Simpang lima di Kota Gorontalo |
Menyeret ingat ke masa lalu itu tidak mudah. Selain bola mata menggelinding ke penjuru segala, maka kenyataan bahwa usia kita sudah semakin tua, akan lebih terasa. Iya, saya coba untuk mengingat kapan kali pertama berkunjung ke Kota Gorontalo.
Menyerah dengan ingatan yang mulai tumpul ini, akhirnya saya hanya coba mengira saja. Barangkali itu di tahun 2001-2002. Saya memancang kira saya di tahun itu, berdasarkan tahun di mana tragedi serangan di World Trade Center (WTC), Amerika Serikat, 11 September 2001. Tanggal, bulan, dan tahun yang sama ketika kami pemuda dan pemudi Desa Passi, mengaku mencintai alam dan berbahasa satu bahasa binatang, membentuk Kelompok Pecinta Alam (KPA) Bogani Mongondow Lestari (Bomlest).
Sekitar beberapa bulan terbentuknya KPA Bomlest, saya yang paling belia di organisasi itu, diutus bersama dua anggota KPA lainnya menuju Kota Gorontalo. Satu orang perempuan bernama Widi dan satu orang laki-laki bernama Debe. Rekan saya Debe, sekarang ini adalah Sangadi (kepala desa) Passi. Debe adalah akronim dari Delianto Bengga. Karir hidupnya terus tumbuh besar selaras dengan tubuh raksasanya.
Kami bertiga menuju Gorontalo dengan bis antar kota. Dan di situlah, awal kebencian saya akan Gorontalo. Sialan! Jauh sekali. Lima kali saya tertidur di bis. Tiap kali terbangun, saya coba bertanya ke penumpang lainnya, apakah Gorontalo masih jauh? Saya mendapati jawaban: jauhnya seperti jarak dari sini kembali ke Kotamobagu. Saya kembali tidur usai mengumpat. Umpatan yang kesekian kalinya dalam hati.
Seingat saya, Widi dan Debe, tidak satu bis dengan saya kala itu. Alasan kenapa, saya pun sudah lupa. Itu sekitar 14 tahun yang lalu. Beratus purnama serupa rentang waktu yang dilalui Rangga dan Cinta.
Belum sampai di Gorontalo, dalam hati saya berjanji tidak akan pernah menginjak kota itu lagi. Tapi pikiran untuk jarak yang akan ditempuh jika kembali nanti, mulai membikin perut saya mual. Sialan! Ini baru perjalanan menuju Gorontalo.
Di dalam bis, saya coba menepis pikiran soal jarak, dengan memikirkan materi yang akan kami pelajari di Gorontalo. Kami bertiga akan mengikuti pelatihan Global Positioning System (GPS), di kantor Jaringan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Japesda). Saya baru ingat kalau tempat pelaksanaan kegiatan itu di kantor Japesda, setelah diberitahu Debe beberapa bulan yang lalu (di tahun ini).
Di sana kami akan diberi materi dan cara melihat peta di komputer. Tiba-tiba rasa cemas datang. Saya tidak bisa mengoperasikan komputer. Sialan! Saya bakal dirisaki.
Akhirnya, setelah perjalanan yang memualkan, sampai juga di negeri serumpun itu. Kami segera menuju kantor Japesda yang terletak di depan SMK Negeri (lupa, 1, 2, atau 3) Kota Gorontalo. Teman sekampung saya, Yunus, bersekolah di situ.
Sebelum bertemu Yunus, kami bertiga yang akhirnya bertemu di terminal Andalas, diantar menuju ke penginapan. Saya lupa lagi nama hotelnya, tapi karena hotel itu di atas air, mungkin... Hmm... Namanya Hotel Teratai. Ah, sudahlah, saya tidak ingin membuat dahi saya semakin mengerut karena memikirkan nama hotel yang, penuh dengan nyamuk itu.
Saya segera mengabari Yunus. Lalu dijemputnya untuk bersilaturasa ke kamar kosnya yang, baru itu kali saya menyaksikan seekor kucing dicakar tikus. Pertarungan antara kucing dan tikus itu berlangsung streaming di atap rumah tetangga. Kamar kos yang berada di lantai dua, membuat saya seolah-olah di zaman Romawi Kuno dan sedang berada di Colosseum, menyaksikan pertarungan antara Gladiator dan binatang buas. Tapi kali itu, yang buas adalah tikusnya.
Keesokan harinya, saya mulai mengikuti materi di kantor Japesda. Semua peserta saling berhadapan mengelilingi meja persegi panjang. Di depan kami masing-masing ada komputer. Sialan! Setetes keringat menggantung di ujung kening saya. Saya pasti akan menjadi bulan-bulanan karena ketahuan tidak bisa mengoperasikan komputer. Dan... Panggilan 'Pentium 1' mulai melekat kepada saya sejak hari itu.
Usai materi, kami praktek di lapangan. Kami sempat diajak ke salah satu air terjun di Suwawa. Juga mengunjungi kantor gubernur yang baru saja akan dibangun di puncak. Seingat saya, banyak warga yang mengeluhkan pembangunan jalan menuju kantor gubernur kala itu. Sebab selalu ada longsoran yang menimpa lahan kebun mereka.
Mungkin hampir seminggu kami di Gorontalo. Selama menerima materi, hanya beberapa item yang bisa saya pahami. Yang lainnya... Pentiuummm saaatuuuuu.
Akhirnya tiba waktu kami untuk kembali ke Kotamobagu. Kemudian ingatan tentang jarak yang akan kami tempuh kembali menghantui. Yunus menyarankan, agar saya pulang bersama dia sebulan lagi. Saya yang kerap merasa mual mengingat perjalanan kembali, akhirnya sepakat untuk tinggal sebulan di Gorontalo.
Setelah menghabiskan waktu yang panjang di Gorontalo, saya dan Yunus kembali ke Kotamobagu. Bis yang kami tumpangi sempat bertabrakan dengan truk. Beruntung bis tidak oleng dan hanya mengalami kerusakan ringan di bagian depan. Kaca depan hancur dan rontok - ringan jatuh - ke aspal jalan maksudnya. Tapi semua penumpang selamat dan tidak mengalami luka serius. Hanya, ada kejadian lucu di dalam bis ketika saya tertidur. Ah, pokoknya itu tentang air liur. Tamat!
Sewaktu kembali ke Kotamobagu, tentu saja itu masih di sekitar tahun 2001-2002. Saya terlanjur berjanji untuk tidak akan pernah lagi menginjak Gorontalo yang sialan jauhnya itu. Tapi beberapa tahun kemudian, dengan rentang waktu yang cukup lama, sebuah perjalanan terpaksa menyeret saya ke kota itu lagi. Masih coba mengingat tahun, mungkin sekitar 2011-2012. Saya bersama Uwin.
Satu kali lagi perjalanan bersama kru Lintas BMR mungkin di tahun yang sama. Berarti itu sudah yang ketiga kalinya. Lalu, saya lupa tahun tepatnya, mungkin sekitar awal 2014, satu ajakan lagi dari teman fotografer, Wanto, yang akhirnya memaki di dalam mobil, karena sebelumnya mengira saya dan Gun bisa menyetir mobil.
"Jadi ada muat dua ekor babi kita ini dang!" umpatnya, setelah tahu saya dan Gun memang dua ekor babi yang ingin tiduran saja di dalam mobil. Pergi-pulang, dia yang akan menyetir.
Kami bertiga (hanya saya bukan fotografer) menghadiri acara ulang tahun komunitas fotografer, Spoters. Lalu perjalanan yang kelima kalinya bersama Uwin. Setelah itu, perjalanan keenam, saat lebaran Ketupat bersama Kabag Humas Bolmut, Khris Nani, beserta kru.
Tahun 2015 adalah yang ketujuh, angka yang sama dengan waktu tempuh Kotamobagu-Gorontalo. Teman saya Nev, berkenan untuk mengantar saya menuju Gorontalo. Saya sudah bertekad untuk bergabung bersama Aliansi Jurnalis Indonesia, eh, Independen (AJI) Kota Gorontalo.
Barangkali ada satu-dua perjalanan yang terlewati. Tapi hanya sekuat itu ingatan saya. Di tahun 2016, setelah sebuah perjalanan singkat ke luar kota, saya sempat pulang ke Kotamobagu. Lalu kembali lagi ke Gorontalo, untuk yang kedelapan kalinya. Masih terhitung dengan jari. Dan, tetap saja jarak ke Gorontalo itu memang sialan jauhnya.
Tapi, Kota Gorontalo akan selalu saya rindukan. Di sana, bermacam-macam komunitas membuat setiap akhir pekan, begitu ramai dengan segala. Saya setelah kembali ke Kotamobagu, kerap kali kecewa sebab ada saja kegiatan-kegiatan menarik yang terlewati. Dari pentas teater saat peringatan Hari Bumi. Nonton bareng dan diskusi film dokumenter terbaru. Membincangkan banyak hal yang menambah ilmu gratisan. Meliput bersama beberapa jurnalis di hutan. Malam musikalisasi puisi. Membikin mural di tembok-tembok kota. Dan hal-hal yang tak pernah akan saya dapati di Kotamobagu.
Di sini, di Kotamobagu, memang mulai satu per satu corak kegiatan yang beda coba dibangkitkan. Selebihnya yang itu-itu saja. Tapi, saya selalu lemas saat melihat kenyataan bahwa generasi muda di sini, ah, lesu. Bahkan sebagai seorang jurnalis, tak ada secuil cakap yang bisa diajak bertukar-tangkap, kendati itu hanya lewat film-film bertema jurnalistik di layar tancap. Ajakan beberapa kali terujar, tapi begitulah... Nihil! Mokotompok! (bekeng pastiu).
Untuk sekian banyak alasan itu, saya akhirnya kembali memilih untuk meninggalkan Kotamobagu. Melompat ke ibukota Sang Utara. Benar sudah kata Ayah Amato (panggilan saya kepada Amato Assagaf) tentang saya: di mana ada pesta, di situ ada saya.
Meski rumah belajar Saung Layung Arus Balik merantai kaki ini. Dan itu adalah hal yang terberat (mar cuma di Manado kwa, Shandry). Tapi seperti inilah jalan ninja seorang jurnalis. Melompat, terbang, melubangi tanah, berjalan di atas air, menunggangi awan, dan memanjat pohon tinggi.
Kami akan selalu merentang perjalanan sembari menabung rindu.
No comments :
Post a Comment