Dataran Dumoga yang selama bertahun-tahun tak pernah lagi saya jejaki, berlangit cerah sore itu. Ada aroma tanah persawahan serupa petrikor yang terhidu di dalam laju mobil. Aroma itu khas seolah-olah bercampur dengan keringat lelah para petani.
Hari itu, Jumat, 2 Mei 2025, saya tengah menuju Gorontalo melewati jalur selatan, Bolaang Mongondow. Rute ini memang jarang dilewati, tapi meringkas jarak dibandingkan jalur utara.
Di Gorontalo tepatnya di Huntu Selatan, Kecamatan Bulango Selatan, Kabupaten Bone Bolango, sedang ada Pesta Seni Panen Padi, Maa Ledungga. Ini event yang keempat kalinya. Ada banyak seniman yang berkolaborasi pada event ini, baik perupa lokal dan mereka yang berada di luar daerah.
Jalur selatan yang saya pilih ini, menyuguhkan panorama alam yang berbeda. Sebab kita akan sering melewati persawahan ketika berada di Dumoga yang didapuk sebagai lumbung berasnya Sulawesi Utara, lalu pesisir pantai dengan pemandangan kampung-kampung nelayan ketika berada di Bolaang Mongondow Selatan. Perahu-perahu nelayan kerap terparkir di tepi pantai.
Petani dan nelayan adalah dua profesi penting yang sangat bergantung pada alam, untuk menghasilkan pendapatan. Saat ini, lahan pertanian di Indonesia mengalami penyusutan, khususnya lahan persawahan. Penyebabnya mulai dari alih fungsi lahan untuk perumahan, industri, dan infrastruktur. Sementara nelayan, kerap menghadapi kendala seperti pemasaran hingga akses modal yang kurang, sampai sering kali menjebak mereka untuk terlibat pinjaman kepada para tengkulak, mahalnya bahan bakar, serta masalah perubahan iklim.
Maa Ledungga #4 yang kali ini mengusung tema "Suaka" artinya perlindungan, hendak menyuarakan kegelisahan-kegelisahan semacam itu. Ada kolaborasi antara seni, pertanian, dan pangan yang melibatkan 43 seniman dari berbagai daerah, serta partisipasi aktif masyarakat, mahasiswa, lembaga, komunitas, dan kolektif.
Sejak dibuka pada 29 April dan dihadiri oleh kurator seni Bob Edrian, sudah berbagai kegiatan yang berlangsung. Dari mulai pameran lukisan dan seni instalasi yang menariknya dilaksanakan di gilingan padi warga sekitar, juga ada sejumlah diskusi publik, dan masih banyak kegiatan lainnya. Meski saya tidak sempat hadir pada pembukaan, tapi sesampainya di lokasi event, rasanya dada ini tetap seperti dipenuhi ratusan capung, ada rasa bangga ketika bisa hadir di Maa Ledungga.
Saya menginap di Huntu Art Distrik (Hartdisk) selama 4 hari, dan di lokasi ini pula berdiri Pasar Ambuwa. Pasar yang sebenarnya hanya dibuka dua kali selama sebulan, tapi selama event Maa Ledungga dibuka penuh setiap hari. Di sini, pengujung wajib membawa perian atau tabung minum sendiri atau tumbler. Pasar menyediakan galon isi ulang. Kantong plastik atau makanan-makanan ringan berbungkus plastik, juga dihindari.
Sejak masuk ke dalam pasar, kita seolah-olah baru saja melewati pintu ke mana saja dan kembali ke masa beratus-ratus tahun yang lalu. Alat transaksi di dalam pasar, memakai kepingan yang terbuat dari tempurung kelapa. Setiap keping senilai Rp6 ribu. Keping ini nantinya dipakai untuk berbelanja berbagai macam makanan tradisional Gorontalo seperti binte biluhuta atau milu siram, popolulu, kala-kala, sabongi, apang colo, garo ubi dan lain-lain. Wadah yang disediakan kerap beralaskan daun pisang. Untuk sisa-sisa makanan, jangan khawatir, pasar menyediakan tempat sampah, serta ada banyak kucing terlantar yang tinggal di sini siap melahap makanan sisa, atau makanan dari pengunjung yang hendak berbagi. Anak kucing terbaru diberi nama Suaka, serupa tema Maa Ledungga #4.
Pengunjung bisa berlesehan di atas tikar-tikar anyaman sembari menikmati langit sore hari. Pasar Ambuwa juga sering membuat kelas memasak, pengenalan rempah-rempah kepada anak-anak, dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kuliner tradisional. Ada berbagai macam rempah dan hasil bumi dipajang, serta stoples-stoples mungil berisi biji-bijian.
Jika pengunjung telah kenyang, bisa langsung mengunjungi lokasi pameran yang letaknya tak jauh dari pasar. Kalau Hartdisk dan Pasar Ambuwa adalah lokasi pertama, maka lokasi keduanya adalah Gilingan Ka Mi’u, dan yang ketiga Gilingan Ka Jami’. Di Gilingan Ka Mi'u ada dua tempat yang bisa dikunjungi. Yang pertama seni instalasi dan beberapa lukisan yang bertema kasus pelecahan seksual. Ini adalah karya kolaborasi seniman Syam Terrajana dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo. Ini serupa rumah yang mengingatkan kita, bahwa ada banyak suara-suara yang belum terdengar, bahkan itu berasal dari sekitar kita. Akhir-akhir ini, di Gorontalo memang tengah marak kasus pelecehan seksual kepada perempuan dan anak di bawah umur. Yang terakhir melibatkan rektor di salah satu universitas, yang diduga korbannya sampai belasan.
Setelah dari sini, pengunjung bisa berjalan kaki seperlemparan kerikil dan gilingan yang kabarnya baru dibangun bisa ditemui dengan pintu terbuka lebar. Di sini berisi sejumlah karya seni instalasi dan lukisan dari para perupa. Yang paling menyita perhatian adalah seni instalasi karya seniman asal Bali, I Ketut Putrayasa. Karya dari tumpukan karung plastik transparan berisi padi sebanyak 1 ton yang dibebat kain merah, dan tertusuk runcing ratusan bambu itu berjudul “Oryzamorgana". Karya ini menyuarakan isu ketahanan pangan.
Ada sejumlah lukisan dari para perupa Gorontalo dan dari luar daerah ikut terpajang. Mungkin ini satu-satunya pameran yang tidak dilaksanakan di galeri, tapi malah di gilingan padi milik warga. Dari Gilingan Ka Mi’u, kita bisa lanjut ke lokasi ketiga yang letaknya juga hanya lima menitan berkendara. Di Gilingan Ka Jami’ kita disambut fasad yang digarap karikaturis Gorontalo Yayat Gokz dan perupa Passwart, yang bertema isu-isu aktual serta ketimpangan sosial yang terjadi saat ini. Belasan fasad ini dibuat di atas kain selebar tirai dan menjuntai sepanjang tiga sampai empat meter, serta gambarnya bertinta hitam dan merah memberi kesan dark dan warning.
Di dalam ada karya seni instalasi karya perupa Gorontalo, Jon Kabila, yang langsung menyihir pandang. Sebuah sampan di atasnya berjejer belasan miniatur rumah, yang tampak seperti permukiman Suku Bajo. Di tengah-tengah sampan terpancang pohon bakau mengering. Selain itu ada belasan karya perupa ternama lainnya seperti Iwan Yusuf, Anagard, dan lain sebagainya.
Sejak berkunjung dari gilingan pertama hingga kedua, saya seperti sedang menyaksikan pameran yang tak ternilai harganya namun bisa diakses gratis. Apalagi ditambah Orasi Kebudayaan dari Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Zenzi Suhadi. Saya sempat merekam kalimat Zenzi yang berisi pesan kepada para petani. Zenzi mengatakan, para petani tak harus menanam komoditas yang tengah melambung harganya. Kebiasaan para petani kerap mengganti jenis tanaman. Padahal, semua jenis komoditas itu dibutuhkan pasar. Jika sekarang petani tengah fokus membudidayakan kakao atau cabai, maka fokuslah di situ. Ia juga mengkritik kebijakan pemerintah yang kerap mengabaikan para petani, serta pengerukan sumber daya alam yang membabi-buta tanpa mempertimbangkan bencana ekologis.
Selama empat hari di Gorontalo, sepertinya belum cukup. Sebab ada banyak kegiatan lainnya seperti pentas teater, pembacaan puisi, monolog, pantomim, hiburan dari band-band lokal, dan masih banyak lagi seni pertunjukan lainnya yang akhirnya terlewati sebab saya harus cepat-cepat pulang.
Hari ini, Minggu, 11 Mei 2025, Maa Ledungga #4 akan ditutup. Tapi ada banyak karya serta keakraban yang akan tersimpan di tabungan ingatan saya. Odu'olo ...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar