Friday, November 8, 2019

Joker

No comments

Tinggal di kamar sewa yang berdekatan dengan sebuah rumah sakit, telinga saya jadi akrab dengan sirene ambulans. Disusul gonggongan anjing-anjing lorong. Hewan ini penaka mengendus bau kematian. 

Sejak Jayapura dilanda rusuh Agustus 2019 lalu, kali ini sirene bertambah dari mobil polisi yang lalu-lalang. Kota ini menjadi serupa Gotham.

Di Papua, barangkali bukan hanya para korban kerusuhan yang butuh trauma healing. Tapi para jurnalis yang kerap turun bertugas, atau pada redaktur yang sering mengedit berita-berita berdarah, juga perlu.

Awal Oktober 2019, sehari setelah riuh pemutaran perdana film Joker di seluruh bioskop sedunia, saya menyempatkan pergi ke bioskop. Film ini telah saya nanti-nanti. Saya bukan penikmat bioskop. Karena saya lebih suka menonton di laptop. Sunyi. Dan kita bisa mengulang-ulang bagian yang ingin kita cermati.

Pergi ke bioskop di Kota Jayapura, saya harus tiga kali naik angkutan kota. Berharap dengan menonton film, isi kepala akan terasa lebih ringan. Sejak demonstrasi 19 Agustus itu, saya yang sempat meliput ribuan orang Papua menyemut di jalanan, tak pernah lagi mengunjungi Kota Jayapura. Baru kali ini ke kota lagi setelah hampir dua bulan.

Di bioskop yang berada di Mall Jayapura, nyaris semua studio menayangkan Joker. Saya segera memesan tiket yang tinggal 10 menit lagi tayang. Teman-teman lain masih dalam perjalanan, mereka berencana memesan tiket sejam kemudian. Saya akhirnya terpisah studio dengan mereka.

Sekumpulan pria cepak ikut mengantre di belakang saya. Saya menebak mereka adalah anggota brimob yang sedang lowong, ketika kondisi kota mulai kondusif.

Saat menunggu studio dibuka, saya selonjoran di depan pintu. Seorang bocah dengan jaket hoodie berada di samping saya. Seorang perempuan berjalan lalu berdiri di depan pintu studio yang telah menganga. Orang-orang berjajar masuk. Bocah tadi, ternyata akhirnya duduk di samping kiri saya.

"Memang suka Joker?" tanya saya.

"Sukanya Batman. Tapi mau menonton musuhnya," jawabnya. Hoodie masih menaungi kepalanya.

"Kelas berapa?"

"Baru masuk SMP."

Saya sedikit khawatir, sebab saya bisa menebak seperti apa film Joker nanti. Film ini memang tidak dianjurkan bagi anak-anak, apalagi tidak didampingi orangtua. Semenit kemudian, mungkin sepasang suami istri, perlahan-lahan merapat lalu duduk di samping kanan. Usia mereka agak sepantar jika menjadi orangtua bocah ini. Tapi mereka bukan orangtuanya.

Setelah iklan demi iklan berlalu, pria di depan cermin rias memunggungi penonton. Arthur Fleck namanya. Saat Arthur mengejar sekelompok pemuda yang membawa lari papan iklannya, kemudian mereka menghajarnya, bocah ini mulai membuka tudung di kepalanya.

Film terus berjalan. Popcorn di pangkuan bapak di samping kanan saya, sesekali bertukar pangku dengan pasangannya. Gemerusuk popcorn yang diaduk jemari terdengar jelas. Saya sedikit terganggu dengan suara itu, dan berharap makanan itu cepat habis. Saya dan bocah ini bertangan kosong. Serius menonton.

Saya pertama kali menangkap raut Joker di wajah Arthur, ketika ia dipecat atasannya. Lengkung senyumnya perlahan-lahan menjadi datar. Saya melirik bocah itu. Sepertinya ia sedang menunggu adegan seru. Tapi belum tampak lagi sejak papan iklan menghantam riasan badut di wajah Arthur.

Kemudian, adegan demi adegan kekerasan muncul. Bocah itu sering menutup mata saat tembakan terdengar. Apalagi ketika adegan Arthur menikam kawannya Randall. Tapi, mungkin, bukan itu keseruan yang ditunggu bocah itu. Ia bisa saja berharap ada adegan layaknya film-film superhero, yang memiliki kekuatan super. Arthur tak memiliki itu.

Saat film selesai, bocah ini seperti menyesal.

Di perjalanan pulang, ketika angkutan kota yang saya tumpangi melewati bangunan-bangunan yang terbakar sewaktu kerusuhan, saya ingat kembali Gotham yang membara. Kota terbakar. Orang-orang penuh amarah ruah di jalan. Mereka menolak penguasa mengolok-olok nasib jelata. Arthur menjadi simbol pemberontakan.

Apa yang ditonton oleh bocah itu di bioskop, hanya sebutir benih kekerasan dibanding yang kerap kali disaksikan dan didengar oleh bocah-bocah Papua. Memoria pasionis.

No comments :

Post a Comment