu rupiah. Setelah memesan tiket, saya akhirnya bisa rebah di hotel transit yang harganya terjangkau, hanya 300 ribu rupiah semalam kita sudah dijemput dan diantar lagi ke bandara esoknya.
Pukul 1 siang keesokan harinya, saya sudah ke bandara. Di Bandara Sultan Hasanuddin ternyata ada pemeriksaan mirip di Papua. Meski antrean tidak panjang. Berkas kita harus diparaf lagi oleh Dinas Perhubungan dan Dinas Kesehatan setempat. Suhu tubuh diukur. Barcode eHAC di-scan. Lalu bisa masuk bandara.
Penerbangan dari Makassar ke Manado hanya sejam lebih. Saat tiba di Bandara Sam Ratulangi, bagi yang tidak mengisi eHAC harus mengisi data di formulir mirip kartu kuning di Bandara Sultan Hasanuddin. Barcode eHAC di-scan. Suhu tubuh diukur. Baru kita bisa keluar. Alangkah bahagianya ketika melihat lambaian tangan kawan dan kerabat saya yang datang menjemput. Akhirnya bisa tiba di Manado.
Namun perjalanan panjang belum berakhir. Sebab dari Manado menuju Kabupaten Bolaang Mongondow atau ke desa saya, masih menjalari daratan selama empat jam. Kami istirahat sejenak di rumah kerabat di Manado. Dua jam kemudian, kami pulang ke kampung.
Pukul 3 pagi, cuaca Eropassi yang berkabut menyambut ...
Wednesday, July 1, 2020
Terima Kasih
Sunday, June 28, 2020
Monday, May 18, 2020
Maaf
Seorang gadis jangkung berkulit gelap berjalan penuh keyakinan ke halaman sekolahnya. Sekumpulan anak laki-laki berkulit putih mengitarinya dengan menunjuk, tertawa, dan menjulurkan lidah. Ia terlihat tegar sampai ke ruang kelas yang menebal dengan kebiadaban. Udara di sana seolah-olah hanya berpusar di atas rambut keritingnya.
Tuesday, May 12, 2020
Corona
Kami di Kota Jayapura sudah sejak awal Maret 2020 dianjurkan tak keluar rumah atau kos-kosan. Sebagian orang terutama kami yang bermukim sementara di sini karena pekerjaan, yang rindu berjumpa dengan sanak saudara di kampung dan berharap sehat-sehat saja, tentu mau tidak mau harus mengurung diri. Sebagian orang-orang tetap beraktivitas seperti biasa.
Pekerjaan saya sebagai editor di Jubi.co.id. Sisa waktu dipergunakan menjadi kontributor di media apa saja, yang membuka peluang untuk proposal liputan. Sebelum wabah ini menjalar dari jarak ribuan kilometer lalu tiba-tiba hanya beberapa meter dari kita tanpa terlihat, saya dan seorang kawan coba mengirim proposal liputan untuk media luar negeri. Ada tiga proposal yang kami kerjakan dan menunggu disetujui. Tapi setelah wabah ini mendunia, terpaksa kami hanya bisa saling menjaga diri masing-masing. Liputan ditunda sampai ruang gerak benar-benar bisa leluasa.
Hampir setiap perusahaan termasuk yang bergelut di media, terpukul akibat wabah ini. Kami mulai merasakan dampaknya. Masalah-masalah mulai berdatangan. Gaji tertunda. Kami harus memikirkan bagaimana cara mencari uang, selain berharap pada bantuan teman-teman. Beruntung, ada beberapa kawan yang berbagi pekerjaan dan mengupah saya meski lembar rupiahnya hanya bertahan sehari dua hari di saku.
Pada akhir April, saat memasuki Ramadan, puasa dimanfaatkan untuk berhemat sehemat-hematnya hemat. Menu makanan bersulih rupa menjadi tempe, tahu, telur ayam, ikan kaleng, dan ikan asin. Sesekali ada daging ayam dan sayuran segar, hasil sumbangan beberapa kawan. Mi instan berbungkus-bungkus sebagai pengganjal perut diupayakan ada, begitu juga stok pangan lokal seperti ubi kayu. Alat-alat mandi dan kebutuhan ruang belakang lainnya harus tersedia. Kebersihan menjadi utama ketika yang kita lawan adalah karib dari yang jorok. Bahkan pakaian kotor tak boleh bertumpuk karena setelah dipakai harus segera dicuci. Saya benar-benar kembali merasakan arti sesungguhnya menjadi anak kos.
Bagi saya yang perokok, merasakan sepekan tanpanya menjadi keharusan. Pulsa data wajib karena pekerjaan mengedit berita harus mengakses internet, sekaligus sebagai hiburan berselancar di rimba digital selama terkurung. Beberapa teman dan kerabat sempat beberapa kali membantu untuk ini. Selebihnya, uang-uang honor dari menulis artikel disisihkan untuk pulsa internet, setelah uang listrik, beras, sembako, dan sebagainya terpenuhi.
Sewaktu gelombang protes Agustus 2019 kemarin, buntut dari rasisme kepada mahasiswa Papua di Surabaya, kami memang harus berdiam di tempat tinggal masing-masing. Jalanan sepi sejak aksi-aksi protes di beberapa kota di Papua berubah menjadi api. Akses internet diputus. Hampir sebulan lebih. Tapi saat itu keuangan baik-baik saja, karena banyak sekali bahan untuk menulis laporan. Kantor-kantor perusahaan pun tak bermasalah. Satu-satunya kendala yakni akses internet untuk mengirim atau mengedit berita. Kami harus bergerilya mencari tempat untuk mengakses internet seperti hotel atau kafe. Paling sering dan lancar adalah di hotel-hotel, sebab jaringan internet mereka terkoneksi langsung dengan 'langit'.
Saat ini, setelah dua bulan berlalu dan tak ada tanda-tanda wabah ini mereda, saya benar-benar belajar bagaimana caranya mengikat perut. Sesekali melihat unggahan makanan orang-orang di medsos dengan air liur tertelan. Terutama unggahan orang-orang di kampung. Mereka tampaknya baik-baik saja, sedang kita yang berada jauh dari rumah hanya bisa menahan diri. Pulang, menjadi kata yang berbahaya. Bandara dan pelabuhan ditutup, dan kiriman barang tak akan pernah sampai ke sini. Saya harus memotong lidah untuk mencicipi masakan ibu dari kampung, karena pengiriman barang tak ada.
Untuk sekarang, medsos memang sangat menghibur, tapi sesekali menyiksa. Kita dilecut oleh hal-hal yang tak bisa kita tepis. Kita diracuni kepanikan oleh deretan angka-angka kematian di mana-mana. Sampai-sampai ketika melangkah ke toko atau warung, seolah-olah maut telah berada di ubun-ubun. Pengobat kekhawatiran berlebih ini hanyalah berusaha serajin mungkin memindai konten-konten lucu. Kita harus tertawa meski sedang menghadapi tragedi. Jika tidak, mungkin kegilaan sudah terdorong semakin dalam. Bahkan mimpi-mimpi buruk semakin sering hadir dan untungnya ingatan seperti itu cepat sirna.
Catatan-catatan kecil seperti ini mungkin penting kelak, sebagai pengingat jika kita selamat, bahwa ada bencana besar yang pernah kita lewati.
Sekarang sudah pertengahan Mei. Tinggal menghitung jemari menyambut Idulfitri. Tapi masih berapa lama lagi kita harus berjuang? Tentunya, tanpa berharap pada negara apalagi kebaikan bapak dan ibu kos.
Monday, April 27, 2020
Sembilan
Monday, April 20, 2020
Bait-bait Yang Bicara
Sunday, April 12, 2020
Seandainya ...
Friday, April 10, 2020
Bocah
Aku ingin kembali menjadi bocah dan tak pernah tumbuh dewasa.
Usia yang paling aku impikan adalah ketika menjadi balita. Mungkin empat tahun. Karena ketika lima tahun, aku sudah mulai berseragam dan dipaksa bangun lalu mandi pagi. Pergi ke sekolah dasar tanpa melewati masa taman kanak-kanak, karena di usia lima aku sudah bisa membaca dan berhitung.
Kanak-kanak adalah masa keajaiban yang terampas saat kita perlahan-lahan tumbuh. Masa yang belum memikirkan tentang cinta, segala keributan orang-orang dewasa, atau keharusan untuk pergi bersekolah. Kita hanya hidup dalam dunia bermain.
Sesekali aku mencuri dengar kakak-kakak perempuanku berkisah tentang cinta monyet mereka di sekolah, sambil aku sibuk menghabiskan permen. Aku tak terganggu dengan kisah mereka, sebab yang ada di kepalaku hanya: apa yang harus kumakan setelah permen ini habis?
Aku termasuk anak yang dimanjakan karena bungsu dari banyak kakak. Mereka akan bergantian mencubit pipiku, memangkuku, atau membawaku pergi ke tempat-tempat baru yang belum pernah kujangkau. Tentu saja, ketika mereka memiliki sisa jajan sekolah, aku kerap diberi jatah meski tak pernah meminta. Pemilik warung-warung akan selalu tersenyum kepadaku, ketika kakakku membawaku berbelanja apa yang aku suka.
Nenek dari sebelah ibuku yang tinggal di rumah kami adalah idolaku. Nenek sering menyelipkan uang pemberian kerabat di gulungan sarungnya. Ia tak pandai berbelanja dan membagi uangnya kepada kami cucu-cucunya. Jika nilai uangku banyak, kadang kakak-kakakku kerap menipuku. Mereka akan berbelanja makanan ringan atau kue, lalu uang kembalian berlembar-lembar atau koin yang lebih banyak meski nilainya sedikit, akan mereka kembalikan kepadaku.
"Ini, uangnya jadi banyak, kan?"
Aku senang dan tidak merasa tertipu. Betapa menyenangkan menjadi anak-anak, bukan? Seandainya aku tumbuh dewasa dan menjadi seperti mereka, rasa-rasanya aku akan berbuat hal serupa.
Tapi kakak-kakakku kerap mengalah jika menyoal makanan. Bagi mereka, mulut mungil dan usus pendekku tentu membuatku lebih dulu kenyang. Sisa-sisa kue atau buah yang tak habis aku makan, selalu menjadi rebutan mereka. Aku kadang memutuskan kepada siapa sisa makanan kuberikan.
Semua hal di atas, tentu tak akan terulang lagi. Fisik kita terus bertumbuh, lalu berhenti ketika dewasa. Selanjutnya yang menjalar adalah pikiran dan hati. Kita mulai dikenalkan dengan cinta, sampai akhirnya menikah, lalu memiliki anak. Terasa aneh saat kita masih mengingat kenangan masa kanak-kanak, lantas melihat masa-masa itu dalam wujud berbeda dan kali ini ialah anak kita.
Mengenai percintaan, aku memiliki seorang kerabat laki-laki yang meski ia jauh lebih muda dariku, kami sering berbincang tentang dunia cinta. Aku kagum kepadanya, meski pernah sekali aku menyelamatkan kisah cintanya yang nyaris berakhir. Sampai suatu hari, kami tiba pada percakapan yang aku anggap puncak dari segala riuh sebuah hubungan.
"Kau tahu, kenapa banyak kawan-kawanku iri kepadaku?" katanya.
"Soal pacaran?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Mereka merasa iri, karena sedahsyat apa pun masalahnya, sampai aku ketahuan dengan cewek lain, pacarku tetap memilih bersamaku."
Aku kemudian ingat dengan beberapa film yang pernah aku tonton. Aku memaknainya bahwa sebuah hubungan yang berkali-kali diterpa badai namun bertahan olehnya, kelak hubungan itu akan sekokoh gunung. Bahkan ketika gunung menghancurkan dirinya sendiri, ia masih bisa disebut sebuah gunung.
"Seperti itu. Aku pikir, ketika masalah-masalah ini telah kami lalui, masalah berikutnya yang akan kami temui ketika menikah, hanya akan menjadi receh. Karena semua yang terberat sekalipun, berhasil kami lewati," katanya.
Itulah yang membuat aku kagum kepadanya. Ada banyak pasangan di luar sana, bahkan hidup bersama selama bertahun-tahun, baru mereka memutuskan untuk menikah. Mereka melewati dulu segala badai bersama, karena pernikahan bagi mereka begitu sakral untuk diakhiri dengan sebuah perpisahan.