Tuesday, April 30, 2019

Buku Kita

No comments

Kita berjumpa beberapa kali dalam hening. Lalu membicarakan hal-hal yang mungkin saja penting. Tapi aku melupakan waktu yang seperti api, di setiap hari ketika kita telah berpisah. Meski jarak pernah kita lipat rapi di lemari, aromanya masih menyeret rindu ke ujung kunci.

Di Passi, mungkin cerita akan berbeda. Sebab kenangan di desa ini, seperti Gunung Ambang yang setiap hari menyapa di kiri rumahku. Sementara jauh nun di Pantura, kita berjanji meninggalkan apa saja yang pernah berisik. Mungkin pergi menatap Gunung Kelud, yang ketika bocah sering kulihat di punggung kertas bergambar.

Kita sama-sama tahu seperti apa istimewanya kertas buku. Sekalipun itu buku-buku usang yang lama berdiam di gudang. Ia pernah terbang jauh lalu bermukim di Saung Layung Arus Balik di Bilalang, sebagai tanda uluk salam. Kemungkinan selanjutnya ialah deretan gerbong berisi kata-kata yang kupungut dari semesta.

Seperti apa hidup ketika kita mulai tahu cara menghidupinya? Mungkin seperti seorang kakek pengayuh becak, yang pernah membawaku ke gedung peninggalan kolonial tak jauh dari rumahmu. Ia banyak tertawa dan giginya tinggal dua. Tapi karena kekurangannya itulah, ia melafalkan: Gedung British American Tobacco, dengan sempurna.

Bahagia tak akan hadir kecuali masing-masing kekurangan menemukan lawannya. Aku tak bisa memakai sumpit dan kau akan mengajarkannya. Lalu aku menulis dan kau membacanya. Mungkin sesekali kita akan berdebat tentang jalan cerita, hingga kita renta.

Lalu siapa yang akan membaca buku-buku itu? Aku melihat tiga bocah sedang tertawa di Karbala...

Saturday, April 27, 2019

Delapan

No comments

Sigi sudah 2.920 hari di semesta. Pernahkah bertanya di mana Ayah? Ketika pulang, Ibumu mungkin bercerita. Sebelum kalian kembali berpisah.

Anak-anak lain bahagia bersama kedua orangtua. Sigi jangan berkecil hati. Sebab nanti, Sigi punya kisah sendiri. Kisah yang tak melulu soal petuah.

Usia delapan, masih sangat belia. Tapi waktu cepat sekali merebutnya. Padahal Ayah ingin Sigi jangan dulu dewasa. Tetap ceria, lucu, dan banyak bertanya.

Selamat hari raya usia, Sigi. Ayah kali ini hanya menitip puisi. Sebab kata-kata sengaja Ayah kemas di hati. Kita pasti berjumpa nanti.

Friday, April 19, 2019

Mama Kota

No comments

Pernahkah kamu membenci sebuah kota, lalu tiba-tiba beberapa hal istimewa terjadi di kota itu?

Saya membenci Jakarta dan sekitarnya yang berisi gedung-gedung jangkung benderang, pengemudi lalu lalang beraut poker face, dan orang-orang bergegas seperti setiap detik ialah uang.

Meski baru terhitung jari saya mendatangi kota ini, saya segera memutuskan membencinya ketika kali pertama berkunjung, lima tahun yang lalu. Tapi jika pengetahuan menunggumu di kota ini, maka meluangkan waktu untuknya jadi keharusan.

Penerbangan dari Jayapura menuju Jakarta adalah perjalanan paling melelahkan, karena melewati tiga zona waktu. Semakin dekat dengan tujuan, jarum jammu berubah. Dua tahun lalu, saya pernah mengalaminya. Ketika orang-orang sedang merayakan Iduladha, saya sibuk berpindah-pindah dari satu bandara ke bandara lain, untuk melanjutkan perjalanan panjang dari Jakarta ke Papua.

Tapi kali ini, bukan hanya pengetahuan yang saya kejar di 'mama kota'. Ada kerinduan yang telah lama berdiam di masing-masing titik, lalu memiliki kesempatan untuk bersua. Ini tentang menemukan jawaban dari segala pertanyaan yang kerap mendarat di ubun-ubun. Bertahun-tahun. Bonusnya, saya berjumpa kawan-kawan lama.

Tepat di kota ini, saya merayakan hari raya usia. Senang, karena dijabati erat seorang datuk dari Padang tepat pukul 12 malam, esoknya diberi kejutan dan riuh ucapan kawan-kawan di tengah kegiatan, dikirimi lagu "Adil Sejak Dalam Pikiran" dari salah satu personel Beranda Rumah Mangga (Braga) sebelum mereka merilisnya, bertemu Wenri Wanhar dan dipesani novel terbarunya "Lelaki di Tengah Hujan", menonton premier Game of Thrones seri terakhir yang sudah ditunggu-tunggu selama setahun, film dokumenter Sexy Killers akhirnya dirilis di Youtube, dan bertemu kawan lama sewaktu di AJI Gorontalo dulu.

Yang teristimewa, berjumpa dengan yang saya sebutkan tadi di atas: menemukan jawaban.

Hal-hal istimewa di atas, mengada di kota yang paling saya benci. Sepertinya, kota ini memang sengaja ingin meluruskan jalan pikir saya, bahwa untuk membenci sesuatu kita harus berkecupan dengan hal-hal baiknya juga.

Namun, sudah kodratnya Donal Bebek, pasti ada kesialan yang terjadi. Kendati kesialan itu hanya menyapa laptop saya. Ia meminta beberapa lembar rupiah, untuk membuatnya kembali berfungsi seperti sedia kala. Ada juga seorang kawan dari Aceh yang ketinggalan pesawat. Tapi saya yakin, itu bukan dikarenakan sinyal sial dari saya. Meski sesekali terlintas kata: mungkin.

Sekarang, apakah saya masih membenci kota itu? Masih. Kenapa? Karena kota itu membuat saya terpaksa harus merindukannya.

Selamat Jalan Ocien

No comments
Mendiang Ocien kedua dari kiri.
Satu dekade silam, saya diajak seorang kerabat, Wiwi Manoppo, untuk bekerja di sebuah perusahaan penyedia layanan telekomunikasi, Smartfren, di Manado. Kerabat yang mengajak itu, sudah lebih dulu bekerja di sana.

Kerabat saya bekerja sebagai sales promotion girl (SPG). Sementara kami para pria ditugaskan sebagai direct selling (DS). Tak ada bedanya antara SPG dan DS, kami sama-sama menjual produk Smartfren dari kartu perdana, modem, dan ponsel CDMA. Bisa dibilang, kami juga para model Smartfren karena cakep-cakep.

Kantor kami terletak di salah satu jejeran ruko Bahu Mall. Tepat menghadap pantai dan Pulau Bunaken. Ketika sore, kami kerap berkumpul di depan kantor setelah mengabsen pulang. Kami sering termanjakan matahari terbenam.

Kawan-kawan di Smartfren beragam. Dari yang terajin, sampai yang termalas. Saya, salah satu yang berada di kategori termalas. Beberapa kali jatah penjualan produk saya, malah dibantu para SPG. Selain itu, dibantu pula oleh seorang teman DS, August Laode, yang pernah meraih predikat sebagai sales terbaik kala itu. Jika ingin tanding suara dengan kawan saya ini, maka sebaiknya menyingkirlah. Suaranya setara dengan Judika.

Orang-orang yang bekerja di sini berlatar belakang yang menarik. Pernah suatu hari, produk kami dibantu para SPG hingga terjual cepat. Karena itu, sisa hari sebelum kembali ke kantor untuk mengabsen, kami manfaatkan untuk jalan-jalan. Kami diajak seorang kawan DS, Denny Saluling, ke rumahnya di Tatelu. Katanya untuk bakar-bakar ikan.

Kawan kami itu, tak pernah bercerita tentang latar belakang keluarganya. Sesampainya kami di rumahnya, ia mengajak kami ke kolam ikannya. Di sana, kolam-kolam besar terhampar. Ribuan ikan siap panen menyembulkan bibir di kulit air. Di tengah kolam dibangun sebuah rumah serupa vila. Kedua orangtuanya menetap di sana.

Kami baru sadar, kawan kami ini anak orang yang berkecukupan. Ia punya mobil. Tapi kami heran, kenapa ia mau bekerja sebagai DS seperti kami. Apalagi perjalanan dari rumahnya di Tatelu menuju kantor di Manado sejam lebih. Ia hanya menjawab, "Kalau mencari uang jangan gengsi."

Jujur saja, selain pekerjaan saya sekarang, Smartfren adalah tempat saya pernah bekerja untuk waktu terlama. Setahun lebih. Sementara di perusahaan lainnya, saya tak pernah sampai menyentuh angka setahun.

Fitriyanti Agune Ocien, salah satu SPG yang turut bersama kami ketika pergi bakar-bakar ikan di Tatelu. Ia juga SPG yang banyak membantu saya kala itu. Jika ada beberapa perdana dan ponsel kami belum laku-laku, kadang ia membantu kami. Atau sesekali mentraktir makan. Enaknya para SPG, mereka mengelilingi wilayah yang terjangkau sinyal Smartfren, dengan memakai mobil. Sementara DS menggunakan sepeda motor.

Enaknya lagi, jika para SPG telah selesai menjual produk, mereka sering pergi melepas penat dengan berkaraoke, sembari menunggu kembali ke kantor untuk absen pulang. Dan mereka pasti akan mengabari kami. Jika bos menelepon, kami bergegas ke kamar mandi lalu menerima telepon. Beruntung, kala itu belum ada video call.

Di Smartfren, ada banyak kawan yang datang dan pergi dengan cepat. Saya belajar banyak tentang seleksi alam di sana. Baru ketika bos kami diganti dengan bos baru, kami satu per satu memutuskan resign. Karakter bos baru tidak kami sukai. Ada yang memilih bertahan, tapi tak lama juga akhirnya mereka hengkang.

Kemudian, setelah hampir sepuluh tahun, seorang kawan mantan DS Smartfren, D'jems Alfons, yang rumahnya sering menjadi persinggahan kami untuk tidur, mengabari saya: Osin baru saja berpulang, meninggal karena melahirkan. 

Ah, kawan, kita belum sempat reunian. Bertukar kisah tentang apa yang masing-masing telah kita lewati selama ini. Kini tinggal kebaikanmu yang kerap membayang.

Selamat jalan Ocien. Inalillahi wainailaihi rojiun...

Wednesday, April 17, 2019

Coal is Coming

No comments

Premier Sexy Killers sedetak jantung dengan Game of Thrones (GoT), season 8. Keduanya tentu berbeda. Tapi sekarang memiliki benang merah, karena pidato Jokowi saat menjadi pembicara di Plennary Meeting, IMF-World Bank 2018 di Nusa Dua Hall, Bali, Jumat 12 Oktober 2018 lalu.

Kira-kira begini beberapa bagian nukilan pidato Jokowi saat itu...

Hadirin Yang Terhormat...

Dalam serial “Game of Thrones”, sejumlah Houses, Great Families bertarung hebat antara satu sama lain, untuk mengambil alih kendali “the Iron Throne”. “Mother of Dragons” menggambarkan siklus kehidupan. Perebutan kekuasaan antar-para “Great Houses” itu bagaikan sebuah roda besar yang berputar. Seiring perputaran roda, satu Great House tengah berjaya, sementara House yang lain menghadapi kesulitan, dan setelahnya, House yang lain berjaya, dengan menjatuhkan House yang lain.

Namun, yang mereka lupa, tatkala para Great Houses sibuk bertarung satu sama lain, mereka tidak sadar adanya ancaman besar dari Utara. Seorang Evil Winter, yang ingin merusak dan menyelimuti seluruh dunia dengan es dan kehancuran.

Dengan adanya kekhawatiran ancaman Evil Winter tersebut, akhirnya mereka sadar: tidak penting siapa yang duduk di “Iron Throne”. Yang penting adalah kekuatan bersama untuk mengalahkan Evil Winter agar bencana global tidak terjadi. Agar dunia tidak berubah menjadi tanah tandus yang porak poranda, yang menyengsarakan kita semua.

Sexy Killers adalah film dokumenter pamungkas Ekspedisi Indonesia Biru, dari perjalanan setahun mengeliling Indonesia yang dilakukan dua jurnalis Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz, empat tahun yang lalu. Sa menaruh hormat kepada siapa saja yang terlibat dalam karya WatchDoc, untuk semua film dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru.

Sexy Killers sa tunggu dengan penuh kesabaran. Sa menelan air liur berkali-kali, ketika melihat unggahan foto-foto beberapa kawan hampir di seluruh Indonesia, yang tengah menyaksikan pemutaran perdananya dengan sistem distribusi secara tertutup. Bersamaan dengan itu, sa dan 39 kawan se-Indonesia sedang memeras otak dikarenakan materi-materi Training of Trainers (TOT) Google News Initiative Training Network Tahun 2019 AJI – Internews – Google News Initiative, di salah satu hotel di Tangerang Selatan.

Sa sempat menonton official trailer Sexy Killers yang diawali adegan mesra di sebuah hotel. Lalu pada malam ketiga menginap di hotel, seorang kawan dari Lampung mengabarkan, Sexy Killers sudah dirilis di Youtube. Ia sudah mengunduhnya. Sa segera meminta file film. Tapi sa memilih untuk tidak menontonnya di kamar hotel. Sa memilih menonton film itu dalam perjalanan pulang ke Jayapura, Papua.

Premier GoT sa tonton di kamar hotel, ketika kegiatan kami selesai dan kamar-kamar telah sepi ditinggalkan kawan-kawan. Seluruh dunia menanti GoT. Karena ini adalah bagian terakhir film seri yang dikutip dalam pidato Jokowi. Sa bukan barisan orang-orang yang menonton GoT karena pidato Jokowi pada 2018 itu. Sa sudah mengikuti GoT sejak 2016 akhir, berawal dari rekomendasi seorang kawan saat kami tengah mabuk di Manado.

Penerbangan sa untuk kembali ke Papua dari Jakarta, tepat di malam serangan fajar kemarin. Sesudah pesawat take off, sa menyaksikan dulu hamparan semarak lampu Jakarta. Kemudian, dari ketinggian ribuan kaki, sa menyalakan laptop lalu menonton Sexy Killers. Dua penumpang yang bersebelahan dengan sa, mungkin merasa aneh ketika mendengar sa beberapa kali mengumpat. Selain itu, mata sa kerap berkaca-kaca. Hal serupa, ketika acap kali sa menonton semua film dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru.

Sa yakin, Jokowi tak punya waktu untuk menonton GoT dari season pertama. Kalian pasti bisa menebak narasi dalam pidato kenegaraan lahirnya bagaimana. Tapi sa percaya, ia sempat menonton Sexy Killers. Tapi sekali lagi yakinlah, ia tak akan berani mengutip Sexy Killers dalam pidato kemenangannya nanti. Atau pidato serupa saat 2014 silam: nelayan kembali ke laut, petani kembali ke sawah. Semua akan seperti sedang meludahi langit.

Apa yang diucapkan Jokowi dalam pidatonya saat acara IMF tahun kemarin, segendang sepenarian dengan Sexy Killers. Tapi yang terjadi bukanlah seteru antar-Houses seperti dalam GoT. Yang terjadi tahun-tahun kemarin, adalah penindasan para Houses kepada rakyat. Siapa para Houses ini? Mereka adalah sosok-sosok yang ditampilkan dalam film dokumenter Sexy Killers. Ini cara sa menarik konteks GoT lebih ke dalam sebuah negara, bukan dunia.

Tontonlah Sexy Killers, karena ini film yang mengingatkan kita: bencana global sedang diciptakan oleh para perebut Iron Throne dan mereka di balik tahta. Dan kalian, mungkin telah menjadi bagian dari budak mereka. Budak-budak yang sedang melemparkan batu bara ke dalam rumah sendiri.

Coal is coming...

Thursday, April 11, 2019

Rayakan Usia

No comments

Di sini, waktu masih menunggu dua hela napas. Di sana, seharusnya aku telah mengangkat gelas. Menertawai jejak-jejak yang dikekalkan sajak. Merayakan usia seperti kita selamanya belia.

Thursday, April 4, 2019

Mari Tersenyum Kembali

No comments

Di belakang bukit tempat Universitas Cenderawasih berdiri, saya dan seorang pewarta foto Antara, Gusti Tanati, sedang berbincang di sebuah galeri. Di jalan, ramai orang menonton Persipura lewat layar infokus.

Sore itu, saya sedang mewawancarai Gusti, terkait galeri foto Black Orchid miliknya, Sabtu (16/3/2019). Langit mendung. Wilayah tempat galeri itu berada adalah salah satu langganan banjir jika hujan.

"Kalau hujan deras, tidak ada lagi akar pepohonan yang bisa disinggahi air di bukit itu," kata saya, sambil menunjuk bukit-bukit gundul yang mengitari hampir sebagian Perumahan Furia Kotaraja, Kota Jayapura, Provinsi Papua.

Saya dan Gusti tak berlama-lama di galeri. Ia harus pulang ke Kota Jayapura sebelum hujan. Begitu pun dengan saya, harus kembali secepatnya ke Waena. Langit telah gelap, lalu garis-garis gerimis mulai mengiris. Kami bergegas pulang dengan sepeda motor masing-masing. Di persimpangan Kotaraja, kami berpisah.

Saya nyaris kuyup malam itu. Beruntung, karena hujan melebat saat saya sudah di depan lorong kos. Setelah sampai di kamar, saya menyalakan laptop untuk memindahkan hasil wawancara yang saya tulis di note ponsel. Di luar, hujan semakin deras.

Beberapa jam kemudian, grup Telegram kantor Jubi riuh. Kawan-kawan wartawan Jubi yang bermukim di Sentani, satu demi satu mengabarkan soal banjir. Saya heran, sebab biasanya jika hujan lebat mendirus Jayapura dan sekitarnya, maka wilayah yang banjir kebanyakan berada di Kota Jayapura dan sekitarnya. Bukan di Sentani.

Wartawan Jubi pertama, Engel Wally, malam itu berada di RSUD Yowari. Ia sedang menjaga istrinya yang terbaring sakit. Ia mengirim foto-foto suasana rumah sakit. Pasien-pasien panik, karena air mulai masuk ke beberapa ruangan.

Wartawan Jubi kedua, Arjuna Pademme, juga mengabarkan hal yang sama. Jalan di kompleks perumahannya mulai tergenang. Wartawan Jubi yang ketiga, Aguz Pabika, juga dikabarkan berada di wilayah yang berdekatan dengan sungai.

Tetapi yang paling menegangkan, kabar dari wartawan Jubi yang keempat, Yance Wenda. Ia yang paling kami khawatirkan, sebab caranya mengirim pesan di grup sangat berbeda. Ternyata ia dan beberapa tetangganya, tinggal di daratan yang berada di tengah-tengah Kali Toladan. Menurutnya gemuruh batu terdengar keras. Air telah menyapu rumah-rumah. Ia dan anak istri meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri, sambil terus mengabari kami di grup.

Dari kabar-kabar mereka itulah, saya membuat berita banjir bandang malam itu, lalu segera menayangkannya di jubi.co.id. Di media sosial, berbagai macam video mengenai banjir mulai diunggah. Satu per satu saya memindainya. Ketika melihat dalam video ada seorang balita ditemukan hanyut, kemudian rumah-rumah dilewati air bercampur lumpur, saya yakin itu adalah banjir bandang.

Saya segera mengirim pesan kepada Gusti melalui WhatsApp. Saya mengabarkan soal banjir itu, dan memintanya untuk berangkat bersama-sama ke Sentani pada pagi hari. Sebab berangkat malam itu, pasti berisiko. Sepanjang jalan menuju Sentani ada beberapa jembatan sedangkan kali-kali meluap. Selain itu, saya khawatir jika ada longsor di jalan. Di grup, dikabarkan akses ke Sentani terputus. Gusti tidak membalas pesan saya malam itu.

Pukul 5.30 pagi, Gusti mengontak saya. Saya menunggunya di depan lorong. Setelah ia menjemput saya dengan sepeda motornya, kami berangkat ke Sentani. Di jalan, kami berpas-pasan dengan tiga ambulans yang sirinenya meraung-raung. Dalam hati saya, pasti banjir bandang semalam menelan banyak korban.

Titik pertama yang kami singgahi adalah Kampung Harapan. Jembatan sesudah Stadion Papua Bangkit, retak. Sungai berlumpur. Beruntung tak ada permukiman di bantaran sungai itu. Tetapi warga sekitar banyak berkumpul di atas badan jembatan. Ada salah satu personel TNI AD yang bersepeda motor searah dengan kami, berhenti di jembatan itu. Ia mengatur lalu lintas, lalu mengingatkan orang-orang agar menjauhi jembatan. Satu jalur yang retak ditutupi dahan-dahan pohon olehnya.

Kami melanjutkan perjalanan. Saat memasuki Kota Sentani, kami menemui satu jembatan lagi yang dikerumuni orang. Di bantaran kali ada permukiman. Di sisi kirinya, tampak bagian belakang rumah lenyap disapu luapan air. Saya sempat mewawancarai orang-orang yang kehilangan ternak, karena rata-rata kandang berada di atas kali. Di kali itu juga dikabarkan ada dua mobil diseret arus. Kali itu pula yang luapannya menghantam permukiman wartawan Jubi, Yance Wenda.

Tak berlama-lama di situ, kami terus menyusuri kota. Kali ini, kami menemui satu jembatan lagi. Orang-orang sekitar menyebutnya Jembatan Tahara. Di samping jembatan ada Hotel Tahara, yang tanah di sisi kirinya telah dikikis air. Ada permukiman di bantaran sungai ini yang lenyap disapu bah.

Terus memasuki kota, kami akhirnya menemui jalanan yang masih digenangi air dan lumpur. Tepat di depan Yonif 751/Raider, lumpur masih setinggi betis. Sepeda motor terpaksa kami parkir di depan sebuah ruko. Di sinilah saya menduga lagi, korban banjir ini pasti tak sedikit. Sebagian tembok-tembok pagar Yonif tumbang. Kendaraan yang lewat khususnya sepeda motor harus didorong, karena arus masih kencang.

Saya dan Gusti sibuk memotret, sambil sesekali bertanya kepada beberapa orang. Menurut mereka, sehabis Yonif, ada titik terparah tepat di depan AURI. Sesampai di sana, saya semakin yakin, korban memang tak sedikit.

Seumur hidup, baru kali itu saya menyaksikan secara langsung kondisi kota hancur. Jalan raya dipenuhi pohon-pohon yang sebagian banyak telah melapuk. Tembok-tembok rebah. Rumah-rumah tak berbekas. Perabotan rumah tangga berserakan. Beberapa ekor ayam dan bebek terbaring di jalanan.

Kompleks AURI berada di bantaran Kali Kemiri. Arus kali meluber ke jalan, tapi tak merusak jembatan. Saya lama termenung di sana. Banyak sekali rumah yang hancur. Mobil-mobil terbenam lumpur. Bahkan ketika berjalan di atasnya, saya merasa ada manusia yang teruruk lumpur dan pasir itu.

Gusti sibuk memotret sebuah kantor kelurahan yang hancur ditembus pohon. Saya bertanya kepada salah satu warga, apakah kompleks ini titik terparah. Tapi katanya masih ada lagi. Tepatnya di Kampung Doyo Baru.

Saya dan Gusti coba menumpang di truk yang mengangkut sejumlah personel polisi. Kami meminta izin dengan gestur tangan. Tapi seorang personel polisi menolak. Kemudian truk Tim SAR tiba-tiba lewat. Kami memberi isyarat yang sama. Mereka berhenti.

Sepanjang jalan, kami bertanya kepada mereka mengenai penemuan jenazah. Katanya, mereka sudah membawa belasan jenazah. Menurut mereka, di Doyo Baru tepat di Lapter MAF, diduga masih banyak jenazah.

Setelah sampai di sana, saya merasa perjalanan kami sejak dari Stadion Papua Bangkit, seperti memiliki level kerusakan yang runut. Dari level satu dan seterusnya. Di lapter inilah, level paling parah. Luapan Kali Ular di belakang lapter dan permukiman, meluluh-lantakkan apa yang dilewatinya.

Sebuah pesawat kecil, terseret dari lokasi hanggar sampai ratusan meter ke jalan raya. Pesawat itu kandas di jejeran pagar besi yang telah koyak diamuk banjir bandang. Tak jauh dari pesawat itu, ada helikopter BNPB yang jadi tontonan warga, karena seperti gagal mendarat. Baling-balingnya terkulai hampir menyentuh tanah. Posisinya juga agak miring karena tanah masih berlumpur.

Hanggar hancur. Di belakang lapter, ada permukiman yang telah rata dengan tanah. Bebatuan yang ukuran terbesarnya hampir setara mobil, melindas habis rumah-rumah. Orang-orang mulai bercerita tentang kondisi semalam. Menurut mereka, teriakan orang-orang hanyut terdengar di mana-mana.

Kami melanjutkan perjalanan hendak menuju Kali Ular dan jembatan di atasnya. Tapi kami masih melewati satu titik yang juga parah. Sekolah Advent juga diterjang banjir. Pagar sekolah hancur. Di sana arus air masih mengalir di beberapa titik. Kami terus menyusuri jalan, sampai menemukan sebuah warung makan tak jauh dari sekolah itu. Hari telah siang. Kami beristirahat untuk makan.

Sesudah makan, kami menumpang sepeda motor yang dikemudikan kawannya Gusti. Sampai di Kali Ular dan jembatan, kondisi di sana tak terlalu parah. Luapan Kali Ular, justru meluber ke lapter. Kami segera kembali ke titik-titik terparah. Sepanjang jalan, saya melihat arus-arus kecil menghanyutkan beberapa helai pakaian. Ada sebuah peci kecil hanyut di sana. Kacamata minus yang saya kenakan, segera saya pasangi dengan lensa gelap. Saya menangis.

Kami kembali ke pusat Kota Sentani yang tak terlalu terdampak banjir. Ada sebuah rumah kopi yang tutup, tapi kami meminta izin untuk membuat berita. Pemiliknya mengizinkan. Menjelang malam, kami berjumpa beberapa pewarta dari Kota Jayapura. Kemudian Gusti menyarankan agar kami segera kembali, sebab ia hendak mengambil gambar di rumah sakit tempat semua jenazah dibawa.

Dua hari kemudian, kantor menugaskan saya kembali ke Sentani. Saya diminta menginap di hotel selama beberapa hari, untuk keperluan liputan. Saya segera berkemas lalu berangkat. Sesampai di Sentani, hotel-hotel penuh. Hanya Hotel Tahara yang sejumlah kamarnya belum terisi. Terang saja, sebab hotel ini berada di tepi kali dan tanah di sisi kirinya sudah terkikis air.

Beberapa wartawan dari Jakarta juga memilih menginap di Hotel Tahara. Saya juga memberanikan diri menginap di sana, tapi memilih kamar yang berada di sisi kanan hotel. Tapi kalau diperhatikan jelas, jarak bangunan hotel dan kali masih sampai lima meter. Karena ada jalan masuk untuk mobil di sisi kiri. Hanya pagar saja yang nyaris roboh sebab tanah telah dikikis air. Beberapa pekerja dan alat berat juga telah disewa pihak hotel, untuk membuat tanggul sementara dari karung-karung besar berisi pasir.

Saya menginap di hotel itu selama empat hari. Ketika menyusuri kota di hari pertama, saya berjumpa dengan pemilik rumah makan yang berasal dari kota kelahiran saya, Kotamobagu. Rumah makan itu menjadi tempat favorit saya selama berada di Sentani. Bumbu-bumbu masakannya dan cara pengolahannya, membuat saya bernostalgia dengan masakan ala Mongondow, atau masakan ibu saya di kampung.

Selama turun liputan, saya tidak menyasar lokasi-lokasi penggalian jenazah. Bukan tak berani. Tapi saya belum tega membikin berita dari penuturan keluarga korban yang meninggal. Baru pada hari ke lima pasca-bencana, saya ditemani wartawan Jubi, Engel Wally. Awalnya kami menuju lokasi pengungsian di Gunung Merah, Kantor Bupati Jayapura. Lokasi ini sudah saya datangi sebelumnya. Saya lantas menyarankan Engel, agar menyusuri bagian belakang kantor. Tepat di bawah kaki Robhong Holo. Engel mengiyakan. Kendati saat itu mendung dan sesekali gerimis.

Dengan sepeda motornya, kami berboncengan melewati kaki Robhong Holo. Kami menemukan sebuah jembatan putus tepat di atas Kali Kemiri. Jika dihitung, ada tiga jembatan di atas kali ini. Jembatan pertama hancur sedangkan yang kedua tidak. Tapi kondisi jembatan kedua parah karena banyak pohon menghantamnya. Jembatan ketiga, yang berada di jalan raya tepat di samping AURI.

Selesai memotret, kami menyusuri jalan yang akan menembus jalan raya. Di sinilah Engel menyapa seorang kawannya, Stenly Monim yang tengah membonceng putrinya. Menurut Engel, rumah kawannya ini hancur karena berada di Kali Kemiri. Saat itu, saya belum tahu, kalau ada anaknya yang menjadi korban.

Melalui Engel, saya meminta izin mewawancarainya. Ia setuju. Ia lalu menitipkan anaknya di rumah salah satu kerabatnya. Seekor anjing, sedari tadi terus membuntutinya. Stenly membawa kami ke lokasi rumahnya, yang telah berganti bebatuan dan batang-batang pohon.

Saat mewawancarainya, saya menangis. Salah satu putrinya baru saja dimakamkan. Bayi laki-lakinya belum ditemukan. Satu-satunya anak selamat, yang tadi diboncengnya. Saya sangat berhati-hati ketika mewawancarainya. Saya tak menanyakan kondisi jenazah anaknya, dan yang membuat ia terus mengingat mendiang anaknya. Saya hanya fokus kepada cerita ketika bah datang malam itu.

Belakangan, saya merasa menyesal telah mewawancarainya. Sejumlah wartawan mencari dia, ketika berita saya ditayangkan. Saya merasa bersalah, karena liputan saya itu, mereka terus menanyai dia, mengulang-ulang pertanyaan, dan kembali menggali-gali lukanya.

Ada banyak sekali luka dan duka di Sentani. Tujuh puluh lebih jenazah belum ditemukan. Rumah seorang kawan wartawan Jubi tak bisa lagi ditinggali. Rumah-rumah warga di Danau Sentani tenggelam. Jenazah bayi laki-lakinya Stenly ditemukan. Dan yang terakhir, istri tercinta Engel Wally telah berpulang.

Sedalam-dalamnya duka untuk kalian. Tetapi mari tersenyum kembali, karena Tuhan tak pernah memberikan cobaan yang melewati batas kemampuan umatnya.

Keluarga Kos Cemara

No comments

Saya pernah berkisah tentang para penghuni kos. Mereka yang datang dan pergi. Mereka yang gagal dan bertahan.

Orang pertama yang akrab dengan saya di kos adalah pemuda Jawa yang lahir dan besar di Lampung. Ia di kamar nomor 1. Ia sopir mobil rental. Saya akrab dengannya karena mula-mula ia menawari bir kaleng.

"Ini sisa dari tamu tadi," katanya. Kami duduk di depan pintu kamarnya, lalu menenggak beberapa kaleng bir.

Ia gemar bermain judi online. Pernah suatu malam, ia meminta saya mentransfer sejumlah uang ke akunnya karena rekening banknya kosong. Jadi uang tunai diberikannya sebagai pengganti. Esok pagi, air mukanya keruh. Kalah.

Hanya sekitar tiga bulan setelah saya menyewa kamar nomor 3 di sampingnya, ia memutuskan pulang ke Lampung. Katanya mau kawin. Kamarnya diganti oleh kerabatnya dari Lampung juga. Yang ini, jejaka yang sering salat lima waktu. Ia sopir mobil rental juga.

Kamar nomor 2 dihuni perawat asal Ambon. Bujang ini lebih mirip saya. Paling banyak menghabiskan waktu di kamar. Tapi beberapa bulan kemudian, ia pindah. Kabarnya, tabungannya sudah mampu mengkredit rumah. Ia termasuk kepala suku di kos. Paling lama. Tujuh tahun. Setelah ia pindah, saya mengisi kamarnya yang ukurannya jauh lebih besar dari kamar lain, dan memiliki jendela lebar.

Kemudian, kamar saya sebelumnya ditempati orang asal Jawa Timur. Mas ini sudah menikah. Ia pekerja bangunan. Dulunya, ia pernah menghuni kamar itu, tapi ia mudik ke kampung halaman. Saat ia kembali, kamar ini gaduh dengan dangdut koplo setiap pagi.

Beberapa bulan kemudian, seorang perawat asal Ambon menempati kamar nomor 4 yang sudah lama kosong. Tapi ia hanya dua bulan lalu memilih pindah. Saat itu, kos memang sedang dilanda krisis air bersih. Bukan hanya kos, tapi sekompleks. Kamar nomor 4 kembali kosong.

Di kamar nomor 5, ada seorang bapak yang meninggalkan anak-istrinya di Jawa Tengah, untuk mengadu nasib di Papua. Ia sudah tiga tahun di kos. Tapi di Jayapura, ia mengaku sudah sejak 2006. Segala macam pekerjaan telah dilakoninya dari tambal ban, jualan es, buka warung makan, sampai akhirnya jadi sopir mobil rental. Karena ia yang paling tua, ia dipanggil Pakde.

Beberapa bulan kemudian, Mas di kamar nomor 3 mudik lagi. Ia sakit. Saat ia kembali sebulan kemudian, ia mengajak satu teman sekampung untuk tinggal sekamar dengannya. Mas yang ia ajak ini pintar memasak. Ia menjual mi ayam. Tapi sayang, hanya tiga bulan, ia lantas memilih pulang. Padahal, saya menjadi salah satu pelanggannya.

Ada tiga orang Mas yang berdesak-desakan di kamar nomor 6. Mereka bekerja membikin rumah sekalian pagar-pagarnya, atau merancang papan reklame. Tapi hanya beberapa bulan juga, dua Mas memilih pulang ke Lampung. Mereka sekompleks dengan sopir rental di kamar nomor 1 yang pernah akrab dengan saya. Mas satunya lagi dari Jawa Timur masih bertahan.

Kamar terakhir, nomor 7, dihuni pasutri asal Jawa Timur. Tapi berbeda daerah dengan Pakde. Mereka juga tak bertahan lama, meski mereka lebih dahulu tinggal di kos itu daripada saya. Pasutri ini, paling rajin membuang sampah setiap pagi. Ada beberapa penghuni kos, yang hanya meletakkan kantong sampah di halaman depan. Saya lebih sering membuang sampah sendiri ketika malam hari. Pasutri ini gemar memasak. Aroma masakan mereka sering menggoda leher para penghuni lain, yang kebanyakan memilih gorengan sebagai lauk, mawar (makan warung), atau merebus mi instan.

Seperti sudah ditakdirkan, pengganti kamar nomor 7 juga pasutri. Mereka asal Toraja. Suaminya perawat sedangkan istrinya guru kontrak yang memilih berhenti, karena harus ikut suami setelah menikah. Sama halnya dengan pasutri sebelumnya, mereka ini paling rajin membersihkan kos. Dan mereka juga yang sering mengepulkan asap di dapur. Dan sama, mereka tak bertahan lama.

Berbulan-bulan, kamar nomor 4 dan 7 tak berpenghuni. Kemudian, Pakde merekomendasikan kamar nomor 4 ke salah satu Mas asal Jawa Timur, yang juga sopir mobil rental.

Tak lama kemudian, satu lagi sopir mobil rental yang diajak Pakde, untuk menempati kamar nomor 7. Pakde jadi serupa "broker properti" Ibu Kos yang berasal dari Lampung tapi berdarah Jawa. Tapi bujang yang diajak Pakde ini jarang sekali di kos. Kamar itu hanya seperti persinggahan sementara baginya. 

Lengkaplah sudah. Saya berada di antara semua orang Jawa. Mereka berbahasa Jawa. Mereka gemar mendengarkan dangdut koplo, yang kebanyakan dilantunkan dengan Bahasa Jawa juga.

Pernah suatu hari, kami berada di tempat mencuci pakaian di sebelah dapur dan kamar mandi. Karena sewa kamar kami hanya 600 ribu rupiah per bulan, kami tak memiliki kamar mandi masing-masing di dalam kamar. Hanya ada dua kamar mandi di belakang untuk kami pakai bergantian. Saat mencuci pakaian itulah, mereka semua berbahasa Jawa sambil tertawa. Merasa tak nyaman, saya pindah mencuci pakaian di depan.

Bulan demi bulan berjalan. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Sementara itu, mereka terkadang menonton bola bersama, atau bermain game online bersama. Ketika sedang gaduh, saya memilih pergi ke kantor atau mawar atau keliling kota dengan taxi (mikrolet).

Belakangan, saya mulai mencari cara, agar Mas yang sering menyetel dangdut bisa peka kalau sebenarnya ada orang yang merasa terganggu dengan kebisingan. Anehnya, cara yang saya pilih adalah kebisingan juga. Saya mulai menyetel di pengeras suara lagu-lagunya System Of A Down, Sepultura, Korn, Limp Bizkit, Linkin Park, dan berbagai macam genre musik yang bising. Tapi malah Mas itu ikut mengencangkan volume. Saya sebenarnya bukan pembenci dangdut, ada beberapa lagu dangdut yang saya gemari. Tapi koplo berbahasa Jawa, ampun sudah!

Cara pertama itu tak berhasil. Karena rata-rata mereka salat lima waktu, saya coba mencari cara lebih islami. Ketika Mas di kamar nomor 3 menyetel dangdut koplo, saya menyetel lagu selawat. Ternyata, cara ini berhasil. Setelah satu sampai dua lagu selawat, tiba-tiba lagu dangdut koplonya dimatikan. Saya membekap mulut dengan bantal karena tak sanggup lagi menahan tawa.

Satu hal yang baru saya sadari, ternyata para penghuni lain sempat mengganggap saya seorang Nasrani. Ini karena ada poster yang membentuk salib di dinding kamar saya. Poster ini tampak dari luar jika saya menyingkap tirai jendela. Sebenarnya, dulu pasutri asal Toraja juga beranggapan saya seagama dengan mereka, karena poster itu. Saat Natal, mereka pernah bertanya kepada saya: tidak mudik ke Manado? Saya merespons pertanyaan itu, dengan anggapan pertanyaan itu mungkin muncul karena hari libur panjang saat Natal. Setelah itu, saya sadar, pasti karena poster itu.

Karena selawat dan poster itulah, saya menjadi dua agama di kos. Padahal saya mendaku sebagai penyembah air. Penyembah pohon, lewat sudah! Apalagi sekarang lebih banyak pohon sawit.

Seiring waktu, Mas di kamar nomor 4 mulai akrab dengan saya. Dia baik dan sering sekali menyapa saya. Dialah yang menjadi pintu saya, untuk semakin mengenali satu demi satu penghuni kos. Mas ini sepertinya sadar, karena mereka terlalu banyak bercakap-cakap berbahasa Jawa, saya merasa kurang nyaman dan memilih menutup diri. Ia juga sesekali bertanya apakah saya mengerti percakapan mereka, lalu mengartikan beberapa kata.

Belakangan, Mas nomor 4 ini juga membuat grup WhatsApp untuk anak-anak kos. Ia menamai grup itu "Keluarga Kos Cemara". Sejak saat itu, saya mulai akrab dengan mereka semua. Bahkan ketika pintu saya tertutup, mereka akan mengetuk pintu dan memanggil ketika sedang memasak ikan atau membeli gorengan. 

Saya pernah sekali ikut memancing bersama mereka. Di sana, saat bercakap-cakap, mereka tak lagi total berbahasa Jawa. Atau ketika kami berada di kos dan saya sedang duduk bersama mereka, hanya sesekali saja mereka berbahasa Jawa.

Saya mulai belajar memahami orang-orang di kos. Mereka pun perlahan-lahan mulai memahami saya. Kami telah saling mengenal. Jika terjadi apa-apa dan butuh bantuan, orang-orang terdekat dengan kita adalah para penghuni kos.

Bagaimana kita ingin mengubah hal-hal besar, tapi hal-hal kecil di sekitar saja tak mampu kita pahami?