Selasa, 31 Mei 2016

Selamat Jalan Yayang

Tidak ada komentar

TAHUN 2007 adalah tahun pertemuan saya dengan Eza Yayang Lobud (Yayang). Kala itu, festival band sedang puber-pubernya digelar para kawula muda Kotamobagu. Setiap bulan, bisa ada 2 sampai 3 festival dihelat. Para musisi lokal dengan gitarnya yang masih bau toko, hingga yang sudah berlumut, semuanya urun manggung.

Yayang, bertemu saya di halaman parkir gedung Bobakidan, tempat festival digelar. Hari sudah malam. Band mereka baru selesai manggung. Punya kami sudah dapat jatah sejak sore.

Ketika itu ia nampak sibuk dan terus menggerutu.

“Mana ni helm!” semburnya, sembari pandangannya memindai sekeliling parkiran.

“Kita punya le ilang! Soe!” umpat saya, setelah sadar helm saya ikutan raib. Merasa senasib-sepenanggungan, sama-sama kami mencerca kesialan malam itu.

Selanjutnya adalah pertemuan-pertemuan. Kotamobagu memang kota sekecil upil. Dan pertemuan yang kerap berulang itu terjadi di Bobakidan jika ada festival band,  juga di studio musik, Kawasan Katipol, atau di tongkrongan sepanjang jalan Kotamobagu. Pun di leput-leput kampung pinggiran kota. Yayang selalu hadir di mana saja.

Kami kemudian akrab. Saya sempat bertanya, band musik apa yang jadi favoritnya. Ia mengaku menyukai Nirvana, Ska, dan Punk. Sepintas, Yayang yang bertubuh ceking, berkulit putih, dan modis, nampak sepadan dengan musisi kelas ibukota.

Lewat musik Punk, saya merasa sehati dengan dia. Membuat saya teringat pada Katz (sapa kami di Passi kepada Uwin Mokodongan) yang mengenalkan saya pada Komunitas Punk and Skinhead di Manado, sejak 2001.

Saya mulai akrab dengan Yayang. Keakraban kami lalu mengental ketika bersama Katz, saat sepakat mendirikan Scene di Taman Kota Kotamobagu. Tapi Scene Taman Kota cuma bertahan dalam hitungan hari. Kami lalu pindah ke Roberta. Itupun tak bertahan lama, sampai akhirnya kami bergabung dengan Scene Sakura yang, ternyata sudah pernah terbentuk oleh kawan-kawan Kotamobagu, Bolmong, Manado, bahkan luar Manado.

Sekilas mengenang Scene Taman Kota, yang kala itu masih dirangkul gerobak-gerobak penjual makanan dan kudapan. Payung berwarna-warni masih berjejer di ketiak simpang empat lampu merah UDK dan Masjid Raya. Kami saling mengajak dan menggasak tali gitar kopong. Berkumpulan para pengusung rambut Mohawk dan kepala botak (Skinhead) di Kotamobagu.

Kami memainkan lagu-lagu Marjinal, Begundal Lowokwaru, Bunga Hitam, The End, Rentenir, Anti Squad, Cock Sparrer, terkadang Misfits. Tak jarang juga lagu pesanan — lagu macam-macam — keliling kami bawakan.

Iya, kami mengamen. Setelah di Taman Kota, kami merapat ke Roberta lalu menetap di Scene Sakura dekat Bundaran Paris. Jika kawan-kawan sesama Scene lagi padat-padatnya, reriungan sampai di Toko Harmonis.

Lapangan kota kala itu masih riuh. Kami mengamen juga di sana. Lalu kembali di antara jejeran payung-payung Saraba’. Usai dari situ, kembali ke Scene. Uang hasil ngamen kami belikan nasi dan gorengan. Disajikan secara prasmanan ala jalanan untuk dilahap secara komunal. Nasi yang meruah kami punguti dengan tawa dan puas. Dan sudah barang tentu, selalu ada yang disisakan untuk Tjap Tikoes dan rokok murah biar banyak dan cukup dibagi. Ah, kami serupa binatang jalang! dari kumpulannya terbuang!

Yayang akhirnya mencintai Passi. Desa yang akhirnya menjadi takdir bahwa tubuhnya harus dirajah. Bermodal mesin tato ‘katinting’ (dinamo) yang dibawa Ko’ (panggilan lain dari Firman Monoarfa). Keinginan Yayang untuk menato tubuhnya, sudah membuncah. Tapi siapa seniman tato kala itu? Tak ada. Ia lalu meminta agar Katz menyanggupi permintaannya.

“Mo tato apa?” tanya Katz.

“Terserah!” jawabnya mantap.

“Jangan terserah.”

“Pokoknya terserah.”

Berbantahan Katz dan Yayang, hingga akhirnya Katz bertanya serius seolah ia seniman tato benaran.

“Ngana pe mau tema apa?”

“Tentang... Mamak.”

Iya, Yayang memang dikenal anak mami dan sangat dimanjakan orangtuanya. Terang, sebab ia adalah anak pertama.

“Oke. Love Mother berarti,” Katz menawarkan kata yang akan dirajahkan ke tubuhnya.

“Mantappp... Silakan. So butul itu!”

Kaos dilepas. Mesin dinyalakan. Katz mulai merajah. Jadilah itu tulisan: Mother yang dipupusi simbol cinta.

‘Cinta Ibu’ akhirnya menubuh di punggung kirinya. Katz, kendati baru pertama kali menato, saya kira cukup indah—untuk pemula—menorehkan ‘Mother’ sebagai kata yang alangkah unyu di punggung Yayang.


Seiring waktu berjalan, Gig akhirnya digelar di Kotamobagu. Komunitas kolektif Taring Babi lewat Band Marjinal diundang main. Kawan Rio Manoppo dibantu beberapa punggawa Skinhead aliran SHARP dan Punk dari Manado, berandil besar atas suksesnya Gig yang dihelat di Bobakidan, kemudian kampus UDK untuk Gig kedua kalinya.

Selanjutnya Gig ketiga berlangsung di Manggala. Kali ini lebih besar dengan kehadiran Steven Vibration, Marjinal, dan The End, yang menggetarkan Manggala malam itu.

Hampir setiap Gig, Yayang selalu ada. Tak hanya Gig-gig di Manado, di Gorontalo-pun Yayang hadir bersama Katz yang membentuk Manifesto Marhaen. Sebuah band kolaborasi antara kawan Punk Street dan Skinhead Anarko. Mereka memainkan Punk Rock dan sesekali Reggae Ska.

Setelah itu, saya dan Katz sempat berlama-lama lagi di Manado. Seiring Yayang memutuskan kuliah di sana. Kita bersua lagi di Scene Manado dan Gig yang biasa digelar di Gedung Pingkan Matindas. Dari style Punk, Yayang bertransformasi menjadi Skinhead Anarko. Entah, mungkin karena kawan seperjalanannya; Katz, Rio, Tanjung, Koko, Sofyan, Amat, dan Yudi, memang sudah memilih subkultur itu sebagai 'the way of life'. Entahlah…

Pernah sekali saya bertemu dengannya di Manado. Sewaktu ponsel pintar Blackberry mulai riuh di dunia gadget Indonesia, sekitar tahun 2009-2010. Yayang menemui saya, dengan kunci motor yang digantungi ponsel Blackberry bercangkang retak hampir di semua sisi.

“Bangsat! HP kong bekeng gantongan kunci!” kata saya. Tapi begitulah Yayang, ia selalu saja berbeda.

Seminggu kemudian, saya dikiriminya pesan singkat. Ia menanyakan apakah saya masih di Manado. Saya membalasnya, lalu menyarankan ia segera ke rumah kontrakannya Eding di jalan Kembang.

“Adoh, datang ambe dang!” katanya.

Saya akhirnya memutuskan menjemput di rumah kosnya di Malalayang. Di atas motor, saya mengiriminya pesan singkat lagi. Tiba-tiba seekor kucing melintas. Saya hilang kendali lalu menabrak pembatas jalan. Terpental.

Beruntung, hanya dengkul dan dagu saya yang lecet. Ponsel saya masih utuh. Saya segera mengabari Yayang. Ternyata, rumah kosnya tak jauh dari tempat saya terjungkal. Ia lalu mengendarai motor. Kami menuju rumah kontrakan.

“Singgah bli bir dulu!” katanya. Lalu menepi di sebuah warung.

Di tengah perjalanan, tepat di depan Polda Sulut, kami dihadang dua polisi bersenjata laras panjang. Ternyata, mereka sedang berjaga-jaga karena motor-motor berknalpot bising kerap membuat onar di jalanan.

“Turung ngoni dua!” teriak salah satu polisi.

Setelah melihat bir di dalam kantong plastik hitam di pangkuan saya, salah satu polisi segera menggaruk kepala. Sekantong bir itu disuruhnya diletakkan di samping pohon.

“Sobawa minuman, baru kiapa itu ngana pe lutut deng dagu so punung darah, sobalaju-laju di jalang kong cilaka?” tanya polisi.

“Iyo, tadi kita cilaka kong tamang pi ambe,” kata saya mengiba. Biar lolos sudah.

“Baru cilaka, bawa bir le!”

Ah, saya dan Yayang tak bisa berbuat apa-apa. SIM ditanya. Yayang segera memberikan SIM-nya. Saya juga segera menyodorkan STNK setelah disusul tanya polisi yang satunya lagi. Lucu memang, sebab motor milik saya, SIM milik Yayang, dan STNK milik saya. Saya tak mengantongi SIM.

“Adoh, tola tu motor maso ka dalam!” polisi itu membentak.

Yayang dengan lusuh mendorong motor saya ke halaman Polda Sulut. Saya segera mengeluarkan ponsel, lalu pura-pura menelepon.

“Sapa tu ngana motelpon?” tanya polisi.

“Sudara, dia di Polda sini lagi… (kemudian saya menyebut nama perwira yang ternyata cukup mereka kenal).”

“Baku kanal bagimana?”

“Sudara itu, ada tinggal sama-sama di Kleak,” kata saya dengan nada tenang.

Sejurus kemudian, salah satu polisi meneriaki Yayang yang sudah sejauh seratus meter mendorong motor saya ke dalam. Yayang segera berbalik arah. Lalu kami dibiarkan pergi. Empat botol bir dingin di kantong plastik hitam mereka kembalikan.

Di tengah perjalanan, Yayang bertanya siapa yang saya hubungi. Saya menjawab; “Cuma ta pe dusta, mar tu orang yang kita cumu memang baku kanal, de pe nomor ada le no ini, (saya menyebut nama perwira itu).”

Tawa kami lepas di antara lampu-lampu kota. Lalu kami segera menuju rumah Eding di jalan Kembang. Tempatnya tak seberapa jauh dari belakang Polda Sulut.

Seiring tahun, karena kesibukan masing-masing, Yayang tak pernah lagi bertemu dengan saya. Beruntung, saya masih berteman dengannya di BBM. Beberapa pekan lalu, sepulangnya saya dari Gorontalo, entah kenang apa yang sedang bertengger di kepala botaknya, ia tiba-tiba mengirimi saya foto.

“Masih yang jadul lebe gaul kang, Ya'?” isi pesannya. (Saya biasa disapa Ya').

Satu-satu saya pelototi lagi foto di kolom chat yang ia kirim. Foto saat kami di Scene Sakura. Saya mengiriminya emoticon tertawa terbahak-bahak. Kemudian kami saling mengenang.

Sepekan kemudian, ia menuliskan status di BBM.

“Geli ja lia cowok kong ja ba selfie-selfie munafik kong nimau lia kamera,” tulisnya. Yayang memang terkenal dengan ceplas-ceplos dan mulut embernya.

Setelah membaca pesan status di RU itu, segera saya memindai foto-fotonya di facebook; mencari pose dirinya yang tak menatap kamera kala di-shoot.

Setelah dapat, saya lalu memajang foto itu di profil BBM. Yayang mengumpat di statusnya, lalu chat dan PING!!! seperti buah duku berguguran di kolom chat saya.

“Sigidad, pembunuhan karakter,” tulisnya lagi di status. Ia menyuruh saya agar segera mengganti foto profil. Ah, itu kali terakhir saya dan dia saling bertukar canda.

Lalu kabar itu datang pukul 6 pagi. Saya terbangun dan mendapati ponsel yang dipenuhi panggilan tak terjawab. Bahkan dari nomor-nomor asing. Juga pesan singkat dan chat di BBM. Pesan yang mengabarkan Yayang berpulang. Ko' yang mengirim chat di BBM. Sialan! Cepat sekali kau berpulang!

“Cilaka? Di oto ato motor?” tanya saya sembari coba mengira, kalau Yayang kecelakaan. Sebab saya tahu itu satu-satunya sebab kematian merenggutnya. Yayang sehat-sehat saja setahu saya. Lalu Ko’ bertutur. Yayang kecelakaan mobil bersama seorang temannya. Ia meninggal di lokasi kejadian, sedangkan temannya yang mengendarai mobil, kritis di rumah sakit.

Katz segera saya kabari tapi tidak merespon. Mungkin masih terbaring karena demamnya belum reda. Saya meraih handuk; mandi, mengganti pakaian, lalu bergegas menuju RPM (Rumah Pemuda Merdeka) tempat Yayang juga sempat berbagi kisah.

Di RPM, pintu kamar Katz saya gedor keras.

“Katz! Katz! Katz! Bangon. Yayang so meninggal, ada cilaka!”

Suara parau Katz dari dalam kamar, serupa kaget seorang kakak yang mendengar adik satu-satunya meninggal. Ya, benarlah jika Yayang adalah saudara kandung kami. Kandung di jalanan, kandung di panggung-panggung Gig.

Saya, Oxa, DeBe, dan Cribs, yang telah saling mengabari, berkumpul di RPM lalu pagi tadi segera menuju rumah duka di Kopandakan. Kemudian kronologis tragis dari kecelakaanmu, tertutur dari orang-orang sekitar dan sahabat karib.

Ah, Yayang! Begitu cepat kau berpaling-pulang! Sulang, tunduk, dan tangis untukmu, UTAT!

NISAN

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan bertahta

-Chairil Anwar

Jalan hidupmu seperti selengkung tato di dadamu, kata Yani istrinya Cribs. Sebaris tato dari judul lagunya The Used. Buried Myself Alive. Kubur Diriku Hidup-hidup.

Iya, Yayang. Kau memang terkubur hidup-hidup di dalam hati kami. Di tawamu yang renyah terbahak, di dalam hati terkasihmu Indri, putri mungilmu Darina, Ayahmu, dan Ibumu yang ternyata berulang-tahun di hari tepatmu berpulang.

Selamat ulang tahun Mamak Yayang. Mamak kami semua.

Selamat Jalan Yayang...
(2 Februari 1990-31 Mei 2016)

Senin, 23 Mei 2016

Bali Puputan Tolak Reklamasi!

Tidak ada komentar
Fanpage Bali Tolak Reklamasi

Pukul 6 pagi, saya merinding. Bukan karena dinginnya udara pagi, tapi karena melihat postingan foto dan kalimat-kalimat perlawanan di sebuah fanpage facebook, Bali Tolak Reklamasi.

Saya menukil kalimat-kalimat yang membuat saya merinding itu di bawah ini:

Beberapa hari lalu, saat Jokowi datang ke Bali, aparat bersenjata menakut-nakuti rakyat memaksa menurunkan baliho-baliho Bali Tolak Reklamasi, mengintimidasi bahwa yang melawan akan ditangkap. Tapi rakyat bersikeras melawan, menolak menurunkan baliho.

Hari ini di Denpasar, rakyat Bali, ribuan orang turun ke jalan, menunjukkan lagi bahwa mereka tidak takut dan menolak tunduk.

Rakyat bersatu, berani, dan berlipat ganda. Rakyat telah memutusan puputan. Tolong minggir jika tidak mau digilas!

#‎TolakReklamasiBerkedokRevitalisasiTelukBenoa‬
#‎BatalkanPerpresNo51Th2014‬
#‎PuputanTelukBenoa

Semangat itu, serupa dengan semangat 9 perempuan Samin yang tempo hari mengecor kaki mereka dengan semen di depan Istana Presiden, karena ingin menolak pabrik semen. Semangat yang sama dengan ibu-ibu Samin yang mendirikan tenda-tenda, juga untuk menolak semen di tanah Samin.

Saya kira, rakyat sudah lelah dengan mereka yang di Jakarta sana. Mereka yang menganggap Indonesia hanyalah Jakarta. Mereka yang suka mengambil keputusan seenaknya dari Jakarta. Bahkan, nasib rakyat Papua pun mereka yang memutuskan, dengan mengirim bala tentara ke sana. Memerangi rakyat, bukan mendengarkan keluh kesah, dan mengobati derita rakyat.

Di sini, saya bukan menyalahkan warga Jakarta tentunya. Tapi mereka yang berkantor di Jakarta. Mereka itulah apa yang dengan begitu hormatnya kita sebut 'pemerintah'. Sebutan yang bahkan menurut saya, memiliki arti yang cukup arogan sesuai etimologisnya yang berasal dari kata 'perintah'. Pusat orang-orang yang memerintah ada di Jakarta.

Hingga kini, perjuangan rakyat Bali, Samin, dan Papua, adalah juang yang melekat karena adat istiadatnya terus terjaga. Perjuangan itu lahir dari pesan-pesan leluhur bahwa alam harus dijunjung tinggi. Hutan adalah ibu. Gunung adalah kepala. Sungai adalah nadi. Dan lautan adalah darah. Dan amanat itu kerap mereka jaga, bahkan meski darah harus tertumpah.

Bali sendiri, memiliki adat dan budaya yang begitu erat. Saya pernah tinggal di Bali hampir setahun. Di sana, pada suatu sore secara tidak sengaja di Pantai Seminyak, seorang turis Jerman yang sudah fasih berbahasa Indonesia sebab dulu pernah tinggal selama dua tahun di Bali (saya tahu setelah perkenalan), menyapa saya lalu mengatakan pendapatnya tentang Pantai Seminyak.

"Pantai ini sangat indah," katanya. Turis laki-laki itu berusia sekitar 40an. Ia lalu menawarkan sebotol bir dingin.

Ia lantas bercerita, tentang pertama kalinya berkunjung ke Bali. Sekitar tahun 2000. Di Bali, ia bertemu seorang perempuan Jerman juga di sebuah kafe di Seminyak. Kafe yang sederhana dan tentu saja bergaya khas Bali. Hubungan mereka terus berlanjut, sampai akhirnya menikah setelah mereka kembali ke Jerman. Mereka dikarunia seorang putri.

Untuk kedua kalinya mereka berkunjung ke Bali setelah sekian tahun. Sambil mengajak putri mereka satu-satunya. Mereka ingin mengenang kembali perjumpaan itu. Juga untuk menceritakan kisah cinta mereka kepada putri satu-satunya. Tapi, kafe yang menjadi awal perjumpaan itu telah berubah sesampainya mereka di Bali. Kafe itu berubah menjadi megah. Hilang sudah kenangan itu. Ia sangat menyesalinya.

Kemudian ia menunjuk perempuan berambut matahari di bibir pantai, yang sedang bermain buih ombak dengan seorang anak perempuan. "Itu istri dan anak saya."

Sebelumnya, saya pernah menulis tentang Bali yang tak lagi purba di blog ini. Saat menulis itu, saya juga masih berada di Bali. Hanya ketika berada di Bali, saya pernah menulis di blog ini, setiap hari satu tulisan. Sebab apa yang tidak bisa dituliskan di Bali, dengan panorama alamnya yang begitu indah. Orang-orang yang lalu lalang dan kerap kali tersenyum. Dan negeri yang membuat saya seperti sedang berada di masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu.

Di Bali sendiri, sangat jarang ditemukan gedung-gedung jangkung. Hampir semua gedung hanya terdiri dari tiga lantai. Beruntung ada aturan adat dan istiadat di Bali, yang melarang bangunan tidak boleh lebih tinggi dari Pura. Atau lebih dari tiga lantai. Meskipun ada sebuah hotel yang bangunannya melebihi tiga lantai, seingat saya, mungkin sampai sepuluh lantai. Namanya Sanur Beach Hotel.

Sejauh yang saya tahu hotel itu dibangun atas permintaan Bung Karno kala itu. Hotel itu pernah terbakar di tahun 90-an kalau saya tidak salah mengira. Tapi kembali dibangun karena menjadi tempat bersejarah. Saya pernah ke hotel itu sekali. Sewaktu diundang oleh Tisnaya Kartakusuma dan mendiang istrinya Henny Hakim (kakaknya Christine Hakim).

Ketika hendak masuk ke halaman parkir, pepohonan raksasa merangkul hotel itu. Di lobi, ada aroma dupa yang khas. Eskalator dan liftnya berderak seperti batuk orang tua ketika saya naiki. Dari balkon kamar hotel, kami bisa menikmati pantai yang begitu indah di bawah sana. Meski saat itu malam hari, namun bibir pantai begitu terang oleh lampu-lampu yang, menerangi sepanjang pantai. Pepohonan kelapa berderet rapi. Kolam biru seperti langit di bawah sana.

Saya dihadiahi buku yang menuliskan tentang ayahnya, Letjen TNI MMR. Kartakusuma, Sosok Prajurit & Pemikir, yang ditulis Hikmat Israr. Buku itu diberikannya, tepat sejam lagi saya ulang tahun, 12 April 2013. Saya juga memberinya buku, Soegija karya Ayu Utami. Buku bergambar yang ringan dibaca di pesawat nanti, jika ia dan istrinya pulang ke Jakarta. Cincin hiris berpola bintang hiriz kepadanya.

Tak hanya hotel bersejarah itu yang menjadi pilihan para wisatawan. Bahkan di Ubud, salah satu wilayah perbukitan di Bali yang bangunannya masih begitu purba, menjadi destinasi pariwisata favorit. Banyak artis-artis dunia yang memiliki vila di sana. Mereka memilih Ubud, karena alamnya yang asri dan kotanya yang serupa kerajaan Hindu. Kita seperti kembali ke masa lalu.

Jika Teluk Benoa hendak dibikin semegah-megahnya. Saya kira untuk menarik turis mancanegara menyukai Bali, tidak perlu membangun gedung-gedung megah. Turis-turis itu sudah puas bermegah-megahan di negeri asal mereka. Apalagi yang tak megah di negeri mereka, bahkan kakus pun begitu megah. Itulah mengapa mereka berdatangan ke Bali. Ingin merasakan panorama alam yang tidak mereka dapati di negeri mereka. Bangunan-bangunan yang berornamen khas.

Kepada rakyat Bali yang terus berjuang menolak reklamasi di Teluk Benoa, saya pasti akan kem-Bali ke Bali untuk melihat hasil perjuangan kalian terwujud. Melihat Teluk Benoa yang tetap menjadi tempat penghidupan bagi para nelayan di sana. Pun tetap menjadi habitat ikan-ikan sebagai penopang kehidupan mereka.

Teruslah berjuang rakyat Bali! Sebab bukan hanya turis-turis mancanegara yang ingin mengenang Bali. Saya dan siapa saja di pelosok negeri ini yang pernah ke Bali, pun ingin mengenang Bali dengan aroma bunga kemboja dan dupanya. Dan siapa saja yang hendak mencuri kenangan itu, maka layak untuk mereka sebuah: "PERANG PUPUTAN!".

Gladys di Kota(razia)mobagu (7)

Tidak ada komentar

... Wajahnya semakin mendekat. (Baca sebelumnya: Bagian 6Sekejap, aku dan dia telah menjadi sebatang rokok dan korek api yang menyatu. Terbakar.

Deru motor terdengar berhenti di depan kamar kos. Pintu diketuk. Bara di dada kami segera padam. Gladys lekas menyeka bibirnya.

"Siapa? Bukan razia, kan?" bisik Gladys kepadaku.

"Aku baru ingat. Deni. Tadi dia katanya mau ke sini. Lagian, sepagi ini mana ada razia?" saya coba menenangkannya.

"Gid, kau di dalam?" suara panggilan itu cukup akrab.

"Iya, itu Deni. Saya juga tahu perasaanmu. Tidak apa-apa, Deni teman baikku." Aku coba menghibur Gladys, yang sepertinya tidak enakan jika aku dan dia dipergoki sedang bersama di dalam kamar.

Aku beranjak menuju pintu yang sebenarnya tidak dikunci. Pintu kamar menutup begitu saja tertiup angin, ketika aku dan Gladys tengah asyik mengobrol. Sepertinya hembus angin sengaja memberi kesempatan. Sedangkan letak jendela meski terbuka lebar, orang harus menyeret kursi untuk tempat berpijak, jika niatnya mengintip ke dalam kamar.

"Den, maaf  kelamaan. Tadi aku di dapur lagi bikin kopi. Ayo, masuk! Kau seperti orang asing saja," ajakku.

Deni terkejut ketika tahu, ada perempuan yang tengah bersama saya. "Maaf, aku menganggu ya? Nanti aku kemari lagi." Dia tiba-tiba ingin pamit.

"Eh! Tidak apa-apa, Den. Malah sikapmu, membuat kami lebih tidak nyaman." Meski di dalam hatiku, kedatangan Deni kali ini, seperti serombongan pemadam kebakaran.

"Kenalkan, ini pacarku, Gladys," kataku. Raut wajah Gladys terlihat berubah mendengar ucapanku. Seperti ada yang meloncat-loncat di dalam matanya.

Usai bertukar nama, Deni bergabung selonjor di lantai. Di wajahnya ada berdiam sebuah kecemasan. Dia tampak kaku pula duduk berhadap-hadapan dengan Gladys. Aku coba mencairkan suasana yang kaku dengan menawari Deni secangkir kopi.

"Kebetulan, masih ada sisa kopi. Aku ambilkan dulu. Kau pasti akan bersujud membelakangi kiblat, ketika merasakan racikan kopi Kotamobaguku." Aku segera membikinkannya kopi. Tawa Deni terdengar menyusulku sampai ke dapur.

"Masih kuliah?" tanya Deni kepada Gladys.

"Iya. Mudah-mudahan tahun depan selesai."

"Wah, baguslah. Aku turut mendoakan."

Dari dapur mini yang hanya berjarak lima meter dari posisi Deni dan Gladys, aku bisa mencuri dengar percakapan mereka. Deni memang selalu tahu cara melonggarkan kerah.

"Kopinya siap. Secangkir, ditukar dengan lima kaleng bir sama seamplop uang," candaku.

"Taeek! Barista mata amplopan! Aku kira cuma wartawan yang mata amplopan!" Tawa seketika mengisi seisi kamar.

"Den, tadi kau menelepon sepertinya penting sekali. Ada apa?" tanyaku yang sedari tadi masih penasaran.

Deni melirik cepat ke arah Gladys. Seakan pertanda bahwa dia kurang yakin mengutarakan hal itu di depan Gladys.

"Aku mau bertemu Lina dulu," kata Gladys. Lirikan mata Deni meski secepat peluru berlalu, tampaknya berhasil ditangkap Gladys.

"Tidak apa-apa kok. Aku dan Deni percaya kau." aku berusaha membujuknya.

Gladys beranjak. Dia menunduk sebentar. Cangkir kopi yang masih berisi diraihnya. Lalu diseruputnya menyisa lumpur kopi di dasar cangkir.

"Idih... Lagian ini juga urusan kalian. Eh, kopimu enak," kata Gladys. Lalu dia pamit seiring senyum dengan ukiran lesung pipit.

Melihat senyuman Gladys dan lesung pipit di kedua pipinya. Rasanya aku ingin menceburkan diri di kedua lesung pipit itu. Setelah puas terbakar dengan, ah, sialan. Jadi kesal aku mengingat kejadian tadi. Deni memang brengsek.

"Melamun saja seperti belum gajian!" Tepukan Deni di kaki mengagetkanku.

"Pobure!" saya mengumpati Deni dengan bahasa daerah. Dan Deni membalasnya dengan umpatan berbahasa daerah pula, yang artinya terlampau kasar. Kami saling bertukar lempar dengan umpatan.

"Den, ada apa sih?"

"Masih soal Indra."

"Kenapa dia?"

"Indra semalam mendatangi Umar di kedai kopi. Setelah kita pulang."

"Lalu?"

"Dia meninju Umar."

"Apa? Dasar bajingan! Lalu Umar membalas?"

"Mereka terlibat perkelahian. Indra babak belur. Lalu Umar dilapor orangtua Indra ke Polres." Wajah Deni terlihat sedih. Dari sorot matanya, menyiratkan bahwa Umar saat ini sedang dalam masalah besar.

"Kenapa Umar tidak melapor lebih dulu? Atau jika memang Indra yang duluan melapor, pasti ada saksi yang melihat Umar ditonjok duluan," kataku geram.

"Umar melapor balik. Dan usai melapor, dia dijebloskan ke dalam sel."

"Kejadiannya semalam? Kenapa kau baru mengabari sekarang?"

"Gid, mereka saling lapor tadi pagi. Ponsel Umar juga hilang saat perkelahian terjadi. Itulah kenapa dia tidak menghubungi kita."

"Lalu siapa yang mengabarimu?"

"Istrinya."

"Sialan! Indra tega melakukan itu, padahal dia tahu, Umar itu ada anak-istri untuk dinafkahi." Aku bergegas mengganti pakaian. "Ayo! Kita ke Polres!"

"Aku agak lama tadi ke sini, karena aku masih mampir di Polres. Umar titip pesan, urusi dulu media kita. Katanya, dia bisa mengurusi dirinya sendiri." Deni coba menenangkanku.

"Terus kau tega membiarkan Umar melewati ini semua sendirian? Den, aku juga harus bicara dengan Indra sekarang!"

"Indra juga satu jeruji dengan Umar," jelas Deni. "Biarkan Umar mengatasi ini. Aku yakin dia bisa."

Tubuhku seketika membenam di kasur. Aku tidak habis pikir, pertemanan kami akan seperti ini. Umar dan Indra adalah teman sekelas sejak SD. Sedangkan aku dan Deni, setahun lebih adik dari mereka berdua. Kami berempat baru akrab setelah kelas tiga SMP.

(Bersambung)

Minggu, 22 Mei 2016

Sebuah Percakapan

Tidak ada komentar

www.sufisme.com

Di bawah ini, saya akan coba merangkum sebuah percakapan apik antara penulis dan juga penyair asal Manado, Haz Algebra dan penyair asal Gorontalo, Jamil Massa.

Percakapan ini menubuh di jejaring sosial facebook, usai saya mengunggah sebuah tanggapan tentang cerpen karya Haz. Saya sengaja merangkumnya, karena percakapan setelahnya, menurut saya cukup memberi arti dan pengetahuan kepada saya.

Awalnya saya menautkan tulisan dan menandai Haz di facebook. Saya hanya mengedit percakapan ini dari typo (sebatas kemampuan saya), agar pembaca sedikit terbantukan. Simak di bawah ini:

Kristianto Galuwo (Saya): http://sigidad.blogspot.co.id/2016/01/segulung-kalimat-usang-dalam-kepala.html

Haz Algebra (Haz): Wah, ada fragmen memori yang menunggu meledak. Izin saya baca tuntas dulu saudaraku. Aromanya terasa kalau pedas. Heuheu.

Saya: :)

Haz: Maaf atas keterlambatan merespon tulisanmu. Saya baru bisa publish hari ini. Semoga berkenan. Heuheu http://hazbook.blogspot.co.id/2016/01/homo-mimesis-dan-seorang-pembaca-yang.html?m=1

Saya: Iya terima kasih

Muzakir Rahalus: Mantab (yang dimaksud, mantap). Menyimak dulu.

Saya: http://sigidad.blogspot.co.id/2016/01/haz-itu-tulisan-atau-tisu.html

Jamil Massa (Jamil): Ini polemik penting, bagi kesusastraan Sulut-Gorontalo. Selamat untuk kawan berdua. Saya cukup menyimak saja.

Haz: Selamat pagi, bung Jamil Massa. Salam hangat dari saya. Hamdalah, semakin hari semakin terapresiasi, meski setiap pembaca saya punya caranya masing-masing.

Mengenai respon saya terhadap respon seorang pembaca terhadap tulisan yang saya tulis 5 tahun lalu itu. Saya tidak pernah menganggapnya sebagai polemik, meski yang hendak menganggapnya sebagai polemik, kini atau kelak, itu sah-sah saja. Dan saya akan selalu mengafirmasinya.

Tentang respon balik dari Kristianto Galuwo atas respon saya atas respon dia terhadap cerpen saya, saya anggap saja sebagai tornado hasil dari kepakan sayap kupu-kupu saya di tulisan sebelumnya. Dan saya berkenan, juga tidak akan meredakannya.

Saya, selaku pengarang cerita itu, merasa tidak berpolemik dengan siapa-siapa. Apa saya berpolemik dengan Krist? Tunggu dulu. Sebagai apa saya harus memandangnya dari posisi saya? Sebagai kritikus? Kompetensinya dari mana? Buku-buku (kritik sastra) apa saja yang ia sudah tulis? Tentunya saya akan belajar banyak dari cara kepenulisannya. Tapi tak ada. Lalu? untuk semua ini, orang Gorontalo bilang: "maksud le hasan?"

Atau sebagai pembaca? Jika sebagai pembaca saya sudah meresponnya dengan surat kepada pembaca di blog saya. Semua terafirmasi tanpa beban. Dan posisi saya sebagai pengarang terhadap pembaca harus luluh, tak bisa berbuat apa-apa. Sebab pembacalah yang punya otoritas penuh ketika teks telah selesai ditulis.

Jadi, jika hal lumrah ini hendak diangkat sebagai polemik, harus fair donk. Mosok saya harus berpolemik dengan orang yang menyinyiri karya orang lain sementara dia sendiri tak punya karya. Kan, jadi gosip ibu-ibu. Orang Manado bilang, "siapa ngana?". Itu barangkali intinya. Salam hangat.

Seorang pembaca lain juga 'tega' menulis ini terhadap tulisan saya. dia kirim via email. Seorang teman jurnalis meng-upload-nya di sini http://www.suluttoday.com/2016/01/14/kau-tidak-menulis-haz-kau-berak/

Saya salin juga ke sini: “Kau Tidak Menulis, Haz, Kau Berak!” http://hazbook.blogspot.co.id/2016/01/kau-tidak-menulis-haz-kau-berak.html
Dan, saya hanya bisa bungkam atas kuasa para pembaca. Thanks.

Jamil: Po·le·mik n perdebatan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka dl media massa; -- sastra tukar pikiran antara dua pihak yang berbeda paham tentang masalah sastra, jika berbentuk tulisan disebut (perang pena); ber·po·le·mik v berdebat (berbantah, berbahasa) melalui media massa (dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya.

Salam, saya pikir penjelasan yang saya kutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline versi 1.5.1 di atas, sudah cukup menjawab keberatan Haz soal istilah polemik yang saya tuliskan pada komentar sebelumnya. Selama ada dua pemahaman yang berbeda tentang suatu hal dan itu dikemukakan di media massa, maka itu adalah polemik bagi saya. Blog--meski kemudian disebut media online--dan facebook--media sosial--telah memenuhi sejumlah kriteria "media massa", salah satunya dibaca oleh orang-orang dari beragam lapisan. Maka lagi-lagi menjadi sah andai perang tulisan kawan berdua saya kategorikan sebagai polemik, yang dapat saja memberi manfaat kepada segenap pembaca selama polemik dilaksanakan secara sehat dan mendidik.

Persoalan latar belakang Kristianto yang dianggap tidak pernah kedengaran kiprahnya dalam dunia kritik sastra, saya rasa itu tidak perlu jadi soal. Persoalkan saja metodenya, tanpa perlu menyerang pribadi. Metode kritiklah yang seharusnya disanggah, bukan rekam jejak orang yang melontarkan kritik. Dengan demikian kita dapat menyaksikan sebuah adu gagasan yang sehat.

Sejauh ini saya sungguh tak dapat melihat hubungan analogis antara 'tanggapan pembaca' Kristianto dengan nyinyiran ibu-ibu penggosip. Bukankah Kristianto mempersoalkan sesuatu yang sifatnya publik, yaitu sebuah karya sastra yang sudah dipublikasi? Tidak seperti ibu-ibu penggosip yang menggunjingkan masalah pribadi tetangga atau publik figur. Kristianto juga menyuarakan keresahannya secara terang-terangan, tidak seperti penggosip yang galibnya menggunjing di belakang punggung orang yang dibicarakan. Sebuah karya sastra merupakan teks yang bebas dibicarakan oleh siapa pun dia, apa pun latar belakangnya, dari mana pun dia berasal.

Sedikit saja dulu untuk saat ini. Salam.

Haz: Saya bersepakat tidak fair jika ada argumentum ad hominem (menyerang orang bukan argumennya). Tapi saya tidak bersepakat tentang otoritas pelaku polemik tidak dipertanyakan secara genealogis. Sebab bagaimana argumen itu bisa dipertanggungjawabkan, diuji, diverifikasi, jika tak ada kompetensi terhadap otoritasnya sebagai pembuat argumen? Demikian halnya perlakuan Kristianto Galuwo terhadap karya saya, mempertanyakan, menggugat, mendakwa otoritas saya sebagai produsen teks.

Haz: Artinya, dalam kasus ini, saya mengikuti alur pikir pembaca, yang menganggap masih ada integrasi antara pengarang dan karangannya. Sehingga, jelas pembacaan secara genealogis juga diperlukan. Salam hangat.

Haz: Dan saya masih terus bertanya. Sebagai apakah saya harus meresponnya? Jika sebagai pembaca, sekiranya surat saya di blog sudah melakukannya. Apapun kekurangannya, demikianlah batasan pengetahuan saya terkait teknik kepenulisan. Dan itu adalah pikiran saya 5 tahun yang lalu. Tapi jika sebagai kritikus, maka pembicaraan dibawa ke ranah agak 'ilmiah', term 'kritikus' harus diuji dulu.

Haz: Dan, membaca kembali tulisan Kristianto Galuwo terhadap tulisan saya, saya belum bahkan tidak melihat metode di sana; tentang bagaimana seharusnya sebuah tulisan disebut tulisan. Entah.

Jamil: Salam, Haz dan Kristianto. Saya sudah membaca bolak-balik tulisan pertama Kristianto tentang "Serat Dapala", dan sungguh saya tidak menemukan upaya mendaku sebagai kritikus sebagaimana yang kawan Haz dakwakan. Jadi sebijaknya kawan Haz kembali memosisikan Kristianto sebagai pembaca kritis saja. Pembaca yang merasa ada bau plagiasi dalam "Serat Dapala".

Saya pikir tidak butuh metode muluk-muluk untuk menuding satu karya sebagai hasil plagiasi dari karya sebelumnya. Modalnya cukup kepekaan dan pembacaan yang intens. Dengan demikian perdebatan tidak perlu melebar, apalagi sampai mempertanyakan genealogi bacaan dan pengetahuan si pembaca segala. Masing-masing kita punya tafsir tertentu terhadap suatu teks, itu saja yang perlu diperbandingkan, tanpa perlu beradu panjang daftar bacaan--sebuah gaya berdebat yang saya pikir agak kekanak-kanakan.

Kalau saya jadi Haz, saya akan berterimakasih, karena setidaknya tulisan saya sudah dibaca dan dikuliti. Lagipula Haz sendiri sudah menyatakan, tak ada upaya metodologis yang berarti dalam tulisan tersebut, jadi malah lebih baik tulisan itu tidak usah ditanggapi sama sekali. Kalaupun pun pembuat teks merasa perlu memberi satu dua tanggapan, tanggapi pakai senyum saja. Hehehe.

Kalau mau tanya ke saya, sebenarnya yang kawan berdua perdebatkan ini adalah masalah teknis dan etika belaka, namun karena Haz sudah menyinggung perihal intertekstualitas dan kecenderungan manusia sebagai homo mimetis maka hal ini menjadi melebar, agak jauh melampaui soal teknis dan etika semata. Berat karena sudah menyinggung filsafat kesenian secara holistik. Dan karena itu menjadi penting untuk dijabarkan lagi sejauh apa batasan antara "terilhami" dan "meniru habis-habisan". Repotnya, dalam seni sastra, tak ada konvensi semacam itu, setidaknya tidak seperti seni musik yang sudah menetapkan batas delapan bar sebagai standar indikator orisinalitas sebuah karya. Dalam dunia sastra, menyatakan sebuah karya plagiat atau tidak terpaksa harus dilakukan dengan cara meraba-raba sembari membongkar-bongkar lemari ingatan. Inilah yang kemudian diadu, dikonfrontasikan, ingatan Kristianto sebagai pembaca dengan ingatan Haz sebagai.... pembaca yang lain (sebab kata Barthes, pengarang sudah mati manakala teks telah dilepaskan ke haribaan majlis pembaca).

Persoalan kedua, yaitu persoalan etik, sesungguhnya adalah sejauh mana penulis berterimakasih kepada penulis-penulis atau produsen teks di masa lalu yang telah memberikan ilham kepadanya. Rasa terima kasih itu secara kasatmata dapat ditunjukkan dengan menuliskan sumber di catatan kaki atau kredit pada halaman belakang jika sebuah karya sudah dibukukan. Seno Gumira Ajidarma misalnya, masih merasa perlu menuliskan catatan di akhir cerpen "Dodolitdodolitdodolibret" (Kompas, 26 September 2010), padahal yang ia jelaskan adalah bahwa cerita tersebut terilhami dari kisah-kisah dalam kitab suci. Sementara kita tahu, kitab suci adalah sebuah teks yang sangat umum, sangat sering dikutip, namun Seno sebagai penulis yang amat bertanggungjawab dan sangat mempertimbangkan etika tetap saja meletakkan penjelasan itu di akhir karyanya.

Eko Triono dalam catatan akhir cerpennya yang berjudul "Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-Pohon?" menjelaskan dengan terang-terangan bahwa ia mengutip dua kalimat dari puisi "Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam" karya Goenawan Mohamad. Hanya dua kalimat! Dan itu menurut hemat saya sama sekali tidak memalukan, malah mengagumkan karena Eko secara kreatif telah melakukan dekonstruksi maknawi atas teks sebelumnya, seraya melakukan alih wahana di waktu yang bersamaan. Ada begitu banyak contoh lain yang pernah ditunjukkan para penulis besar dalam bagaimana menghargai sebuah parafrase. Barangkali, hal etik ini saja yang dituntut seorang Kristianto Galuwo. Barangkali saja.

Ah, perbincangan semacam ini rasanya akan lebih enak kalau diiringi seruputan kopi, ya? hehehe. Salam hangat dari Gorontalo.

Haz: Terimakasih bang Jamil Massa atas koreksi terhadap kenaifan kami. Saya pun sudah dan selalu berterimakasih dan mengucap syukur 'hamdalah' setiap kali ada pembaca yang menginterpretasi tulisan saya.

Mungkin saya hanya agak terganggu dengan argumentum ad hominem dari pembaca. Harap maklum, saya masih dalam proses berkembang biak. Hehe.

Pada laman status yang lain, saya juga sebenarnya sudah memberikan catatan kaki untuk 'kutipan sajak Gandari' sebagai revisi dari Serat Dapala yang sudah penuh sarang laba-laba di pojokan Kompas itu. Dan, dalam buku yang memuat cerita Serat Dapala saya juga mengucap terimakasih kepada para 'penghuni asli planet sastrawi' (dengan menyebut nama satu persatu) yang dalam proses produksi teks mau tidak mau saya mengakui adanya 'andil' mereka. Inilah yang saya pertanyakan kepada saudaraku Kristianto Galuwo, apakah sudah membaca buku saya itu sebelum membuat interpretasi (maaf dengan nada emosi) "jahat" atas karya saya. Hehe.

Insyaallah bang, saya juga sering ke Gorontalo tapi mungkin belum sempat jumpa jiwa dengan pegiat sastra di sana. Insyaallah kita bisa bersua di sisi meja yang sama.

Selanjutnya, percakapan tinggal tegur sapa, dan saling ajak untuk ngopi bersama. Dari hasil rangkuman di atas, terus terang saya banyak menimba pengetahuan tentang sastra. Sengaja saya memutuskan untuk diposting di blog, jauh setelah percakapan ini di awal tahun baru 2016, agar menjadi referensi saya kelak. Terima kasih untuk kalian.

Sialan dengan Gorontalo!

Tidak ada komentar
Simpang lima di Kota Gorontalo

Menyeret ingat ke masa lalu itu tidak mudah. Selain bola mata menggelinding ke penjuru segala, maka kenyataan bahwa usia kita sudah semakin tua, akan lebih terasa. Iya, saya coba untuk mengingat kapan kali pertama berkunjung ke Kota Gorontalo.

Menyerah dengan ingatan yang mulai tumpul ini, akhirnya saya hanya coba mengira saja. Barangkali itu di tahun 2001-2002. Saya memancang kira saya di tahun itu, berdasarkan tahun di mana tragedi serangan di World Trade Center (WTC), Amerika Serikat, 11 September 2001. Tanggal, bulan, dan tahun yang sama ketika kami pemuda dan pemudi Desa Passi, mengaku mencintai alam dan berbahasa satu bahasa binatang, membentuk Kelompok Pecinta Alam (KPA) Bogani Mongondow Lestari (Bomlest).

Sekitar beberapa bulan terbentuknya KPA Bomlest, saya yang paling belia di organisasi itu, diutus bersama dua anggota KPA lainnya menuju Kota Gorontalo. Satu orang perempuan bernama Widi dan satu orang laki-laki bernama Debe. Rekan saya Debe, sekarang ini adalah Sangadi (kepala desa) Passi. Debe adalah akronim dari Delianto Bengga. Karir hidupnya terus tumbuh besar selaras dengan tubuh raksasanya.

Kami bertiga menuju Gorontalo dengan bis antar kota. Dan di situlah, awal kebencian saya akan Gorontalo. Sialan! Jauh sekali. Lima kali saya tertidur di bis. Tiap kali terbangun, saya coba bertanya ke penumpang lainnya, apakah Gorontalo masih jauh? Saya mendapati jawaban: jauhnya seperti jarak dari sini kembali ke Kotamobagu. Saya kembali tidur usai mengumpat. Umpatan yang kesekian kalinya dalam hati.

Seingat saya, Widi dan Debe, tidak satu bis dengan saya kala itu. Alasan kenapa, saya pun sudah lupa. Itu sekitar 14 tahun yang lalu. Beratus purnama serupa rentang waktu yang dilalui Rangga dan Cinta.

Belum sampai di Gorontalo, dalam hati saya berjanji tidak akan pernah menginjak kota itu lagi. Tapi pikiran untuk jarak yang akan ditempuh jika kembali nanti, mulai membikin perut saya mual. Sialan! Ini baru perjalanan menuju Gorontalo.

Di dalam bis, saya coba menepis pikiran soal jarak, dengan memikirkan materi yang akan kami pelajari di Gorontalo. Kami bertiga akan mengikuti pelatihan Global Positioning System (GPS), di kantor Jaringan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Japesda). Saya baru ingat kalau tempat pelaksanaan kegiatan itu di kantor Japesda, setelah diberitahu Debe beberapa bulan yang lalu (di tahun ini).

Di sana kami akan diberi materi dan cara melihat peta di komputer. Tiba-tiba rasa cemas datang. Saya tidak bisa mengoperasikan komputer. Sialan! Saya bakal dirisaki.

Akhirnya, setelah perjalanan yang memualkan, sampai juga di negeri serumpun itu. Kami segera menuju kantor Japesda yang terletak di depan SMK Negeri (lupa, 1, 2, atau 3) Kota Gorontalo. Teman sekampung saya, Yunus, bersekolah di situ.

Sebelum bertemu Yunus, kami bertiga yang akhirnya bertemu di terminal Andalas, diantar menuju ke penginapan. Saya lupa lagi nama hotelnya, tapi karena hotel itu di atas air, mungkin... Hmm... Namanya Hotel Teratai. Ah, sudahlah, saya tidak ingin membuat dahi saya semakin mengerut karena memikirkan nama hotel yang, penuh dengan nyamuk itu.

Saya segera mengabari Yunus. Lalu dijemputnya untuk bersilaturasa ke kamar kosnya yang, baru itu kali saya menyaksikan seekor kucing dicakar tikus. Pertarungan antara kucing dan tikus itu berlangsung streaming di atap rumah tetangga. Kamar kos yang berada di lantai dua, membuat saya seolah-olah di zaman Romawi Kuno dan sedang berada di Colosseum, menyaksikan pertarungan antara Gladiator dan binatang buas. Tapi kali itu, yang buas adalah tikusnya.

Keesokan harinya, saya mulai mengikuti materi di kantor Japesda. Semua peserta saling berhadapan mengelilingi meja persegi panjang. Di depan kami masing-masing ada komputer. Sialan! Setetes keringat menggantung di ujung kening saya. Saya pasti akan menjadi bulan-bulanan karena ketahuan tidak bisa mengoperasikan komputer. Dan... Panggilan 'Pentium 1' mulai melekat kepada saya sejak hari itu.

Usai materi, kami praktek di lapangan. Kami sempat diajak ke salah satu air terjun di Suwawa. Juga mengunjungi kantor gubernur yang baru saja akan dibangun di puncak. Seingat saya, banyak warga yang mengeluhkan pembangunan jalan menuju kantor gubernur kala itu. Sebab selalu ada longsoran yang menimpa lahan kebun mereka.

Mungkin hampir seminggu kami di Gorontalo. Selama menerima materi, hanya beberapa item yang bisa saya pahami. Yang lainnya... Pentiuummm saaatuuuuu.

Akhirnya tiba waktu kami untuk kembali ke Kotamobagu. Kemudian ingatan tentang jarak yang akan kami tempuh kembali menghantui. Yunus menyarankan, agar saya pulang bersama dia sebulan lagi. Saya yang kerap merasa mual mengingat perjalanan kembali, akhirnya sepakat untuk tinggal sebulan di Gorontalo.

Setelah menghabiskan waktu yang panjang di Gorontalo, saya dan Yunus kembali ke Kotamobagu. Bis yang kami tumpangi sempat bertabrakan dengan truk. Beruntung bis tidak oleng dan hanya mengalami kerusakan ringan di bagian depan. Kaca depan hancur dan rontok - ringan jatuh - ke aspal jalan maksudnya. Tapi semua penumpang selamat dan tidak mengalami luka serius. Hanya, ada kejadian lucu di dalam bis ketika saya tertidur. Ah, pokoknya itu tentang air liur. Tamat!

Sewaktu kembali ke Kotamobagu, tentu saja itu masih di sekitar tahun 2001-2002. Saya terlanjur berjanji untuk tidak akan pernah lagi menginjak Gorontalo yang sialan jauhnya itu. Tapi beberapa tahun kemudian, dengan rentang waktu yang cukup lama, sebuah perjalanan terpaksa menyeret saya ke kota itu lagi. Masih coba mengingat tahun, mungkin sekitar 2011-2012. Saya bersama Uwin.

Satu kali lagi perjalanan bersama kru Lintas BMR mungkin di tahun yang sama. Berarti itu sudah yang ketiga kalinya. Lalu, saya lupa tahun tepatnya, mungkin sekitar awal 2014, satu ajakan lagi dari teman fotografer, Wanto, yang akhirnya memaki di dalam mobil, karena sebelumnya mengira saya dan Gun bisa menyetir mobil.

"Jadi ada muat dua ekor babi kita ini dang!" umpatnya, setelah tahu saya dan Gun memang dua ekor babi yang ingin tiduran saja di dalam mobil. Pergi-pulang, dia yang akan menyetir.

Kami bertiga (hanya saya bukan fotografer) menghadiri acara ulang tahun komunitas fotografer, Spoters. Lalu perjalanan yang kelima kalinya bersama Uwin. Setelah itu, perjalanan keenam, saat lebaran Ketupat bersama Kabag Humas Bolmut, Khris Nani, beserta kru.

Tahun 2015 adalah yang ketujuh, angka yang sama dengan waktu tempuh Kotamobagu-Gorontalo. Teman saya Nev, berkenan untuk mengantar saya menuju Gorontalo. Saya sudah bertekad untuk bergabung bersama Aliansi Jurnalis Indonesia, eh, Independen (AJI) Kota Gorontalo.

Barangkali ada satu-dua perjalanan yang terlewati. Tapi hanya sekuat itu ingatan saya. Di tahun 2016, setelah sebuah perjalanan singkat ke luar kota, saya sempat pulang ke Kotamobagu. Lalu kembali lagi ke Gorontalo, untuk yang kedelapan kalinya. Masih terhitung dengan jari. Dan, tetap saja jarak ke Gorontalo itu memang sialan jauhnya.

Tapi, Kota Gorontalo akan selalu saya rindukan. Di sana, bermacam-macam komunitas membuat setiap akhir pekan, begitu ramai dengan segala. Saya setelah kembali ke Kotamobagu, kerap kali kecewa sebab ada saja kegiatan-kegiatan menarik yang terlewati. Dari pentas teater saat peringatan Hari Bumi. Nonton bareng dan diskusi film dokumenter terbaru. Membincangkan banyak hal yang menambah ilmu gratisan. Meliput bersama beberapa jurnalis di hutan. Malam musikalisasi puisi. Membikin mural di tembok-tembok kota. Dan hal-hal yang tak pernah akan saya dapati di Kotamobagu.

Di sini, di Kotamobagu, memang mulai satu per satu corak kegiatan yang beda coba dibangkitkan. Selebihnya yang itu-itu saja. Tapi, saya selalu lemas saat melihat kenyataan bahwa generasi muda di sini, ah, lesu. Bahkan sebagai seorang jurnalis, tak ada secuil cakap yang bisa diajak bertukar-tangkap, kendati itu hanya lewat film-film bertema jurnalistik di layar tancap. Ajakan beberapa kali terujar, tapi begitulah... Nihil! Mokotompok! (bekeng pastiu).

Untuk sekian banyak alasan itu, saya akhirnya kembali memilih untuk meninggalkan Kotamobagu. Melompat ke ibukota Sang Utara. Benar sudah kata Ayah Amato (panggilan saya kepada Amato Assagaf) tentang saya: di mana ada pesta, di situ ada saya.

Meski rumah belajar Saung Layung Arus Balik merantai kaki ini. Dan itu adalah hal yang terberat (mar cuma di Manado kwa, Shandry). Tapi seperti inilah jalan ninja seorang jurnalis. Melompat, terbang, melubangi tanah, berjalan di atas air, menunggangi awan, dan memanjat pohon tinggi.

Kami akan selalu merentang perjalanan sembari menabung rindu.

Kamis, 19 Mei 2016

Happy Beerday, Saung Layung Arus Balik

Tidak ada komentar


20 Mei 2014

Saung Layung Arus Balik lahir dari rahim semesta. Sebuah rumah belajar yang berawal dari kelakar, Saung akhirnya mengakar. Kami seperti direkatkan pada sebuah sumpah. Setiap kali mengeja Saung Layung Arus Balik, ada sebuah dosa yang harus ditebus. Dosa yang kerap membikin kami menunduk ketika ada yang bertanya, "Di mana semangat kalian yang dulu itu?"

Dengan sisa-sisa semangat, kami coba menepis segala sangka dalam tanya-tanya itu. Kami yakin, Saung masih ada di lubuk. Ia terus terpupuk oleh bubuk-bubuk kopi yang menyiraminya, tatkala di kedai kisah-kisah itu mengulang. Bahkan, bagi kami, ruh Saung terlampau menjadi penyemangat pada setiap gerak. Iya, gerak yang seluruh dari kami yang masih hidup, muda, dan penuh mimpi ini.

Hari... Dan bulan terus menggelinding. Bulan yang terus menagih janji. Seiring perjalanan, kami mencoba menyegarkan kembali ide-ide yang telah lama beku. Percakapan pun terulang dengan mereka yang, hatinya bakal luruh mendengar kisah Saung. Namun, Saung masih tetap memilih menjadi dosa.

20 Mei 2015

Setahun, Saung masih menjadi mimpi yang mengeras dalam kepala. Ia bahkan pernah terlupakan. Saung begitu sunyi tanpa suara. Masih menjadi sebait: nyanyi bisu. Ia begitu sendiri di tengah pematang sawah yang mengering. Beruntung matahari enggan membakarnya. Saung, tetap mencoba bertahan. Sebab mati sebagai dosa, adalah kematian yang terlalu biadab.

Di langit sore itu, senja masih seperti warna-warna kemarin. Me-Layung. Mungkin itu pertanda, Saung yang sudah terlahir, akan mau disenjai hari. Tapi itu hanya sebatas prasangka, sampai akhirnya Saung tiba-tiba menjadi Arus Balik pada suatu malam. Ia kembali. Ada sebuah arus semangat di bawah kaki gunung yang, ingin segera menebus dosa. Dosa bagi kemanusiaan.

Penghujung tahun, semangat itu terus bersinar. Saung Layung Arus Balik tinggal menunggu hari. Apalagi, kami yang terpencar telah kembali. Kami tak lagi disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan yang, mengebat leher dan mencocok hidung.

20 Mei 2016

Semangat Saung, Layung, dan Arus Balik akhirnya menyatu. Itu melahirkan kekuatan yang gembira. Saung Layung Arus Balik mulai tumbuh menjadi anak-anak yang lucu. Kini, satu per satu mereka yang tergerak hatinya, urun rembuk mengasuh anak-anak. Setiap pekannya, kerap ada wajah-wajah baru yang hadir mengikuti kelas. Anak-anak belajar dan bermain dengan riang.

Wajah dosa itu, seketika menjadi urai airmata. Sebagaimana sebuah takdir, Saung Layung Arus Balik telah menandai kami. Kami tidak pernah memilihnya, tapi ia yang sebenarnya memilih kami.

Ah, Happy Beerday, Saung Layung Arus Balik. Jangan pernah dewasa. Tetaplah menjadi bocah yang penuh dengan keajaiban-keajaiban. Tak ada hadiah yang lebih berkesan, ketika dosa itu ditebus oleh tawa anak-anak.

Jumat, 13 Mei 2016

Selamat Menjadi Jurnalis

Tidak ada komentar

Pada suatu kali, aku mulai coba menulis. Di tengah erang sakit akibat tulang pinggul yang retak setelah jatuh dari lantai dua, aku coba menulis sebuah novel. Judulnya Simpul-simpul Kertas. Novel yang kutulis tangan pada sebuah buku, yang akhirnya aku sendiri sukar membaca tulisanku.

Kemudian, sebuah perjalanan setelah aku sembuh dari sakit. Aku menuju Makassar untuk belajar. Di sana, aku coba memahami siapa sebenarnya kita-manusia-lewat filsafat. Aku belajar sembari coba mencari kebijaksanaanku sendiri.

Setelah itu, aku terbang ke Bali di akhir tahun. Coba merasai seperti apa malam pisah-sambut tahun. Di sana, aku memutuskan membuat blog. Kunamai Getah Semesta. Satu per satu tulisan aku cicil. Satu per satu pembaca beranjangsana ke Getah Semesta.

Setahun di Bali, aku memutuskan kembali ke Kotamobagu. Di kota ini, aku bertemu kawan-kawan baru yang sepakat membikin sebuah media online. Namanya Lintas BMR. Kami cukup solid awalnya. Namun seiring waktu, masalah-masalah bermunculan. Kami bubar. Situs www.lintasbmr.com juga telah mati.

Hanya beberapa pekan kemudian, aku ditawari di media online Pilar Sulut. Media kawanku pula. Tapi hanya beberapa bulan saja, aku memutuskan berhenti. Media itu hingga sekarang masih eksis. Bisa diakses di www.pilarsulut.com.

Tak berselang lama, aku ditawari masuk di Radar Bolmong. Kali ini surat kabar harian. Aku bertemu kawan-kawan baru di sana. Minggu, bulan, berlalu. Satu per satu kawan-kawan itu pergi. Aku pun akhirnya memutuskan pergi. Tak nyaman lagi.

Sebulan berlalu, aku menuju Gorontalo. Aku berencana masuk anggota AJI di sana. Setelah diterima, aku ikut berjibaku di media online bentukan anggota AJI Gorontalo. Nama medianya De Gorontalo. Selama di sana, aku coba mengirim surat lamaran ke media-media. Sebab De Gorontalo hanya sambilan bagi para anggota AJI. Mereka semua bekerja di media masing-masing.

Aku diterima di Viva.co.id. Tapi kata redaktur di Jakarta, aku akan ditugaskan di Makassar. Aku menolak dengan sedih. Namun perjalanan ini sepertinya belum mau berhenti. Aku memutuskan kembali ke Kotamobagu. Di www.degorontalo.co aku tetap menyisihkan waktu untuk mengisi tulisan-tulisan dari para blogger.

Di Kotamobagu, aku diajak seorang kawan untuk membantunya di surat kabar mingguan. Namanya Koran Bolmong. Baru mau launching. Pekan ini sudah mau edisi ketiga, Koran Bolmong lumayan diterima oleh pembaca. Aku di situ, sembari menunggu portal desa dibuat. Portal yang khusus memberitakan tentang desaku. Desa Passi.

Tiba-tiba datang kabar, bahwa Rappler sedang mencari kontributor untuk wilayah Manado dan Gorontalo. Aku mengontak redaksi Rappler. Setelah diwawancarai singkat, aku diterima. Tapi aku harus menetap di kota Manado, kata orang yang merekrutku.

Sekarang, tinggal menunggu kabar dari redaktur, kapan mulai siap meliput. Media www.rappler.com memang salah satu incaranku. Pastinya aku bahagia bisa diterima. Meski dilema sebab harus meninggalkan desa dan kota ini lagi. Apalagi rumah belajar kami, Saung Layung Arus Balik, telah jalan.

Aku tengah menimbang sekarang...

Itu perjalanan singkatku di dunia jurnalistik. Dan setelah perjalanan selama hampir empat tahun di dunia itu, sepertinya langkah ini belum mau terhenti. Pada jeda ini, aku sadar, bahwa menjadi awak media itu bukan diukur dari seberapa lama kita terjun ke dunia itu. Atau seberapa banyak media yang pernah mengasuh kita. Namun yang aku pelajari dari jurnalisme, jauh yang lebih besar maknanya adalah: masih banyak manusia yang butuh bantuan di luar sana.

Ah, setiap media yang pernah mengasuhku memberi kisah masing-masing. Setiap media juga memberi pelajaran penting.

Pada akhirnya, aku menemukan kebijaksanaanku. Selamat menjadi jurnalis.

Sabtu, 07 Mei 2016

Seandainya Yuyun Tidak Dibunuh

Tidak ada komentar
Sumber foto: kemanusiaan.id
Seandainya Yuyun tidak dibunuh. Ia selamat, setelah 14 pemuda melampiaskan napsu mereka. Usia para remaja itu rata-rata terpaut tidak jauh dari korban. Bahkan korban mengenal baik satu di antara mereka.

Yuyun kemudian bercerita kepadaku…

Setelah kejadian itu, aku lebih suka di kamar. Dari lantai atas kamarku, di rumah dari susunan papan, aku suka duduk di tepi ranjang lalu menatap ke luar jendela. Aku seperti boneka kayu.

Aku belum bisa bersekolah. Masih sangat trauma dengan kejadian itu. Juga malu kepada teman-temanku. Tapi, kenapa aku harus malu? Aku korban di sini.

Kemarin, ketika aku sedang melamun, ibuku datang. Dia mengelus pundakku kemudian menawari aku makan. Lama baru aku menggelengkan kepalaku. Aku hanya ingin rebah. Aku berpinta lewat gerak bola mata. Ibu memapahku berbaring di ranjang berkasur tipis. Setipis harapanku.

Ibu pamit kembali ke dapur, menemui ayah yang baru pulang nguli. Kemudian bayang-bayang di karet, di karet, di karet itu aku diseret, kembali hadir. Aku menutup mataku rapat. Tapi peristiwa itu terlanjur penuh di seisi kepalaku.

Segala macam kemungkinan aku bayangkan. Andai saja aku menunggu teman-teman untuk pulang bersama. Atau aku naik mobil angkutan umum, yang biasa lewat di perkebunan karet itu. Tapi saat itu aku tak punya uang. Bahkan untuk jajan di sekolah, aku pun tak punya. Aku memilih mengenyangkan perut dengan ubi rebus setiap pagi hari, sebagai pengganjal perut sampai waktu pulang sekolah tiba.

Tapi semua bayangan kemungkinan itu percuma. Aku sudah melewati jalan itu dengan ikhtiar yang satunya lagi, yang membawaku pada takdir yang saat ini aku alami.

Kemarin, ibu bilang para pelaku sudah ditemukan. Dari 14 remaja, sudah 12 yang ditangkap. Mereka mencoba lari ke luar kota. Tapi polisi-polisi berhasil mengendus keberadaan mereka satu per satu. Ibu mengatakan itu dengan mata berair. Kali itu aku melihat ibu begitu sedih.

Ayah dan ibu pernah bilang, kalau mereka ingin semua pelaku dihukum mati. Tapi aku coba berkata-kata meski terbata-bata. Bahkan seandainya jika saat itu aku terbunuh, apakah pantas nyawa harus dibalas nyawa? Memang para pelaku hanya dituntut 10 tahun. Sidang sedang berjalan.

Ayah dan ibu tetap bersikukuh. Apa yang setimpal dengan perbuatan para pelaku, memang hanyalah kematian. Sama seperti kebanyakan orang yang menilai balasan apa yang pantas, untuk kebiadaban yang para remaja itu lakukan kepadaku.

Di persidangan, aku sebenarnya masih muak dijejali pertanyaan-pertanyaan. Sama seperti ketika polisi dan wartawan menanyaiku. Aku masih sangat trauma. Aku hanya ingin di kamar saja.

Aku belum mau memikirkan hukuman apa yang pantas kepada para pelaku. Tapi semua orang sudah mulai melontarkan kebencian mereka. Ada yang bilang dihukum mati. Ada yang menyalahkan cara orangtua para pelaku mengasuh anak mereka. Ada pula yang bilang karena minuman keras yang mereka tenggak. Karena film porno. Karena pemerintah yang membiarkan kemiskinan. Dan… semua tuduhan-tuduhan yang bahkan belum berada dalam pikiranku.

Aku korban. Usiaku 14 tahun. Dan aku belum menuduh apa-apa dan memutuskan hukuman apa yang layak bagi mereka. Apakah semua hukuman itu memang layak?

Orangtua para pelaku, pasti saat ini mencemaskan anak-anak mereka yang akan dihukum. Juga malu atas perbuatan anak-anak mereka. Tetangga-tetangga pasti mencibir.

Orangtua para pelaku pasti sama seperti orangtuaku yang juga mencemaskan aku. Meski berbeda kecemasan, tapi posisi orangtua memang kali ini setara. Sama-sama terpukul. Bahkan, sebenarnya aku sendiri tidak bisa menakar kecemasan mereka.

Orangtua mana yang ingin anak-anak mereka berperilaku tidak senonoh?

Orangtua mana yang ingin anaknya diperlakukan tidak senonoh?

Kemarin, orangtua para pelaku menyampaikan permintaan maaf. Pelaku-pelaku juga menitipkan maaf. Orangtuaku enggan memberi maaf.

Apa jadinya, jika aku memaafkan mereka?

Ah, pohon-pohon karet yang menjadi saksi bisu itu, mungkin bisa aku tanyai. Hukuman apa yang pantas untuk anak-anak manusia itu.

Jumat, 06 Mei 2016

Kelucuan Anak-anak SLAB adalah Suluh

Tidak ada komentar
Andi sedang berpuisi

20 Mei 2014, saya dan Shandry Anugerah, sepakat menamai rumah belajar kami: Saung Layung Arus Balik (SLAB). Itu nama yang ditemukan di tepi kolam ikan. Sudah pernah saya tuliskan sebelumnya di sini.

Beberapa kali pertemuan, anggota SLAB bertambah. Banyak yang ikhlas menjadi relawan. Tentunya untuk mengajar di SLAB.

Namun seiring waktu, satu per satu pergi. Sebab SLAB terlelap untuk waktu yang panjang. Kami juga tak menyalahkan mereka yang memilih pergi. Tapi kami yang tersisa, coba tetap menjaga nyala SLAB. Sebab ia adalah suluh. SLAB menjadi semangat kami untuk terus memikirkan nasib manusia lainnya. Mereka yang tak seberuntung kami.

Dua tahun berjalan, ketika itu SLAB terlelap. Hanya sesekali ia bangun saat kami tengah berada di kedai kopi. Membicarakan hal-hal yang kembali memantik nyala itu.

Akhirnya, teman saya, Shandry, memiliki pekerjaan yang membuatnya mau tidak mau, harus menetap di desanya. Saya pun memutuskan kembali ke desa, sebab guna apa belajar jika pengetahuan yang terberi tidak kita bagi-bagi.

Shandry, dengan sisa nyala suluh itu, membakar semangat pemuda di sekelilingnya. Kemudian SLAB, pada Jumat 6 Mei 2016, terbangun dari tidur panjangnya. Bangun yang memancing dengus semangat kami seketika.

Saat melihat foto yang dipajang Shandry di BBM, ketika anak-anak melipat kaki di lantai, dan tengah sibuk menyimak kakak mereka Wanto Mongilong, membagi ilmu di kelas bahasa Inggris. Saya melihat suluh itu kian benderang.

Di Sini, Semesta adalah Guru.

Pukul 4 sore, saya dari Desa Passi menuju Desa Bilalang 1, yang hanya berbatasan perkebunan. Beberapa menit saja, saya sudah sampai di rumah belajar Saung Layung Arus Balik (SLAB). Shandry, sedang mengajar bahasa Inggris.

Ada sekitar belasan anak-anak di kelas yang, adalah gedung sekretariat pemuda Desa Bilalang 1. Anak-anak melantai di atas bentangan karpet yang serupa rumput hijau. Jika saja bukan musim penghujan, mereka memang akan diajak belajar di luar kelas. Berbaur dengan alam di bawah rindang pepohonan.

Buku-buku dan alat tulis-menulis anak-anak berserakan. Mereka tidak sedang terpaku di buku. Tapi sibuk menyimak teman mereka mengeja nama-nama binatang, dengan bahasa Inggris.

"Ular, senek!" kata salah satu bocah laki-laki, yang terang saja mengundang riuh seisi kelas.

Saya pun ikut tertawa. Anak-anak di luar kelas, yang juga hadir untuk menyaksikan teman-teman mereka belajar ikut tertawa. Mereka juga diajak untuk belajar. Tapi mereka lebih memilih bermain. Kami membebaskan siapa saja yang ingin ikut belajar. Baik anak-anak putus sekolah, pun mereka yang mengeyam pendidikan formal.

Anak-anak yang di luar kelas, sesekali hanya datang mengintip. Juga beberapa orangtua dari anak-anak SLAB. Di tengah-tengah kelas berlangsung, terus berdatangan orangtua yang mengantar anak-anak mereka. Sudah dua puluh lebih anak-anak yang ingin belajar.

Lalu tiba waktunya saya mengajar. Kelas sastra bagi anak-anak. Saya yang belajar sastra hanya dari alam raya, hari-hari sebelumnya terlebih dahulu memindai beberapa materi di internet. Kebetulan, internet saat ini memang sangat membantu. Ada berbagai macam metode belajar pengenalan sastra bagi anak-anak.

"Ada yang tahu sastra itu apa?" tanya saya.

"Puisi!" jawab satu dua anak serentak.

"Iya, puisi memang termasuk karya sastra," kata saya.

Kemudian saya menjelaskan pengertian sastra sesederhana mungkin. Setelah itu, coba kembali melemparkan pertanyaan.

"Apa saja yang tergolong dalam sastra?"

Jawaban-jawaban mereka sangat mencengangkan. Meski mereka mengaku di sekolah hanya pernah belajar mengarang dan berpuisi. Tapi seperti; pantun, cerita atau cerpen, novel, sandiwara atau drama, juga lukisan dan kaligrafi, satu per satu mereka jawab sendiri. Saya memang coba bertanya dengan menggiring imajinasi mereka.

"Anak-anak pasti pernah menonton film, kemudian coba meniru adegan-adegan dalam film di depan cermin ketika sedang sendirian. Hayo, siapa yang pernah begitu?" tanya saya.

Seisi kelas bergemuruh dengan tawa. Anak-anak saling menuding teman-teman mereka.

"Nadia! Nadia!"

"Santika! Santika!" Teriak anak-anak bergantian menyebut nama-nama teman mereka.

Kemudian saya kembali bertanya, "Nah, itu namanya sedang berakting. Selain dalam film dan sinetron, anak-anak bisa melihat orang-orang berakting seperti itu di mana?"

Kemudian mereka berpikir. Pandangan mereka menyapu langit-langit kelas, dinding, lantai, dan papan tulis. Hanya beberapa menit, mereka menjawab drama. Juga disusul dengan sandiwara.

Setelah itu, satu per satu poin coba dipelajari. Di mulai dari pantun. Di Bolaang Mongondow, pantun itu biasa disebut salamat. Saya coba bertanya siapa yang bisa membaca salamat. Tiga orang anak berdiri. Nama mereka bertiga, Rizki, Amri, dan Taufik.

"Dimulai dari Amri, ya," kata saya.

Amri dengan lantang ber-salamat, "Salamat kon manukku tulug. Sinogotku kon diug tolutug. Noi talib ki aki nobongkuyug. Sinomuku bo binongkug.(Salamat untuk ayam jantanku. Kuikat di dekat pancuran. Lewat seorang kakek sedang memikul. Kutemui lalu kupukul)"

Sekali lagi, kelas meriuh. Saya dan Shandry terpingkal-pingkal. Salamat itu sangat bagus. Namun makna yang terkandung di dalamnya, memang tidak baik untuk anak-anak. Kemudian saya coba merubah salamat di baris terakhir. Dengan kalimat: Sinomuku bo inogoian tulug.(Kutemui lalu kuberi ayam jantanku). Tanpa mengubah rima, dengan makna yang lebih positif.

Rizki lanjut membaca salamat-nya. Ketika tiba giliran Taufik. Anak itu menghilang. Ia memang anak yang terbilang unik. Dan yang paling lucu di kelas.

Pelajaran kemudian terus berlanjut. Puisi. Hanya beberapa menit saya menjelaskan apa itu puisi. Anak-anak cepat tanggap dan sudah siap diberi tugas. Berbagai macam puisi lahir di sore itu. Dari tokoh idola mereka seperti: guru, ibu, dan ayah. Juga tentang setangkai bunga, buah rambutan, kesedihan, dan kebahagiaan.

Mendengar semua puisi anak-anak, dada saya bergetar. Ada yang menceritakan tentang guru mereka yang dianggap sebagai sosok pahlawan. Metafora matahari, bulan, dan berbagai macam perumpaan semburat dari imajinasi anak-anak sekolah dasar. Juga dari anak-anak yang putus sekolah. Tentang perjuangan ayah mereka mencari nafkah. Kasih ibu. Bahkan tentang sebuah kebahagian. Pun tentang kematian. Dan yang terlucu, puisi buah rambutan dari Taufik.

"Aku suka sekali makan rambutan. Rasanya manis," baca Taufik, dengan serius. Tapi wajah culunnya kerap mengundang tawa.

Seiring waktu, akhirnya dua jam pertemuan di kelas sastra usai. Kemudian saya memberikan tugas untuk mereka. Membaca puisi pendek, Saung Layung Arus Balik, tanpa teks.

Mereka antusias, bahkan sudah ada yang berhasil menghapal bait puisi yang berderet di papan tulis itu. Ketika saya memberi anak-anak pilihan ganjaran apa, bagi siapa yang tidak berhasil menghapal. Mereka menyepakati, yang tidak berhasil menghapal akan disuruh menyanyikan bait puisi itu.

Tak pernah terpikirkan oleh saya, anak-anak itu serentak menyanyikan bait puisi.

Saung Layung Arus Balik

Kami belajar dengan senang hati

Kakak-kakak yang lucu berbagi ilmu
Kata mereka, kami bisa belajar sesuka hati
Sebab di sini, semesta adalah guru

Pandangan saya tiba-tiba kabur oleh genangan air di bola mata. Saya terharu. Itu belum diringi petikan gitarnya Shandry.

Kelas usai. Anak-anak meninggalkan semangat mereka di kelas. Semangat yang akan mengekalkan SLAB.

Baru saja saya dan Shandry berbincang tentang kelas barusan. Taufik, si anak terbandelucu itu datang lagi. Padahal sebelumnya dia yang kerap bertanya: sudah bisa pulang?

Penasaran dengan salamat-nya yang tak terucap tadi, saya coba bertanya.

"Kenapa tadi tiba-tiba menghilang? Sekarang coba baca salamat-nya Taufik."

Sambil tiduran di karpet, dia ber-salamat. "Salamat kon manukku lengat. Nongayum kon pangkoi bolangat.(Salamat untuk ayam hutanku. Bertengger di pohon rambutan)"

"Selalu rambutan," kelakar Shandry.

Taufik kemudian melanjutkan. "Salamat kon manukku lengat. Nongayum kon pangkoi bolangat. Noi talib bobai ben lunat. Inoini'ku mokaan kon bolangat.(Salamat untuk ayam hutanku. Bertengger di pohon rambutan. Lewat gadis cantik. Kupanggil untuk makan rambutan)"

Ehuu! Kelucuan-kelucuan ini adalah SULUH!

Ini tu de pe nama Taufik

Minggu, 01 Mei 2016

Kami yang Mendustai Pagi dan Mereka yang Mendustai Buruh

Tidak ada komentar

Laga sepak bola baru saja usai sore kemarin. Tim sepak bola Desa Passi berhasil mengoyak jala rivalnya, Desa Bintau, dengan jumlah gol yang tak sedikit. Empat saja. Meski sempat dibalas satu gol.

Pesta merampah bebek pun dimulai. Pesta yang kami daulat sebagai euforia kemenangan, pun sebagai bentuk protes sebab spoiler di sosmed mengenai AADC 2 yang baru saja ditonton kawan-kawan kami itu, termuntahkan dengan kekecewaan.

Terus terang kami pun, anak-anak Rumah Pemuda Merdeka (RPM) Desa Passi, merasa terpukul membacai status kawan-kawan yang telah menonton AADC 2, yang berserakan di sosmed. Sebab kami yang pernah unyu di masa Orde AADC, harus menelan serapah dari kawan-kawan yang juga hidup di masa yang sama.

Tapi debat kami yang membikin rica di rampah-rampah bebek bertambah pedas itu, akhirnya pelan redam. Saya, Uwin, dan Oxa, harus menuruni bukit Eropassi menuju Kota Kamunce (Kotamobagu), setelah kenyang dengan sepiring nasi dan lauk bebek.

Kami bergegas turun gunung, sebab di kampus UDK, tengah ada party reggae anak-anak Slank Bolmong Raya (Slabor) dan komunitas vespa. Dari Palu pun sempat hadir, dan yang membuat saya lebih merasa berdosa jika tidak hadir pada acara itu adalah, ketika kawan Temi yang sama-sama bernaung di AJI Kota Gorontalo, jauh-jauh dari Manado sudah tiba dan katanya ingin memuntahi Kotamobagu. Saya suka kalimat itu: ingin memuntahi Kotamobagu.

Kampus UDK sangat ramai malam itu. Setelah bertemu dengan Temi, kami turlan bersama orang-orang yang berpogo ria. Musik pantai menarik ubun-ubun ke depan dan ke belakang. Gelas-gelas, botol-botol, ubi rebus, dan ikan-ikan bakar bertebaran. Panggangan masih merah baranya. Unggun pun masih nyala. Sudah pukul 1 lewat tengah malam. Tapi puluhan orang masih berjejalan dengan vespa-vespa yang berserakan di lantai pogo.

Kemudian Pramoedya Ananta Toer berbisik: minumlah sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Kata-kata yang disesuaikan suasana. 30 April 2006, 10 tahun berpulangnya Pram. Meski telah lewat beberapa jam, kami menyempatkan bermonolog dan berpuisi. Setelah itu, kami memilih melingkar lalu lanjut pesta gelas dan tulang. Hingga kami kembali berniat mendustai pagi kali itu.

Di antara gelas-gelas, botol-botol, vespa-vespa, tulang-tulang ikan, dan bara api, kami menyanyi. Hingga langit hitam terlihat bergradasi menjadi abu-abu. Lalu matahari pecah di timur namun kami belum mau mendengkur.

Yang terdengar masih denting botol dan petikan gitar. Juga cerita-cerita dari masa yang akhirnya mengajak kami mengingat lagi. Pagi itu ternyata sudah 1 Mei. Dan itu adalah hari buruh! May Day!

Kami yang tersisa lima orang saja, memutuskan turun aksi pukul 7 pagi. Setelah gelas-gelas kosong dan botol-botol rebah. Tepat di bundaran depan kampus, bermodalkan kardus, kami menorehkan sederet kalimat: MAY DAY! Upah layak bagi buruh!

Kemudian teriak lantang mengundang perhatian para pengendara. Mereka heran, sepagi ini, dari mana genderuwo-genderuwo bertato ini muncul. Tiga genderuwo dan dua bidadari. Mata mereka tertuju kepada dua punk girls yang turut beraksi di jalanan.

Kami merasa pesan kami tersampaikan, ketika seorang sopir yang mengangkut bahan bangunan, di Minggu pagi itu berteriak, "Mantap!" Ia sepertinya sadar ketika berdetik-detik dicegat lampu merah, dan terus menyimak koar kami, bahwa apa yang kami suarakan adalah tentang "dia".

Meski hanya berlima, kami tetap semangat pagi itu. Sama seperti ratusan TKI di Victoria Park, Hongkong. Sama seperti ribuan buruh yang bergermuruh di GBK, Jakarta. Sama seperti jutaan buruh di Perancis dan negara-negara lainnya, yang hak-hak mereka masih belum terpenuhi.

Di negara kita, pun tak ketinggalan di kota kecil kita ini, Kotamobagu, masih banyak buruh-buruh yang ditindas dengan jam kerja yang berlebihan. Terlebih para jurnalis. Padahal itu telah diatur dalam pasal 77 sampai pasal 85 Undang-Undang Nomor 13, 2003, tentang Ketenagakerjaan.

Mengenai jam kerja, waktu istirahat kerja, dan waktu lembur tidak pernah diperhatikan. Sebenarnya masih banyak pula buruh yang tidak mengetahui hak-hak mereka itu. Padahal seharusnya di beberapa perusahaan, menyoal jam kerja, waktu istirahat, dan lembur harus sudah dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Peraturan untuk buruh yang bekerja selama 5 hari kerja dalam seminggu, maka kewajiban bekerja adalah 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam seminggu. Sedangkan untuk 6 hari dalam seminggu, jam kerjanya adalah 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam seminggu.

Sekarang ini, hak buruh mengenai lembur banyak yang diabaikan. Sebab beberapa pekerja, termasuk jurnalis adalah mereka yang melakukan pekerjaan di atas 8 jam sehari. Tapi hak-hak lembur mereka tidak pernah dibayarkan. Ditambah dengan upah yang belum layak atau tidak sesuai dengan standar UMP, yang menyebabkan para jurnalis rentan dengan "uang saku".

Bukan hanya para jurnalis, tim redaksi yang sama berjibaku di balik meja kerja hingga larut malam, demi desain grafis, ilustrasi, dan agar tampilan koran apik. Mereka harus rela kerja melewati batas keharusan, tanpa terhitung lemburnya. Bahkan waktu dengan keluarga pun tersita.

Jangan sampai nanti, kita - kaum buruh - tidak sadar anak-anak kita telah tumbuh besar, karena saking jarangnya bersama-sama.

Atau... Itu sudah terjadi?