Wednesday, November 21, 2018

Senjata Itu Bernama Mikrofon

No comments
ilustrasi pixabay.com
Belum hanyut seteru antara Jerinx SID dan Via Vallen yang, merambat menjadi debat antara Jerinx dengan para anarko dan pengkhidmat anarkisme, kini jagat musik Indonesia dilindu masalah lagi di genre hip hop.

Sebagai pendatang di Negeri Bintang Kejora, Papua, saat ini telinga saya lebih akrab dengan hip hop dibandingkan punk atau dangdut koplo. Karena itu, saya ingin mengutarakan pendapat, terkait masalah antara rapper Gerry Konaedi a.k.a Xaqhala dan Ben Utomo. Selanjutnya, nama Saykoji pun masuk dalam lingkaran seteru itu.

Saya ingin mengurai pangkal masalah di antara mereka. Sejauh saya memindai pemberitaan dan postingan instastory mereka, masalah bermula dari kritikan Gerry terhadap acara Beef Rap Battle, yang diprakarsai Ben dan All Day Music. Saykoji, adalah salah satu juri acara tersebut. Dua juri lainnya ada Iwa K dan Laze.

Gerry menulis sebuah artikel di Hell Magz, berjudul Ketika Battle Rap Keseleo. Bagi yang mengikuti masalah ini, jelas harus membaca dulu artikel itu. Setelah mencari-cari, saya menemukan artikel itu di bio akun instagram @hellmagz.

Saat membaca artikel sepanjang kereta api dan ditulis dengan bahasa seenaknya itu, saya menyimpulkan Gerry memang bukan ingin mengulas soal sejarah freestyle rap battle. Meski porsi soal sejarah itu ia ulas begitu panjang, ujung-ujungnya, artikel itu berisi sindiran terhadap acara Beef Rap Battle. Dalam artikel Gerry, kritikannya tak berisi gagasan. Ia membicarakan tentang kue yang tak enak, tapi ia tak menawarkan bagaimana agar kue itu bisa enak.

Saya bukan anak hip hop, dan sejarah yang Gerry ulas, konon dari bocoran seorang kawan baik saya yang, lumayan tahu soal sejarah freestyle rap battle di Amerika, apa yang diulas Gerry keliru. Tapi saya tidak ingin membahas kekeliruan itu. Karena bagi para penikmat hip hop, pasti tahu apa saja celah yang bisa menggerus semua argumennya Gerry. Biarlah itu menjadi bahasan dalam majelis takzim hip hop Indonesia.

Setelah membaca artikel Gerry, saya cenderung bersepakat dengan Saykoji, bahwa Gerry sebenarnya iri dengan acara Beef Rap Battle. Tapi alih-alih membalas tulisan dengan tulisan, Ben memilih membuat diss track berjudul Basian. Mungkin Ben berpikir: saya rapper bukan penulis. Kemudian Gerry membalasnya dengan Phone Call From Hell. Saykoji kemudian ikut membuat diss track untuk Gerry dengan judul Melempem.

Saling diss ini menjalar. Seorang rapper Lilyo, membuat lagu yang menyasar Saykoji berjudul Bagi-Bagi. Disusul lagu Humblebrag dari rapper Explicit Verbal, yang juga ditujukan kepada Saykoji. Secepat kilat Saykoji membalas kedua rapper itu dengan lagu Gue Kasih.

Mabuk juga ya, kepoin mereka. Tapi baik dari kubu Ben atau Gerry, sama-sama masih berkutat pada tataran drama. Lirik-liriknya pun hujat-hujatan standar, menyinggung status sosial, fisik, karir, bahkan menjadikan orientasi seksual LGBT sebagai hujatan, dan sebagainya.

Kemudian, saya menemukan satu lagu yang menurut beberapa orang yang membagikannya, lagu itu untuk menyerang kubu Ben atau Saykoji. Apalagi memang garis para rapper ini beririsan dengan yang sedang berseteru. Namun lagu kali ini berbeda. Para rapper ini berasal dari Timur. Katanya mereka dari Ambon dan kini menetap di Bali. Lagu itu berjudul Cut the cRap dari Rendy O X Blvkindo. Dibandingkan jejer lagu diss terkait seteru Ben Vs Gerry, saya kira lagu Cut the cRap berbeda. Lirik-liriknya tidak frontal. Bertaburan metafora dan bermakna luas. Diss track semacam ini, tiada lekang oleh waktu dan bisa relevan kapan pun dan untuk siapa pun.

Saya jadi ingat seteru antara Malique dan Joe Flizzow. Dua eks Too Phat yang sampai sekarang masih saling memunggung. Belum lama ini, saya sempat membahas soal Malique dan Joe, sebelum saya tahu konflik Ben Vs Gerry.

Kalau menyoal kawan yang berubah jadi lawan, paling asyik dijadikan pelajaran ialah seteru antara Malique dan Joe. Malique, yang memilih mengasingkan diri setelah Too Phat bubar, masih terus berkarya. Setiap lagunya dirilis, kerap langganan awards di blantika musik Malaysia.

Joe, yang juga bersolo karir, lagu-lagunya sering bersikut-sikutan dengan lagu Malique di tangga lagu, atau dari jumlah viewers Youtube. Tapi Joe memang bukan kelasnya Malique soal bikin lirik. Malique punya lirik dan rima yang apik. Tentu saja, dengan irama khas Melayu yang kental.

Mungkin karena itu, Joe sering satire dalam lirik lagunya. Memancing agar Malique keluar dari persembunyiannya.

Sejak menikah dan memiliki anak, Malique memang memilih menjauh dari media. Bahkan ketika lagu-lagunya meraih Music Industry Awards, ia tak pernah hadir. Video klip lagu-lagunya pun jarang menampilkan wajahnya. Hanya suara dan diperankan orang lain. Malique benar-benar menjadi misterius.

Ada sih, satu lagu yang menghadirkan Malique dalam video klip. Lagunya berjudul Cerita Kedai Kopi. Diunggah pada 9 Maret 2017 di Youtube. Tapi setahu saya hanya itu saja.

Setelah Joe yang gemar menyindir Malique, giliran Altimet-kawan baik Joe-yang satire lewat lagu Mambang. Ia mengandaikan Malique bersembunyi di gua. Tak lama kemudian, lagu Mambang dibalas oleh Kmy Kmo ft Luca Sickta lewat lagu Gong Nekara. Liriknya terasa sekali ruhnya Malique. Menampar-nampar Altimet tapi dengan begitu puitis.

Kemudian, album Malique terbaru Malique TKO: Pejamkan Mata, yang sampulnya bergambar wajah yang memiliki mata di dahi, difitnah bersimbol Dajjal. Dikatakan pula itu simbol Illuminati. Padahal Dajjal dan Illuminati saja berbeda jauh artinya. Malique terpaksa meluruskan kekisruhan itu, bahwa gambar itu artinya mata hati.

Tapi, Malique memang sosok yang tetap menjadi idola di Negeri Jiran. Bukan hanya karena kerendahan hatinya, tapi cara ia meroketkan rapper baru, salah satunya rapper muda seperti Ben Ladin yang baru berusia 17.

Lagu Ben Ladin berjudul Hikayat Benladin, telah ditonton sebanyak 17 juta di Youtube. Lewat lagu ini, ia menitipkan "salam" kepada para "pembenci", termasuk Altimet dan Joe. Sebuah lagu sederhana, yang membuktikan Malique mampu mengubah kebencian orang, menjadi lagu yang enak didengar dan sarat makna.

Saya kira, lagu Cut the cRap, hampir mirip dengan cara Malique menulis lirik. Kebencian bisa puitis. Rapper pun adalah penyair. Apalagi mereka begitu akrab dengan rima.

Tapi, bukan soal siapa yang paling pintar membuat lirik atau rima. Namun apa gagasan dalam sebuah lagu. Sama seperti sebuah tulisan, bukan cara menulis yang baik dan benar yang terpenting, tapi apa isi gagasan dalam tulisan itu.

Dari semua musisi atau pengkhidmat hip hop di Indonesia yang pernah saya telusuri, hanya segelintir saja yang lagu-lagunya berisi gagasan. Saya bisa kenyang gagasan hanya ketika mendengar lagu-lagunya Homicide, Maderodog, Senartogok, Doyz, Rand Slam, Pangalo!, Joe Million, Altarlogika, dan mereka yang namanya pun belum terlalu akrab dengan telinga-telinga kami di negeri paling timur ini. Saya yakin masih ada banyak lagi musisi hip hop serupa deretan musisi yang saya akrabi itu.

Saya belum lama ini membaca artikelnya Holy Rafika di Remotivi, yang membicarakan tentang konflik antara Jerinx SID dan Via Vallen. Benar, apa yang tak boleh hilang dari konflik itu, ialah status selebriti Via Vallen yang dipermasalahkan Jerinx.

Sederhananya, Jerinx tak mempermasalahkan lagunya, jika saja ketika dinyanyikan kembali, Via Vallen mungkin bisa menyelipkan pesan-pesan mengenai makna lagu Sunset di Tanah Anarki. Via Vallen kini punya basis penggemar melimpah. Atribut selebritinya bersinar. Mungkin sedikit saja pesan tentang masalah-masalah sosial yang keluar dari mulutnya, mampu mengetuk nurani sebagian orang. Karena di hari-hari penuh dusta ini, keterlibatan orang-orang yang memiliki basis penggemar memang diperlukan. Cukup sudah frekuensi publik dikuasai pengusaha dan penguasa. Mereka yang terus memproduksi tontonan nirfaedah dan tidak bergizi. Sudah waktunya para idola turut andil mengedukasi masyarakat.

Dari debat di Twitter antara Jerinx dengan beberapa anarko dan musisi menyoal pemahaman anarkisme, saya kira mereka yang berdebat ini sebenarnya sejalan. Setidaknya, Jerinx pun sama dan turun melawan untuk rakyat Bali terkait reklamasi Teluk Benoa. Sama seperti beberapa musisi di Jawa yang ikut menyuarakan Kendeng, Kulon Progo, kasus 1965, para aktivis yang terbunuh, dan lain-lain. Atau, sama seperti para rapper yang berani bersuara tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua, yang bahkan beberapa di antaranya menetap di Papua, ada juga anak asli Papua.

Tapi apakah semua musisi mampu menembus batas-batas atribut selebriti mereka? Tentu tidak. Banyak yang terlalu nyaman dengan hip hip hura hura, meski diitari segala ketimpangan. Yang terakhir ini, sebenarnya erat berkelindan dengan dunia hip hop di Indonesia. Lihatlah, mereka pandai saling menghujat, tapi pandir ketika berhadapan dengan apa yang sebenarnya lebih pantas dihujat.

Saya menaruh hormat, kepada para musisi yang bahkan baru memulai karir, tapi tiada mempedulikan deretan angka viral, tapi pada apa yang pantas disuarakan. Sebab ketika kau bungkam melihat ketidakadilan di sekitarmu, maka kau hanyalah sperma yang menjelma menjadi manusia percuma.

Mikrofon bisa menjadi senjata. Tapi pilihlah siapa yang layak untuk dimuntahkan peluru.

No comments :

Post a Comment