Wednesday, October 14, 2015

Di Atas Langit PNS Ada Langit AJI

No comments
Tanah lapang membentang. Selapang hati mereka yang berjabat tangan. Tak perlu karpet merah tergelar untuk menyambut tamu di sini. Yang ada hanya gelas-gelas kopi terhampar.
Ya, akhirnya saya tiba di sekretariat AJI sekaligus kantor DeGorontalo.co, Sabtu (10/8), pukul 8 malam. Kantor kontrakan ini berada di pojok lapangan. Penat saya hilang seketika dilebur oleh kata-kata. Yang tersisa hanya; kenalan, tanya, lalu keakraban. Pengunjung Warkop Maksoed yang sepekarangan dengan kantor pun ringan mengulur tangan. Daftar pertemanan bertambah.
Saya bisa tiba di sini atas jasa ikhlas Nev Setiawan dan keretanya. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari dari Kotamobagu, Bolmong Raya.
Perjalanan dari Kotamobagu ke Gorontalo melalui jalur selatan seharusnya cuma sekitar 5 jam. Tapi karena Nev memiliki agenda tersendiri dan ia adalah kusir sekaligus pemilik kereta, akhirnya kami mampir dulu bermalam di tanah lahirnya. Rumahnya di Desa Mamalia, Kecamatan Posigadan, Bolsel. Desa yang pernah pula diderapi kuda-kuda bernopol B 6955 KB0 dan B 36697 EP. Penunggangnya Nabi-nabi Jurnalisme saat ini. Adalah Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz, dua nabi yang melakukan perjalanan spiritual jurnalisme mengeliling nusantara. Demi membela kaum yang termarjinalkan.
Ekspedisi Indonesia Biru (EIB), cukup ketik itu di Google dan mesin pencari akan memindai segalanya tentang mereka berdua. Pun film-film dokumenter yang tersaji gratis di Youtube. Yang telah rampung ada; Baduy, Kala Benoa, Lewa di Lembata, The Mahuzes, Samin Vs Semen, dan 70 Tahun Merdeka. Masih ada lagi film-film yang tengah diproduksi dan akan rampung akhir tahun nanti. Keduanya tinggal melanjutkan perjalanan dari Kalimatan-Sumatera. Lalu kembali ke Jakarta.
Saat menyusuri jalur selatan yang pernah mereka lewati, saya acapkali membayangkan setiap jengkal aspal yang kami lalui. Jejak-jejak mereka masih bisa terendus. Itu sudah lebih dari cukup meski akhirnya saya tidak beruntung untuk bisa bertatap muka. Ha-ha-ha. Tak apalah, lagipula di AJI Gorontalo nanti ada lebih banyak jejak ilmu dari mereka berdua.
"Betul. Ngeri-ngeri sedap," balas Dandhy di Twitter. Setelah saya bertanya apakah mereka sudah tiba di Gorontalo, beberapa hari sebelum saya ke Gorontalo. Jika lewat selatan view pantainya memang keren. Mereka telah bertolak ke Palu, Sulteng untuk melanjutkan perjalanan ke Kalimantan.
Usai menonton karya-karya mereka yang, dengan gratis berpindah begitu saja ke laptop saya-hanya dengan colok dan klik-saat tiba di AJI Gorontalo. Di tempat yang pernah mereka betahi ini, saya menonton, memercayai, meyakini, juga mengimani mereka. Agama saya adalah Jurnalisme. Dan mereka adalah nabi-nabi di antara nabi-nabi lainnya yang masih mempertahankan ajaran spiritual jurnalisme.
Selanjutnya tentang rute selatan di atas, aih! Ternyata jauh lebih sedap dan ngeri jalur yang pernah mereka tempuh selama ini. Sabda mereka; ini bukan touring. Ha-ha-ha. Anda-anda wajib nonton!
Di AJI Gorontalo inilah, saya akhirnya bertemu kawan lama, Yudin Buddha (yang merekom saya masuk AJI), juga kawan-kawan baru yang keakrabannya seketika mirip kloningan Te Yudin.
Ada Te Syam, Ti Debby, Te Chris, Te Handi, Te Wawan, Te Febri, Te Geril, Te Imal, Te Andri, Te, Ti, Te, dan Te lainnya lagi. Mereka ada dan berlipat ganda. Mereka hadir dengan keunikan masing-masing. Menukil istilah "Reklamasi Hati" yang spontan Te Yudin ucapkan. Nah, mereka di sini hatinya tak berbatas. Jadi tak perlu direklamasi. Ha-ha-ha.
Saya tak ingin panjang lebar menuturkan satu per satu tentang mereka. Sebab setiap satu keunikan direntang, esoknya akan ada keunikan baru lagi. Dan itu butuh riset yang cukup lama untuk bisa menjabarkan segalanya tentang mereka. Bisa jadi novel seribulogi.
Kemudian.... Saya berkenalan dengan Te Arnold, si keriting urak-urakan dengan kumis dan janggut lebat, yang katanya di situ bergelantungan para bidadari. Ha-ha-ha. Sepintas ia mirip Albert Einstein tanpa uban.
"Sigidad. Selamat ulang tahun!" Saya memperkenalkan diri. Sehari sebelum saya tiba, adalah tanggal dan bulan kejadian mahluk yang satu ini. Di AJI Gorontalo, yang lainnya terlahir dengan keunikan tersendiri. Tapi yang ini, adalah mahluk yang, yang, yang.... Aih! Unik dari segala yang unik. ENDEMIK!
Ia PNS. Tapi segala yang Anda-anda bayangkan tentang PNS, bakal luluh-lantak setelah bertemu dengannya. Bahkan, saya pun akhirnya terpingkal-pingkal dan tak bisa menyangkal, apa sebab kedua nabi jurnalisme yang sempat mampir ke AJI Gorontalo, betahan.
***
Arnold Risman Ahmad mengenang.
"Saya dibangunkan ibu, yang memberitahu bahwa saya sudah jadi PNS."
Apa jadinya, jika terbangun dan tiba-tiba berubah jadi PNS?
Singkat tentang proses evolusi Te Arnold menjadi PNS. Tahun 2003 ia lulus SMA. Setelah itu di tahun 2004 ia memutuskan merantau, lalu bertolak ke Manado yang selanjutnya mengelilingi Pulau Sulawesi. Ia tercegat di Mamuju, Sulsel (dulunya).
"Saya minta ijazah saya dikirim, buat lamaran kerja. Tapi malah disuruh ambil sendiri."
Ia pun yakin itu hanya jebakan agar segera pulang ke Gorontalo. Apalagi neneknya mengaku sangat rindu padanya. Ia memutuskan kembali di tahun 2005, dengan niat mengambil ijazah. Bukan untuk mengobati kerinduan neneknya. Namun nasib berkata lain, sebab ayahnya menyarankan agar ia kerja di Gorontalo saja. Ayahnya yang seorang guru SD, meminta ia menjadi tenaga honorer di sekolah. Te Arnold mengajar. Meski terlahir dari pasangan pengajar, saya tak bisa membayangkan apa yang ia ajarkan ke anak-anak SD kala itu. Jelas bukan rapal mantra bim salabim buat sulap koin. Ha-ha-ha.
Hari, minggu, bulan, dan tahun berganti. Ibunya yang juga pengajar di TK, diam-diam mengurus tetek-bengek persyaratan putranya untuk bisa diangkat jadi PNS. Kala itu ijazah SMA sangat sakti untuk melamar jadi PNS.
Dua tahun berjalan dan di tahun 2007 itulah nasibnya berubah. Goncangan ibunya tatkala membangunkannya adalah sebuah hentakan sejarah hidupnya.
"Ini, kamu sudah sah jadi PNS!" kata ibunya sambil melemparkan SK pengangkatan PNS.
Lalu menjelmalah Te Arnold menjadi PNS. Jabatan yang tidak pernah ia cita-citakan. Ia bahkan rela melepas ke-PNS-annya demi masuk AJI. Saat ini, sedang sibuk-sibuknya para PNS meregistrasi PUPNS secara elektronik. Siapa yang enggan, dianggap mengundurkan diri. Ia cuek-cuek saja. Meski telah menyandang Anggota Kehormatan (diberi kehormatan bersih-bersih sekretariat, ha-ha-ha), ia bersikeras untuk keluar PNS demi masuk AJI. Tekadnya itu yang kerap menginclongkan kantor dan pekarangan.
"Orang lain itu keluar AJI lalu masuk PNS. Yang ini malah keluar dari PNS terus pengen masuk AJI," kata Te Syam. Lalu kami terbahak-bahak.
Adapula kisah tentang akting Te Arnold yang berlagak jadi Dandhy, tatkala diundang salah satu kampus pada Seminar Kreatif dan pemutaran salah film dokumenter EIB produksi Watchdoc.
"Gorontalo panas ya?" kata Te Arnold di dalam mobil jemputan.
"Bangeeettttt," balas dosen cewek dengan dialek seolah-olah baru turun tangga pesawat dari Jakarta. Ini di-stand-up-comedy-kannya sendiri. Ia berhasil merebus katak di dalam mobil dan kampus dengan panas matahari Gorontalo.
"Ekspedisi Indonesia Biru hampir gagal karena ulah Te Arnold!" celetuk Te Syam, usai kisah tentang perpisahan dengan Dandhy dan Ucok, Te Arnold yang sengaja tidak dibangunin, foto bareng, dan kunci motor Dandhy yang tiba-tiba raib. Bukan tuyul yang nyolong tapi Te Arnold dengan skill kejahilan tingkat dewa. Tawa kami lepas mendengar kisah itu. Bahkan mereka yang telah berulang kali mendengar dan menuturkan.
Redaktur Koran Tempo Makassar, Imhe Mawar, yang sempat bertandang ke kantor pun terpingkal-pingkal. Bahkan Imhe dilayaninya bak ratu, agar nanti merekomnya menjadi fotografer Tempo, jika dipecat dari PNS.
Ah, novel sejutalogi tak bakal habis membentang kisah tentang PNS nyentrik yang asyik ini. PNS yang tidak pernah mengurus kenaikan pangkat. PNS yang tidak pernah mengantongi SPPD. PNS yang setiap tahun merubah gaya rambut dan tak takut ditegur atasan. PNS yang tidak pernah naik pesawat. PNS yang.... Ehu! Gilakkkk!!! Foto-foto di FB-nya. Mamaaakkkk!!!
Namun semalam akhirnya ia terpojok. Satu hal yang sangat dibanggakannya adalah tidak pernah naik pesawat. Tapi tidak untuk percakapan yang satu ini. Tak tega sih, melihat Te Arnold ter-huk-kan.
"Kalau misalnya kami (AJI) rencana ke Jakarta?" tanya Te Syam.
"Oh, saya tidak mau pergi," silatnya.
"Tapi ini agendanya ketemu Dandhy dan Ucok loh?" susulku.
"Oh, saya naik kapal laut," ia berkelit.
"Agendanya esok!" Te Syam dan saya koor.
"Waduuuhhhh!!!" Untuk kedua nama itu Te Arnold menyerah.
Di suatu malam, kekaguman saya atas sosok PNS yang satu ini semakin besar. "Kalau ada orang yang menggantungkan cita-citanya di langit untuk menjadi PNS. Lalu, kenapa saya tidak bisa menggantung cita-cita di langit berikutnya? Bukankah langit itu berlapis-lapis?" bijaknya. Pada akhirnya saya mengerti. Apa yang membuat mendiang neneknya merindui mahluk yang satu ini. Mahluk yang meriuhkan semesta AJI Gorontalo. Tempat di mana segalanya ada dan nyata. Mau lihat tuyul?

Monday, October 12, 2015

Terima Kasih AJI

No comments
Pagi kerap membawa berkah. Baik bagi mereka yang bangun pagi, pun untuk mereka yang menahan tidur hingga langit bergradasi dari hitam ke abu-abu, kemudian datang terang benderang. Berkah itu saya rasakan berupa perenungan. Ini jalan hidup saya. Nasib yang saya ikhtiari agar bisa terhindar dari takdir yang satunya lagi. Takdir yang tetap menjadikan saya sebagai wartawan yang tidak sebagaimana mestinya.
Setelah lintang-pungkang di dunia kewartawanan (saya malu menyebut jurnalistik) di Bolmong Raya (BMR). Akhirnya saya sadar bahwa tugas kami tak mudah. Kami adalah guardian-nya warga. Proses kesadaran itu berlangsung selama kurun waktu tiga tahun.
Saya mula-mula saling merangkul dengan sahabat di media online www.lintasbmr.com yang website-nya sudah tidak aktif, setelah eksodus besar-besaran (Ha-ha-ha. Padahal hanya kami berempat). Saya yang pertama kali hengkang dengan alasan, semangat yang tak sejalan lagi dengan Pak Pemred. Hanya setahun di www.lintasbmr.com (meskipun sebenarnya saya rindu dengan keakraban kami, tatkala masih sejalan). Kemudian saya seperti bangsa Nomaden, hidup berpindah-pindah mencari wilayah yang nyaman sesuai cuaca hati saya. Di www.pilarsulut.com (milik kawan pula) saya mendirikan tenda baru. Namun musim berganti hanya selang tiga bulan. Tenda saya terhempas badai. Saya memutuskan kembali ke comfort zone. Yaitu kamar yang diwarnai hitam dengan graffiti di beberapa bagian tembok. Kamar yang sesak dengan poster-poster; Nirvana, Valentino Rossi, Blink-182, dan beberapa foto alay saya dengan gambar jari Victory (Peace yang dimaksudkan), Metal, dan F*ck You. Ah, alay yang acapkali membikin saya rindu dengan kamar hitam, yang saya namai Rancid Room itu.
Sampai di Agustus 2014, saya melamar di media cetak Radar Bolmong (Jawa Post Group). Entah kenapa, saya melebur begitu saja dengan Radar Bolmong (yang lebih diperjelas link ini http://sigidad.blogspot.com/2015/08/menu7u-graha-pena.html). Akhirnya saya memutuskan resign, setelah tepat setahun di Radar Bolmong. Saya merasa tidak lagi berprofesi sebagaimana mestinya wartawan. Sebab ditargeti cash in, tagih sana-sini, kliping koran untuk kelengkapan berkas pencairan kontrak dengan Pemda. Aih, brengseknya. (Saya tak ingin panjang lebar dan menghabiskan energi, tentang hal yang sudah jadi rahasia umum ini).
Selanjutnya.... Pagi. Iya, pagi yang saya maksudkan di atas adalah pagi di mana saya telah berada di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo. Sekretariat yang kesini pun harus di-guide Yudin, sebab berada di antara labirin Kota Gorontalo. Nama wilayahnya pun harus saya tanyai beberapa kali.
"Apa depe nama Yudin.... Tomolutao, Tomubotao, eh, apae?"
"Tomulobutao!" jelasnya dengan bersungut-sungut, sembari menunjuk baliho Fespinkon di tembok, sesampainya kami di Sekretariat. Di situ tertera jelas alamatnya. Itu pertanyaan kesepuluh. Jelas ia jengkel.
Saya akhirnya berada di sini. Ah, kesempatan yang selama ini saya idam-idamkan. Yudin Gajah, sahabat saya itu, akhirnya berbaik hati menyampaikan maksud saya pada kawan-kawannya di AJI. Saya disambut bak kawan lama, Sabtu (10/8), tiga hari yang lalu. Sambutan hangat yang membuat saya merasa seperti bertemu kloningan (keakraban) Yudin sendiri. Semuanya interaktif dengan senyum yang selalu terumbar dan tanya ramah, pun kegembiraan yang tidak dibuat-buat.
Di sini, seperti sebuah kanvas putih yang diwarnai dengan beraneka corak. Saya tak ingin mendedah masing-masing karakter mereka itu. Apalagi baru sepekan saya bersama mereka. Namun keunikan tumbuh satu persatu dan semakin banyak. Terlalu banyak.
Saya seperti berada di dalam kamar saya sendiri. Begitu nyamannya. Begitu banyaknya pengetahuan terserak di sini. Seperti cangkir kopi di Kedai Kopi Maksoed, saya kosongkan cangkir itu, untuk siap menerima pahit kopi, manis gula pasir, dan tawarnya air putih.
Terima kasih AJI Gorontalo.
Ini berkah terindah.