Wednesday, August 31, 2016

Pagi tak Berjudul

No comments
Di lantai ada manusia terkapar. Empat manusia. Wajah-wajah mereka berlainan nasib, tapi memilih menjadi sama untuk sesuatu yang disebut takdir. Mabuk itu takdir, bukan?

Di luar sana, sayup-kuyup azan dan lonceng merangkaki embun. Nama-nama Tuhan berlainan wajah disebut. Tapi itu Tuhan yang sama, bukan?

Di langit ada terang yang pelan mengulum gelap. Yang membeda siang dan malam. Tapi bukankah seharusnya tak ada itu siang dan malam? Bumi hanya sedang jalan-jalan, bukan?

Di pagi tak berjudul ini, ada huruf-huruf saling merangkul dan ulangan spasi. Kemudian larik terhenti pada titik. Pada tanda tanya. Pada nasib. Pada takdir, bukan?

Saturday, August 20, 2016

Mantra Ibu

No comments
Lelaki itu berjalan tanpa alas kaki. Tanah, menjadikan telapak kakinya setebal harapannya. Ia terus berjalan. Sampai telapak kakinya terasa menginjak awan. Ia ingin mencari persoalan-persoalan yang, mungkin mampu membunuh induk persoalan dalam hidupnya. Cinta.

Dalam perjalanan, ia menjumpai seloyang telaga yang airnya datar dan sunyi. Jenak, selain sore, telaga itu menjadi perhentiannya. Pohon rebah di tepi telaga berubah menjadi bangku memanjang. Ia duduk separuh istirah.

Sore itu begitu hening. Seperti sebuah kecupan ibu di kening. Seketika ia ingat secarik kertas yang diberikan ibunya.

"Dilau hak kuja huk." Lelaki itu merapal pelan kata-kata yang tertulis pada kertas, usai satu lipatan merekah. Itu sepotong mantra yang ditulis tangan, dengan tinta biru di atas kertas putih.

Ia sebenarnya telah hafal empat kata itu, pun artinya yang malah terdiri dari lima kata.

Ingatan kembali pada cakap-tanya bersama ibunya.

"Itu bahasa apa, Ibu?"

"Ibu juga tidak tahu. Mantra itu dibisik turun-temurun bersama artinya saja. Sedangkan bahasa itu, entah bahasa apa. Nenek hanya menyebut itu bahasa 'ibu'."

Kertas itu tak sendiri terbungkus plastik bening. Ada lima helai daun perdu turut di dalamnya. Perdu pendek bernama latin mimosa pudica. Nama yang mengingatkan ia pada segaris lorong di kotanya. Lorong Mimosa. Akronim dari tiga suku yang mendiami lorong itu; Minahasa, Mongondow, dan Sangir. Daun itu lebih dikenal sebagai putri malu.

Ia tidak pernah bertanya kepada ibunya, kenapa ada lima helai daun putri malu di dalam plastik. Ia hanya menerka hubungan antara mantra itu dan daun putri malu. Sangat erat.

Satu helai daun putri malu ditariknya dari dalam kantong plastik. Jika manusia, maka daun itu adalah jasad hijau. Daun itu diam, kendati seiring waktu ia terus bergerak menuju rupa yang berbeda.

"Apakah AKU akan seperti daun ini?" Lelaki itu berbisik pada dirinya sendiri.

Mantra, daun putri malu, dan keraguan kini bertengger di atas pahanya. Ia lantas bangkit menuju ke tepi telaga. Kertas selebar bungkus permen itu disobeknya menjadi dua bagian. Ia melarung bagian mantra yang tertulis arti dalam bahasa Indonesia.

Setelah perjalanan panjang itu, akhirnya ia berani memisahkan bahasa 'ibu' dan 'Indonesia'.

"Biarkan bahasa 'ibu' menjadi misteri."

Lelaki itu memang tumbuh dengan keragu-raguan. Sepanjang perjalanan, beberapa kali ia mencoba untuk membuang mantra itu. Tapi akhirnya ia memilih hanya menyobeknya menjadi dua bagian. Lalu menyimpan bagian yang berisi bahasa 'ibu'.

Dan potongan kertas yang terkulai pada kulit air itu, ialah arti dari sekumpulan cinta yang tak satu pun sanggup dicintainya.

Ia kembali menyimpan mantra itu. Kali ini, di kantong kaus sebelah kiri.

Celana pendek dan kaus berlengan pendek yang dikenakannya, mulai iba pada tubuhnya sebab malam telah tiba. Ia menuju pohon yang rebah, lalu penuh istirah. Malam yang hitam, perlahan menelan warna-warna di sekitar lelaki itu. Yang tersisa hanya kelabu dari warna telaga. Lalu kelopak mata lelaki itu lambat-lambat mengatup.

"Ibu selalu senang ketika menyebut namamu, Saga."

"Kenapa, Ibu?"

"Ibu hanya senang saja ketika nama panjangmu, Sadra Gadirkum, menjadi lebih pendek."

"Kenapa tidak dipanggil Sadra saja? Atau, seperti anak-anak lain, yang nama kesayangan mereka bisa jauh berbeda dari nama panjang mereka?"

"Sebab nama seperti puisi. Dan setiap orangtua memilih puisinya sendiri-sendiri. Semakin pendek, semakin kau mengenal cinta."

Lelaki itu terhenyak. Tubuhnya kini berada di atas tanah. Ia menyeka bagian kulit dan pakaiannya yang penuh tanah. Kantuk masih menyimpulnya, yang membuat ia berbaring lagi di atas pohon itu. Mimpi itu berlanjut. Masih bersama ibu.

"Saga ingin bertanya tentang mantra itu, Ibu."

"Dilau hak kuja huk?"

"Iya."

"Saga sudah pernah bertanya soal itu, bukan?"

"Tapi, Saga masih penasaran."

"Kenapa?"

"Sampai sekarang Saga tidak pernah menemukan cinta."

"Cinta dalam mantra itu harus Saga maknai seluas semesta."

"Saga tidak perlu semesta. Saga hanya ingin MENGAMBIL satu cinta saja. Satu saja, Ibu."

Ibunya lama membisu. Saga masih menunggu. Ia ingin tahu mengapa satu cinta saja tidak pernah hadir dalam hidupnya.

"Saga, cinta tidak pernah datang, tapi ia menunggu untuk ditemukan."

Suara ibunya perlahan merangkak masuk ke dalam liang telinganya. Kata-kata itu mengganggunya.

"Tapi, buktinya, Saga tidak pernah menemukannya. HATI ini terus tersiksa. Seandainya Saga menemukannya, Saga ingin membunuhnya saja. Ibu punya mantra untuk membunuh cinta?"

Kelopak mata lelaki itu tak lagi terkatup. Ia tidak sedang berhadap-hadapan dengan ibunya lagi. Tatapannya kini menjadi penyanggah antara bumi dan langit. Ia tercenung lalu coba mengingat kembali potongan-potongan mimpi itu. Kenapa tiba-tiba ia terbangun? Ia mencoba untuk kembali tidur. Tapi mimpi itu tidak hadir untuk ketiga kalinya.

Ia kembali bangkit lalu berjalan menuju ke tepi telaga. Kertas yang sebelumnya mengapung diam, tak ada lagi di sana. Ia kemudian melepaskan kausnya. Kulitnya tampak sekelabu telaga. Kaus hitam itu ia biarkan jatuh ke tanah. Celana pendek yang juga berwarna hitam ia lepaskan. Ia telanjang.

"Saga, mantra itu ada di kantong kausmu." Suara ibunya sayup-sayup terdengar.

Lambat-lambat, suara itu semakin keras.

"SEMUA cinta ada di situ, kau bisa memilihnya!"

Suara itu semakin dekat. Tapi tak ada sesosok pun mahluk yang tampak. Lelaki itu terus berjalan tanpa alas kaki. Ia tak lagi menginjak sekumpulan awan. Awan-awan itu telah berubah menjadi salju.

"Aku ORANG yang kini tahu. Cinta adalah kematian."

"Saaaagaaaaaa!" Teriak ibunya tanpa wujud.

Tapi air telah sejajar dengan telinga lelaki itu.

Dilau hak kuja huk...

Monday, August 15, 2016

Pukul 3 Pagi

No comments
Anjing menyalaki bau. Jangkrik mengerik ukur suhu pagi. Manusia mendengkur. Sementara rindu ini, mendarat di ubun-ubun. Aku ingat keringat itu. Yang tercipta dari putaran napasmu.

Saturday, August 6, 2016

Wahai Tuanku Yang Mulia

No comments
Di lautan ada jasad perahu
Di atasnya ada nelayan jadi ruh
Perahu mengelupas
Nelayan bergegas
Wahai Tuanku Yang Mulia

Terik matahari didihkan kulit
Dingin malam parut paru-paru
Siang melepuh
Malam berpeluh
Wahai Tuanku Yang Mulia

Ikan-ikan menggelepar bernapas
Perahu adalah rumah yang ikhlas
Tinimbang lautan melogam
Karang-karang memucat
Wahai Tuanku Yang Mulia

Tanah diangkut menguruk laut
Gedung-gedung mencakar jiwa
Benamkan rezeki
Mengoyak jala
Wahai Tuanku Yang Mulia

Mengunci mata dengan sirip
Menambal telinga dengan sisik
Nelayan tak perlu janji
Dari mulut-mulut plastik
Wahai Tuanku Yang Mulia

Tuesday, August 2, 2016

Pesan Papak

No comments

Awal tahun 2013, saya mulai menulis di blog, yang entah wangsit apa, saya menamainya 'Getah Semesta'.

"Aku percaya semesta memiliki getah abadi yang saling menghubungkan kita dengan segala mahluk di jagat raya ini. Getah itu bening, terlalu bening hingga tak terlihat tapi bisa dirasakan. Seperti spasi yang bisa kau tekan dan rasakan lewat sentuhan. Tercipta, tapi tak berwujud. Siapa bilang spasi itu menciptakan jarak? ia ada sebagai getah bening penghubung kata, agar kita bisa memaknai semesta ini."

Begitu pikir dan tulis saya, untuk sedikit menjelaskan kenapa saya memilih menamai blog ini 'Getah Semesta'.

Saya tertarik membikin blog, setelah kawan Sandry dan Dito, yang mula-mulanya hanya berkawan di BBM, lalu berkesempatan bertemu di Kota Makassar, menyarankan saya untuk menulis di blog. Tulisan pertama saya berjudul 'Madre dan Padre'. Sandry dan Dito menjadi pembaca pertama saya. Tanggapan mereka, cukup membuat saya lebih semangat menulis. Mereka kawan yang saya percayai, terhubung karena Getah Semesta itu.

Tulisan pertama itu adalah refleksi saya, usai membaca Madre buku kumpulan cerita pendek dan esai karya Dee. Madre adalah salah satu cerpen di dalam buku tersebut. Yang akhirnya di tahun yang sama, 2013, ternyata cerpen Madre difilmkan. Madre adalah bahasa Spanyol yang berarti Ibu. Sedangkan Padre, hanya iseng-iseng saja coba memadankannya.

Tapi kali ini, saya ingin berkisah tentang Padre. Ayah. Papak. Tentang sebuah pesan.

Setelah dari Kota Makassar, saya terbang ke Bali. Tinggal setahun di sana, membuat saya lebih produktif menulis. Bahkan di bulan April, bulan kelahiran saya dan putri semata wayang, Sigi, setiap hari saya menulis. Apa yang tak bisa Anda tuliskan di pulau berisi segala keindahan?

Tapi Kotamobagu, terkhusus desa kelahiran saya, Desa Passi, kerap melambaikan tangan memanggil. Pulang.

Saya ditawari menjadi wartawan di media online www.lintasbmr.com oleh kawan-kawan yang, sudah saya anggap sebagai sanak. Tapi tak lama, saya kembali pindah ke www.pilarsulut.com juga milik seorang kawan. Nomaden, akhirnya saya berlabuh cukup lama di media cetak Radar Bolmong.

Karir saya di Radar Bolmong lumayan cepat. Tak sampai setahun, saya sudah dipercayai memegang jabatan kepala biro di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut). Daerah yang akan selalu saya sanjung karena keindahan pantai, puncak, dan kebaikan orang-orang di sana. Pun makanan-makanannya yang enak.

Tapi, keputusan saya untuk berhenti di Radar Bolmong, meski tawaran terakhir menjadi redaktur, mengundang tanya bagi sebagian kawan. Juga orangtua saya.

Mamak yang super cerewet dan benlintu' kai mongondow, tak ketinggalan memburu saya dengan banyak pertanyaan. Papak, kala itu sudah berpulang, 28 Maret 2015. Saya masih bekerja di Radar Bolmong. Tapi mamak hingga kini tidak pernah tahu, bahwa pilihan saya untuk berhenti; karena percakapan lama dengan papak sebelum ia berpulang.

Seingat saya, itu pada suatu sore. Papak terlihat jenuh dengan ruang geraknya, yang tinggal beberapa meter saja. Kamar dan ruang menonton televisi. Padahal ia adalah raga yang selalu saya baui dengan keringatnya. Dulu, sepulang kantor, papak akan menghabiskan waktu di kolam ikan di belakang rumah. Atau pergi ke kebun. Selalu begitu. Jika tak bergerak, ia seperti retak. Kondisi kesehatan dan usianya yang hampir menyentuh kepala delapan, membuat ia pasrah akhirnya.

Melihat ia jenuh di depan televisi, mengganti siaran tak tentu, saya lantas bertanya. Pertanyaan yang sebenarnya pernah saya tanyakan dulu, saat saya masih duduk di bangku SMP: Di mana saja jalan lintas Sulawesi yang pernah ia awasi pembuatannya. Papak adalah pensiunan pegawai negeri sipil di Dinas Pekerjaan Umum.

Ia kemudian berkisah, dengan kerut dahi yang coba melipat-lipat ingatan ke belakang. Di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) dan Utara kala itu, ia pernah di sana menerabas hutan. Bisa berbulan-bulan katanya. Saya masih memiliki satu kepingan ingatan saat masih kanak-kanak. Kala itu, dini hari ia pulang melewati pintu samping rumah. Mamak menyambutnya sembari menggendong saya. Itu satu ingatan yang tak lekang.

Saat itu, ia mengawasi dan merintis hutan di Bolsel untuk pekerjaan jalan. Papak berkisah, ada salah satu orang terpandang di sana, yang akhirnya orang itu menjadi tenar se-Bolaang Mongondow (Bolmong). Ia seorang kontraktor. Orang itu coba membujuk papak, yang secara jelasnya tidak lagi diceritakannya. Saya pun sudah bisa menjaring apa mau orang itu. Yang diceritakan papak, orang itu coba membujuk papak dengan beberapa ekor kambing, alat elektronik tercanggih kala itu, dan sepeda motor. Papak hanya membalas, "Torang le ada kambing, teip, deng sukur ada motor dinas."

Saat itu memang kami punya beberapa ekor kambing yang seingat saya, suka berlindung di dalam tong besi bekas pekerjaan proyek jalan, yang dibawa pulang papak. Ada beberapa buah tong besi yang sengaja dibikin papak menyerupai kandang. Kambing-kambing itu suka tidur di situ atau untuk berlindung dari hujan. Mendengar perkataan papak, orang itu pergi dengan wajah serupa kambing diguyur hujan.

Selain itu, papak berkisah juga saat beberapa pekerja jalan berburu Anoa. Papak suka meminta kepala Anoa, yang kemudian dibawanya pulang setelah dikeringkan. Ia menggantung beberapa kepala Anoa di rumah dan kamar. Saat ini, masih tersisa satu kepala Anoa di kamar mamak. Tanduknya biasa dipakai untuk menggantung beberapa helai pakaian.

Banyak yang papak ceritakan, tapi sebuah pesan darinya kala itu yang hingga kini, menjadi pijak saya untuk memilih apa yang pantas untuk saya kerjakan. Dan pesan itu yang membuat saya memilih harus meninggalkan pekerjaan, sebagus dan senyaman apapun itu. Selama apa yang saya kerjakan itu tak searah dengan pesan papak, saya akan meninggalkannya.

"Kojujur aka mogaid, bo dika moposusah kon intaw.(Berlaku jujur kalau bekerja dan jangan menyusahkan orang)"

Pesan itu memang pendek. Tapi jika dibawa ke pekerjaan saya sekarang sebagai seorang jurnalis, maka itu adalah pesan terberat dalam hidup seorang jurnalis. Belaku jujur. Saya tidak sok suci, sebab sebelum memutuskan berhenti, saya juga pernah sekali-dua menjadi wartawan brengsek. Tapi setelah percakapan sore itu dengan papak, sebulan sebelum ia berpulang, saya mulai banyak termenung.

"Yang fana adalah kekayaan. Yang abadi itu kebaikan."

Berbuat baik itu seperti apa? Berlaku jujur dan jangan menyusahkan orang lain. Itu saja.

Pesan ini juga untukmu ... Sigi.