Andi sedang berpuisi |
20 Mei 2014, saya dan Shandry Anugerah, sepakat menamai rumah belajar kami: Saung Layung Arus Balik (SLAB). Itu nama yang ditemukan di tepi kolam ikan. Sudah pernah saya tuliskan sebelumnya di sini.
Beberapa kali pertemuan, anggota SLAB bertambah. Banyak yang ikhlas menjadi relawan. Tentunya untuk mengajar di SLAB.
Namun seiring waktu, satu per satu pergi. Sebab SLAB terlelap untuk waktu yang panjang. Kami juga tak menyalahkan mereka yang memilih pergi. Tapi kami yang tersisa, coba tetap menjaga nyala SLAB. Sebab ia adalah suluh. SLAB menjadi semangat kami untuk terus memikirkan nasib manusia lainnya. Mereka yang tak seberuntung kami.
Dua tahun berjalan, ketika itu SLAB terlelap. Hanya sesekali ia bangun saat kami tengah berada di kedai kopi. Membicarakan hal-hal yang kembali memantik nyala itu.
Akhirnya, teman saya, Shandry, memiliki pekerjaan yang membuatnya mau tidak mau, harus menetap di desanya. Saya pun memutuskan kembali ke desa, sebab guna apa belajar jika pengetahuan yang terberi tidak kita bagi-bagi.
Shandry, dengan sisa nyala suluh itu, membakar semangat pemuda di sekelilingnya. Kemudian SLAB, pada Jumat 6 Mei 2016, terbangun dari tidur panjangnya. Bangun yang memancing dengus semangat kami seketika.
Saat melihat foto yang dipajang Shandry di BBM, ketika anak-anak melipat kaki di lantai, dan tengah sibuk menyimak kakak mereka Wanto Mongilong, membagi ilmu di kelas bahasa Inggris. Saya melihat suluh itu kian benderang.
Di Sini, Semesta adalah Guru.
Pukul 4 sore, saya dari Desa Passi menuju Desa Bilalang 1, yang hanya berbatasan perkebunan. Beberapa menit saja, saya sudah sampai di rumah belajar Saung Layung Arus Balik (SLAB). Shandry, sedang mengajar bahasa Inggris.
Ada sekitar belasan anak-anak di kelas yang, adalah gedung sekretariat pemuda Desa Bilalang 1. Anak-anak melantai di atas bentangan karpet yang serupa rumput hijau. Jika saja bukan musim penghujan, mereka memang akan diajak belajar di luar kelas. Berbaur dengan alam di bawah rindang pepohonan.
Buku-buku dan alat tulis-menulis anak-anak berserakan. Mereka tidak sedang terpaku di buku. Tapi sibuk menyimak teman mereka mengeja nama-nama binatang, dengan bahasa Inggris.
"Ular, senek!" kata salah satu bocah laki-laki, yang terang saja mengundang riuh seisi kelas.
Saya pun ikut tertawa. Anak-anak di luar kelas, yang juga hadir untuk menyaksikan teman-teman mereka belajar ikut tertawa. Mereka juga diajak untuk belajar. Tapi mereka lebih memilih bermain. Kami membebaskan siapa saja yang ingin ikut belajar. Baik anak-anak putus sekolah, pun mereka yang mengeyam pendidikan formal.
Anak-anak yang di luar kelas, sesekali hanya datang mengintip. Juga beberapa orangtua dari anak-anak SLAB. Di tengah-tengah kelas berlangsung, terus berdatangan orangtua yang mengantar anak-anak mereka. Sudah dua puluh lebih anak-anak yang ingin belajar.
Lalu tiba waktunya saya mengajar. Kelas sastra bagi anak-anak. Saya yang belajar sastra hanya dari alam raya, hari-hari sebelumnya terlebih dahulu memindai beberapa materi di internet. Kebetulan, internet saat ini memang sangat membantu. Ada berbagai macam metode belajar pengenalan sastra bagi anak-anak.
"Ada yang tahu sastra itu apa?" tanya saya.
"Puisi!" jawab satu dua anak serentak.
"Iya, puisi memang termasuk karya sastra," kata saya.
Kemudian saya menjelaskan pengertian sastra sesederhana mungkin. Setelah itu, coba kembali melemparkan pertanyaan.
"Apa saja yang tergolong dalam sastra?"
Jawaban-jawaban mereka sangat mencengangkan. Meski mereka mengaku di sekolah hanya pernah belajar mengarang dan berpuisi. Tapi seperti; pantun, cerita atau cerpen, novel, sandiwara atau drama, juga lukisan dan kaligrafi, satu per satu mereka jawab sendiri. Saya memang coba bertanya dengan menggiring imajinasi mereka.
"Anak-anak pasti pernah menonton film, kemudian coba meniru adegan-adegan dalam film di depan cermin ketika sedang sendirian. Hayo, siapa yang pernah begitu?" tanya saya.
Seisi kelas bergemuruh dengan tawa. Anak-anak saling menuding teman-teman mereka.
"Nadia! Nadia!"
"Santika! Santika!" Teriak anak-anak bergantian menyebut nama-nama teman mereka.
Kemudian saya kembali bertanya, "Nah, itu namanya sedang berakting. Selain dalam film dan sinetron, anak-anak bisa melihat orang-orang berakting seperti itu di mana?"
Kemudian mereka berpikir. Pandangan mereka menyapu langit-langit kelas, dinding, lantai, dan papan tulis. Hanya beberapa menit, mereka menjawab drama. Juga disusul dengan sandiwara.
Setelah itu, satu per satu poin coba dipelajari. Di mulai dari pantun. Di Bolaang Mongondow, pantun itu biasa disebut salamat. Saya coba bertanya siapa yang bisa membaca salamat. Tiga orang anak berdiri. Nama mereka bertiga, Rizki, Amri, dan Taufik.
"Dimulai dari Amri, ya," kata saya.
Amri dengan lantang ber-salamat, "Salamat kon manukku tulug. Sinogotku kon diug tolutug. Noi talib ki aki nobongkuyug. Sinomuku bo binongkug.(Salamat untuk ayam jantanku. Kuikat di dekat pancuran. Lewat seorang kakek sedang memikul. Kutemui lalu kupukul)"
Sekali lagi, kelas meriuh. Saya dan Shandry terpingkal-pingkal. Salamat itu sangat bagus. Namun makna yang terkandung di dalamnya, memang tidak baik untuk anak-anak. Kemudian saya coba merubah salamat di baris terakhir. Dengan kalimat: Sinomuku bo inogoian tulug.(Kutemui lalu kuberi ayam jantanku). Tanpa mengubah rima, dengan makna yang lebih positif.
Rizki lanjut membaca salamat-nya. Ketika tiba giliran Taufik. Anak itu menghilang. Ia memang anak yang terbilang unik. Dan yang paling lucu di kelas.
Pelajaran kemudian terus berlanjut. Puisi. Hanya beberapa menit saya menjelaskan apa itu puisi. Anak-anak cepat tanggap dan sudah siap diberi tugas. Berbagai macam puisi lahir di sore itu. Dari tokoh idola mereka seperti: guru, ibu, dan ayah. Juga tentang setangkai bunga, buah rambutan, kesedihan, dan kebahagiaan.
Mendengar semua puisi anak-anak, dada saya bergetar. Ada yang menceritakan tentang guru mereka yang dianggap sebagai sosok pahlawan. Metafora matahari, bulan, dan berbagai macam perumpaan semburat dari imajinasi anak-anak sekolah dasar. Juga dari anak-anak yang putus sekolah. Tentang perjuangan ayah mereka mencari nafkah. Kasih ibu. Bahkan tentang sebuah kebahagian. Pun tentang kematian. Dan yang terlucu, puisi buah rambutan dari Taufik.
"Aku suka sekali makan rambutan. Rasanya manis," baca Taufik, dengan serius. Tapi wajah culunnya kerap mengundang tawa.
Seiring waktu, akhirnya dua jam pertemuan di kelas sastra usai. Kemudian saya memberikan tugas untuk mereka. Membaca puisi pendek, Saung Layung Arus Balik, tanpa teks.
Mereka antusias, bahkan sudah ada yang berhasil menghapal bait puisi yang berderet di papan tulis itu. Ketika saya memberi anak-anak pilihan ganjaran apa, bagi siapa yang tidak berhasil menghapal. Mereka menyepakati, yang tidak berhasil menghapal akan disuruh menyanyikan bait puisi itu.
Tak pernah terpikirkan oleh saya, anak-anak itu serentak menyanyikan bait puisi.
Saung Layung Arus Balik
Kami belajar dengan senang hati
Kakak-kakak yang lucu berbagi ilmu
Kata mereka, kami bisa belajar sesuka hati
Sebab di sini, semesta adalah guru
Pandangan saya tiba-tiba kabur oleh genangan air di bola mata. Saya terharu. Itu belum diringi petikan gitarnya Shandry.
Kelas usai. Anak-anak meninggalkan semangat mereka di kelas. Semangat yang akan mengekalkan SLAB.
Baru saja saya dan Shandry berbincang tentang kelas barusan. Taufik, si anak terbandelucu itu datang lagi. Padahal sebelumnya dia yang kerap bertanya: sudah bisa pulang?
Penasaran dengan salamat-nya yang tak terucap tadi, saya coba bertanya.
"Kenapa tadi tiba-tiba menghilang? Sekarang coba baca salamat-nya Taufik."
Sambil tiduran di karpet, dia ber-salamat. "Salamat kon manukku lengat. Nongayum kon pangkoi bolangat.(Salamat untuk ayam hutanku. Bertengger di pohon rambutan)"
"Selalu rambutan," kelakar Shandry.
Taufik kemudian melanjutkan. "Salamat kon manukku lengat. Nongayum kon pangkoi bolangat. Noi talib bobai ben lunat. Inoini'ku mokaan kon bolangat.(Salamat untuk ayam hutanku. Bertengger di pohon rambutan. Lewat gadis cantik. Kupanggil untuk makan rambutan)"
Ehuu! Kelucuan-kelucuan ini adalah SULUH!
Ini tu de pe nama Taufik |
No comments :
Post a Comment