Tuesday, June 28, 2016

Kotamobagu

No comments

Kota ini hanya beberapa jengkal
Satu, dua, tiga, mungkin empat atau lima jengkal saja
Dan lampu-lampunya selalu sama seperti kota-kota lain
Kau tak bisa menjumpa beda di sini

Di trotoar, di lapangan, taman-taman, emperan toko, kau tak bisa lagi meraba apa-apa
Wajah-wajah yang pernah ceria di sana, kini muram dan pergi mengurung diri

Tapi kota ini tak pernah salah
Ia tidak membenci kita
Ia tak mampu menyumpahi kita
Pun ia tak bisa berbuat apa-apa

Sampai kota ini benar-benar mati
Mereka telah membunuhnya

Razia-razia melebur kegembiraan
Riuh adalah kutukan
Suara-suara dibungkam aturan

Yang muda disibuki cangkir-cangkir kopi pajangan
Di foto lalu ditebar begitu saja
Tanpa pernah mereka memaknai pahit itu apa, manis itu apa, dan mereka itu apa

Siapa yang meracuni cangkir kopi mereka di kedai-kedai itu?
Jelas bukan Jessica si Ratu Sianida
Tapi pikiran-pikiran tua
Pikiran yang mengira masa tua mereka adalah sama dengan kita

Maka pulanglah anak-anak muda yang membawa remah-remah pengetahuan
Yang ditafsir dengan pikiran-pikiran merdeka
Lalu tebarlah puisi-puisi dan sajak-sajak
Ke telinga para orang tua

Dan, kota ini bisa hidup kembali oleh puisi-puisi
Sebab ruhnya ada di sini
Pada puisi-puisi, yang mempertemukan siapa saja yang tahu cara paling sakral dalam mengutarakan isi hati
Puisi-puisi untuk Kotamobagu yang kita cintai dengan semesta hati

Sunday, June 26, 2016

Sejarah Bapumpun

No comments
theduhbrain.blogspot.com

Pada suatu ketika yang belum lampau, jelang lebaran, seorang Mamak membawa putra kesayangannya ke Manado. Mereka bertolak dari kampung halaman di Bolmong, untuk pergi ke pusat perbelanjaan ternama di sana. Nama tempat itu terkenal dengan sebutan Mantos. Itu akronim dari Manado Town Square. Tempat shopping paling riuh jika lebaran tiba.

Di Mantos, saat tengah asyik melihat-lihat, tiba-tiba sang anak menarik lengan Mamaknya.

"Mak, di situ bagus-bagus tu baju," kata anak itu dengan dialek khas, sembari menunjuk satu toko pakaian.

"Oh, Planet Srup."

"Planet Surf, Mak," ralat anaknya.

"O'o, tua maksud Mamak ule, Umpil.(Iyo, itu no Mamak pe maksud kasiang, Umpil)" 

Nama anak itu sebenarnya Jupri. Umpil adalah nama kesayangan. Dengan langkah meyakinkan, Mamak dan Umpil masuk ke dalam Planet Surf. Mamak mengantongi uang sebanyak tiga juta. Itu hasil jualan bebek dan ayam di desa. Tiga juta, sudah lebih dari cukup untuk belanja baju dan ongkos pulang-pergi.

"Bapalih jo," kata Mamak.

Umpil mulai mengitari seisi toko. Selang beberapa menit kemudian, ia kembali menemui Mamaknya, dengan beberapa helai pakaian yang terkulai di kedua lengan dan pundaknya. Seorang perempuan bermata biru berdiri tepat di belakang Umpil. Sudah sejak tadi perempuan itu membututi.

"Sudah?" tanya Mamak.

"Iyo."

"Cuma itu dang? Ndak motambah?" tanya Mamak lagi. Masalahnya ada bawa doi tiga juta ini.

"So boleh ini, Mak."

"Apa-apa itu, Umpil?" tanya Mamak begitu lembut kepada putra semata wayangnya itu. Lalu ia mulai memilah pakaian yang dibawa anaknya.

"Kaos dua, calana panjang satu, ceper satu," hitung Mamak.

"Tambah ika pinggang, spatu, slop, deng topi," kata Umpil.

"Oh, mari jo bawa ka kasir," ajak Mamak.

Perempuan bersoftlens biru di belakang Umpil tadi, turut mengantar mereka menuju meja kasir. Mereka disambut laki-laki bertato dan berambut mohawk. Laki-laki itu ramah menyambut.

"Edodoe, pe ganteng ni ibu pe anak ini e. Apalagi so pake topi Spyderbilt," kata si kasir, stenga-stenga ba odon.

Mamak dan Umpil tersipu malu. Tapi pancaran sinar mata Mamak, mengisyaratkan kebanggaan mendengar odon-odon si kasir, yang mengatakan putranya tampan. Mamak segera menggenggam dompet yang tadinya ia selipkan di ketiaknya.

Si kasir mohawk mulai menghitung harga semua belanjaan.

"Brapa samua?" tanya Mamak memastikan, sambil menghitung lembaran uang di dalam dompet.

"Enam juta lima ratus ribu," kata si mohawk.

"Apa!" teriak kencang Mamak. Si mohawk dan si mata biru, kaget. Pandangan orang-orang seisi toko, tertuju ke arah meja kasir.

"Boliiii bi' bembeeeee' bunsit kona'a! Intaaaa mobuiiiii! (Harga kambing hamil katu' di sini! Manjo pulang!)" teriak Mamak.

"Hai, kiapa ini, Mak?" Umpil terheran-heran.

"Apa itu ibu' bilang?" bisik si mohawk kepada si mata biru.

"Nintau le," balas si mata biru. Mereka berdua juga heran dengan tingkah si Mamak.

"Inta mobui! Mani'ka momumpun don kon bobata'an ta inilad kon baloi! (Manjo pulang! Tau-tau mo ba angka pakean da jumur di rumah)" teriak Mamak lagi.

Kemudian, Mamak dan Umpil kembali ke desa. Sepanjang perjalanan Umpil terlihat sedih. Tapi sesampainya di rumah, Mamak membujuk Umpil dengan membawanya pergi membeli anak kambing betina, dengan harga yang terjangkau. Sisa uang dipakai untuk keperluan lainnya. Umpil sangat senang sebab punya peliharaan kambing.

Seiring waktu, Umpil kembali dibelikan seekor anak kambing jantan oleh Mamaknya. Sepasang sudah. Hingga akhirnya kambing betina dan jantan itu menghasilkan anak-anak kambing yang lucu.

Papaknya Umpil yang seorang petani, juga bahagia melihat putranya yang telah tumbuh dewasa, dan akhirnya menjadi peternak kambing yang sukses di desa mereka.

"Butul pa Mamak dulu. Tau-tau bapumpun (ba angka) baju di jemuran. Tu baju-baju masih bagus mo pake hari raya," kenang Umpil. Mereka sekeluarga akhirnya hidup serba berkecukupan dan bahagia.

Sejak itulah, kata pumpun yang dalam bahasa Mongondow diartikan mengangkat baju di jemuran, menjadi kata yang lekat setiap kali lebaran tiba. Pumpun, bisa berarti pergi shopping.

Saturday, June 25, 2016

Perca-perca Kenangan Tentang Bedew

No comments

Mungkin pagi, yang bisa membuatku tertambat pada kisah-kisah tentangmu. Di saat aku mencari perca-perca kenangan di setiap sudut kamar. Aku menemukanmu di cangkang kaset pita itu...

Malam hari di Desa Passi, sekitar 12 tahun yang lalu. Seorang remaja lelaki duduk di tepi jalan. Ia menatap ke arah tanah lapang yang luas di depan rumahnya. Lalu kerikil-kerikil dipungutinya. Dilemparkannya ke semau arah.

Ia suka menyendiri sebab belum akrab dengan anak-anak sekitar. Tak aneh, sebab masa SMP dihabiskannya di pondok pesantren di Manado. Hingga seiring tahun bergulir, ia akhirnya memilih meloncat kembali ke Desa Passi. Kemudian menikmati masa putih abu-abu di Kotamobagu.

Di tanah lahirnya, tanah lapang dan simpang tiga membikinnya akrab dengan anak-anak lain. Rerumputan di lapangan Elang Taruna lincah ia jejaki. Dan di simpang tiga, mereka menamai komunitas tongkrongan itu Anak-anak Pertigaan. Berbagai usia dan kelas berbaur di sana. Hampir tiada batas.

Remaja itu bernama Fajri Syamsudin Mokodompit. Ia akrab disapa Ewin. Tapi seiring waktu, nama-nama lain mulai melekat padanya. Ketika ia lulus SMA dan melanjutkan pendidikan di Akademi Perikanan Bitung (APB), kepalanya botak. Sapa sekaligus ejekan Sukro (merek kacang telur), kerap membikinnya cemberut.

Di hari-hari itu, sifat aslinya mulai nampak. Ia sangat jahil, nyeleneh, dan punya berbagai macam cara untuk membuat kami tertawa. Ada mop (cerita lucu) Mongondow, yang pernah membuat kami terpingkal-pingkal saat diceritakannya. 

Anak: Mak, minta' doi!

Mamak: Dega' bubul!

Anak: Ah, itu jo!

Iya, cerita itu kerap terngiang-ngiang di telinga bersama suara sengaunya. 

Kemudian seperti anak laki-laki lainnya, Ewin yang gemar bermain sepak bola, mulai mengidolakan klub raksasa asal Spanyol, Real Madrid. Sponsor utama klub itu 'bwin' perlahan-lahan membuatnya semakin akrab dipanggil Bedewin atau disingkat Bedew. Sebab jersey putih Real Madrid bertuliskan 'bwin' jadi andalannya. Tentu saja, panggilan itu tak membuatnya cemberut. Ia senang. Nama Bedew, kinumompit (melekat sudah).

Setelah menyelesaikan pendidikannya di APB, Bedew pulang dan tumbuh dewasa dengan penuh tawa di Rumah Pemuda Merdeka (RPM). Ia menambah daftar pengangguran di RPM. Masa-masa itu, dipenuhi oleh kenakalan-kenakalan yang lazim. RPM adalah padepokan yang mendidik penghuninya menjadi manusia-manusia merdeka. 

Tahun berlalu, sampai akhirnya ia diterima bekerja di Bank Rakyat Indonesia (BRI). Ditugaskan di Desa Tompaso, ia tetap tak ketinggalan dengan riuh RPM. Juga keramaian di Mabes'Pond Benggaul, rumah Delianto Bengga (Sangadi Desa Passi, sekarang) dan istrinya Rahma Ulaan. Anak-anak RPM adalah anak-anak angkat mereka berdua. Termasuk aku, juga Bedew.

Di Kotamobagu, rumah Ega, pacarnya, juga menjadi markas kami. Di lantai dua, kami kerap reriungan dan menyudahi malam dengan penuh tawa. Sama seperti toko dan bengkel Ko' Dobeng dan Ci' Sari di Kelurahan Biga, yang menjadi persinggahan untuk sekadar melepas penat.

"Supaya Oxa masih tahu, ada sudara di sini," begitu kata Bedew saat mengajak Oxa ke toko dan bengkel Dragon.

***

Tangan Bedew ringan. Pun lehernya sangat licin. Kudapan apa saja yang melintas di benaknya, pasti akan ia borong dan bagi dengan senang hati.

Aku mulai mengingat apa yang pernah menjadi seteru di antara kami. Dengan teman-teman lain mungkin pernah. Tapi hanya hal-hal sepele dan selalu ia yang mengawali tegur dan maaf. 

Denganku, nyaris tak ada seteru. Aku coba mengingat lagi, tapi memang tak ada. Mungkin karena ibu dari ayahnya adalah kakak ayahku. Meski neneknya dan ayahku adalah kakak beradik dari ibu yang berbeda.

Itu pula sebab, yang menjadikan rumah dan kamarku sudah seperti miliknya. Hampir setiap hari, ia makan di rumah. Jika hendak tidur, kantuknya lekas. Hanya beberapa menit rebah, ia sudah mendengkur keras. Ah, andai saja tidur seperti itu bisa dibeli, begitu kataku padanya suatu kali.

Tahun terus menggelinding, yang membawa kami anak-anak RPM terpisah oleh jarak. Hampir semua mengadu nasib di kota-kota lain. Ia menetap di Desa Passi, setelah pindah tugas di Kotamobagu. Aku di Gorontalo.

Di hari ulang tahunnya, 15 Januari 2016, ia menanyai kabarku.

"Ya', di mana?"

"Masih di Gorontalo."

"Hai, kita pe ulang tahun ndak ada ngoni samua. Sedih."

Baru pada akhir Januari, aku punya kesempatan untuk pulang ke Desa Passi. Tepat pernikahan Ardi dan Lara. Aku sempat ditertawainya, karena rebah di tanah lapang. Kami mendustai pagi kala itu.

Aku kembali ke Gorontalo, setelah memburu beberapa narasumber di Manado dan Kotamobagu untuk liputan khusus. Selang beberapa bulan, usai menuntaskan liputan, aku kembali ke Desa Passi. Dan aku menemui Bedew yang begitu berbeda. Tubuhnya kurus tak seperti biasanya. Aku sempat bercanda kala itu yang membuatnya sedikit tersinggung. Tampaknya, sakit mengubahnya menjadi begitu sensitif.

Untuk menebus canda yang telah membuatnya sedih, aku mengajaknya pergi melihat tuyul. Kami berempat turun gunung menuju Kotamobagu. Aku, dia, Bulog (Yunus), dan Andol (Ardi).

"Wei! Gaga skali ini no! Ha-ha-ha. Gaga skali!" teriaknya usai ritual kami melihat tuyul.

Ia terlihat begitu senang. Tertebus sudah candaku sebelumnya yang membuat ia sedih. Bahkan setelah beberapa hari kemudian, ia kembali mengajakku melihat tuyul sekali lagi. Bersama Ses (Rulli), Sutha (Sut), dan Ape' (Yanto). Sekali lagi, ia terbahak-bahak melihat tuyul yang, hingga hari ini masih menjadi rahasia kami.

Dan hari demi hari bergulir seperti biasanya. Bedew masih sering kutemui di RPM dan tanah lapang saat turnamen sepak bola dihelat. Ia masih meramaikan tanah lapang, dengan memanejeri klub Fajar Passi, bersama pelatih Oxa. Piala juara kedua diangkatnya tinggi usai laga final.

Lalu, tanah lapang kembali sepi. Sampai kabar duka sahabat kami, Yayang, merambat ke desa, 31 Mei 2016. Ia menghubungiku dini hari.

"Ya', Yayang so meninggal. Ada cilaka!" 

"Iyo, napa banyak ba sms deng bbm pa kita," jawabku.

Di hari yang sama, saat pemakaman Yayang, aku sempat mengajaknya menuju rumah duka. Tapi sakit menghalanginya.

"Masih moterapi pa kita ini."

Itu terakhir kalinya kami berkomunikasi.

Setelah itu... Hanya beberapa hari setelah Yayang berpulang, Bedew tiba-tiba harus dirawat di rumah sakit. Belum sempat menjenguknya, ia telah dirujuk ke Manado.

Dan... Seminggu setelah Yayang berpulang, Bedew menyusul dengan ucap janji yang terakhir kalinya.

"Terima kasih for samua doa deng semangat dari ngoni kita pe tamang. Kita janji Insya Allah sebelum Hari Raya, kita so mo sehat. Amin." 

***

Di kamarku, sewaktu Bedew SMA, ia suka membawa kaset pita di tas punggungnya. Kaset pita berisi album Greatest Hits, Blink-182. I Miss You adalah lagu favoritnya. Suaranya keras meniru jika lagu itu sedang diputar. Cangkang kaset itu hingga sekarang masih terpajang di kamarku, berisi cover dan bentangan lirik-lirik lagu. Kaset pitanya raib entah kemana.

Mungkin seperti itulah Bedew. Kaset pita itu adalah kesatuan raga dan ruhnya. Sedang cangkang berisi cover dan lirik-lirik lagu adalah perca-perca kenangan tentangnya.

We'll wish this never ends
I miss you, miss you
I miss you, miss you

We miss you, Bedew :(

11 Juni

No comments
Bagi dia, kelahiran bisa berarti kesedihan
Tapi begitulah, kita tak bisa memilih takdir sejak lahir
Tak bisa memilih dilahirkan dari gua garba siapa
Tak bisa memilih harus menjadi apa

Bagi dia, kehidupan adalah tentang memungkiri nasib
Tapi setidaknya, dia bisa belajar memaknainya
Memilih mengasuh dan membesarkan takdir-takdir lain
Sebab jalan hidup itu yang dipilihnya

Bagi dia, cinta adalah kekayaan hati
Untuk siapa saja, asal itu berarti
Sehingga Tuhan meluaskan hatinya
Memunguti remah-remah takdir yang tercecer di mana-mana

Begitulah dia, yang lahir 11 Juni
Angka yang serupa garis-garis hujan
Sebab hujan di bulan Juni memberinya arti
Tentang kelahiran, kehidupan, dan cinta

Friday, June 17, 2016

Malam Ketujuh

No comments
Kau rebah di rahim bumi
Di antara napas pepohonan, gemericik air, dan sepotong jalan sunyi
Pada sepetak pemakaman
Kau lelap tanpa dengkur

Jasadmu lebur tiada
Satu dengan tanah yang rinduimu
Dan di malam ketujuh ini
Kami pun merinduimu dengan cara yang berbeda

Di sampingmu kami menabur kisah
Tentang ratusan lakumu
Tentang cintamu
Dan tentang isyarat-isyarat yang luput kami tafsir

Kami tidur di sampingmu
Hiraukan gigil dan kecup embun
Berharap kau tuntun kami pada aroma-aroma mimpi
Pada hal-hal yang masih ingin kita tertawai

Sepekan sudah ruhmu dipetik dari raga
Sedang kami murung menampik
Tak percaya, tak percaya, tak percaya
Hingga akhirnya kami berserah pada kuasa

Ini ada selarik duka nun jauh di sana
Dari misan yang tak sempat hadir mengelus nisan
Titip Dita dan keluarga...
It's short but to the point... we are crying

Iya, kami semua menangisimu
Kepergianmu, dalam, dalam, begitu dalam
Airmata tak pernah penuh
Hanya ikhlas yang menyudahi

Selamat jalan

Friday, June 10, 2016

Tempat Terbaik Untukmu, Bedew

No comments

Senja itu dikulum malam. Tepat berbuka puasa, kau pulang dari Manado, dengan ambulans dan lampu sirenenya yang dari kejauhan menyala-nyala menyulut mata. Tubuh kami menggigir di puncak Desa Lobong. Tangis kami pecah dengan tengkuk yang terus bergetar. Ah, Bedew... Kau tiba juga.

Sebelumnya, saat mendengar kabar kepergianmu, kepalaku seperti kosong. Air mata menjadi batas dahaga. Mulutku berisi lautan. Dan apa yang seluruh, meruap di ruang kamar. Entah apa yang akan kuceritakan tentangmu. Aku tak tahu harus memulainya dari mana.

Saat kami mengiringi jenazahmu. Di dalam mobil, Sandry menyetel pelan sebuah kidung dari Efek Rumah Kaca. Putih. Sepenggal Tiada tanpa Ada.

Saat kematian datang
Aku berbaring dalam mobil ambulans... Dengar...
Pembicaraan tentang pemakaman
Dan takdirku menjelang
Sirene berlarian bersahut-sahutan... Tegang
Membuka jalan menuju Tuhan
Akhirnya aku usai juga.

Iya, Bedew. Lagu itu mengisi kosong di kepalaku. Seiring hembus angin mengusap airmata, yang mengisyaratkan sebuah kerelaan. Harus ikhlas meski hati ini meranggas.

Iring-iringan membelah Kotamobagu. Lalu melewati kantor BRI tempatmu bekerja. Hanya beberapa menit, tanah lahirmu yang menanjak dan basah, menyambut. Di tepi tanah lapang, rumahmu telah tenggelam oleh airmata.

Lirik Putih itu kembali hadir...

Saat berkunjung ke rumah
Menengok ke kamar, ke ruang tengah... Hangat
Menghirup bau masakan kesukaan
Dan tahlilan dimulai
Doa bertaburan terkadang tangis... Terdengar
Akupun ikut tersedu sedan
Akhirnya aku usai juga
Oh, kini aku lengkap sudah.

Iya, Bedew. Kau lengkap sudah. Kelahiran, kehidupan, dan kematian. Kau tinggal menunggu kebangkitan yang ringkas. Kau akan dipeluk bumi. Sedang kami masih di muka bumi.

Aneh, mendengar kau berpulang, aku tak gentar lagi menyambut ajalku. Kau sudah di sana. Kalian: Yayang, Bagus, Kak Dona, Jaya, Rinto, Kak Mila, Om Ris, Om Oncong, dan ayahku. Pun semua yang telah berpulang sebelumnya, seakan berderet di hadapanku. Kerabat, sahabat, dan siapa saja yang pernah akrab. Wajah mereka berseri-seri. Seperti wajahmu.

Masih ingat? Kau pernah membuat Tuhan tertawa dengan pantunmu, "Buah manggis, buah mangga. Jangan menangis ya, mangga." Dia terlampau senang dan sayang padamu. Karena itu, ibu dari semua hari dan ibu dari semua bulan, dipilihnya untukmu. Jumat dan Ramadan. Kau sangat spesial.

Bedew, maafkan kami yang tidak bisa membaca tanda-tanda itu. Turnamen sepak bola kemarin, sebenarnya adalah isyarat darimu. Kepergianmu.

Kau masih menghibur kami dengan telapak tanganmu yang kerap kali ringan itu. Kau meninggalkan kenang yang akan terus menggenang di tanah lapang.

Juga meninggalkan Delianto Bengga dan Rahma Ulaan, Sangadi dan Ibu Sangadi Desa Passi, yang telah menganggapmu seperti anak kandung mereka sendiri.

Ah, Bedew... Aku tidak tahu harus berkisah apalagi tentangmu.

Kemudian, larik-lirik Putih itu hadir lagi...

Dan kematian, keniscayaan
Di persimpangan, atau kerongkongan
Tiba-tiba datang, atau dinantikan
Dan kematian, kesempurnaan
Dan kematian, hanya perpindahan
Dan kematian, awal kekekalan
Karena kematian, untuk kehidupan... Tanpa kematian.

Dan diabetes adalah sebuah proses yang alami... Selarik lirik dari Efek Rumah Kaca, Sebelah Mata, sekali lagi bercerita tentangmu. Tentang sakitmu yang sama persis dengan si pemetik bass, Adrian. Penglihatannya direngut pula oleh diabetes.

Tapi tentang sakit yang sering dikeluhkanmu itu, seperti yang pernah kau utarakan tempo hari, "Obat yang mujarab itu adalah kasih-sayang kedua orangtua."

Iya, Bedew, kasih-sayang ayah dan ibumu, kakakmu satu-satunya, dan kami semua, adalah obat yang paling mujarab. Kami mengikhlaskanmu.

Selamat jalan, Ewin...
Selamat jalan, Bedew...
Selamat jalan, Bedewin...

Tempat terbaik untukmu! \m/

Tuesday, June 7, 2016

Mowgli dan Kehidupan

No comments
www.dnaindia.com

Lariiiiii! Teriak Bagheera (Ben Kingsley) seekor macan kumbang kepada Mowgli, yang diperankan aktor cilik berbakat Neel Sethi yang baru berusia 10 tahun, saat harimau Shere Khan (Idris Elba) menyerangnya.

Adegan di atas ada dalam film besutan Walt Disney Studios, The Jungle Book, yang diadaptasi dari novel best seller dengan judul yang sama. Film Box Office yang juga bertepatan dirilis dengan momen Hari Bumi, di April lalu.

Dalam film, dikisahkan Shere Khan sangat membenci manusia, sebab seseorang berhasil melukai wajahnya dengan kobaran api yang berasal dari obor. Dendam yang terus bertahan kendati Shere Khan berhasil membunuh manusia itu yang ternyata adalah ayah dari Mowgli. Saat itulah, Mowgli balita ditinggal mati ayahnya di sebuah gua di tengah kepungan belantara. Bagheera menemukan Mowgli lalu membawanya kepada sekumpulan serigala untuk diasuh.

Kelompok serigala itu dipimpin Akela (Giancarlo Esposito). Mowgli akhirnya tumbuh hingga berusia 10 tahun dan diasuh oleh serigala betina, Rakhsa (Lupita Nyong’O), yang dikenalnya sebagai sosok ibu.

Shere Khan sebagai penguasa hutan yang kejam, berhasil mengintimidasi seluruh kawanan hewan termasuk Akela dan kelompoknya. Mereka para serigala terlibat debat sengit menyoal; merelakan Mowgli kembali berbaur dengan manusia atau mempertahankannya. Akhirnya Mowgli sendiri memutuskan untuk pergi. Sebab keselamatan kelompok serigala lebih berarti baginya.

Namun sesudah Mowgli ditemani Bagheera pergi meninggalkan hutan, di tengan perjalanan mereka dicegat Shere Khan. Kemudian adegan yang mengawali tulisan ini, yang kemudian membuat Mowgli terpisah dengan Basgheera yang terlibat pertarungan dengan Shere Khan.

Saat dalam pelarian, Mowgli bertemu seekor ular raksasa, Kaa (Scarlett Johannsson), yang sempat membawanya lewat ilusi ke masa di mana ketika Shere Khan membunuh ayahnya. Namun Kaa ketika itu perlahan melilit Mowgli dan ternyata ingin memangsanya. Lalu datang Baloo (Bill Murray), seekor beruang hitam yang berhasil menyelamatkannya.

Kemudian cerita semakin mengerucut pada kobaran api yang membakar hutan, yang disebabkan sebuah obor api yang dibawa Mowgli. Ia kembali ke hutan tempat para serigala bermukim dengan tujuan menantang Shere Khan. Ia marah setelah tahu Shere Khan telah membunuh Akela. Namun sepanjang jalan, tanpa disadari obor yang dibawanya itu meninggalkan jejak bara yang akhirnya membuat terjadinya kebakaran hutan.

Film tersebut berhasil meraih simpati dari penonton dunia dan para kritikus film. Sarat pesan moral tentang bagaimana bahayanya api yang dalam film disebut 'bunga merah'. Dampak kebakaran hutan yang besar meski berasal dari sumber api yang kecil.

Selain hutan, dalam film turut digambarkan bagaimana penghormatan Mowgli kepada sekawanan gajah. Ia akan bersujud ketika sekawanan gajah itu melewatinya. Di negara kita khususnya pulau Sumatera, sedang gencar pula terjadi perburuan gajah, dengan alasan hewan tersebut kerap merusak lahan pertanian warga. Banyak ditemui bangkai gajah yang dibiarkan mati setelah dibunuh.

Mengenai kerusakan hutan, tahun lalu, Indonesia sendiri pernah dikepung asap karena kebakaran hutan hebat, yang melanda Sumatera dan Kalimantan. Pembukaan lahan hutan oleh beberapa perusahaan dengan cara membakar, berdampak buruk pada masyarakat. Kepungan asap merengut nyawa khususnya bayi-bayi setelah mengidap penyakit pernapasan. Sedangkan penderita yang tersisa dan selamat, harus pula dirawat dengan biaya yang tak sedikit.

Kendati hingga hari ini, kita sadari berita tentang perusahaan-perusahaan pembakar hutan akhirnya menghilang dari media. Bergulir seiring isu-isu panas lainnya yang terus terjadi di negeri ini. Sekali lagi, masyarakat yang dirugikan dan terserang penyakit pernapasan harus menerima untuk dijatuhi tangga lagi. Sebab proses hukum kepada perusahaan-perusahaan pelaku pembakaran hutan yang kebanyakan - diawali niat - untuk melakukan ekspansi sawit secara besar-besaran itu, penanganannya terkesan lamban. Bahkan sebelumnya daftar nama-nama perusahaan enggan dipulikasikan pemerintah.

PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang pernah digugat pemerintah sebagai perusahaan pembakar hutan, akhirnya diputuskan bahwa gugatan pemerintah ditolak majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang. Berdasarkan fakta di lapangan, ulah PT BMH jelas banyak merugikan masyarakat sekitar dan negara. Namun lolosnya jeratan hukum kepada perusahaan, disinyalir karena kelemahan pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menjadi penggugat, sedikit menyodorkan bukti-bukti akurat di lapangan. Untuk itu majelis hakim menilai gugatan pemerintah tidak terbukti.

Di wilayah Sulawesi Utara, khususnya Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), ekspansi sawit sedang gencar-gencarnya. Se-Bolmong, satu per satu perusahaan mulai melobi kepala-kepala daerah. Sistem "tali asyik" atau kontrak menjadi cara perusahaan menggaet warga. Meski dari kontrak tersebut warga atau pemilik lahan hanya mendapat 20-30 persen, dan pihak perusahaan 70-80 persen. Sedangkan pemerintah, dengan mulusnya mengeluarkan izin atas perusahaan-perusahaan tersebut.

Masyarakat Bolmong nantinya tinggal menunggu akibat, dari sebab yang akan disepakati pemerintah yang jelas berdampak buruk, setelah masuknya perusahaan-perusahaan sawit di tanah yang dijuluki Totabuan. Sama halnya seperti yang mereka sepakati dengan perusahaan-perusahaan pertambangan sebelumnya. Pada akhirnya, anak-cucu yang akan merasakan akibatnya kelak.

Untuk kerusakan hutan karena faktor lainnya seperti penebangan liar, telah merambah taman nasional dan cagar alam. Terlepas dari ulah pemodal, warga pun harusnya mulai menyadari bahwa penebangan hutan itu sangat berdampak buruk. Sangat disayangkan sebab di Bolmong sendiri, ada Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, yang termasuk salah satu wilayah hutan tropis yang menopang bumi sebagai paru-paru dunia.

Luas hutan di Bolmong sesuai data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bolmong, yakni: untuk Hutan Lindung 5.550,66 Ha, Hutan Lindung Bakau 5.550,66 Ha, Cagar Alam 12.396,64 Ha, Taman Nasional 133.193,96 Ha, Hutan Produksi Tetap 19.865,45 Ha, Hutan Produksi Terbatas 27.091,28 Ha, dan Areal Penggunaan Lain 116.229,09 Ha. Dengan total luas keseluruhan 294.514,89 Ha. Sedangkan Hutan Kritis 42.959 Ha yang seiring tahun terus meluas.

Kembali ke Mowgli, yang adalah satu-satunya tokoh manusia dalam film The Jungle Book itu, sebab tokoh lainnya adalah binatang-binatang hasil rekaan spesial efek komputer (Computer Generated Imagery). Bocah itu seperti ingin mengingatkan kita, bahwa kelak anak-cuculah yang akan merasakan akibat, dari ulah para perusak hutan dan ekspansi perusahaan-perusahaan tambang dan sawit. Izin-izin pemerintah kelak, akan seperti percikan api yang nantinya mengancam hutan dan kehidupan generasi kita.

Maka lebih menakutkan mana, pemerintah atau api?

Sunday, June 5, 2016

Gogotupan

No comments
tribunnews.com

"Duaaaarrrrr!"

Sepotong kayu berjelaga kembali dicelupkan ke dalam lubang persegi pada bambu seukuran paha orang dewasa, yang berisi minyak tanah. Kayu itu lantas disulut dengan api dari lampu botol. Dalam keadaan terbakar, potongan kayu itu disulutkan ke atas lubang persegi lagi. Kemudian tangan yang satunya lagi membekapkan sepotong kain di atasnya secara tiba-tiba.

"Duaaaarrrr!"

Dentuman kembali terdengar. Tawa riang anak-anak terdengar. Asyik memang. Nama permainan ini meriam bambu. Cara membunyikannya mirip meriam. Di banyak tempat, permainan itu memiliki banyak nama. Di pulau Jawa, khususnya Yogyakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah, permainan itu dinamai mercon bumbung atau long bumbung. Sedangkan di Banten dan di daerah tanah Sunda, mereka menyebutnya bebeledugan.

Di wilayah Melayu, yang konon katanya tempat bermula permainan ini, namanya tetap sama meriam bambu. Di Minangkabau disebut meriam betung atau badia batuang. Di Pangkal Pinang, lain lagi sebutannya yakni bedil bambu. Lalu di Aceh mereka menamai te`t beude trieng.

Di daerah tetangga kami, Provinsi Gorontalo, mereka menyebutnya bunggo. Sedangkan di daerah kami, Desa Passi, Kecamatan Passi Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, kami menamainya gogotupan.

Dari sumber yang saya baca, asal-usul meriam bambu ini, terinspirasi dari senjata bangsa Portugis. Meriam perang mereka adalah yang paling canggih kala itu. Sekitar abad ke-6 masehi, bangsa Portugis datang ke nusantara, dengan membawa peralatan perang termasuk meriam. Tentu saja, di zaman itu meriam masih menjadi senjata yang menakutkan.

Tapi seiring perjalanan waktu, meriam itu menjadi inspirasi untuk membuat permainan gogotupan. Modalnya hanya batang bambu. Di daerah saya, jenis bambu terbaik namanya taraki'. Hanya dibutuhkan panjang 1-2 meter dengan diameter 4-5 inci untuk membuat gogotupan. Setelah dilubangi persegi di pangkal bambu, jangan lupa tanda ruas di dalam bambu juga disingkirkan.

Selanjutnya, siapkan minyak tanah, lampu botol, dan sepotong kayu. Juga potongan kain atau kaos bekas yang berguna untuk membekap lubang, usai menyulutkan api. Panaskan dulu gogotupan, sampai akhirnya siap digunakan.

Biasanya, saat mencari batang bambu, anak-anak akan secara gotong royong mencarinya di kebun atau hutan bambu. Butuh 2-3 orang dalam satu tim. Nantinya, tim akan saling mengadu dentuman meriam bambu itu dengan beberapa tim lain. Selain membentuk tim, ada pula yang membuat gogotupan sendiri-sendiri. Kendati hadiah saling adu gogotupan itu hanya berupa pujian.

Seringkali gogotupan terbaik, yang biasanya cara menyimpannya hanya diselipkan di antara pepohonan pisang, dipastikan raib. Atau malah ditemukan terbakar. Namun begitulah anak-anak. Rasa kecewa dan rasa bersaing selalu ada. Tapi, besoknya anak-anak kembali membuat gogotupan baru. Begitu seterusnya. Sebab risiko gogotupan retak pun kerap terjadi.

Musim gogotupan, biasanya hadir setiap menyambut bulan Ramadan. Tradisi itu dulu untuk membangunkan orang-orang, agar segera bersantap sahur. Tentu saja, gogotupan hanya dibunyikan di tempat yang jauh dari pemukiman. Biasanya anak-anak akan mengambil jarak, dengan radius beberapa ratus meter dari rumah penduduk. Selain itu, waktu membunyikannya pun diatur. Jadi tidak sembarangan dan menggangu warga yang sedang beristirah. Malah, dulu orang-orang tua seperti rindu mendengar suara dentuman, yang juga pernah mereka mainkan semasa kecil itu.

Tradisi semasa kecil itu yang mulai digerus zaman. Diambil alih petasan, kembang api, dan roket-roket bermercon meriah. Yang tentu saja harganya lebih mahal dibandingkan sepotong bambu.

Ah, seandainya, Festival Gogotupan didentumkan di Ramadan kali ini. Eropassi?

Thursday, June 2, 2016

Cinta itu Apa?

No comments
www.hipwee.com

Selamat menikah...

Itu ucapanku kepada seorang kawan. Ia menikah dengan seorang perempuan berparas cantik. Jauh di selatan Sulawesi.

Ia bercerita, tentang tugasnya yang memburu bayangan dan tentu saja melelahkan. Kawan-kawannya banyak yang rebah karena itu. Pikirnya, "Sebenarnya apa tugas kita ini?"

Namun ini bukan cerita tentang tugasnya. Ini tentang kisah cintanya.

Dua tahun, ia menjaga hubungan itu. Katanya, perempuan itu begitu ia kasihi. Tapi tugas adalah jarak. Tugas adalah waktu yang seringkali berputar pelan. Bahkan sekalimat sapa, kerap ia lupakan.

Mereka saling melupa. Meski sebenarnya, perempuan itu sedang merelakan. Tapi, harapan ia titipkan dengan tangan yang terbuka. Sebuah harapan yang menyatakan, "Aku tetap menyayangimu."

Perempuan itu menunggu sekaligus pasrah. Jarak adalah hantu. Ia menakuti setiap gerak dan coba merebut setiap kenangan.

Akhirnya, ketakutan itu benar sudah. Seorang perempuan — yang lain — perlahan mendekat dan menawarkan kasih.

Jarak itu, kini bukanlah hantu yang masih bisa mewujud. Tapi ia bersemayam dalam bola mata, lidah, dan hati yang terus mengharap.

Kawan itu heran. Kenapa ada dua cinta yang sekaligus ada. Ia coba melupakan yang 'satu', namun terus saja membayang pada 'yang lain'. Ia akhirnya ingat, harapan itu pernah ia titipkan di antara elus rambut, dan hal-hal tentang tahun yang kemarin.

Lalu tibalah waktu itu. Dimana elus itu tak lagi memanjang. Rambut perempuan itu, setipis harapan di ujung pelupuk matanya. Ia bersedih, kenapa harus ada pertemuan lagi sementara perpisahan sudah seharusnya terucap. Perempuan itu menggunduli nasibnya. Menyarukannya di antara balutan hijab.

Sementara, kawan itu memilih menikah dengan 'yang lain'. Kekasih yang perlahan ada, di masa-masa bau mesiu menebal di udara. Pun ada rahim yang di sana sedang ditiupkan sebuah nyawa. Ia harus memilih.

Ia kembali bertanya-tanya? Apakah cinta sejati itu memang hanya untuk ibu. Ibu yang telah lama berpulang sejak ia kecil. Akhirnya ia menyadari, dua cinta sekaligus itu ternyata ada. Yang tersisa, hanya pilihan kepada siapa bahu ini bersandar penuh.

Tapi ketika pilhan meninggalkan ia pilih, ada sebuah kehilangan di sana. Ada kepala yang terus menunduk dan menggenggam sepotong cermin. Perempuan yang tengah disakiti, namun tak rela mengutuk. Sebab itu adalah kekasihnya yang seluruh.

Kawan itu kembali merobek kenangan. Di antara wajah-wajah yang muram. Ia berontak dengan kata 'salah' yang seharusnya tak perlu ada. Tapi seperti itulah cinta. Dua adalah sebuah kehilangan. Sementara satu, ada dimana rasa memiliki itu utuh.

Ia akhirnya bersepakat, melupakan dan menghapus semua kenangan. Tentang apa saja. Tentang; malam yang pernah dilalui canda di atas motor, warung-warung makanan yang dilabuhi, dan usapan perpisahan di ujung pekarangan rumah.

Kawan itu, akhirnya menikah. Menghempas apa saja yang masih ia baui. Apa saja yang masih berkelebat di matanya. Apa saja yang menderu di dadanya.

Melupakan, adalah tugas terbesarnya saat ini. Dan benar, cinta adalah sebuah pilihan. Cinta adalah sebuah kerelaan.

Selamat menikah kawan, utat, dan adik yang suka berkisah tentang apa saja.

Bahagia selalu dengan cinta.

Wednesday, June 1, 2016

Yayang dan Garis-garis Takdirnya

No comments

Garis-garis takdir itu hadir di sepertiga malam. Mungkin kau masih bisa memilih diam di bangku merah memanjang di depan rumahmu. Bangku yang disediakan ibumu agar kau tak jauh dari pelukannya. Atau kau bisa memilih mengumpati malam di antara telinga-telinga yang kau kenal. Di antara tawa kawan-kawan semasa kecilmu. Namun satu garis takdir berbeda kau genggam. Takdir yang meraung-raung di kulit jalanan.

Takdir itu, yang mengajakmu menemu ruang lain untuk kau menepi. Di mana dingin dan dedaunan kering berguguran jatuh menyapa tanah dan rebah diam. Namun tak sediam ragamu.

Lalu kabar-kabar datang serupa gagak hitam. Teriak meminta iba dan bulir airmata. Kabar yang kau kisahkan dengan cara yang berbeda. Kau memang kerap kali begitu.

Tafsir-tafsir pun mulai terumbar. Dari yang bengkok hingga yang lurus. Dari yang basah sampai yang meretak kering. Dari yang jauh pun yang begitu dekat. Tapi sudahlah itu semua. Sebab mendengar umpatmu bisu seketika, maka apa lagi yang perlu diceritakan?

Ah, kawan...

Mengapa kau menepi pada sebuah kisah, yang diakhiri dentuman di sunyi malam. Pun di antara kerumunan dan bising tanya-tanya itu?

Mengapa kau memilih bersandar pada lumut dan kulit pohon, pada kerangka logam, dan di dada ayahmu yang sedang menggenggam takdir yang ingin ia hempaskan?

Mengapa tak kau temui saja ibumu, dan ceritakan tentang kasih itu. Kasih yang kau rajah sejak mula ringis itu mendesis?

Sebab cukup sudah pada kami. Hal-hal yang kau ceritakan sudah terlalu banyak meski kami masih merindunya. Semua yang berisi tawa, teriak Oi! dan segala kenangan yang sempat kau bagi hingga di penghujung jalan. Pun yang kau jejaki pada gelas-gelas, botol-botol, dan kepul asap yang mengibas di bibir pantai.

Ibumu memang sudah menerima kasihmu. Ayahmu pun sudah ikhlas dengan kisahmu. Meski mata mereka masih meringkus kenang dengan simpul yang longgar.

Istrimu mungkin terus menyangkal kepergianmu. Sedang putrimu tak tahu apa-apa. Ia belum bisa meraba rindu, mengenali kesedihan, atau mengartikan sebuah kehilangan. Kecuali kau berkelebat di pelupuk matanya.

Pada akhirnya, semua harus merela. Tak mungkin lagi napas itu dihela. Meski rapal doa membumbung ke udara dan menembus langit. Namun sebuah lagu mungkin bisa menyapamu di sana. Lagu yang kau pilih melengkung di ruas dada kurusmu.

Buried Myself Alive

You almost always pick the best times to drop the worst lines
You almost made me cry again this time
Another false alarm
Red flashing lights
Well this time I'm not going to watch myself die

I think I made it a game to play your game
And let myself cry
I buried myself alive on the inside
So I could shut you out
And let you go away for a long time
Gooodddd!

I guess it's ok I puked the day away
I guess it's better you trapped yourself in your own way
And if you want me back
You're gonna have to ask

I think the chain broke away
And I felt it the day that I had my own time
I took advantage of myself and felt fine
But it was worth the night
I caught an early flight and I made it home

I guess it's ok I puked the day away
I guess it's better you trapped yourself in your own way
And if you want me back
You're gonna have to ask
Nicer than that
Nicer than that

With my foot on your neck
I finally have you
Right where I want you
Right where I want you
Right where I want you
Right where I want you

I guess it's ok I puked the day away
I guess it's better you trapped yourself in your own way
And if you want me back
You're gonna have to ask
Nicer than that
Nicer than that
And if you want me back
You're gonna have to ask
Nicer than that
Nicer
Nicer

Kubur Diriku Hidup-hidup

Kau hampir selalu memilih waktu yang tepat
Untuk mengungkapkan kalimat terburuk
Kali ini kau hampir membuatku menangis
Alarm palsu lainnya
Lampu berkedip memerah
Tapi kali ini aku takkan melihat diriku menangis

Kurasa aku bermain dalam permainanmu 
Dan membiarkan diriku menangis
Kukubur diriku hidup-hidup dari dalam
Agar aku bisa mengusirmu
Dan membiarkanmu pergi untuk waktu yang lama
Tuhaaaannnn!

Kurasa tak mengapa kumuntahkan hari kemarin
Kurasa lebih baik kau terjebak dalam jalanmu sendiri
Dan bila kau menginginkanku kembali
Kau harus bertanya dahulu

Kupikir rantai itu sudah hancur
Dan aku merasakannya di hari disaat aku masih memiliki waktuku
Aku mengambil keuntungan dari diriku dan merasa baik-baik saja
Tapi itu sepadan dengan malam
Aku pulang dengan penerbangan pertama

Kurasa tak mengapa kumuntahkan hari kemarin
Kurasa lebih baik kau terjebak dalam jalanmu sendiri
Dan bila kau menginginkanku kembali
Kau harus bertanya dahulu
Lebih baik dari itu
Lebih baik dari itu

Dengan kakiku di lehermu
Akhirnya aku memilikimu
Tepat dimana aku menginginkanmu
Tepat dimana aku menginginkanmu
Tepat dimana aku menginginkanmu
Tepat dimana aku menginginkanmu

Kurasa tak mengapa kumuntahkan hari kemarin
Kurasa lebih baik kau terjebak dalam jalanmu sendiri
Dan bila kau menginginkanku kembali
Kau harus bertanya dahulu
Lebih baik dari itu
Lebih baik dari itu
Dan bila kau menginginkanku kembali
Kau harus bertanya dahulu
Lebih baik dari itu
Lebih baik
Lebih baik

Iya, kawan Yayang…
Garis-garis takdirmu serupa hujan. Hujan yang menjelma menjadi tinta berwarna dan mengekal di tubuhmu. Lalu bertutur tentang gundah di dalam dadamu. Sama seperti ibumu yang kau beri kejutan tak terlupakan di hari kelahirannya. Sebuah kepergian.


(Terima kasih kepada Wanto Mongilong, Pak Guru Bahasa Inggris di Saung Layung Arus Balik, yang telah menerjemahkan lagu dari The Used, Buried Myself Alive)