Wednesday, September 6, 2017

Kalau Adam dan Hawa Orang Minahasa, Kita Pasti Masih Tinggal di Surga

No comments
Ilustrasi Mojok.co

Akhir Juli dan awal Agustus jadi pekan yang menyibukkan bagi saya. Baru saja kembali dari Kota Manado yang berada di lengan Pulau Sulawesi pada pertengahan Juli, saya harus melanjutkan perjalanan ke kaki Sulawesi, tepatnya ke Kota Makassar. Mudah-mudahan tidak lanjut ke selangkangan, eh!

Ada beberapa agenda pertemuan yang tak perlu dibentang di sini. Dari pertemuan-pertemuan itu, telinga saya kerap kali menangkap mop yang dituturkan kengkawan-kengkawan dari pelosok negeri. Berikut kisah-kisahnya.

Untung Adam dan Hawa Bukang Orang Minahasa

Pagi itu kami bergegas ke Pasar Beriman di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, yang juga dijuluki Pasar Ekstrem.

Dari Kota Manado, jaraknya hanya 30-an menit. Di pasar tersebut di-display berbagai macam daging binatang. Bagi pengunjung yang belum terbiasa, harus kuat imannya. Mungkin itu alasannya pasar itu dinamakan Pasar Beriman.

Di sana kita bisa temui daging kelelawar, tikus hutan, anjing, kucing, babi hutan, hingga ular sanca yang nama lokalnya ular patola.

Saat perjalanan menuju pasar itulah, di dalam mobil, salah seorang kawan saya menceritakan mop yang terkait dengan kunjungan kami kali ini. Sebut saja nama kawan itu Fay.

“Ngoni so pernah dengar ini mop tentang ular patola?” tanya Fay. Saya sendiri sudah berkali-kali, tapi kengkawan semobil lainnya yang berasal dari Jambi, Bantaeng, Lembata, dan Maluku belum pernah mendengarnya.

“Oke, lanjut cirita saja!” kata saya.

“Begini, torang manusia kan punya nenek moyang itu Adam dan Hawa, dorang dua tinggal di surga to?”

“Ya, ya, ya,” kata kawan dari Maluku.

“Kenapa mereka berdua dibuang ke bumi? Lantaran iblis yang berubah jadi ular goda to?”

“Iya, baru dorang dua makang buah apel di pohong terlarang,” sambung kawan dari Lembata.

Gayung bersambut, Fay segera menuntaskan mopnya, “Nah, coba kalu Adam dan Hawa itu orang Minahasa. Pasti yang ada makang bukang apel, tapi ularnya! Dan kitorang manusia masih tinggal di surga.”

Sontak seisi mobil riuh dengan tawa. Saya yang sudah pernah mendengar mop itu pun masih tergelitik dan ikut tertawa.

Pancasila Ada Berapa Sila?

Mop kali ini diceritakan kawan dari Larantuka. Kawan ini menceritakannya ketika kami sudah berada di Kota Makassar.

Sebut saja nama kawan ini, Om Bin. Ketika itu, ada sesi tanya jawab pada acara bertema lingkungan hidup. Om Bin menyisipkan satu mop sebelum mulai bertanya. Ice breaking, katanya.

“Ada teman saya pergi bertemu Pak Camat,” Om Bin mulai bercerita.

“Kemudian, saat bertemu Pak Camat, teman saya ini ditanyai, ada berapa sila di Pancasila?”

“Teman saya itu menjawab tiga. Ia kemudian ditampar Pak Camat,” lanjut Om Bin.

“Setelah itu teman saya pulang, lalu bertemu dengan saya. Ia kemudian bercerita, Pak Camat baru saja menamparnya.”

“Itu kenapa? Saya bertanya. Lalu kata teman saya, Pak Camat bertanya berapa sila di Pancasila. Ternyata teman saya menjawab tiga. Karena itulah dia ditampar,” kata Om Bin.

“Saya kemudian bilang, kenapa tidak dijawab lima. Lalu teman saya menyahut, tiga saja sudah ditempeleng, apalagi dijawab lima!”

Om Bin sukses membikin seisi ruang pertemuan membahana oleh tawa peserta.

Kuda Muntah

Kali ini mop datang dari teman saya asal Palu. Saya ganti namanya jadi Mawar saja, eh, kerna dia laki-laki, sebut saja Mukmun.

Mukmun mengisahkannya saat perjalanan menuju kawasan karts di Rammang-Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Dari Kota Makassar jaraknya hanya sejam naik bus. Mukmun teringat mop ini kerna melihat tugu jagung yang kami lewati.

Di dalam bus, Mukmun bercerita, suatu hari ada orang Manado bertemu orang Makassar bertemu di perjalanan dalam sebuah mobil.

“Orang Makassar bertanya kepada orang Manado … kalu di Manado apa nama makanan favorit di sana?” tutur Mukmun.

“Orang Manado menjawab, kalau di tempat asalnya ada namanya Tinutuan dan itu ada campuran jagung.”

Mukmun serius bercerita, kendati bising lalu-lalang kendaraan sedikit meredam volume suaranya.

“Kase kuat sadiki bacirita!” teriak seorang teman di deretan kursi sebelah.

Mukmun mengeraskan suaranya, “Nah, orang Manado itu bilang, jagung juga makanan andalan di Manado. Tapi, orang Makassar itu bilang, kalau di Makassar, jagung itu buat makanan kuda.”

Ada beberapa kawan di dalam bus yang cekikikan.

“Orang Manado diam saja. Kemudian di tengah perjalanan ini orang Makassar mulai mabuk jalan. Kemudian ia muntah dan isinya jagung semua,” lanjut Mukmun.

“Orang Manado lalu teriak ke sopir, agar mobilnya disetop dulu. Sopir lantas bertanya, ada apa gerangan? Lalu kata orang Manado … ini ada kuda so muntah!”

Mukmun juga sukses membuat bus berguncang.

Malam Pertama

Dua kisah berikut, meski bukan panenan mop dari perjalanan Manado—Makassar tadi, hendaknya bisa menjadi pamungkas mop kita kali ini. Keduanya tentang Alo’ dan Mince.

Setelah lama berpacaran, akhirnya Alo’ dan Mince memutuskan menikah. Pernikahan mereka dihelat begitu sederhana.

Usai prosesi pernikahan, malam harinya Alo’ dan Mince akan menikmati malam pertama. Itu malam yang ditunggu-tunggu. Maklum, mereka berdua selama pacaran memang berkomitmen untuk tidak berhubungan intim jika belum sah menikah.

Malam itu Alo’ tanpa sengaja memakai celana dalam yang dijahit dari karung tepung terigu. Alo’ memang hidup kekurangan, bahkan untuk menikah saja ia harus menabung selama tujuh tahun.

Setelah mereka berdua berada di dalam kamar, Alo’ mulai mencumbu Mince. Satu per satu pakaian tanggal dan berserakan di lantai.

“Ooo … Tuhan!” Tiba-tiba Mince teriak kemudian jatuh pingsan. Alo’ kebingungan.

Sampai akhirnya Alo’ sadar, Mince ternyata kaget melihat celana dalamnya yang tertulis: BERAT BERSIH 25 KG.

Behel

Setelah lama menikah dan memiliki putri satu-satunya berusia 5 tahun, Alo’ dan Mince mulai dibanjiri rezeki.

Warung kecil-kecilan mereka laris manis. Sampai akhirnya mereka bisa membeli dua buah ruko. Kehidupan mereka pun akhirnya sejahtera.

Pada suatu malam Alo’ mengajak Mince masuk ke kamar.

“Mince sayang, manjo kwa ka kamar.”

“Sabar kwa, sadiki le,” jawab Mince.

Raut wajah Alo’seperti menuntut, “Sayang, mari jo kwa!”

Akhirnya Mince tidak bisa menolak bujukan suaminya itu, “Manjo dang, sayang.”

Mereka berdua bergegas menuju kamar. Kebetulan anak mereka sudah pulas.

“Sayang, coba kase mati tu lampu,” pinta Alo’.

Mince beranjak lalu memadamkan lampu.

Setelah lampu padam, terdengar suara Alo’, “Mince sayang, coba ngana lia ne kita pe behel … glow in the dark.”

“Ku**cu** deng ngana, Alo’. Jadi cuma mo kase tunjung akang ngana pe behel dang?”

Tinju Mince melesat ke “biji” Alo’.


(Tulisan ini sebelumnya dimuat di Mojok.co)

No comments :

Post a Comment