Fanpage Bali Tolak Reklamasi |
Pukul 6 pagi, saya merinding. Bukan karena dinginnya udara pagi, tapi karena melihat postingan foto dan kalimat-kalimat perlawanan di sebuah fanpage facebook, Bali Tolak Reklamasi.
Saya menukil kalimat-kalimat yang membuat saya merinding itu di bawah ini:
Beberapa hari lalu, saat Jokowi datang ke Bali, aparat bersenjata menakut-nakuti rakyat memaksa menurunkan baliho-baliho Bali Tolak Reklamasi, mengintimidasi bahwa yang melawan akan ditangkap. Tapi rakyat bersikeras melawan, menolak menurunkan baliho.
Hari ini di Denpasar, rakyat Bali, ribuan orang turun ke jalan, menunjukkan lagi bahwa mereka tidak takut dan menolak tunduk.
Rakyat bersatu, berani, dan berlipat ganda. Rakyat telah memutusan puputan. Tolong minggir jika tidak mau digilas!
#TolakReklamasiBerkedokRevitalisasiTelukBenoa
#BatalkanPerpresNo51Th2014
#PuputanTelukBenoa
Semangat itu, serupa dengan semangat 9 perempuan Samin yang tempo hari mengecor kaki mereka dengan semen di depan Istana Presiden, karena ingin menolak pabrik semen. Semangat yang sama dengan ibu-ibu Samin yang mendirikan tenda-tenda, juga untuk menolak semen di tanah Samin.
Saya kira, rakyat sudah lelah dengan mereka yang di Jakarta sana. Mereka yang menganggap Indonesia hanyalah Jakarta. Mereka yang suka mengambil keputusan seenaknya dari Jakarta. Bahkan, nasib rakyat Papua pun mereka yang memutuskan, dengan mengirim bala tentara ke sana. Memerangi rakyat, bukan mendengarkan keluh kesah, dan mengobati derita rakyat.
Di sini, saya bukan menyalahkan warga Jakarta tentunya. Tapi mereka yang berkantor di Jakarta. Mereka itulah apa yang dengan begitu hormatnya kita sebut 'pemerintah'. Sebutan yang bahkan menurut saya, memiliki arti yang cukup arogan sesuai etimologisnya yang berasal dari kata 'perintah'. Pusat orang-orang yang memerintah ada di Jakarta.
Hingga kini, perjuangan rakyat Bali, Samin, dan Papua, adalah juang yang melekat karena adat istiadatnya terus terjaga. Perjuangan itu lahir dari pesan-pesan leluhur bahwa alam harus dijunjung tinggi. Hutan adalah ibu. Gunung adalah kepala. Sungai adalah nadi. Dan lautan adalah darah. Dan amanat itu kerap mereka jaga, bahkan meski darah harus tertumpah.
Bali sendiri, memiliki adat dan budaya yang begitu erat. Saya pernah tinggal di Bali hampir setahun. Di sana, pada suatu sore secara tidak sengaja di Pantai Seminyak, seorang turis Jerman yang sudah fasih berbahasa Indonesia sebab dulu pernah tinggal selama dua tahun di Bali (saya tahu setelah perkenalan), menyapa saya lalu mengatakan pendapatnya tentang Pantai Seminyak.
"Pantai ini sangat indah," katanya. Turis laki-laki itu berusia sekitar 40an. Ia lalu menawarkan sebotol bir dingin.
Ia lantas bercerita, tentang pertama kalinya berkunjung ke Bali. Sekitar tahun 2000. Di Bali, ia bertemu seorang perempuan Jerman juga di sebuah kafe di Seminyak. Kafe yang sederhana dan tentu saja bergaya khas Bali. Hubungan mereka terus berlanjut, sampai akhirnya menikah setelah mereka kembali ke Jerman. Mereka dikarunia seorang putri.
Untuk kedua kalinya mereka berkunjung ke Bali setelah sekian tahun. Sambil mengajak putri mereka satu-satunya. Mereka ingin mengenang kembali perjumpaan itu. Juga untuk menceritakan kisah cinta mereka kepada putri satu-satunya. Tapi, kafe yang menjadi awal perjumpaan itu telah berubah sesampainya mereka di Bali. Kafe itu berubah menjadi megah. Hilang sudah kenangan itu. Ia sangat menyesalinya.
Kemudian ia menunjuk perempuan berambut matahari di bibir pantai, yang sedang bermain buih ombak dengan seorang anak perempuan. "Itu istri dan anak saya."
Sebelumnya, saya pernah menulis tentang Bali yang tak lagi purba di blog ini. Saat menulis itu, saya juga masih berada di Bali. Hanya ketika berada di Bali, saya pernah menulis di blog ini, setiap hari satu tulisan. Sebab apa yang tidak bisa dituliskan di Bali, dengan panorama alamnya yang begitu indah. Orang-orang yang lalu lalang dan kerap kali tersenyum. Dan negeri yang membuat saya seperti sedang berada di masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu.
Di Bali sendiri, sangat jarang ditemukan gedung-gedung jangkung. Hampir semua gedung hanya terdiri dari tiga lantai. Beruntung ada aturan adat dan istiadat di Bali, yang melarang bangunan tidak boleh lebih tinggi dari Pura. Atau lebih dari tiga lantai. Meskipun ada sebuah hotel yang bangunannya melebihi tiga lantai, seingat saya, mungkin sampai sepuluh lantai. Namanya Sanur Beach Hotel.
Sejauh yang saya tahu hotel itu dibangun atas permintaan Bung Karno kala itu. Hotel itu pernah terbakar di tahun 90-an kalau saya tidak salah mengira. Tapi kembali dibangun karena menjadi tempat bersejarah. Saya pernah ke hotel itu sekali. Sewaktu diundang oleh Tisnaya Kartakusuma dan mendiang istrinya Henny Hakim (kakaknya Christine Hakim).
Ketika hendak masuk ke halaman parkir, pepohonan raksasa merangkul hotel itu. Di lobi, ada aroma dupa yang khas. Eskalator dan liftnya berderak seperti batuk orang tua ketika saya naiki. Dari balkon kamar hotel, kami bisa menikmati pantai yang begitu indah di bawah sana. Meski saat itu malam hari, namun bibir pantai begitu terang oleh lampu-lampu yang, menerangi sepanjang pantai. Pepohonan kelapa berderet rapi. Kolam biru seperti langit di bawah sana.
Saya dihadiahi buku yang menuliskan tentang ayahnya, Letjen TNI MMR. Kartakusuma, Sosok Prajurit & Pemikir, yang ditulis Hikmat Israr. Buku itu diberikannya, tepat sejam lagi saya ulang tahun, 12 April 2013. Saya juga memberinya buku, Soegija karya Ayu Utami. Buku bergambar yang ringan dibaca di pesawat nanti, jika ia dan istrinya pulang ke Jakarta. Cincin hiris berpola bintang hiriz kepadanya.
Tak hanya hotel bersejarah itu yang menjadi pilihan para wisatawan. Bahkan di Ubud, salah satu wilayah perbukitan di Bali yang bangunannya masih begitu purba, menjadi destinasi pariwisata favorit. Banyak artis-artis dunia yang memiliki vila di sana. Mereka memilih Ubud, karena alamnya yang asri dan kotanya yang serupa kerajaan Hindu. Kita seperti kembali ke masa lalu.
Jika Teluk Benoa hendak dibikin semegah-megahnya. Saya kira untuk menarik turis mancanegara menyukai Bali, tidak perlu membangun gedung-gedung megah. Turis-turis itu sudah puas bermegah-megahan di negeri asal mereka. Apalagi yang tak megah di negeri mereka, bahkan kakus pun begitu megah. Itulah mengapa mereka berdatangan ke Bali. Ingin merasakan panorama alam yang tidak mereka dapati di negeri mereka. Bangunan-bangunan yang berornamen khas.
Kepada rakyat Bali yang terus berjuang menolak reklamasi di Teluk Benoa, saya pasti akan kem-Bali ke Bali untuk melihat hasil perjuangan kalian terwujud. Melihat Teluk Benoa yang tetap menjadi tempat penghidupan bagi para nelayan di sana. Pun tetap menjadi habitat ikan-ikan sebagai penopang kehidupan mereka.
Teruslah berjuang rakyat Bali! Sebab bukan hanya turis-turis mancanegara yang ingin mengenang Bali. Saya dan siapa saja di pelosok negeri ini yang pernah ke Bali, pun ingin mengenang Bali dengan aroma bunga kemboja dan dupanya. Dan siapa saja yang hendak mencuri kenangan itu, maka layak untuk mereka sebuah: "PERANG PUPUTAN!".
No comments :
Post a Comment