Monday, August 13, 2018

Braga: Indie sejak dalam pikiran

No comments
Gambar dicuri dari akun Instagramnya Vicky. Sekalian promosi kausnya.
Bagi pembaca karya Pramoedya Ananta Toer, sekelebat ingat tentangnya hadir ketika mengeja judul tulisan ini. Hal serupa ketika saya menukil judul itu dari pernyataan atau cenderung sebagai tagline, dari band indie Beranda Rumah Mangga (Braga) asal Kotamobagu.

Pram sendiri memilih Jean Marais, salah satu tokoh dalam novel Bumi Manusia sebagai pengutara kalimat: belajarlah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Jean adalah pelukis asal Prancis, yang berkarib dengan Minke.

"Saya akan menulis lagu tentang Pram," kata Vicky Mokoagow, gitaris Braga, setahun lalu.

Kemudian lagu berjudul Bilur-Bilur, mengindik di malam hari ke pesan WhatsApp saya, sebulan yang lalu. Vicky mengirimkannya. Saya mendengarkannya, dan seketika mengenali suaranya. Braga memiliki vokalis bernama Yedi Mamonto. Tapi di lagu Braga kali ini, Vicky yang membawakannya.

Saya pikir, lagu ini yang berkisah tentang Pram. Tapi seperti yang disampaikan Vicky, Bilur-Bilur berkisah tentang Genosida 1965. Sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi di Sumatra, Jawa, dan Bali, ketika kulit cokelat membantai kulit cokelat, atau orang Indonesia membunuh orang Indonesia yang sama-sama pernah berjuang memutus rantai penjajahan.

Ketika mendengar Bilur-Bilur, saya segera dihantar ke deretan payung-payung hitam, yang digenggam beberapa orang beruban. Lagu ini akan semakin iba, ketika kita tengah berada di aksi Kamisan di depan Istana Negara. Berada di antara mereka para orangtua yang anak-anaknya hilang atau terbunuh tanpa proses hukum yang jelas. Mereka para kerabat dekat dari korban-korban kebiadaban Genosida 1965. Mereka sahabat dan aktivis yang kekal melawan lupa.

Dalam rentang karya, saya tidak tahu pasti Braga telah mencipta berapa lagu. Sebab mungkin saja, ada beberapa lirik-lirik lagu yang berakhir ke tong sampah. Tapi sejauh ini, Braga telah mencipta lima lagu seingat saya. Lagu pertama berjudul Di Kedai Ini, kemudian yang kedua Patah Menjadi Air Mata. Saya pernah membuat dua puisi interpretasi, untuk kedua lagu itu.

Lagu ketiga, entah sudah dirilis atau belum, tapi sepanjang saya mengikuti gerak mereka di media sosial, lagu berjudul Kau belum dilempar ke Youtube. Lagu ini pernah dikirim Vicky ke email saya setahun lalu. Ketika mendengar lagu ini, saya kerap membayangkan Sigi. Lagunya memang tentang cinta dengan makna universal. Bisa kita lekatkan ke orangtua, kekasih, atau buah hati kita. Kemudian yang keempat Bilur-Bilur. 

Lagu kelima berjudul Jentayu, yang belum pernah saya dengar utuh. Kemarin kami hanya sempat mendiskusikan sepotong lirik lagu ini, ketika video demonya diunggah ke Youtube. Dan yang keenam sebuah lagu cover dari Sterio band asal Kendari, berjudul Tak Biasa Sendiri. Lagu yang terakhir ini, yang mampu mencacah hati mereka yang sedang ditinggal pergi kekasih.

Saya masih menanti lagu tentang sosok Pram, yang dijanjikan Vicky. Saya orang yang selalu percaya, sebuah karya akan diingat bukan ketika karya itu viral. Sebab viral hanyalah deretan angka yang gampang terlupakan. Tapi karya yang lahir dari rahim perenungan pasti kekal. Seperti Pram yang mengatakan karya-karyanya adalah anak-anak rohaninya.

Saat ini, saya kira Braga ikonis sebagai anak-anak muda di Kotamobagu yang total dalam berkarya. Tak hanya bermusik, tapi mereka berhimpun dalam komunitas baca Literasik. Di Tondok Project, mereka membuat film-film pendek yang menghibur dengan berbagai tema. Mereka, yang menghirukkan Kotamobagu, sebuah kota kecil yang mampu mencicil rindu ini setiap kali kembali.

No comments :

Post a Comment