Tuesday, August 2, 2016

Pesan Papak

No comments

Awal tahun 2013, saya mulai menulis di blog, yang entah wangsit apa, saya menamainya 'Getah Semesta'.

"Aku percaya semesta memiliki getah abadi yang saling menghubungkan kita dengan segala mahluk di jagat raya ini. Getah itu bening, terlalu bening hingga tak terlihat tapi bisa dirasakan. Seperti spasi yang bisa kau tekan dan rasakan lewat sentuhan. Tercipta, tapi tak berwujud. Siapa bilang spasi itu menciptakan jarak? ia ada sebagai getah bening penghubung kata, agar kita bisa memaknai semesta ini."

Begitu pikir dan tulis saya, untuk sedikit menjelaskan kenapa saya memilih menamai blog ini 'Getah Semesta'.

Saya tertarik membikin blog, setelah kawan Sandry dan Dito, yang mula-mulanya hanya berkawan di BBM, lalu berkesempatan bertemu di Kota Makassar, menyarankan saya untuk menulis di blog. Tulisan pertama saya berjudul 'Madre dan Padre'. Sandry dan Dito menjadi pembaca pertama saya. Tanggapan mereka, cukup membuat saya lebih semangat menulis. Mereka kawan yang saya percayai, terhubung karena Getah Semesta itu.

Tulisan pertama itu adalah refleksi saya, usai membaca Madre buku kumpulan cerita pendek dan esai karya Dee. Madre adalah salah satu cerpen di dalam buku tersebut. Yang akhirnya di tahun yang sama, 2013, ternyata cerpen Madre difilmkan. Madre adalah bahasa Spanyol yang berarti Ibu. Sedangkan Padre, hanya iseng-iseng saja coba memadankannya.

Tapi kali ini, saya ingin berkisah tentang Padre. Ayah. Papak. Tentang sebuah pesan.

Setelah dari Kota Makassar, saya terbang ke Bali. Tinggal setahun di sana, membuat saya lebih produktif menulis. Bahkan di bulan April, bulan kelahiran saya dan putri semata wayang, Sigi, setiap hari saya menulis. Apa yang tak bisa Anda tuliskan di pulau berisi segala keindahan?

Tapi Kotamobagu, terkhusus desa kelahiran saya, Desa Passi, kerap melambaikan tangan memanggil. Pulang.

Saya ditawari menjadi wartawan di media online www.lintasbmr.com oleh kawan-kawan yang, sudah saya anggap sebagai sanak. Tapi tak lama, saya kembali pindah ke www.pilarsulut.com juga milik seorang kawan. Nomaden, akhirnya saya berlabuh cukup lama di media cetak Radar Bolmong.

Karir saya di Radar Bolmong lumayan cepat. Tak sampai setahun, saya sudah dipercayai memegang jabatan kepala biro di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut). Daerah yang akan selalu saya sanjung karena keindahan pantai, puncak, dan kebaikan orang-orang di sana. Pun makanan-makanannya yang enak.

Tapi, keputusan saya untuk berhenti di Radar Bolmong, meski tawaran terakhir menjadi redaktur, mengundang tanya bagi sebagian kawan. Juga orangtua saya.

Mamak yang super cerewet dan benlintu' kai mongondow, tak ketinggalan memburu saya dengan banyak pertanyaan. Papak, kala itu sudah berpulang, 28 Maret 2015. Saya masih bekerja di Radar Bolmong. Tapi mamak hingga kini tidak pernah tahu, bahwa pilihan saya untuk berhenti; karena percakapan lama dengan papak sebelum ia berpulang.

Seingat saya, itu pada suatu sore. Papak terlihat jenuh dengan ruang geraknya, yang tinggal beberapa meter saja. Kamar dan ruang menonton televisi. Padahal ia adalah raga yang selalu saya baui dengan keringatnya. Dulu, sepulang kantor, papak akan menghabiskan waktu di kolam ikan di belakang rumah. Atau pergi ke kebun. Selalu begitu. Jika tak bergerak, ia seperti retak. Kondisi kesehatan dan usianya yang hampir menyentuh kepala delapan, membuat ia pasrah akhirnya.

Melihat ia jenuh di depan televisi, mengganti siaran tak tentu, saya lantas bertanya. Pertanyaan yang sebenarnya pernah saya tanyakan dulu, saat saya masih duduk di bangku SMP: Di mana saja jalan lintas Sulawesi yang pernah ia awasi pembuatannya. Papak adalah pensiunan pegawai negeri sipil di Dinas Pekerjaan Umum.

Ia kemudian berkisah, dengan kerut dahi yang coba melipat-lipat ingatan ke belakang. Di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) dan Utara kala itu, ia pernah di sana menerabas hutan. Bisa berbulan-bulan katanya. Saya masih memiliki satu kepingan ingatan saat masih kanak-kanak. Kala itu, dini hari ia pulang melewati pintu samping rumah. Mamak menyambutnya sembari menggendong saya. Itu satu ingatan yang tak lekang.

Saat itu, ia mengawasi dan merintis hutan di Bolsel untuk pekerjaan jalan. Papak berkisah, ada salah satu orang terpandang di sana, yang akhirnya orang itu menjadi tenar se-Bolaang Mongondow (Bolmong). Ia seorang kontraktor. Orang itu coba membujuk papak, yang secara jelasnya tidak lagi diceritakannya. Saya pun sudah bisa menjaring apa mau orang itu. Yang diceritakan papak, orang itu coba membujuk papak dengan beberapa ekor kambing, alat elektronik tercanggih kala itu, dan sepeda motor. Papak hanya membalas, "Torang le ada kambing, teip, deng sukur ada motor dinas."

Saat itu memang kami punya beberapa ekor kambing yang seingat saya, suka berlindung di dalam tong besi bekas pekerjaan proyek jalan, yang dibawa pulang papak. Ada beberapa buah tong besi yang sengaja dibikin papak menyerupai kandang. Kambing-kambing itu suka tidur di situ atau untuk berlindung dari hujan. Mendengar perkataan papak, orang itu pergi dengan wajah serupa kambing diguyur hujan.

Selain itu, papak berkisah juga saat beberapa pekerja jalan berburu Anoa. Papak suka meminta kepala Anoa, yang kemudian dibawanya pulang setelah dikeringkan. Ia menggantung beberapa kepala Anoa di rumah dan kamar. Saat ini, masih tersisa satu kepala Anoa di kamar mamak. Tanduknya biasa dipakai untuk menggantung beberapa helai pakaian.

Banyak yang papak ceritakan, tapi sebuah pesan darinya kala itu yang hingga kini, menjadi pijak saya untuk memilih apa yang pantas untuk saya kerjakan. Dan pesan itu yang membuat saya memilih harus meninggalkan pekerjaan, sebagus dan senyaman apapun itu. Selama apa yang saya kerjakan itu tak searah dengan pesan papak, saya akan meninggalkannya.

"Kojujur aka mogaid, bo dika moposusah kon intaw.(Berlaku jujur kalau bekerja dan jangan menyusahkan orang)"

Pesan itu memang pendek. Tapi jika dibawa ke pekerjaan saya sekarang sebagai seorang jurnalis, maka itu adalah pesan terberat dalam hidup seorang jurnalis. Belaku jujur. Saya tidak sok suci, sebab sebelum memutuskan berhenti, saya juga pernah sekali-dua menjadi wartawan brengsek. Tapi setelah percakapan sore itu dengan papak, sebulan sebelum ia berpulang, saya mulai banyak termenung.

"Yang fana adalah kekayaan. Yang abadi itu kebaikan."

Berbuat baik itu seperti apa? Berlaku jujur dan jangan menyusahkan orang lain. Itu saja.

Pesan ini juga untukmu ... Sigi.

No comments :

Post a Comment