Tuesday, September 4, 2018

Dua Tahun, Boneng...

No comments

Pakowa menuju Kampus. Lorong-lorong dan jalan lurus yang pernah kita coreti tembok dan tiang listriknya. Kita kerap bersama usai senja, hingga pada lindap subuh yang sepi dari lalu-lalang kendaraan, tapi ramai dengan lampu-lampu kota dan bau comberan. Rokok kita beli batangan. Tapi rasanya sejuta. Setiap hari begitu. Kita jalan kaki menyusuri setapak menuju tempatmu bekerja, lalu kembali pulang ke rumah Abang.

Kau terbiasa mengeja huruf-huruf dan menjumlah angka-angka, demi rupiah yang akan kembali kosong di kantongmu. Katamu, hidup bukan untuk menabung. Tapi melekaskannya untuk jajan dan biaya sekolah adik dan keponakanmu.

Ah, Onang... Tubuhmu mungil, tapi tulang punggungmu logam.

Hampir semua kawan di 'pertigaan' punya kisah denganmu di Manado. Di Pakowa, Banjer (Tampa Potong), Kampung Arab, Kembang, Dolog, Kleak, Mapanget, Sario, dan Teling. Kau juga pernah menetap sementara di "sangkar", yang katamu melengkapi perjalanan hidupmu.

Lebaran adalah pertemuan terakhir denganmu. Di hari yang biasa kita riuhi bersama, akhirnya kau harus pasrah untuk terbaring memanjang di kursi tamu. Segelas air dan sepiring bubur menemanimu. Seperti biasa, kaus berlengan pendek selalu kau gulung hingga ke bahu. Lalu jabat tanganmu menyambut dengan senyum yang tampak lelah.

"Kalo somo bae, kita somo ka Mnado ulang. Nanti mobawa pa Pei cari karja di sana, baru sama-sama di sana ulang torang."

Itu percakapan terakhir denganmu lewat telepon beberapa pekan lalu. Aku merasakan girangmu saat percakapan itu. Keinginanmu untuk sembuh, sangat kuat terasa. Kendati putaran nafasmu begitu pelan terdengar. Suaramu seperti direbut udara dari rongga dadamu. Kemudian kau pamit untuk istirah dari lelah.

Kota Manado diguyur hujan ketika kesedihan itu berserakan di Eropassi. Namamu di sana. Duka untukmu di sana-sini. Belum dada kami reda oleh gemuruh kehilangan dua sahabat. Kau sudah kembali mendebur.

Maaf kali ini tidak bisa hadir pada pemakamanmu. Pertemanan dan persaudaraan kita sudah melampaui batas, untuk tak lagi saling menyalahkan siapa yang hadir dalam sakitmu. Atau, siapa yang paling di depan memikul kerandamu. Tak ada siapa pun yang mampu menakar kesedihan ini.

"Mereka memikul kerandamu. Aku memikul kenanganmu."

Hanya kata-kata itu yang bisa aku curi dari puisi Ayah Amato, untuk mengutarakan kesedihan ini.

Selamat jalan Onal Mokodompit. Maafkan kami yang tidak sempat hadir pada pemakamanmu. Tempat terbaik untukmu. Titip salam untuk Bd Win dan Eza Yayank Marhaen.

Rest in Paradise, ma bro...

(Catatan dua tahun lalu, ketika Onal berpulang)

No comments :

Post a Comment