Monday, November 22, 2021

Mana Kepalmu?

No comments
Kerusakan tanah leluhurmu bukanlah masalah rumah tangga yang, harus kau diamkan. Bukan pula cinta rahasia yang tak boleh kau ungkapkan. Ini adalah tabungan bencana yang akan kau tumpahkan ke anak-cucumu.

Dari etalase wisata yang tampak seperti travesti itu, ada jerit seorang petani yang gagal panen karena parit-parit sawah mengering. Ada ikan-ikan di sungai yang tak lagi mengandung protein, tapi secuil limbah di dagingnya yang tak akan terasa oleh lidahmu.

Bibir-bibir pantai dan hutan bakau yang diuruk, dimanterai sekejap lalu bersulih menjadi lokasi swafoto. Hutan-hutan yang kulitnya penuh gelegata, pohon-pohon membungkuk, dan bukit-bukit yang terus didinamit hingga dedemit pun enyah.

Lalu roh-roh leluhur yang mana lagi, yang ingin kau panggil untuk membakar kepalmu?

Sunday, November 14, 2021

Selamat Jalan Jijah

No comments

Lima tahun lalu, saya pernah serumah bahkan sekamar dengan Rio, di Teling, Manado. Sama-sama mengadu nasib di sana. 

Kala itu, Rio bekerja di bengkel yang tak jauh dari rumah kontrakan. Rumah ini ditempati Kiki, jatah dari kantornya. Anak-anak pertigaan Desa Passi, bukan sekali ini tinggal bersama jika sedang berada di Manado. Ini yang kesekian kalinya. 

Rio pintar memasak. Dapur adalah urusannya. 

"Ya' [nama panggilan saya], sana ada ikang putih kita da masa, hobimu," katanya. 

Sedetik, saya berlari menuju dapur, lalu menyantap masakannya di balkon belakang rumah yang menghadap Gunung Klabat. Ini tempat favorit kami. 

Selama berbulan-bulan rumah di Teling ini, jadi tempat berteduh yang menyenangkan bagi kami. Siapa yang gajian, giliran mentraktir. Kulkas pasti penuh dengan apa yang membuat cerita dan tawa kami pecah. 

Di rumah ini pula, kami sempat mengurus Rio yang terbaring sakit. Ia sering lumpuh beberapa hari karena menderita hipokalemia. Kadar kaliumnya sering rendah. Jika sang koki sakit, maka gantian kami yang merawatnya, seperti ia kerap merawat perut lapar kami. 

Saat ia rengsa, kami memapahnya ke kamar mandi, membedaki dan menggaruk punggungnya, memberi makan dan obat, bahkan Opan kakaknya Kiki terkadang harus mengurus lebih, ketika ia tak bisa lagi dipapah ke kamar mandi. 

Jangan heran dengan sakitnya ini, tiga atau empat hari kemudian, ia sudah bisa berdiri tegak dan melangkah, meski masih seperti balita sedang belajar jalan. 

"Eh, Jijah [panggilan akrabnya] so lincah ulang eee," gurau kami, saat melihatnya berangsur pulih. 

Nama Rio memang kurang akrab di telinga anak-anak kompleks. Jijah lebih melekat kepadanya. Sebenarnya, awal penamaan Jijah dari panggilan: Aisyah. Kemudian berubah menjadi Ajijah. Akhirnya memendek menjadi hanya Jijah. Saya lupa kisah di balik julukannya ini. Kakak-kakak kompleks yang merekatkan nama itu. 

Ada satu tingkahnya yang kerap membuat kami kesal. Jika kami sedang duduk mengobrol, ia terlalu sering menggamit. Tingkahnya ini bahkan menjadi istilah lagi: ki kamber (si tukang menggamit). 

Tapi ... sekarang, kami mengakui bahwa kami akan rindu dengan tingkahnya itu. Siang tadi, Jijah berpulang. 

Anak-anak kompleks terkejut mendengar berita dukanya. Tak ada yang menyangka, sebab ada yang masih sempat bersamanya beberapa hari lalu. Namun, ia memang telah terbaring sakit selama dua hari. Sama seperti kami, keluarga yang merawatnya pasti berpikir, kalau ia akan baik-baik saja. Sakitnya memang sudah begitu. Tiga atau empat hari lagi, pasti ia sembuh dari lumpuh. 

Pada akhirnya, Jijah pasrah dengan sakitnya. Maut diam-diam datang, mencuri kejenakaannya. 

Usai memandikan jenazahnya tadi sore, Kaka Oxa bertanya berkali-kali, "Hai asli ini? Jijah so nda ada? Bukang mimpi ini?" 

Padahal, Kaka Oxa tepat berada di telapak kakinya yang memucat, saat jenazahnya sedang dimandikan. 

Ah, Jijah, selamat jalan. Al-fatihah ...