www.sufisme.com |
Di bawah ini, saya akan coba merangkum sebuah percakapan apik antara penulis dan juga penyair asal Manado, Haz Algebra dan penyair asal Gorontalo, Jamil Massa.
Percakapan ini menubuh di jejaring sosial facebook, usai saya mengunggah sebuah tanggapan tentang cerpen karya Haz. Saya sengaja merangkumnya, karena percakapan setelahnya, menurut saya cukup memberi arti dan pengetahuan kepada saya.
Awalnya saya menautkan tulisan dan menandai Haz di facebook. Saya hanya mengedit percakapan ini dari typo (sebatas kemampuan saya), agar pembaca sedikit terbantukan. Simak di bawah ini:
Kristianto Galuwo (Saya): http://sigidad.blogspot.co.id/2016/01/segulung-kalimat-usang-dalam-kepala.html
Haz Algebra (Haz): Wah, ada fragmen memori yang menunggu meledak. Izin saya baca tuntas dulu saudaraku. Aromanya terasa kalau pedas. Heuheu.
Saya: :)
Haz: Maaf atas keterlambatan merespon tulisanmu. Saya baru bisa publish hari ini. Semoga berkenan. Heuheu http://hazbook.blogspot.co.id/2016/01/homo-mimesis-dan-seorang-pembaca-yang.html?m=1
Saya: Iya terima kasih
Muzakir Rahalus: Mantab (yang dimaksud, mantap). Menyimak dulu.
Saya: http://sigidad.blogspot.co.id/2016/01/haz-itu-tulisan-atau-tisu.html
Jamil Massa (Jamil): Ini polemik penting, bagi kesusastraan Sulut-Gorontalo. Selamat untuk kawan berdua. Saya cukup menyimak saja.
Haz: Selamat pagi, bung Jamil Massa. Salam hangat dari saya. Hamdalah, semakin hari semakin terapresiasi, meski setiap pembaca saya punya caranya masing-masing.
Mengenai respon saya terhadap respon seorang pembaca terhadap tulisan yang saya tulis 5 tahun lalu itu. Saya tidak pernah menganggapnya sebagai polemik, meski yang hendak menganggapnya sebagai polemik, kini atau kelak, itu sah-sah saja. Dan saya akan selalu mengafirmasinya.
Tentang respon balik dari Kristianto Galuwo atas respon saya atas respon dia terhadap cerpen saya, saya anggap saja sebagai tornado hasil dari kepakan sayap kupu-kupu saya di tulisan sebelumnya. Dan saya berkenan, juga tidak akan meredakannya.
Saya, selaku pengarang cerita itu, merasa tidak berpolemik dengan siapa-siapa. Apa saya berpolemik dengan Krist? Tunggu dulu. Sebagai apa saya harus memandangnya dari posisi saya? Sebagai kritikus? Kompetensinya dari mana? Buku-buku (kritik sastra) apa saja yang ia sudah tulis? Tentunya saya akan belajar banyak dari cara kepenulisannya. Tapi tak ada. Lalu? untuk semua ini, orang Gorontalo bilang: "maksud le hasan?"
Atau sebagai pembaca? Jika sebagai pembaca saya sudah meresponnya dengan surat kepada pembaca di blog saya. Semua terafirmasi tanpa beban. Dan posisi saya sebagai pengarang terhadap pembaca harus luluh, tak bisa berbuat apa-apa. Sebab pembacalah yang punya otoritas penuh ketika teks telah selesai ditulis.
Jadi, jika hal lumrah ini hendak diangkat sebagai polemik, harus fair donk. Mosok saya harus berpolemik dengan orang yang menyinyiri karya orang lain sementara dia sendiri tak punya karya. Kan, jadi gosip ibu-ibu. Orang Manado bilang, "siapa ngana?". Itu barangkali intinya. Salam hangat.
Seorang pembaca lain juga 'tega' menulis ini terhadap tulisan saya. dia kirim via email. Seorang teman jurnalis meng-upload-nya di sini http://www.suluttoday.com/2016/01/14/kau-tidak-menulis-haz-kau-berak/
Saya salin juga ke sini: “Kau Tidak Menulis, Haz, Kau Berak!” http://hazbook.blogspot.co.id/2016/01/kau-tidak-menulis-haz-kau-berak.html
Dan, saya hanya bisa bungkam atas kuasa para pembaca. Thanks.
Jamil: Po·le·mik n perdebatan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka dl media massa; -- sastra tukar pikiran antara dua pihak yang berbeda paham tentang masalah sastra, jika berbentuk tulisan disebut (perang pena); ber·po·le·mik v berdebat (berbantah, berbahasa) melalui media massa (dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya.
Salam, saya pikir penjelasan yang saya kutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline versi 1.5.1 di atas, sudah cukup menjawab keberatan Haz soal istilah polemik yang saya tuliskan pada komentar sebelumnya. Selama ada dua pemahaman yang berbeda tentang suatu hal dan itu dikemukakan di media massa, maka itu adalah polemik bagi saya. Blog--meski kemudian disebut media online--dan facebook--media sosial--telah memenuhi sejumlah kriteria "media massa", salah satunya dibaca oleh orang-orang dari beragam lapisan. Maka lagi-lagi menjadi sah andai perang tulisan kawan berdua saya kategorikan sebagai polemik, yang dapat saja memberi manfaat kepada segenap pembaca selama polemik dilaksanakan secara sehat dan mendidik.
Persoalan latar belakang Kristianto yang dianggap tidak pernah kedengaran kiprahnya dalam dunia kritik sastra, saya rasa itu tidak perlu jadi soal. Persoalkan saja metodenya, tanpa perlu menyerang pribadi. Metode kritiklah yang seharusnya disanggah, bukan rekam jejak orang yang melontarkan kritik. Dengan demikian kita dapat menyaksikan sebuah adu gagasan yang sehat.
Sejauh ini saya sungguh tak dapat melihat hubungan analogis antara 'tanggapan pembaca' Kristianto dengan nyinyiran ibu-ibu penggosip. Bukankah Kristianto mempersoalkan sesuatu yang sifatnya publik, yaitu sebuah karya sastra yang sudah dipublikasi? Tidak seperti ibu-ibu penggosip yang menggunjingkan masalah pribadi tetangga atau publik figur. Kristianto juga menyuarakan keresahannya secara terang-terangan, tidak seperti penggosip yang galibnya menggunjing di belakang punggung orang yang dibicarakan. Sebuah karya sastra merupakan teks yang bebas dibicarakan oleh siapa pun dia, apa pun latar belakangnya, dari mana pun dia berasal.
Sedikit saja dulu untuk saat ini. Salam.
Haz: Saya bersepakat tidak fair jika ada argumentum ad hominem (menyerang orang bukan argumennya). Tapi saya tidak bersepakat tentang otoritas pelaku polemik tidak dipertanyakan secara genealogis. Sebab bagaimana argumen itu bisa dipertanggungjawabkan, diuji, diverifikasi, jika tak ada kompetensi terhadap otoritasnya sebagai pembuat argumen? Demikian halnya perlakuan Kristianto Galuwo terhadap karya saya, mempertanyakan, menggugat, mendakwa otoritas saya sebagai produsen teks.
Haz: Artinya, dalam kasus ini, saya mengikuti alur pikir pembaca, yang menganggap masih ada integrasi antara pengarang dan karangannya. Sehingga, jelas pembacaan secara genealogis juga diperlukan. Salam hangat.
Haz: Dan saya masih terus bertanya. Sebagai apakah saya harus meresponnya? Jika sebagai pembaca, sekiranya surat saya di blog sudah melakukannya. Apapun kekurangannya, demikianlah batasan pengetahuan saya terkait teknik kepenulisan. Dan itu adalah pikiran saya 5 tahun yang lalu. Tapi jika sebagai kritikus, maka pembicaraan dibawa ke ranah agak 'ilmiah', term 'kritikus' harus diuji dulu.
Haz: Dan, membaca kembali tulisan Kristianto Galuwo terhadap tulisan saya, saya belum bahkan tidak melihat metode di sana; tentang bagaimana seharusnya sebuah tulisan disebut tulisan. Entah.
Jamil: Salam, Haz dan Kristianto. Saya sudah membaca bolak-balik tulisan pertama Kristianto tentang "Serat Dapala", dan sungguh saya tidak menemukan upaya mendaku sebagai kritikus sebagaimana yang kawan Haz dakwakan. Jadi sebijaknya kawan Haz kembali memosisikan Kristianto sebagai pembaca kritis saja. Pembaca yang merasa ada bau plagiasi dalam "Serat Dapala".
Saya pikir tidak butuh metode muluk-muluk untuk menuding satu karya sebagai hasil plagiasi dari karya sebelumnya. Modalnya cukup kepekaan dan pembacaan yang intens. Dengan demikian perdebatan tidak perlu melebar, apalagi sampai mempertanyakan genealogi bacaan dan pengetahuan si pembaca segala. Masing-masing kita punya tafsir tertentu terhadap suatu teks, itu saja yang perlu diperbandingkan, tanpa perlu beradu panjang daftar bacaan--sebuah gaya berdebat yang saya pikir agak kekanak-kanakan.
Kalau saya jadi Haz, saya akan berterimakasih, karena setidaknya tulisan saya sudah dibaca dan dikuliti. Lagipula Haz sendiri sudah menyatakan, tak ada upaya metodologis yang berarti dalam tulisan tersebut, jadi malah lebih baik tulisan itu tidak usah ditanggapi sama sekali. Kalaupun pun pembuat teks merasa perlu memberi satu dua tanggapan, tanggapi pakai senyum saja. Hehehe.
Kalau mau tanya ke saya, sebenarnya yang kawan berdua perdebatkan ini adalah masalah teknis dan etika belaka, namun karena Haz sudah menyinggung perihal intertekstualitas dan kecenderungan manusia sebagai homo mimetis maka hal ini menjadi melebar, agak jauh melampaui soal teknis dan etika semata. Berat karena sudah menyinggung filsafat kesenian secara holistik. Dan karena itu menjadi penting untuk dijabarkan lagi sejauh apa batasan antara "terilhami" dan "meniru habis-habisan". Repotnya, dalam seni sastra, tak ada konvensi semacam itu, setidaknya tidak seperti seni musik yang sudah menetapkan batas delapan bar sebagai standar indikator orisinalitas sebuah karya. Dalam dunia sastra, menyatakan sebuah karya plagiat atau tidak terpaksa harus dilakukan dengan cara meraba-raba sembari membongkar-bongkar lemari ingatan. Inilah yang kemudian diadu, dikonfrontasikan, ingatan Kristianto sebagai pembaca dengan ingatan Haz sebagai.... pembaca yang lain (sebab kata Barthes, pengarang sudah mati manakala teks telah dilepaskan ke haribaan majlis pembaca).
Persoalan kedua, yaitu persoalan etik, sesungguhnya adalah sejauh mana penulis berterimakasih kepada penulis-penulis atau produsen teks di masa lalu yang telah memberikan ilham kepadanya. Rasa terima kasih itu secara kasatmata dapat ditunjukkan dengan menuliskan sumber di catatan kaki atau kredit pada halaman belakang jika sebuah karya sudah dibukukan. Seno Gumira Ajidarma misalnya, masih merasa perlu menuliskan catatan di akhir cerpen "Dodolitdodolitdodolibret" (Kompas, 26 September 2010), padahal yang ia jelaskan adalah bahwa cerita tersebut terilhami dari kisah-kisah dalam kitab suci. Sementara kita tahu, kitab suci adalah sebuah teks yang sangat umum, sangat sering dikutip, namun Seno sebagai penulis yang amat bertanggungjawab dan sangat mempertimbangkan etika tetap saja meletakkan penjelasan itu di akhir karyanya.
Eko Triono dalam catatan akhir cerpennya yang berjudul "Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-Pohon?" menjelaskan dengan terang-terangan bahwa ia mengutip dua kalimat dari puisi "Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam" karya Goenawan Mohamad. Hanya dua kalimat! Dan itu menurut hemat saya sama sekali tidak memalukan, malah mengagumkan karena Eko secara kreatif telah melakukan dekonstruksi maknawi atas teks sebelumnya, seraya melakukan alih wahana di waktu yang bersamaan. Ada begitu banyak contoh lain yang pernah ditunjukkan para penulis besar dalam bagaimana menghargai sebuah parafrase. Barangkali, hal etik ini saja yang dituntut seorang Kristianto Galuwo. Barangkali saja.
Ah, perbincangan semacam ini rasanya akan lebih enak kalau diiringi seruputan kopi, ya? hehehe. Salam hangat dari Gorontalo.
Haz: Terimakasih bang Jamil Massa atas koreksi terhadap kenaifan kami. Saya pun sudah dan selalu berterimakasih dan mengucap syukur 'hamdalah' setiap kali ada pembaca yang menginterpretasi tulisan saya.
Mungkin saya hanya agak terganggu dengan argumentum ad hominem dari pembaca. Harap maklum, saya masih dalam proses berkembang biak. Hehe.
Pada laman status yang lain, saya juga sebenarnya sudah memberikan catatan kaki untuk 'kutipan sajak Gandari' sebagai revisi dari Serat Dapala yang sudah penuh sarang laba-laba di pojokan Kompas itu. Dan, dalam buku yang memuat cerita Serat Dapala saya juga mengucap terimakasih kepada para 'penghuni asli planet sastrawi' (dengan menyebut nama satu persatu) yang dalam proses produksi teks mau tidak mau saya mengakui adanya 'andil' mereka. Inilah yang saya pertanyakan kepada saudaraku Kristianto Galuwo, apakah sudah membaca buku saya itu sebelum membuat interpretasi (maaf dengan nada emosi) "jahat" atas karya saya. Hehe.
Insyaallah bang, saya juga sering ke Gorontalo tapi mungkin belum sempat jumpa jiwa dengan pegiat sastra di sana. Insyaallah kita bisa bersua di sisi meja yang sama.
Selanjutnya, percakapan tinggal tegur sapa, dan saling ajak untuk ngopi bersama. Dari hasil rangkuman di atas, terus terang saya banyak menimba pengetahuan tentang sastra. Sengaja saya memutuskan untuk diposting di blog, jauh setelah percakapan ini di awal tahun baru 2016, agar menjadi referensi saya kelak. Terima kasih untuk kalian.
No comments :
Post a Comment