Getah Semesta

Sunday, June 25, 2023

Emosi

No comments

Sejauh mana samudra kauarungi? Pulang membawamu pada puncak sebuah bukit. Di sana ada tangan siap memijat punggungmu, tempat di mana sebuah jangkar pernah tertancap, dan menahanmu di lautan bertahun-tahun.

Di kabut pagi, hening kerap membawa ketukan di jendelaku. Senyummu kemudian tergaris di antara cahaya malam. Ada angin yang merayap di sekujur tubuhku ketika melihatmu siap-siap memanjat takdir yang aku pun tak pernah menyangkanya hadir.

Namun selalu ada tingkahmu yang membuatku bertanya-tanya: seperti apa dirimu? Kau bisa menjadi serigala bertaring penuh darah, tetapi bisa sekejap berubah menjadi seekor kucing lucu dengan kibasan ekormu mengelus punggung lenganku.

Di saat semua membara, kita bisa saling mengutuk dan mengancam. Lalu candamu serupa bongkahan es yang diletakkan di ubun-ubunku. Dan amarah seketika memudar menjadi tawa. Kau selalu berhasil mencuri angkuhku, lalu melemparkannya jauh-jauh.

Aku kadang mengumpati pekerjaanmu karena kerap memeras keringatmu. Namun aku kadang kagum pula dengan kegigihanmu akan hari esok yang lebih cerah. Kau selalu menepis mendung hadir di atas kepalamu, dan melawannya berkali-kali dengan jas hujan tipismu.

Cinta memang aneh. Meski ia hanya bertepuk sebelah tangan, tetapi ia selalu menghadiahiku rasa cukup. Iya, cukup dengan mencintamu aku benar-benar tahu, bahwa Tuhan tak pernah sia-sia menciptakan aku di dunia ini.

Tuesday, April 25, 2023

Rindu

No comments


Di lebaran hari ketiga, ketika hendak makan sore, entah kenapa aku tiba-tiba rindu mendiang ibu. Tirai kamarnya kusingkap, dan hanya ada kesunyian tertangkap. Sore hari, ibu memang terbiasa memanggil untuk memutar posisi badannya. Tapi kali ini, suara itu tak terdengar.

Sejak kepergian ibu hampir seratus hari lebih lamanya, aku tak menulis obituari atau kisah panjang tentangnya. Hanya sepenggal cerita yang kubawa ketika mengunjungi Jogja baru-baru, yang kutulis karena ada sosok ibu kutemui di pameran lukisan.


Blogku ini sudah berdebu. Tak ada tulisan-tulisan lagi lahir di sini. Selain itu, aku tak tahu harus menulis apa tentang ibu. Selama tiga tahun bersamanya di rumah di kampung, sudah cukup mengalahkan ribuan kisah di buku-buku.


Terkadang, kita juga akan sampai pada titik, jenuh dengan media sosial, jarang mengunggah apa-apa, bahkan buku-buku bacaan pun terlantar. Waktuku kini lebih banyak berkutat dengan pekerjaan, menonton film, atau bermain game daring.


Orang-orang yang menjadi ruh tulisanku pun, satu demi satu pergi dan menjauh. Jalan buntu kerap kali kutemui ketika muncul keinginan untuk menulis lagi di blog. Seperti apa yang selama ini aku pelajari dari menulis, sirna seketika. 


Kini, tinggal berita-berita kaku yang berulang-ulang aku hadapi setiap hari. Turun liputan pun jarang, karena aku sedang berada di kampung. Rasa-rasanya, insting menulis bahkan ide-ide liar seperti hilang dari gelembung-gelembung pikir.


Ketika selesai salat Id kemarin, aku langsung mengunjungi makan ibu dan bapak yang berdampingan. Makam ibu paling baru di antara makam-makam lainnya. Aku tercenung sejenak, dan merasakan angin pagi serupa jarum-jarum es menusuk. Doa kupanjatkan. 


Ah, ibu, maaf jika masih ada salah dan keinginan ibu yang belum kupenuhi. 


Al-Fatihah ...

Tuesday, October 18, 2022

Selamat Jalan Eca'

No comments

Medio dua ribu sebelasan, saya pernah terlibat dalam kepanitiaan event festival musik di Kotamobagu. Seingat saya, festival musik itu sekalender bulan dengan Pemilihan Putra dan Putri Kota Kotamobagu (P3KK).

Panitia P3KK sempat kewalahan, sebab peserta yang ikut cukup banyak. Karena sesama panitia festival musik dan P3KK beririsan circle pertemanan, maka beberapa panitia festival diperbantukan di kegiatan P3KK.


Para panitia dan peserta P3KK sempat dikarantina di salah satu hotel yang terbilang baru dan mungil di depan Lapangan Sinindian. Hotel ini mirip homestay, dan kamar-kamarnya melingkar saling berhadapan.


Reza Mamonto adalah salah satu panitia P3KK. Ketika itu, di kamar panitia, saya menyetel lagu Vindicated dari Dashboard Confessional. Genre musik yang ia sukai hampir mirip dengan saya. Karena itu, kami lekas akrab.


Seiring waktu, Eca'--nama kecilnya--kerap berjumpa di Gapura, Kelurahan Kotobangon. Rumahnya memang tak jauh dari sana.


Namun, kesibukan kami mulai menjauhkan lingkar sua. Saya menjadi jurnalis, dan ia lulus menjadi ASN. Setelah bertugas di Bolaang Mongondow Timur (Boltim), ia kembali melanjutkan studinya di Makassar. Di sana kami beberapa kali berjumpa.


Eca' termasuk salah satu kawan yang gemar vakansi. Ia telah mengelilingi sejumlah negara di Asia Tenggara.


"Lebih baik tidak usah ikut agen travel, jalan sendiri. Saya bahkan pernah bawa abon ikan sama mi instan sewaktu jalan-jalan," katanya, ketika kami berjumpa di Makassar beberapa tahun lalu.


Sewaktu saya pulang dari Papua dua tahun yang lalu, Eca' telah menyelesaikan studinya di Makassar. Kami sempat berjumpa di Kotamobagu dengan beberapa kawan lainnya di sebuah kafe. Ia mengabarkan, bahwa tak lama lagi ia akan menikah. Kami ikut gembira.


Belum lama ini ia menikah, mungkin sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Ia sempat mengirimi undangan tetapi karena bersamaan dengan jam kerja, saya akhirnya tidak bisa menghadirinya. 


Kemudian, kabar itu datang. Tadi malam, seorang kawan ASN pula di Boltim, tiba-tiba menanyai saya.


"Reza sudah meninggal?"


"Hah!? Reza siapa?"


Lalu ia menyusulnya dengan kiriman foto Eca'. 


"Astaga! Eca'?"


Saya segera beralih ke Instagram untuk memastikannya. Sebab di sana lebih banyak kawan-kawan yang mengenal Eca'. Benar sudah, beberapa kawan sudah berbelasungkawa.


Ah, Eca' ... akhirnya waktumu tiba sudah. Perjalananmu usai, setelah jutaan kali jejakmu tercetak di tanah-tanah asing yang kerap kau kunjungi. 


Selamat jalan Ca' ...

Wednesday, September 28, 2022

Ubasute

No comments


Ubasute. Legenda ini mungkin sudah pernah kalian bacai di buku, website, atau unggahan di media sosial. Ini adalah folklor atau cerita rakyat Jepang, mengenai tradisi membuang anggota keluarga yang telah renta ke gunung. Ubasute berarti: pembuangan.

Paragraf pengantar di atas, sudah cukup mendidihkan darah kita. Apalagi jika membaca novel Narayama Bushikō (The Ballad of Narayama) karya Shichirō Fukazawa. Pada 1958, Keisuke Kinoshita mengangkat kisah itu di film layar lebar.

Selanjutnya pada 1983, Shōhei Imamura juga ikut mengangkat kisah itu ke film layar lebar dan berhasil menang di Festival Film Cannes, dengan meraih penghargaan Golden Palm. Saya pernah menonton versi Imamura ini. Jika versi ini diceritakan, akan ada penyerapan berbeda dari masing-masing penonton dan pembaca tentang Ubasute.

Ada beberapa versi mengenai legenda Ubasute. Namun menurutku, sepotong versi "patahan ranting" ini yang paling menyayat:

Seorang anak laki-laki menggendong ibunya yang telah senja usianya, hendak dibawa ke gunung. Ia bermaksud meninggalkan ibunya di sana, dengan alasan untuk mengurangi beban hidup dan jatah mulut atau makan sehari-hari. Ini sudah tradisi dan setiap keluarga melakukannya. Tempat pembuangan yang akan dituju disebut Ubasuteyama yang berarti gunung tempat pembuangan.

Sepanjang perjalanan, tanpa disadari anak laki-laki itu, ibunya kerap mematahkan ranting lalu menjatuhkannya ke tanah yang telah mereka pijaki. Sesampainya di gunung, anak laki-laki itu menyandarkan ibunya di sebuah batu.

Ibunya kemudian berkata, "Nak, perhatikan ranting-ranting itu agar kau tidak tersesat ketika kembali ke desa."

Ucapan dari ibunya itu, hanyalah sepatah ranting perhatian dari sekian banyak perhatian yang telah ditabur seorang ibu sejak anak itu masih bayi. Mendengar apa yang dikatakan ibunya, anak laki-laki itu segera memeluk, lalu kembali menggendong ibunya untuk dibawa pulang.

Bayangkan jika orangtuamu yang telah rengsa dibiarkan di tengah hutan, sampai menemui ajalnya dengan cara kelaparan, kedinginan, atau bahkan disantap binatang buas dan dikelilingi burung gagak?

Meski hanya legenda, namun kisah serupa Ubasute kerap terjadi di sekitar kita dalam wujud yang lain. Masih ada anak-anak yang menelantarkan orangtua dan enggan menguras tenaganya yang, bahkan jika itu segunung pun, tak akan pernah sebanding dengan apa yang telah orangtua ikhlaskan untuk anak-anaknya sepanjang usia mereka.

Saturday, September 3, 2022

Sunat perempuan di Gorontalo, bersimpang tradisi dan risiko

No comments
Prosesi Molubingo atau sunat anak perempuan di Gorontalo. | Kristianto Galuwo /Beritagar.id

Usianya baru 11 bulan. Rambutnya tampak jarang, belum subur benar. Sepasang anting emas mungil menggantung di kedua cuping telinganya.

Namanya Mikhayla Al Mahirah Az Zahra alias Khayla, anak perempuan pasangan Nirun Helingo (48) dan Lily Tulen (37), warga Kelurahan Tapa, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.

Sabtu (9/9/2017), rumah pasangan Nirun dan Lily tampak ramai. Sebuah panggung lengkap dengan hiasan bak pelaminan berdiri di bagian depan rumah mereka.

Keluarga itu sedang menggelar hajatan untuk Khayla. Hajatan termaksud adalah Mopolihu lo Limu dan Molubingo (sering ditulis Mongubingo), rangkaian tradisi khas Gorontalo yang dilakukan sebelum anak perempuan menginjak usia dua tahun.

"Mopolihu lo Limu itu mandi air ramuan limau purut, orang sini biasa bilang mandi lemon. Untuk khitanan, biasa disebut cubi kodo (mencubit vagina), atau istilahnya Molubingo," kata ibu Khayla, Lily, perihal seremoni adat yang bakal dijalani anaknya.

Rangkaian seremoni dipimpin seorang bidan kampung atau dalam Bahasa Gorontalo disebut Hulango.

Selama proses Mopolihu lo Limu, Khayla kerap tersenyum seolah menikmati tiap guyuran air ramuan dari Hulango. Lepas itu, Khayla didandani mengenakan pakaian adat Gorontalo guna mengikuti seremoni lanjutan, sekaligus jadi tontonan famili dan undangan.

Boleh jadi karena lelah, Khayla tertidur sebelum upacara Molubingo terlaksana. Tangisnya baru terdengar kala dibangunkan Lily jelang Molubingo.

Sambil menenangkan Khayla, Lily menggendong dan membawa anaknya itu masuk ke sebuah bilik di rumah mereka. Sang Hulango menyusul di belakang keduanya.

Di dalam kamar, Khayla dibaringkan di pangkuan Lily. Di hadapan mereka, Hulango duduk sambil menyanyikan senandung penenang bayi kepada Khayla yang belum berhenti menangis. Pun, di antara jari Hulango telah terselip satu pisau kecil seukuran pinset.

Tak berapa lama, seorang perempuan datang membawa kain tudung berwarna putih, yang langsung dipakai menutupi Hulango, Khayla, dan Lily. Momen berbungkus tudung berlangsung lekas, tak sampai hitungan menit.

Ritual Molubingo selesai ketika Hulango menyingkap tudung. Sejumlah famili yang ada di dalam kamar menyambutnya dengan seru riang, beberapa yang lain mengucap hamdalah.

Tiada yang tahu persis kejadian di dalam tudung selain Lily dan Hulango. Sedang Khayla hanya punya kesadaran terbatas. Saat seremoni tersebut berlangsung, Khayla hanya sempat menjulurkan tangan keluar tudung, jari-jarinya menegang, dan suara tangisnya meninggi.

"Sebenarnya, saya juga khawatir, tapi tidak sampai dilukai. Hanya diambil sedikit selaput di klitoris," kata Lily, lepas upacara Molubingo. "Ini juga sudah bagian dari adat istiadat Gorontalo yang harus dilaksanakan."

Lily mengaku, momen ini merupakan upacara Molubingo kedua baginya sebagai seorang ibu. Sekitar sepuluh tahun silam, ia pernah melaksanakan seremoni serupa untuk kakak Khayla--kini duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ia mengklaim, dalam dua seremoni itu tiada masalah serius terjadi.

Merujuk data Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), hampir separuh anak perempuan Indonesia pernah melewati praktik sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasi FGM sebagai, "Seluruh prosedur penghilangan bagian genital perempuan baik secara keseluruhan atau sebagian pada bagian luar kelamin, atau melukai organ kelamin perempuan untuk alasan non medis."

Secara umum, ada dua model sunat perempuan di Indonesia. Pertama, model simbolis, yang sekadar menyentuh atau mengorek bagian genital--tanpa melukai. Kedua, model mutilasi sebagian atau seluruh organ genital dengan menggunakan benda tajam--bisa pula sekadar melukai dengan jarum.

Lewat kacamata di muka, tradisi Molubingo di Gorontalo bisa masuk kategori FGM. Pun, Riset Kesehatan Dasar (2013) menempatkan Gorontalo sebagai provinsi dengan tingkat FGM tertinggi di Indonesia. Riset yang diselenggarakan PBB itu menemukan 83,7 persen anak perempuan (0-11 tahun) di Gorontalo telah melewati praktik FGM.

Praktik FGM, menurut UNICEF, merupakan pelanggaran terhadap hak anak serta menyalahi pelbagai perjanjian internasional--termasuk Konvensi Hak-hak Anak. Praktik ini juga berbahaya karena bisa menyebabkan pendarahan, infeksi, cacat, gangguan saluran kencing, hingga masalah seksualitas.

Pada 2006, Kementerian Kesehatan melarang petugas kesehatan melakukan sunat perempuan. Namun, ikhtiar tersebut bersemuka penentangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan dalil sunat perempuan bertujuan makrumah (baca: memuliakan perempuan).

Pemerintah pun melunak. Sunat perempuan kembali diizinkan dengan batasan tertentu, yang termaktub dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/2010.

Belakangan, aturan itu dicabut lewat terbitnya Permenkes Nomor 6/2014, yang menegaskan sunat perempuan bukan tindakan kedokteran. Permenkes anyar itu juga memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara'k untuk membuat pedoman sunat perempuan yang aman.

Adapun Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Gorontalo, dr. Nur Albar (57), mengakui pihaknya tak melarang praktik sunat anak perempuan di Gorontalo.

"Itu ranah lembaga adat. Dinas kesehatan tidak turut campur, apalagi melarang," kata Nur, saat bertemu Beritagar.id di Kantor Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Gorontalo, Selasa (12/9/2017).

Nur beralasan, sejauh ini belum ada riset mendalam tentang metode sunat anak perempuan di Gorontalo. "Apakah itu melukai atau hanya mengusap. Sejauh ini, yang diketahui hanya menghilangkan selaput tipis pada klitoris di vagina," katanya. "Juga belum ada kasus pendarahan serius yang terjadi."

Meski demikian, kata Nur, pihaknya sudah berencana menggelar konseling ke rumah-rumah ibu yang baru melahirkan. "Pada kunjungan, bidan-bidan akan menyampaikan agar sunat anak perempuan diawasi, jangan melukai kemaluan anak, jangan sampai infeksi," kata dokter ahli penyakit dalam itu.

Bayi berusia 11 bulan menjalani prosesi menginjak piring yang jadi bagian dari Molubingo atau sunat anak perempuan, di Kelurahan Tapa, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Sabtu (9/9/2017).

Beritagar.id bertemu seorang perempuan asli Gorontalo, Rizki Mardianti Bungi (26), di sebuah warung kopi di Gorontalo, Minggu malam (10/9/2017). Perempuan berjilbab nan karib disapa Kiky itu memberi testimoni sebagai individu yang pernah menjalani sunat perempuan.

Kiky mengaku sering merasa sakit di bagian kelamin ketika masa datang bulan. "Rasanya seperti mau copot," keluhnya.

Ia bilang, pernah menceritakan pengalamannya kepada beberapa teman sesama perempuan Gorontalo dan mendapat pengakuan senada. Sebaliknya, cerita berbeda didengarnya kala berbincang dengan perempuan non-Gorontalo.

"Waktu tinggal di Jakarta, tahun 2016, saya tanya teman-teman non-Gorontalo. Katanya kalau haid, sakit hanya di perut. Bukan di kemaluan," ujar Kiky, yang kini berprofesi sebagai karyawan swasta di Gorontalo.

Kiky juga mengaku mengalami gangguan ketika berhubungan seks. "Ini jujur ya, saya sulit mencapai klimaks," ujar orang tua tunggal beranak satu itu. Keanehan lain terjadi saat buang air kecil, sebab semburan urinnya miring ke kiri.

Ia pun menduga serangkaian masalah tak lazim itu berkelindan dengan praktik sunat perempuan semasa kecil. "Mau konsultasi ke dokter. Biar tahu apakah memang karena itu (sunat)," katanya.

Pengalaman tak lazim seperti yang menimpa Kiky, tak lantas terjadi pada semua perempuan Gorontalo yang melewati proses khitan.

Pengakuan berbeda datang dari Atay Hala (32), aktivis Women Institute for Research and Empowerment of Gorontalo (WIRE-G)--organisasi nonpemerintah di Gorontalo yang berfokus pada isu perempuan.

Atay mengaku tidak punya masalah berkenaan sunat perempuan yang dilewatinya semasa kecil. "Setelah remaja, memasuki masa haid biasa saja. Setelah menikah, tidak ada pengalaman mengganggu," katanya, kepada Beritagar.id, Kamis (14/9/2017).

Atay, yang menikah pada 2012, mengaku pernah pula menggelar Molubingo untuk anaknya. "Sempat khawatir. Saya tanya Hulango, apakah kemaluan anak saya sampai terluka dan berdarah? Ternyata aman-aman saja."

Guna beroleh konteks tradisi Molubingo, Beritagar.id berjumpa Alim S. Niode (53), seorang pakar adat Gorontalo. Tokoh yang berstatus Kepala Kantor Ombudsman Republik Indonesia (RI) perwakilan Provinsi Gorontalo itu pernah menulis empat buku tentang adat dan budaya Gorontalo.

Alim mengklaim Molubingo sebagai tradisi yang sejalan dengan Islam. "Molubingo adat berdasarkan hukum agama," kata Alim, yang ditemui di Kantor Ombudsman Republik Indonesia (RI) perwakilan Provinsi Gorontalo, Rabu (13/9/2017).

Menurutnya, filosofi tradisi Molubingo berkelindan dengan keutamaan Thaharah (bersuci) dalam Islam. Molubingo, katanya, merupakan pembersihan atas bagian kelamin anak perempuan, yang terangkai dengan seremoni penyucian--misal, siraman air limau purut.

Konon, Molubingo telah eksis di Gorontalo sebelum Islam masuk (1525 Masehi). "Setelah Islam masuk, terjadi asimilasi budaya sehingga disatukan," ujar Alim.

Alhasil, tradisi Molubingo hanya berlaku untuk penganut Islam saja. Meski begitu, seorang perempuan mualaf--misal, karena menikah dengan lelaki Muslim--harus pula melewatinya.

Alim berpandangan, tradisi Molubingo harus dipertahankan sebagai kekhasan Gorontalo. "Kan, tidak melanggar hukum? Ketika disunat, hanya dibersihkan selaput pada klitoris. Harapannya kelak perempuan bisa mengendalikan hasrat seksual atau libido," katanya.

Pandangan tersebut bersimpang dengan kacamata para pegiat isu perempuan, seperti Nong Darol Mahmada.

Aktivis yang berbasis di Jakarta itu menyebut sunat tak bermanfaat bagi perempuan. "Kalau untuk laki-laki alasannya kesehatan, tapi kalau untuk perempuan enggak ada," kata Nong, yang dihubungi Beritagar.id lewat telepon, Kamis (28/9/2017).

Nong mengaku pernah melewati praktik sunat perempuan secara simbolis pada usia sembilan tahun. "Meskipun simbolis, menimbulkan trauma. Apalagi kalau dimutilasi, bukan hanya trauma fisik, bahkan psikis, pendarahan, dan lain-lain," ujarnya.

Ia juga mendebat dalil agama yang dipakai membenarkan praktik ini. "Hadis yang dirujuk enggak kuat. Dalam Alquran enggak ada. Itu tradisi jahiliyah yang merendahkan kaum perempuan," kata tokoh yang namanya terkatrol lewat Jaringan Islam Liberal (JIL) itu.

Perihal pandangan yang menyebut perempuan tanpa sunat tak bisa mengontrol libido, Nong menganggapnya sebagai cara berpikir "patriarkis dan male-egoist".

Ia pun mendesak agar praktik sunat perempuan dihentikan. "Dalam sebuah budaya, biasanya ada penjelasan tentang manfaatnya. Dalam konteks sunat perempuan, saya belum melihat ada penjelasan," ujarnya. (*)


Laporan ini sebelumnya dimuat di Beritagar.id: https://beritagar.id/artikel-amp/laporan-khas/sunat-perempuan-di-gorontalo-bersimpang-tradisi-dan-risiko.

Monday, June 13, 2022

Menjadi Bintang

No comments
Seorang astronaut mungil mengambang berlatar langit malam bertabur bintang gemintang. Suara sengau dari gelombang radio terdengar.

Potongan imajinasi yang singkat itu diakhiri adegan seorang bocah berhelm astronaut yang sedang meloncat-loncat di kasur kamarnya. Adegan itu ada dalam pembuka film Wonder. Bocah astronaut berusia 10 tahun itu adalah August Pullman bernama kecil Auggie yang diperankan Jacob Tremblay.

Film Wonder diadaptasi dari novel karya penulis berkebangsaan Amerika Serikat, Raquel Jaramillo yang bernama samaran R. J. Palacio. Novel ini terbit pada 14 Februari 2012 dengan judul yang sama. 

Auggie seperti bocah lainnya, yang gemar bermain, makan es krim, mengulum permen, dan hal-hal umum lainnya yang dilakukan anak kecil. Namun ada yang tak biasa dengannya. Ia mengidap sindrom Treacher Collins, sebuah kelainan genetik yang sering kali memengaruhi struktur wajah. Bentuk wajahnya dari tulang pipi, hidung, dan telinga terlihat berbeda. Kabarnya, R. J. Palacio terinspirasi menulis novel ini dari sebuah kejadian ketika putranya memperhatikan seorang gadis dengan wajah yang berbeda, dan ia mulai menangis. 

Dalam film ini, Auggie dikisahkan sudah dioperasi sebanyak 27 kali. Tetapi itu hanya untuk membantunya agar bisa mencium, melihat, mendengar, dan berbicara. Karena keterbatasannya itu, Auggie hanya bersekolah di rumah atau home schooling. Tetapi ibunya Isabel (Julia Roberts) memutuskan untuk mendaftarkannya di sekolah, agar ia bisa merasakan kehidupan seperti anak-anak lainnya. 

Ayahnya, Nate (Owen Wilson), sempat tidak setuju. Menurutnya, Auggie belum siap untuk menyesuaikan diri meski sudah memasuki kelas lima. Tapi akhirnya, ayahnya mengalah. Auggie didaftarkan di sebuah sekolah swasta. 

Memiliki keterbatasan seperti Auggie, tentu bukanlah perkara mudah untuk menceburkan diri ke kehidupan di luar sana. Apalagi di sekolah yang berisi ratusan anak, yang mungkin saja belum pernah menemui bocah dengan wajah seperti Auggie. 

Hal yang ditakutkan kedua orangtuanya dan juga Auggie, akhirnya terjadi. Beberapa anak di sekolah merisaknya. Bullyng atau perisakan itu memang sudah diduga atau serupa bom waktu yang sudah disetel. Tinggal menunggu ledakan. Dan, ledekan dari beberapa anak sekolah lainnya membuat Auggie terguncang. 

Kata-kata seperti "anak aneh" kerap dilontarkan kepadanya. Bahkan yang paling keji, ketika ada anak-anak yang mengatakan: mereka akan bunuh diri jika terlihat seperti Auggie. Krisis kepercayaan diri Auggie semakin parah, tetapi ibu, ayah, dan kakak perempuannya selalu menguatkannya. 

Tidak semua anak di sekolah merisak Auggie. Ada yang mulai berteman dengannya meski sempat bertikai dan berdamai lagi. Sikap kepala sekolah dan guru juga tak pernah membedakan anak-anak. Yang salah diskors, meski orangtua mereka terus membela sampai mengatakan anaknya sering bermimpi buruk, lalu dibawa ke psikolog karena takut melihat wajah Auggie. 

Seiring waktu, Auggie bisa merebut simpati dan semakin populer di sekolah karena kepintarannya di bidang sains dan berhasil menang di pameran bersama temannya. Perisak juga perlahan-lahan menyadari kesalahannya. Auggie sampai dianugerahi Medali Henry Ward Beecher karena menjadi teladan di sekolah. 

"Penghargaan ini diberikan kepada murid yang sangat kuat hingga menyadarkan banyak hati," kata Kepala Sekolah Tushman dalam pidatonya. 

Narasi penutup Auggie cukup mengesankan. 

"Jadilah baik, karena semua orang berjuang dalam pertempuran yang sulit. Dan jika kau mau benar-benar mengetahui seperti apa sebenarnya orang itu, yang harus kau lakukan adalah dengan melihat." 

Menjalar dari kisah Auggie, di luar sana ada jutaan anak-anak dengan akar kisah yang hampir sama. Bahkan beberapa hari lalu, peristiwa yang lebih menyedihkan terjadi di kota saya--Kotamobagu. Seorang anak sekolah bernama Bintang yang baru berusia 13 tahun, diduga menjadi korban bullyng hingga berujung penganiayaan yang merenggut nyawanya. 

Dari hasil penuturan korban kepada kedua orangtuanya, ia dipukuli oleh beberapa siswa lainnya di madrasah. Belum ada keterangan jelas tentang dugaan ini, karena kasusnya pun sedang diselidiki. Namun setelah kejadian ini, ada orangtua korban lainnya yang mengaku anak mereka juga sering dirisak di sekolah. 

Riuh tanggapan bahkan kecaman di media sosial kepada pihak sekolah, para pelaku yang masih seusia dengan korban, dan orangtua pelaku. Bahkan foto para pelaku yang masih di bawah umur diunggah, disertai makian dan pelabelan psikopat. Biadab betul yang memotret para pelaku itu lalu menyebarkannya. Selain itu, sejumlah berita tidak berpedoman pada pemberitaan ramah anak. Kendati diduga pelaku, tetap harus melindungi hak anak-anak di bawah umur. 

Namun dari kejadian itu, siapa yang patut disalahkan? Pihak sekolah, parenting atau pola asuh orang tua terhadap anak, para pelaku yang masih anak-anak di bawah umur, atau sistem pendidikan kita? 

Dari keempat itu, saya sejak dulu, selalu kurang puas dengan sistem pendidikan kita. Menengok kejadian Bintang yang bersekolah di madrasah, saya bisa menerka, sekolah-sekolah seperti ini tak jauh beda sistem pendidikannya dengan sekolah lainnya di negeri kita. Bahkan mungkin bisa lebih membebani anak-anak didik. Kenapa? Karena mereka mengajarkan anak-anak untuk menghapal. 

Seberapa banyak surat-surat yang dihapal, seberapa rajin salat, seberapa jauh menguasai fikih dari mulai doa-doa ketika memasuki toilet sampai membersihkan najis. Tapi, mereka selalu lupa, bahwa mendahulukan akhlak di atas fikih itu jauh lebih penting. Akhlak tentunya berbicara tentang pendidikan karakter. Percuma diwajibkan salat lima waktu di musala, puluhan surat dan ayat-ayat dihapal beserta doa-doa lainnya, tapi akhlak atau budi pekerti tidak terdidik dengan baik. Anak-anak seperti terpaksa melakukan itu semua demi nilai yang bagus. 

Untuk madrasah setara SD, ada banyak anak-anak juga yang diharuskan menghapal. Bayangkan, anak SD yang bahkan belum tentu paham dengan arti ayat-ayat apalagi tafsirannya, disuruh menghapalnya demi nilai yang tinggi. Yang bukan madrasah pun kerap ditemui pola pengajaran semacam ini. 

Adakah di sekolah anak-anakmu, yang bahan ajaran mereka menonton film atau membedah buku-buku ringan bertema empati, atau pendampingan emosi lewat permainan, cara mencari solusi ketika ada pertengkaran, atau memberi contoh kasus perundungan dan dampaknya sekaligus cara mengatasinya? 

Sistem pendidikan kita juga masih kaku dengan penggunaan seragam sekolah, apalagi yang mewajibkan sepatu siswa berwarna tertentu, sampai model potongan rambut diurusi. Setiap anak memiliki potensi dan karakter masing-masing, tetapi sistem membuatnya seragam atau menyamaratakannya. Akhirnya, cetakan yang dihasilkan serupa yang terkadang membuat sebagian dari mereka harus berjuang lebih keras lagi di luar sana, untuk bisa menemukan dan mengasah bakatnya. 

Berbicara tentang sistem pendidikan, tentunya berkelindan dengan para tenaga pendidik. Termasuk peran para konselor pendidikan atau di era kami dikenal dengan istilah Bimbingan Penyuluhan (BP) dan sekarang Bimbingan Konseling (BK). Coba periksa sejauh mana kedekatan mereka dengan para anak didik. Adakah laporan atau curhatan siswa setiap pekan? Mereka inilah sebenarnya orangtua kedua bagi anak-anak di sekolah. Mereka adalah psikolog di sekolah. Dari sinilah, pihak sekolah terutama kepala sekolah bisa menakar apa saja yang kurang, atau apa saja celah yang perlu ditambal. 

Mengenai parenting, saya sendiri enggan menyalahkan orangtua para pelaku. Sebab kita tidak akan pernah tahu seperti apa kehidupan dan lingkungan yang mereka jalani saat ini. Didikan masing-masing orangtua tentu berbeda, sesuai dengan porsi pengetahuan mereka. 

Jika orangtua [atau bisa juga guru di sekolah] terbiasa menghukum anak dengan memukul, maka anak-anak yang tidak bisa membalas kemungkinan akan melampiaskannya ke orang lain yang sebaya. 

Namun ada satu hal yang mungkin kita sering kali luput, yakni memperlakukan anak-anak kita layaknya seorang teman agar mereka tak segan berkeluh kesah. Sebelum semuanya terlambat. 

Auggie, ialah contoh kasus yang sangat bagus untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan, pihak sekolah, parenting korban bullyng dan pelaku, untuk bisa duduk bersama menyelesaikan masalah anak-anak dan cara mendampingi mereka. Film ini sangat layak diputar di sekolah setara SD, SMP, bahkan SMA. 

Seorang anak kecil mengajarkan kepada kita, bahwa anak yang kuat bukan mereka yang lihai berkelahi. Tetapi yang kekuatannya mampu menggerakkan banyak hati untuk bisa berbuat baik. Seorang anak yang mampu menjadi bintang dan menerangi sekitarnya. 

Turut berduka cita untuk Adik Bintang. Semakin besar cobaan, semakin besar pula maknanya. Seperti Auggie, ada makna tak ternilai yang Adik Bintang ajarkan untuk dunia pendidikan kita. 

Al-Fatihah ...

Friday, May 20, 2022

Allisya

No comments
Tujuh tahun lalu, negeri kita pernah digegerkan dengan kasus mengerikan pembunuhan Engeline Megawe, di Kota Denpasar, Bali. 

Pada 6 Mei 2015, awalnya nama yang menebal di lini masa ialah Angeline. Anak perempuan berusia 8 tahun ini, sebelumnya dinyatakan hilang oleh keluarga angkatnya, melalui laman Facebook bertitel "Find Angeline-Bali's Missing Child". 

Setelah diselidiki polisi, akhirnya kasus hilangnya Engeline terungkap. Seumpama durian masak, di mana pun kita menyembunyikannya, baunya akan tetap terhidu. Pada 10 Juni 2015, bau menyengat dan gundukan tanah di halaman belakang rumah mereka di Jalan Sedap Malam, Denpasar, membuat polisi curiga lalu menggalinya. Jasad Engeline ditemukan terkubur di sana. 

Ibu angkatnya, Margriet Christina Megawe ditetapkan sebagai tersangka. Melalui persidangan yang panjang, akhirnya Margriet dihukum seumur hidup pada persidangan 29 Februari 2016. 

Pagi tadi, sejumlah media sosial riuh dengan unggahan dugaan penganiayaan yang menyebabkan tewasnya anak perempuan bernama Allisya. 

Dari hasil memindai unggahan di media sosial, Allisya baru berusia 5 tahun. Ia berasal dari kota saya pula: Kotamobagu. Allisya meninggal pada Rabu (18/5/2022), di tempat tinggal barunya di Kota Gorontalo bersama ayah kandung dan istri barunya. 

Awalnya, Allisya tinggal bersama neneknya di Kotamobagu. Kemudian ayahnya mengajak Allisya ke Gorontalo, karena akan disekolahkan di Taman Kanak-Kanak di sana. Pihak keluarga korban menduga Allisya meninggal secara tidak wajar, karena selain ditemukan lebam di tubuhnya, ada patahan gagang sapu di rumah tersebut. 

Belum banyak media yang memberitakan kasus ini secara jernih. Dari laporan Gopos.id, Kasat Reskrim Polres Gorontalo Kota, Iptu Mohamad Nauval Seno STK SIK, mengatakan laporan kasus tersebut sudah diterima. Saat ini masih dalam proses penyidikan lebih lanjut. Kasat sendiri belum menjelaskan detail dan kronologi kejadian tersebut. 

Saya pernah menonton film yang bahkan saking lamanya saya lupa judulnya. Di film itu, ada sejumlah pasangan yang setelah menikah memilih "childfree" atau memutuskan untuk tidak memiliki anak. Ada banyak faktor kenapa mereka memilih childfree misal alasan finansial, latar belakang keluarga, gaya hidup, dan lain sebagainya.

Tetapi dalam film itu, alasan salah satu pasangan ini cukup mencengangkan. Karena mereka berdua pecinta alam, mereka tidak ingin anak mereka tumbuh di kondisi lingkungan yang semakin rusak di masa depan.

Tentu itu bukan hanya terjadi dalam sebuah film. Karena childfree sudah banyak dilakoni sejumlah orang, termasuk di negara kita. Bayangkan saja, untuk memutuskan memiliki atau tidak memiliki anak saja mereka bisa mempertimbangkannya sedemikian rupa.

Maka, sungguh biadab orangtua yang tega menganiaya bocah semungil Allisya. Orang dewasa memang menyebalkan!

Duka sedalam-dalamnya untukmu, peri kecil ...

Al-Fatihah ...