Sunday, October 28, 2018

Makassar

No comments

Enam tahun lalu, Makassar jadi kota terjauh pertama yang saya jejaki. Di kota ini saya merasakan atmosfer pengetahuan begitu berbeda. Di Pondok Patah Hati (PPH), ada banyak kawan-kawan baru asal Kotamobagu, yang tengah menempuh pendidikan di kota ini. Pada mereka saya banyak belajar. Yang teristimewa, blog Getah Semesta lahir di sana setelah dibidani beberapa kawan baik.

Setelah lama berlalu, kota ini beberapa kali menjadi tempat bertengger sementara, sebab ia adalah kota terbesar di Celebes yang menjadi titik transit pesawat. Tahun 2016, saya sekali transit di kota ini. Tahun 2017, saya diberi kesempatan untuk berkeliling kota ini untuk yang kedua kalinya. Kunjungan kali ini saya sial, karena sempat ketinggalan pesawat dan terpaksa kembali lagi untuk menginap semalam di PPH, yang telah bersalin tempat. Meski sial itu berujung pada pertemuan saya dengan penyair M. Aan Mansyur, yang memberikan saya buku puisinya Sebelum Sendiri, ketika berkunjung ke Kata Kerja.

Hanya berselang beberapa bulan masih di tahun 2017, saya kembali transit di Makassar hampir empat jam. Tapi saya hanya berdiam di bandara. Bayangan akan ketinggalan pesawat lagi, membikin saya tiada berani mengitari kotanya.

Akhirnya, tahun ini saya kembali berkunjung ke kota ini. Meski markas PPH tidak ada lagi, dan kawan-kawan telah tersebar di beberapa rumah kos, tapi pertemuan dengan mereka selalu berkesan. Ada beberapa yang telah melanjutkan pendidikan ke kota-kota besar di Jawa. Sebagian ada yang bertahan melanjutkan pendidikan di kota ini, dan sebagian lagi adalah generasi penerus PPH.

Tapi saya merasakan ada yang berubah. Tinggal sedikit yang tersisa dari generasi PPH. Mereka ini yang masih setia dengan buku-buku, dan kerap memancing diskusi ketika bertemu. Mereka selalu banyak tanya. Beruntung, masih ada Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow (KPMIBM) cabang Makassar di Asrama Bogani, yang menjadi wadah mereka belajar bersama.

Di asrama ini, saya sempat bertukar pikiran dengan mereka soal jurnalistik. Film Di Balik Frekuensi, mereka takzimi hingga selesai. Terus terang, film itu berdurasi hampir dua jam, tapi beberapa dari mereka bertahan. Mereka inilah yang sadar, ilmu pengetahuan akan melayani orang-orang yang meluangkan waktu untuknya. Semangat itulah, yang pernah membuat PPH riuh.

Makassar berkembang cukup pesat. Di kota ini, buku-buku dengan mudah ditemukan. Ruang-ruang belajar tersebar di mana-mana. Jujut menjujut acara bergizi digelar. Tapi itu semua menjadi pilihan, sebab kota besar akan selalu menawarkan hal-hal berkebalikan.

Saya selalu bangga pernah berlama-lama di kota ini, enam tahun lalu. Kendati hanya hampir empat bulan. Tentu tiada sebanding dengan kawan-kawan lain yang bertahun-tahun. Tapi dalam waktu yang singkat itu, saya membuka seluas-luasnya pikiran, untuk bisa menerima apa saja yang akhirnya menuntun saya hingga menjadi seperti sekarang ini.

Di kota ini pula, saya kali pertama membaca syair Imam Ali bin Ali Thalib yang tak akan pernah saya lupakan...

Kau pikir dirimu adalah sebuah tubuh yang kecil/ Namun tidak/ di dalam dirimu ada segala semesta.

Imam Ali benar, manusia bukan hanya seonggok daging alit bernyawa. Manusia dikaruniai akal yang bisa menampung pengetahuan sebanyak mungkin di dalamnya.

Kalimat itulah yang mengilhami saya untuk menamai blog saya dengan: Getah Semesta. Di blog inilah saya terus belajar dan mengasah bagaimana cara menulis. Kemudian serius terjun ke dunia jurnalistik.

Pada akhirnya, menulis, bagi saya hanyalah sebuah kerinduan akan kenangan masa kanak-kanak. Kerinduan ketika setiap kali disuruh menulis karangan bebas oleh guru. Makassarlah yang telah membuka kembali tabung kenangan itu.

Jangan pernah lupakan masa kanak-kanak, karena di masa itulah kita tiada hentinya bertanya-tanya dan belajar.

Jangan pernah dewasa...

No comments :

Post a Comment