kompas.com |
"Sah!"
Jokowi telah mengesahkan Perppu yang memberatkan hukuman bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Selain hukuman ditambah menjadi maksimal 20 tahun, pun seumur hidup, hukuman kebiri juga akan diberlakukan. Mendengar kata 'kebiri', saya seketika terbayang seekor anjing di kampung, yang tubuhnya tiba-tiba membesar usai dikebiri.
Siapa saja tentu sangat mengecam segala bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Meski kita tahu sendiri, laki-laki pun sebenarnya bisa menjadi korban. Namun pro-kontra tentang hukuman kebiri, saya sepertinya harus berdiri di posisi menolak. Perilaku kejahatan seksual yang menyimpang adalah sebuah proses akal yang keliru.
Sama seperti pengesahan Perppu kebiri, pemerintah sepertinya sedang keliru menanggapinya. Tidak akan pernah ada efek jera bagi pelaku tindak kejahatan. Jika ada efek jera, maka setiap tahun pelaku kejahatan pasti akan terus berkurang. Sebab pangkal kejahatan, bukan melulu soal niat. Tapi pemahaman akan aturan dan hukum juga memiliki peran penting.
Di negara-negara lain, semisal Belanda, bahkan banyak penjara-penjara ditutup. Sipir-sipir menganggur sebab setiap bulan, tahun, pelaku kejahatan terus berkurang. Itu bukan soal efek jera, tapi bagaimana masyarakat di sana telah belajar memahami, sebelum melakukan tindak kejahatan.
Saya sebagai seorang jurnalis, pernah sesekali meliput sidang tindak kekerasan seksual. Ketika para pelaku usai disidang, saya coba mewawancarai mereka di balik jeruji tahanan pengadilan. Baik para pelaku yang berasal dari perkotaan, mereka yang berasal dari pedesaan pun coba saya tanyai.
Dan pengakuan yang kerap kali saya dapatkan memiliki pola yang sama. Mereka memang tidak tahu menahu tentang hukuman apa yang akan mereka hadapi. Dari pelaku yang masih remaja hingga orang dewasa, mereka mengaku bahwa menyentuh bagian sensitif tubuh perempuan di bawah umur, bukanlah sebuah kejahatan yang akan diganjar hukuman berat.
Begitu juga dengan pemerkosaan. Para pelaku mengaku bahwa apa yang mereka perbuat, tidak lebih keji dari membunuh. Bahkan ada yang berdalih karena mereka saling mencintai. Tapi hukum tidak mengenal kata cinta. Selama itu anak di bawah umur, hukuman yang berat siap menanti usai hakim mengetuk palu.
Jika hukuman kebiri dianggap satu solusi, maka pemerintah terjebak dengan suatu proses penyadaran yang 'after'. Melakukan dulu, baru ditindak, kemudian sadar. Padahal tujuan sebenarnya untuk meminimalisir tindak kejahatan adalah bagaimana masyarakat itu sadar hukum. Sudah sejak dalam pikiran.
Pencegahan lebih penting. Bukan melulu tentang apa yang telah terjadi. 'Before' bukan 'after'. Bahkan soal penyakit pun, dokter menyarankan sebaiknya kita mencegah daripada mengobati. Apakah kita harus demam dulu, baru sadar itu akibat kita mandi hujan? Jika tidak ingin demam, maka jangan mandi hujan. Ini soal pemahaman.
Sejauh ini, seberapa gencar pemerintah melakukan kampanye baik itu di masyarakat kota atau desa? Mungkin pernah sosialisasi dilakukan, tapi yang diundang hanya lurah-lurah dan digelar di gedung-gedung mewah. Sepulangnya dari sana, lurah-lurah bahkan sudah lupa apa saja yang hendak ia sampaikan kepada masyarakat. Kerap kali informasi tidak menukik ke bawah. Tapi hanya mengendap.
Sosialisasi selama ini hanyalah seremonial-seremonial berspanduk. Niat untuk memberi pengetahuan dan kesadaran, tertutup oleh tema yang ditulis dengan huruf-huruf besar. Bahkan, kata 'sosialisasi' menjadi serupa sesuatu yang formalitas saja. Sejauh sudah dilakukan, ya, sudah.
Hukuman kebiri akan menjadi sama tidak efektifnya, meski media massa menggaungkan secara terus menerus soal hukuman itu. Apakah berita-berita bisa mendidik pembaca agar takut untuk melakukan tindak kekerasan seksual? Saya kira tidak. Sebab tidak semua orang itu suka membaca koran, atau merogoh kantongnya untuk sekadar membeli selembar. Pun tidak semua orang memiliki ponsel yang bisa mengakses informasi terkini.
Menghukum pelaku tindak kekerasan seksual dengan dikebiri kimia, tidak serta merta menghilangkan perilaku menyimpangnya. Jika kita mencuri, maka tangan kita dipotong. Bukan seperti itu. Saya mencontohkan, jika saya hendak mencuri ponsel tanpa menggunakan tangan, saya bisa melakukannya dengan mulut. Apalagi, orang-orang yang ketika tangannya dipotong, maka kaki dan mulutnya bisa menjadi terlatih dengan sendirinya. Siapa yang pernah melihat orang melukis dengan mulut atau kaki?
Sama seperti pelaku tindak kekerasan seksual. Penis bukan satu-satunya alat. Kekerasan seksual bisa dilakukan oleh mulut, tangan, bahkan jempol kaki sekalipun. Jika hukuman kebiri melalui suntik kimia diterapkan, di sini, kita bicara tentang libido. Bicara soal syaraf. Bahkan dokter Ryu Hassan yang ahli di bidang neurologi mengatakan, secara teoritis tidak ada hubungannya. Orang jahat, jahat saja.
"Tidak ada orang jahat, (kalau) libidonyo turun, kejahatannnya hilang. Tidak ada, tetap jahat."
Maka pemerintah sebaiknya gencar memberi pemahaman. Studi banding sana ke Belanda, dan tanya apa saja yang membuat tindak kejahatan di negeri itu terus menyusut. Setelah kembali, turun ke lapisan masyarakat terbawah di manapun mereka berada. Di pelosok-pelosok desa yang bahkan mereka tidak pernah mendengar tentang siapa itu Sum Kuning, siapa itu Yuyun.
Selain itu, pendidikan seks kepada anak di usia dini itu penting. Anak-anak harus diberi arahan, bagaimana mereka harus bertindak ketika ada orang asing atau bahkan orang yang ia kenal, memperlakukannya dengan tidak senonoh. Apa saja bagian tubuh anak-anak yang sensitif dan tidak boleh disentuh orang lain. Sekalipun itu orangtua sendiri.
Baik dari calon pelaku dan calon korban, keduanya diberi pemahaman. Saya pikir, saat ini kita sendiri bisa memahami persoalan kekerasan seksual, sebab kita memang tahu langkah-langkah apa saja untuk bisa terhindar dari berpikir keliru. Sebab ketidaktahuan itu lebih kejam dari niat. Niat itu bisa hadir karena ketidaktahuan. Dan ketidaktahuan adalah kebodohan.
Cara membudayakan kebodohan secara terus menerus itulah, lalu hasilnya yang menjadi objek untuk sebagian orang menilai bahwa; seperti inilah yang harus, seperti itulah yang baik, dan seperti beginilah yang pantas untuk hukuman kepada pelaku tindak kekerasan seksual. Lalu pertanyaannya, apakah layak mereka dijadikan dasar untuk menetukan sikap atau penilaian karena kebodohan mereka?
Kita tahu sendiri, tak hanya dalam kasus kekerasan seksual. Bahkan menyoal penebangan hutan, kebanyakan masyarakat akan belajar dulu bagaimana dampak negatifnya, setelah itu terjadi. Banjir datang baru sadar. Selanjutnya, setelah merasakan dampak itu, masyarakat lalu paham. Itu kebodohan yang dibudayakan namanya. Kita harus merasakannya dulu agar tobat. Kita tidak harus celaka dulu untuk selanjutnya berhati-hati, bukan?
Dan... Kejahatan itu bukanlah pengalaman yang harus disadari setelah terjadi. Sudah bukan abadnya untuk kita berpikir; jangan jatuh di lubang yang sama. Namun, bagaimana agar kita bisa menghindar sebelum kita jatuh.
No comments :
Post a Comment