Sumber foto: kemanusiaan.id |
Yuyun kemudian bercerita kepadaku…
Setelah kejadian itu, aku lebih suka di kamar. Dari lantai atas kamarku, di rumah dari susunan papan, aku suka duduk di tepi ranjang lalu menatap ke luar jendela. Aku seperti boneka kayu.
Aku belum bisa bersekolah. Masih sangat trauma dengan kejadian itu. Juga malu kepada teman-temanku. Tapi, kenapa aku harus malu? Aku korban di sini.
Kemarin, ketika aku sedang melamun, ibuku datang. Dia mengelus pundakku kemudian menawari aku makan. Lama baru aku menggelengkan kepalaku. Aku hanya ingin rebah. Aku berpinta lewat gerak bola mata. Ibu memapahku berbaring di ranjang berkasur tipis. Setipis harapanku.
Ibu pamit kembali ke dapur, menemui ayah yang baru pulang nguli. Kemudian bayang-bayang di karet, di karet, di karet itu aku diseret, kembali hadir. Aku menutup mataku rapat. Tapi peristiwa itu terlanjur penuh di seisi kepalaku.
Segala macam kemungkinan aku bayangkan. Andai saja aku menunggu teman-teman untuk pulang bersama. Atau aku naik mobil angkutan umum, yang biasa lewat di perkebunan karet itu. Tapi saat itu aku tak punya uang. Bahkan untuk jajan di sekolah, aku pun tak punya. Aku memilih mengenyangkan perut dengan ubi rebus setiap pagi hari, sebagai pengganjal perut sampai waktu pulang sekolah tiba.
Tapi semua bayangan kemungkinan itu percuma. Aku sudah melewati jalan itu dengan ikhtiar yang satunya lagi, yang membawaku pada takdir yang saat ini aku alami.
Kemarin, ibu bilang para pelaku sudah ditemukan. Dari 14 remaja, sudah 12 yang ditangkap. Mereka mencoba lari ke luar kota. Tapi polisi-polisi berhasil mengendus keberadaan mereka satu per satu. Ibu mengatakan itu dengan mata berair. Kali itu aku melihat ibu begitu sedih.
Ayah dan ibu pernah bilang, kalau mereka ingin semua pelaku dihukum mati. Tapi aku coba berkata-kata meski terbata-bata. Bahkan seandainya jika saat itu aku terbunuh, apakah pantas nyawa harus dibalas nyawa? Memang para pelaku hanya dituntut 10 tahun. Sidang sedang berjalan.
Ayah dan ibu tetap bersikukuh. Apa yang setimpal dengan perbuatan para pelaku, memang hanyalah kematian. Sama seperti kebanyakan orang yang menilai balasan apa yang pantas, untuk kebiadaban yang para remaja itu lakukan kepadaku.
Di persidangan, aku sebenarnya masih muak dijejali pertanyaan-pertanyaan. Sama seperti ketika polisi dan wartawan menanyaiku. Aku masih sangat trauma. Aku hanya ingin di kamar saja.
Aku belum mau memikirkan hukuman apa yang pantas kepada para pelaku. Tapi semua orang sudah mulai melontarkan kebencian mereka. Ada yang bilang dihukum mati. Ada yang menyalahkan cara orangtua para pelaku mengasuh anak mereka. Ada pula yang bilang karena minuman keras yang mereka tenggak. Karena film porno. Karena pemerintah yang membiarkan kemiskinan. Dan… semua tuduhan-tuduhan yang bahkan belum berada dalam pikiranku.
Aku korban. Usiaku 14 tahun. Dan aku belum menuduh apa-apa dan memutuskan hukuman apa yang layak bagi mereka. Apakah semua hukuman itu memang layak?
Orangtua para pelaku, pasti saat ini mencemaskan anak-anak mereka yang akan dihukum. Juga malu atas perbuatan anak-anak mereka. Tetangga-tetangga pasti mencibir.
Orangtua para pelaku pasti sama seperti orangtuaku yang juga mencemaskan aku. Meski berbeda kecemasan, tapi posisi orangtua memang kali ini setara. Sama-sama terpukul. Bahkan, sebenarnya aku sendiri tidak bisa menakar kecemasan mereka.
Orangtua mana yang ingin anak-anak mereka berperilaku tidak senonoh?
Orangtua mana yang ingin anaknya diperlakukan tidak senonoh?
Kemarin, orangtua para pelaku menyampaikan permintaan maaf. Pelaku-pelaku juga menitipkan maaf. Orangtuaku enggan memberi maaf.
Apa jadinya, jika aku memaafkan mereka?
Ah, pohon-pohon karet yang menjadi saksi bisu itu, mungkin bisa aku tanyai. Hukuman apa yang pantas untuk anak-anak manusia itu.
No comments :
Post a Comment