Wednesday, December 28, 2016

Catatan Singkat Akhir Tahun...

No comments

2016 akan segera berlalu. Tahun yang merampas begitu banyak kawan terbaikku. Yayang, Bedew, dan Boneng. Tiga kawan yang serupa seribu.
Sebelum mereka masing-masing berpulang, ada ucap pamit yang tak pernah terbacai.
Yayang sempat bergurau denganku, tentang masa lalu yang selalu menjadi kenangan terbaik, setelah usia semakin menua lalu anak-anak terlahir sebagai boneka manja yang, harus ditemani setiap saat melebihi apa pun.
Juga istri yang selalu cemas dan bertanya-tanya: ke mana suamiku? Padahal untuk tidur di ranjang yang sama, adalah satu-satunya jalan pulang yang ada di benaknya. Waktu telah menjadi hanya tiga saja baginya: untuk dia sendiri, anak, dan istrinya. Bahkan orangtua dan teman-teman tak lagi mendapat jatah yang banyak untuk itu.
Bedew dengan kenangan apa saja yang selalu ingin ia putar kembali. Ia bisa membawa kami ke masa lalu dengan segera. Makan di rumah makan yang dulu kerap kali kami singgahi, lalu memilih menu yang sama. Mendengarkan lagu yang telah lama terhapus dari memori ponsel. Mengelabui pagi dengan cerita yang berulang-ulang. Seolah-olah waktu tidak pernah beranjak.
Ia selalu punya banyak cara untuk membuat kami kaget, tertawa, dan berulang kali memuja masa lalu. Sebab baginya di masa lalu ada bagian-bagian terbaik yang tak boleh dilupakan.
Boneng akan selalu cerewet dengan kisahnya yang tak pernah lepas dari makanan. Ia pintar memasak tapi tak banyak makan. Baginya melihat teman bercucur keringat ketika melahap hasil masakannya, adalah sebuah kebahagiaan yang kekal.
Jangan pernah mengemis makanan kepadanya. Sebab wajah lapar sudah sangat dikenalinya. Bahkan sebelum lapar itu hadir, ia akan mendahuluinya dengan tanya, "So makang?"
2016 akan segera berlalu. Di tahun ini, lebih banyak hari yang kuhabiskan di desa kelahiran. Ingin untuk berlama-lama di sini sudah bulat. Tapi sepertinya berada lama di sini, hanya membuat tanya itu semakin menebal setiap hari. Sebuah pertanyaan yang hadir berulang-ulang kali: ke mana kalian pergi, kenapa begitu lama kembali?

Thursday, December 8, 2016

Kota-kota Para Pengutuk

No comments
Di kota-kota itu garis-garis hujan membengkok pulang ke langit
Air-air itu enggan menyentuh atap-atap rumah yang menebal oleh amarah
Air-air itu tiada sudi menyapa pepohonan yang tumbuh di pekarangan tuan-tuan bermata bara

Di kota-kota itu mereka suka mengutuk berkah...

Tuesday, December 6, 2016

Kembali...

No comments
                : untuk Kats (Uwin Mokodongan)

Telah ia pangkas cerita dari rambutnya yang memanjang. Kini kulit kepalanya selalu licin seperti lumba-lumba. Ada sisa-sisa pasir pantai, embun gunung, dan debu-debu bui di pelipisnya. Itu remah-remah kecil yang tercecer dari peristiwa-peristiwa besar.

Dahulu, tatkala jalanan berubah menjadi punggung ular, meliuk dan licin, ada seutas temali dari langit yang mengikat pundaknya. Menjaganya dari keterasingan akan gulita malam, yang hanya berhias bulan berbentuk taring babi. Kali itu, aku mendengar hela nafasnya selelah pendaki.

Bola bumi di genggamannya berkali-kali lepas. Menggelinding di hamparan langit berbintang gemintang, lalu kembali di antara petak-petak kolam, dan terselip di celah tiang-tiang rumah yang meninggi. Ada sepucuk surat pula di sana. Surat yang tak pernah terbaca oleh siapa pun, selain oleh pagi, petang, dan malam.

Di lengannya ada gelang-gelang yang mengebat, dan bukan datang dari masa lalu. Tapi dari masa yang menyeret langkahnya meliar di antara candi-candi purba, mata-mata biru, dan bayangan seorang perempuan yang di sakunya selalu ada foto ibu.

Ia selalu menyuruh perempuan itu menyimpan foto ibunya dalam laci. Bukan dalam saku. Namun foto itu serupa tato yang menubuh. Serupa kenangan akan rahim ibu. Kemudian mereka berdua sepakat untuk saling mengenang dulu.

Dari jarak yang tak pernah menua, dan dari waktu yang tak pernah memanjang, ia putuskan kembali ke lanskap desa yang selalu akrab dengannya sedari kanak-kanak. Gunung yang meninju langit, udara rimba, dan pagi yang berkabut. Dan tentu saja desa yang meringkas jarak dengan putrinya.

Seperti mengelus kepalanya yang gundul, ia sesekali mengelus buah kelapa yang tergantung mengering, tempat rambut bayinya direndam dalam sunyi. Lalu buah itu bergerak seperti bandul. Coba menemukan arah yang tepat untuk dipilih.

Akhirnya sepasang lengan membuatnya beranjak. Mengajaknya bertamu ke rumah-rumah beratap duka, suka, dan gelak tawa. Mengajaknya duduk berhadap-hadapan dengan para tetua. Mengajaknya menyesap buih-buih embun, dan cangkir kopi yang tak pernah ia sukai karena memupuk insomnianya, yang akhirnya ia cintai sebagai minuman para leluhur.

Di sanalah sebuah jalan memanjang dari masa lalu menuju masa depan. Satu jalan untuk kembali...