Senin, 12 Mei 2025
Bangga Hadir di Maa Ledungga
Dataran Dumoga yang selama bertahun-tahun tak pernah lagi saya jejaki, berlangit cerah sore itu. Ada aroma tanah persawahan serupa petrikor yang terhidu di dalam laju mobil. Aroma itu khas seolah-olah bercampur dengan keringat lelah para petani.
Hari itu, Jumat, 2 Mei 2025, saya tengah menuju Gorontalo melewati jalur selatan, Bolaang Mongondow. Rute ini memang jarang dilewati, tapi meringkas jarak dibandingkan jalur utara.
Di Gorontalo tepatnya di Huntu Selatan, Kecamatan Bulango Selatan, Kabupaten Bone Bolango, sedang ada Pesta Seni Panen Padi, Maa Ledungga. Ini event yang keempat kalinya. Ada banyak seniman yang berkolaborasi pada event ini, baik perupa lokal dan mereka yang berada di luar daerah.
Jalur selatan yang saya pilih ini, menyuguhkan panorama alam yang berbeda. Sebab kita akan sering melewati persawahan ketika berada di Dumoga yang didapuk sebagai lumbung berasnya Sulawesi Utara, lalu pesisir pantai dengan pemandangan kampung-kampung nelayan ketika berada di Bolaang Mongondow Selatan. Perahu-perahu nelayan kerap terparkir di tepi pantai.
Petani dan nelayan adalah dua profesi penting yang sangat bergantung pada alam, untuk menghasilkan pendapatan. Saat ini, lahan pertanian di Indonesia mengalami penyusutan, khususnya lahan persawahan. Penyebabnya mulai dari alih fungsi lahan untuk perumahan, industri, dan infrastruktur. Sementara nelayan, kerap menghadapi kendala seperti pemasaran hingga akses modal yang kurang, sampai sering kali menjebak mereka untuk terlibat pinjaman kepada para tengkulak, mahalnya bahan bakar, serta masalah perubahan iklim.
Maa Ledungga #4 yang kali ini mengusung tema "Suaka" artinya perlindungan, hendak menyuarakan kegelisahan-kegelisahan semacam itu. Ada kolaborasi antara seni, pertanian, dan pangan yang melibatkan 43 seniman dari berbagai daerah, serta partisipasi aktif masyarakat, mahasiswa, lembaga, komunitas, dan kolektif.
Sejak dibuka pada 29 April dan dihadiri oleh kurator seni Bob Edrian, sudah berbagai kegiatan yang berlangsung. Dari mulai pameran lukisan dan seni instalasi yang menariknya dilaksanakan di gilingan padi warga sekitar, juga ada sejumlah diskusi publik, dan masih banyak kegiatan lainnya. Meski saya tidak sempat hadir pada pembukaan, tapi sesampainya di lokasi event, rasanya dada ini tetap seperti dipenuhi ratusan capung, ada rasa bangga ketika bisa hadir di Maa Ledungga.
Saya menginap di Huntu Art Distrik (Hartdisk) selama 4 hari, dan di lokasi ini pula berdiri Pasar Ambuwa. Pasar yang sebenarnya hanya dibuka dua kali selama sebulan, tapi selama event Maa Ledungga dibuka penuh setiap hari. Di sini, pengujung wajib membawa perian atau tabung minum sendiri atau tumbler. Pasar menyediakan galon isi ulang. Kantong plastik atau makanan-makanan ringan berbungkus plastik, juga dihindari.
Sejak masuk ke dalam pasar, kita seolah-olah baru saja melewati pintu ke mana saja dan kembali ke masa beratus-ratus tahun yang lalu. Alat transaksi di dalam pasar, memakai kepingan yang terbuat dari tempurung kelapa. Setiap keping senilai Rp6 ribu. Keping ini nantinya dipakai untuk berbelanja berbagai macam makanan tradisional Gorontalo seperti binte biluhuta atau milu siram, popolulu, kala-kala, sabongi, apang colo, garo ubi dan lain-lain. Wadah yang disediakan kerap beralaskan daun pisang. Untuk sisa-sisa makanan, jangan khawatir, pasar menyediakan tempat sampah, serta ada banyak kucing terlantar yang tinggal di sini siap melahap makanan sisa, atau makanan dari pengunjung yang hendak berbagi. Anak kucing terbaru diberi nama Suaka, serupa tema Maa Ledungga #4.
Pengunjung bisa berlesehan di atas tikar-tikar anyaman sembari menikmati langit sore hari. Pasar Ambuwa juga sering membuat kelas memasak, pengenalan rempah-rempah kepada anak-anak, dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kuliner tradisional. Ada berbagai macam rempah dan hasil bumi dipajang, serta stoples-stoples mungil berisi biji-bijian.
Jika pengunjung telah kenyang, bisa langsung mengunjungi lokasi pameran yang letaknya tak jauh dari pasar. Kalau Hartdisk dan Pasar Ambuwa adalah lokasi pertama, maka lokasi keduanya adalah Gilingan Ka Mi’u, dan yang ketiga Gilingan Ka Jami’. Di Gilingan Ka Mi'u ada dua tempat yang bisa dikunjungi. Yang pertama seni instalasi dan beberapa lukisan yang bertema kasus pelecahan seksual. Ini adalah karya kolaborasi seniman Syam Terrajana dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo. Ini serupa rumah yang mengingatkan kita, bahwa ada banyak suara-suara yang belum terdengar, bahkan itu berasal dari sekitar kita. Akhir-akhir ini, di Gorontalo memang tengah marak kasus pelecehan seksual kepada perempuan dan anak di bawah umur. Yang terakhir melibatkan rektor di salah satu universitas, yang diduga korbannya sampai belasan.
Setelah dari sini, pengunjung bisa berjalan kaki seperlemparan kerikil dan gilingan yang kabarnya baru dibangun bisa ditemui dengan pintu terbuka lebar. Di sini berisi sejumlah karya seni instalasi dan lukisan dari para perupa. Yang paling menyita perhatian adalah seni instalasi karya seniman asal Bali, I Ketut Putrayasa. Karya dari tumpukan karung plastik transparan berisi padi sebanyak 1 ton yang dibebat kain merah, dan tertusuk runcing ratusan bambu itu berjudul “Oryzamorgana". Karya ini menyuarakan isu ketahanan pangan.
Ada sejumlah lukisan dari para perupa Gorontalo dan dari luar daerah ikut terpajang. Mungkin ini satu-satunya pameran yang tidak dilaksanakan di galeri, tapi malah di gilingan padi milik warga. Dari Gilingan Ka Mi’u, kita bisa lanjut ke lokasi ketiga yang letaknya juga hanya lima menitan berkendara. Di Gilingan Ka Jami’ kita disambut fasad yang digarap karikaturis Gorontalo Yayat Gokz dan perupa Passwart, yang bertema isu-isu aktual serta ketimpangan sosial yang terjadi saat ini. Belasan fasad ini dibuat di atas kain selebar tirai dan menjuntai sepanjang tiga sampai empat meter, serta gambarnya bertinta hitam dan merah memberi kesan dark dan warning.
Di dalam ada karya seni instalasi karya perupa Gorontalo, Jon Kabila, yang langsung menyihir pandang. Sebuah sampan di atasnya berjejer belasan miniatur rumah, yang tampak seperti permukiman Suku Bajo. Di tengah-tengah sampan terpancang pohon bakau mengering. Selain itu ada belasan karya perupa ternama lainnya seperti Iwan Yusuf, Anagard, dan lain sebagainya.
Sejak berkunjung dari gilingan pertama hingga kedua, saya seperti sedang menyaksikan pameran yang tak ternilai harganya namun bisa diakses gratis. Apalagi ditambah Orasi Kebudayaan dari Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Zenzi Suhadi. Saya sempat merekam kalimat Zenzi yang berisi pesan kepada para petani. Zenzi mengatakan, para petani tak harus menanam komoditas yang tengah melambung harganya. Kebiasaan para petani kerap mengganti jenis tanaman. Padahal, semua jenis komoditas itu dibutuhkan pasar. Jika sekarang petani tengah fokus membudidayakan kakao atau cabai, maka fokuslah di situ. Ia juga mengkritik kebijakan pemerintah yang kerap mengabaikan para petani, serta pengerukan sumber daya alam yang membabi-buta tanpa mempertimbangkan bencana ekologis.
Selama empat hari di Gorontalo, sepertinya belum cukup. Sebab ada banyak kegiatan lainnya seperti pentas teater, pembacaan puisi, monolog, pantomim, hiburan dari band-band lokal, dan masih banyak lagi seni pertunjukan lainnya yang akhirnya terlewati sebab saya harus cepat-cepat pulang.
Hari ini, Minggu, 11 Mei 2025, Maa Ledungga #4 akan ditutup. Tapi ada banyak karya serta keakraban yang akan tersimpan di tabungan ingatan saya. Odu'olo ...
Rabu, 26 Maret 2025
Cemas
Sabtu, 22 Maret 2025
Ramadan
bulan ketika mala-
ikat bebas mengibas
sayap ke wajahwajah
lapar dan iblis lepas
pergi
merejah kerumunan
pemburu takjil
bisikkan: belilah lamunan
beri kepada jibril.
Passi, 2025
Sabtu, 08 Maret 2025
Amato
kangen suaramu yang seperti kicau cendrawasih jingga, saat melafalkan baitbait bujangga.
kangen suaramu ketika sesekali terhenti pada titik & koma, kemudian puisi kembali menggema.
kangen suaramu sebab sekarang orang-orang meracau, di atas retakan tanah kemarau.
Passi, 2025
Selasa, 18 Februari 2025
Cinta Bertepuk Sebelah Angan
mencintaimu, membuatku tak bisa membeda: mencintai orang yang salah atau yang benar. sebab kau bayang yang bergelimun abu-abu. datang seperti senyap kabut di pagi buta.
pernah aku menantimu hingga membatu di bangku taman sebuah danau. kau tiba dan melemparkanku ke bentang air—mengapung selama seribu hari. hanya satu bunyi detak janin menunggu dilahirkan yang akhirnya menenggelamkanku.
ketika tubuhku membentur dasar, terdengar suara cinta bertepuk. bertebaran lanau angan-angan: kapan ujung temali terjulur lalu menegang setelah tergenggam. tapi kau di atas sana sibuk mengisahkan saga kepada seorang bocah.
Passi, 2025
Kamis, 06 Februari 2025
Tampeleng
"Orang tua dan guru pernah menjadi anak-anak. Tapi anak-anak tidak pernah menjadi orang tua dan guru."
Saya mengutip kalimat itu dari status seorang kawan di FB. Terdengar familiar dan menurut saya inilah kalimat paling mewakili dalam kasus "tampeleng" (tampar), yang diduga dilakukan seorang guru kepada anak didiknya di salah satu SMA di Kotamobagu.
Dari video live FB yang dilakukan ayah si siswi, tampak ibu guru ini meminta maaf karena telah berbuat demikian. Ia mengaku hanya menempeleng dengan lembut, yang dibahasakan sebagai "tampeleng sayang".
Pertama, yang harus diperhatikan dalam kasus ini adalah apakah benar ibu guru ini menempeleng siswi ini dengan lembut? Menurut pengakuan ibu guru ia hanya menempeleng dengan lembut, tapi kenapa siswi ini menangis lantas pulang mengadu? Kita tidak bisa menghakimi siswi ini sebagai anak manja, lalu membanding-bandingkan pengalaman kita semasa sekolah yang penuh dengan cubitan dan cambukan. Adagium "di ujung cemeti ada emas" telah usang.
Sebuah tamparan, mau keras atau lembut, kepala adalah tempat bersemayamnya otak manusia. Otak dan kemampuan berpikir manusia inilah yang menjadikan kita makhluk superior, dibandingkan binatang, iblis, bahkan malaikat. Malaikat disetel sifatnya oleh Tuhan hanya untuk menjadi makhluk baik, begitupun sebaliknya iblis hanya jahat. Tapi manusia bisa menyerap kedua sifat itu: baik dan jahat. Betapa agungnya kita sebagai makhluk hanya karena otak (daya pikir) kita.
Mungkin karena saking terhormatnya kepala maka kenapa "tola kapala" (towel kepala) sangat dilarang dalam budaya kita. Ini bisa menjadi pangkal masalah. Bahkan kita dilarang untuk menduduki bantal tidur sebab itu adalah tempat kepala kita berlabuh. Entah kenapa juga ibu guru itu memutuskan untuk menempeleng, padahal cubitan lejen (bahkan ini pun sudah dilarang) bisa menjadi pilihan kalau memang tidak bisa menahan gemas.
Kedua, jika benar siswi ini ditampar atas nama hukuman pendisplinan, maka apa yang telah diperbuatnya? Jika sering terlambat masuk sekolah, apakah teguran harus dengan kekerasan? Ajaklah siswi itu ke ruangan yang hanya ada guru dan dia. Kemudian tanyakan alasan kenapa ia sering terlambat. Bicaralah baik-baik seperti kausedang berbagi dengan teman baikmu. Apalagi kalian yang guru, yang mungkin pernah mengikuti tes psikotes pasti paling paham yang beginian. Yang sangat disayangkan, ketika para guru yang justru ikut menormalisasi kekerasan. Solidaritas memang perlu, tapi ingat ada pasal yang melarang kekerasan terhadap siswa. Lega ketika ada kawan pengajar yang malah melawan arus dan ikut menolak kekerasan terhadap siswa. Mereka yang percaya bahwa hanya ikan mati yang bisa terbawa arus.
Saya jadi ingat sebuah film pendek tentang pak guru yang kerap memukul telapak tangan seorang siswanya dengan mistar, karena anak ini sering terlambat. Sampai suatu hari, ia melihat alasan kenapa anak itu kerap terlambat ke sekolah. Ternyata setiap pagi bocah itu sering membantu dulu saudaranya yang cacat di kursi roda. Guru itu akhirnya menyesali perbuatannya dan menciumi tangan anak itu yang sering ia hantam dengan penggaris.
Saya tidak berharap ada alasan yang dramatis seperti itu dalam kasus siswi yang ditempeleng. Tapi setidaknya, itulah tugas pihak sekolah dan orang tua untuk mengungkap, kenapa anak itu sering terlambat kemudian mencari solusinya bersama-sama. Berbagai bentuk sanksi alternatif juga bisa diterapkan selain kekerasan. Hukuman yang mendidik dan tidak menyakiti fisik atau psikis siswa. Ada banyak metode seperti itu yang bisa dibaca di buku, digugling, atau yang telah dicontohkan oleh beberapa kawan misal mengulas buku dan lain sebagainya. Bukankan setiap sekolah punya Pojok Baca?
Ketiga, setelah pengaduan dari siswi kepada orang tuanya yang kabarnya karena geram sempat membuat laporan di kepolisian, kemudian selanjutnya ditempuh langkah mediasi, apakah mediator di sini ikut juga pihak kepolisian atau hanya antara pihak sekolah dan orang tua? Kenapa sebelum mediasi tidak ada kesepakatan untuk menyimpan ponsel, agar upaya mediasi bisa berjalan baik? Apakah langkah ini dilakukan tapi si ayah siswi ini yang menolak dan tetap mau merekam upaya mediasi? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya ditanyakan oleh wartawan kemudian diberitakan, agar warga atau khalayak ramai yang dibuat gaduh oleh kasus ini bisa menerima informasi yang jelas.
Sejak kasus ini bergulir di medsos, saya menunggu berita yang bisa memperjelas kasus ini. Ada sejumlah laporan warga yang bisa masuk kategori citizen journalism (cj) pada kasus "tampeleng" ini. Bahan-bahan yang dirangkum dari live, status, dan sejumlah data ringkas dari postingan medsos. Keuntungan cj atau jurnalisme warga ini yakni kecepatan laporannya. Tapi tentu saja, ketidakakuratan dan biasanya bias informasi kerap ditemukan.
Nah, tugas wartawan untuk memperjelas informasi dari cj ini. Pertanyaannya, apakah ada satu media di BMR tersayang ini yang melaporkan kasus ini dengan berimbang? Memberi kesempatan kepada guru/pihak sekolah untuk menjelaskan kasus ini? Kemudian ada penjelasan dari orang tua/siswi? Serta sudut pandang dari pengamat yang benar-benar pengamat pendidikan?
Metode peace journalism atau jurnalisme damai juga bisa dipakai di sini. Untuk memberi laporan yang adem-adem atau narasi pemaafan, sehingga warga atau pembaca bisa menilai sendiri dengan bijaksana seperti apa kasus ini. Tapi sayang, hingga hari kedua tidak ada berita tentang kasus ini yang memenuhi standar kode etik jurnalistik. Jemaah pesbukiyah menjadi singa kelaparan yang memangsa apa saja informasi yang menyudutkan pihak si siswi apalagi ayahnya, padahal siswi inilah korbannya. Ia menjadi korban victim blaming (menyalahkan korban tindak kekerasan karena caranya berperilaku).
Keempat, siapa yang meminta ibu guru ini bersujud dan meminta maaf kepada pihak keluarga korban dan ke seluruh penghuni sekolah? Atau memang ini inisiatif sendiri karena rasa bersalahnya? Ini harus jelas sebab narasi "bersujud" ini yang membuat ia semakin "dikultuskan", lantas mengesampingkan bahwa ada korban si siswi ini. Apalagi video ketika ibu guru memeluk ibu si siswi sembari meminta maaf, dibandingkan dengan sikap si siswi yang menyilangkan kakinya. Bagaimana jika itu cara ternyamannya duduk apalagi ia memakai rok pendek. Tentang rok pendek, jika ada aturan tertulis tentang tidak bolehnya siswi memakai rok pendek, kenapa juga ia masih memakai rok itu saat ke sekolah. Yang begini juga harus diperjelas, bukan malah menghakimi siswi ini karena cara berpakaiannya yang mengundang syahwat. Bahkan jika ia menjadi korban cat calling (bentuk pelecehan jalanan yang pada umumnya berupa komentar seksual yang tidak diinginkan, provokasi, dan klakson kendaraan atau suitsuit) pun, ia sepertinya tetap disalahkan karena cara berpakaiannya. Ya ampun, mau pakai daster setumit pun kalau penjahat otak mesum tak akan memilah-milah korban. Sungguh sangat disayangkan apalagi komentar victim blaming seperti ini keluar dari mulut seorang perempuan, bahkan sampai ada yang menyebut anak itu bodoh.
Di Papua, saya mengenal seorang ibu guru di pedalaman yang membaca novel-novel Paulo Coelho dan tentu saja Totto-Chan, serta Paulo Freire. Ini seharusnya bacaan wajib para pendidik. Ibu guru ini sudah terbiasa dengan rute Ninja Hatori: mendaki gunung lewati lembah. Mungkin sesampainya di sekolah terpencil itu, ia berpesan kepada muridnya dengan mengutip sabda Paulo Coelho, "Agar bisa menanjak di dunia ini, kau harus menjadi sarjana. Dan begitulah ceritanya sehingga dunia kehilangan banyak petani, pembuat roti, pedagang barang antik, pemahat, dan penulis hebat."
Tidak ada anak yang bodoh. Semua spesial dengan bakatnya masing-masing. Bahkan Albert Einstein pernah dianggap bodoh saat kecil. Ia diduga mengidap disleksia semacam gangguan belajar yang membuat seseorang kesulitan memproses bahasa. Lalu ia menjadi ilmuwan jenius yang ikut mengubah peradaban dunia. Film Aamir Khan tentang anak disleksia berjudul Taare Zameen Par (Seperti Bintang-bintang di Langit) juga mengajarkan bahwa setiap anak itu memiliki keistimewaan sendiri.
Terakhir, jika netizen tidak menyukai sikap ayahnya yang dinilai arogan, yang terus menyudutkan ibu guru meski ia sudah meminta maaf, maka tak harus ikut menghakimi anaknya. Apalagi ayah si siswi ini telah menghapus video dan meminta maaf dalam sebuah postingan. Tapi coba tengoklah tuntutan para netizen yang maha benar ini, bahwa si ayah ini harus membuat video secara langsung dan meminta maaf. Jika ini terjadi, barulah katanya para netizen merasa puas.
Ada beberapa video beredar ketika si ayah berada di halaman sekolah. Ia menganggap pihak sekolah dalam upaya mediasi, malah menghimpun para guru dan siswa untuk mendukung si ibu guru. Ada juga video ketika si ayah berjalan keluar sekolah, sambil merangkul putrinya yang tengah terisak-isak. Tangisan itu dianggap drama oleh sejumlah netizen. Beberapa komentar mengerikan juga menghakimi anak ini seperti; dikeluarkan saja dari sekolah, komentar cabul, bahkan sampai mengunggah foto anak di bawah umur ini yang bisa digolongkan sebagai doxing (menyebarkan informasi pribadi seseorang tanpa izinnya). Ayahnya disalahkan karena menjadi sebab kenapa anaknya jadi bulan-bulanan netizen, seperti sebuah pemakluman bahwa anak ini bisa dibuli karena ulah ayahnya. Sungguh, netizen maha jeli dan paling maha benar inilah sebenarnya yang terus memanggang kasus ini, seperti membuat tangkapan layar diikuti narasi yang sangat subjektif atau berdasarkan penilaian sendiri, kemudian para pengikutnya yang gagap terus berlelehan iler. Minta tambah lagi konten-konten lainnya.
Para konten kreator ini lebih parah lagi. Memanfaatkan momen ini dengan terus memberi asupan konten yang semakin mengaburkan pangkal masalah. Siswi ini bahkan ketika ia sedang menangis, dijadikan konten untuk bahan lelucon. Kenapa yang begini terus lahir? Karena tak ada satu pun media yang memberikan informasi yang layak untuk menjadi bahan pertimbangan. Bahkan saat menulis ini pun, mungkin saya bisa salah tafsir dengan apa yang beredar di medsos. Sebab tak ada satu pun kabar yang valid tentang kasus ini.
Saya ingin mengulangi kalimat ini, "Orang tua dan guru pernah menjadi anak-anak. Tapi anak-anak tidak pernah menjadi orang tua dan guru." Maka yang menjadi prioritas perhatian adalah siswi itu. Ia adalah korban dan anak di bawah umur. Tolong jangan menghakimi dia.
Rabu, 22 Januari 2025
Botol Vodka Kedua
Botol vodka pertama membuatnya bertanya, "Kau kenapa?"
Dia selalu bisa membaca kesunyianku. Meski aku bersembunyi di balik lipatan tangan, wajah ceria, atau mulut yang terlalu banyak bicara.
Pandangannya terus bertanya. Disusul tendangan pelan yang mengajakku meraih tubuh botol. Setelah kusesap isinya, kini aku yang menjawab sekaligus bertanya, "Aku tidak apa-apa, hanya merasa kau sedang tidak di sini, 'kan?"
Masih botol vodka pertama, ia tiba-tiba berkata, "Aku tidak bahagia."
Dia sepertinya mulai mabuk. Aku juga menemukan kesunyian dalam getar suaranya. Kemudian satu demi satu jahitan di mulutnya terlepas, "Malam ini aku tak pulang. Aku ingin bersamamu."
Botol pertama sudah mau habis, ia memelukku, "Aku belum mabuk."
Mata bundarnya memicing. Bibirnya seperti embun yang disapa terang pagi.
Sebatang rokok di jepitan jemarinya, dibiarkan membakar sendiri. Sekumpulan abu yang menyelimuti bara membengkok lalu patah menimpa lantai lesi.
Dia menoleh ke arahku namun pandangannya ke sudut lain. Mungkin pada poster Nirvana yang kupunggungi. Jidatnya berminyak. Bayangan wajahku ada di sana.
Pada botol vodka kedua, terasa sepuluh tahun waktu yang singkat, tetapi sepuluh jam adalah waktu yang lama untuk aku dan dia. Larut bersama vodka dan setumpuk kisah. Membicarakan ledakan-ledakan pada setiap pertemuan dan lenguhan.
Botol kedua membuatnya lirih berkata, "Aku nyaman bersamamu."
Kini di sepasang bola matanya, aku menemukan matahari pagi dan purnama yang berjumpa di langit abu-abu. Jemariku menyisiri rambutnya. Menggaruk pelan kulit kepalanya seperti sepuluh tahun yang lalu.
Aku memeluknya kemudian berbisik di telinga kirinya, "Jangan tinggalkan dia."