Sunday, December 30, 2018
Apa Kabar Ayah?
Tuesday, December 25, 2018
Sunday, December 23, 2018
Natal Kelam
Deru helikopter mengitari langit Jayapura. Tumpukan kertas dihambur dari ketinggian. Meski gerimis, capung logam itu terus berdengung di udara.
Bocah-bocah berloncatan girang, berkejar-kejaran, lalu berebut memungut lembar demi lembar. Apa yang tertulis di atas selebaran itu? Akan ada aksi terjun payung Santa Claus. Bagi-bagi hadiah. Tertawa bersama komika ibu kota. Selebaran itu dari Polda Papua.
Selebaran itu disebar, sehari sesudah Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyatakan Natal kali ini tak usah diperingati dengan bersuka-cita. Tak ada open house apalagi untuk para pejabat pemerintahan. Sebab sebangsa di Nduga tengah berduka.
Dari kabar, aksi terjun payung itu bertema "Santa is Coming to Papua". Sebanyak 50 penerjun yang terdiri dari 42 laki-laki dan 8 perempuan, dimuntahkan dari pesawat. Aksi itu katanya meraih rekor MURI. Saya suka alergi mendengar rekor MURI. Para pemuja angka.
Tak ada yang mengunggah atau berkomentar di media sosial saya, tentang seramai apakah aksi itu. Padahal sejak menetap di Jayapura, kakawan di media sosial saya semakin dipenuhi orang asli Papua. Unggahan dan status mereka, rata-rata berisi ucapan duka atau foto-foto aksi solidaritas, untuk saudara mereka di Nduga. Mereka memang tak butuh Santa Claus yang ingin berbagi hadiah. Luka, telah memenuhi seluruh ruang hati dan pikiran mereka.
Arkian, mereka pun kerap mempertanyakan, ketika ada sesama orang Papua tapi tak bersolidaritas dengan rakyat Nduga, yang sebagian banyak merayakan Natal di belantara, berteduh di pepohonan tanpa lilitan warna-warni lampu. Mereka lari ketakutan dan bersembunyi sembari mengusung anak. Mereka hanya berpelita purnama dan bintang gemintang. Tak tahu apakah mereka bisa menyalakan api di tengah hutan, sebab itu membuat persembunyian jadi sia-sia.
Saya tercenung, ketika seorang kawan Papua berkata, "Tiada sedikitpun penghormatan bagi kami yang sedang berduka."
Ucapannya dalam. Bukan hanya menyoal Nduga. Tapi menarik ingatan lalu merentang luka demi luka di Tanah Papua. Tentang bagaimana orang-orang kerap memilah duka. Semakin riuh kesedihan, maka semakin gagap orang-orang yang turut, hanya agar terkesan sebagai manusia paling peduli dengan kemanusiaan. Tapi tidak secuilpun orang-orang itu peduli dengan Papua.
Kali ini, entah bagaimana caranya mengucapkan selamat Natal untuk kakawan Papua. Benar sudah Antonio Porchia dengan sabdanya, "Only the wound speaks its own word."
Friday, December 21, 2018
Manusia
Kita, orang kota serakah yang mendaku paling istimewa. Mensyukuri kerlap-kerlip lampu, tapi lekas mengutuk ketika ia padam. Sementara orang kampung yang hanya berpelita sumbu, masih kita ganggu dengan deru senjata dan muntahan mesiu.
Kita, orang kiwari congkak bongak yang mengaku paling canggih. Padahal masih iri dengan merek penanak nasi tetangga. Sementara orang kampung yang hanya punya batu tungku, kita cerca maki dengan sebutan beruk dan primitif.
Kita, orang modern rakus yang memburu restoran mewah di gedung-gedung jangkung. Kendati di sekitarnya rebah rempah perut-perut cekung. Sementara orang kampung yang memuliakan sagu dan betatas, sering kita tumpas langis lahannya atas nama swasembada beras.
Kita, orang intelek yang tertungkus lumus di meja-meja sekolah dan kantor. Mengejar kemasyhuran dan puji-pujian. Sementara orang kampung yang beranggapan dengan menjadi pintar orang hanya saling membodohi, kita umpat kampungan dan terbelakang.
Kita, orang agamawi pongah yang kerap mempercekakkan simbol. Mengganggap ibadah terluhur hanya milik mayoritas. Sementara orang kampung yang berkhidmat dengan agama leluhur, kita kafirkan dengan azab neraka dilembing bara di dubur.
Kita, orang kota yang sering lupa menjenguk orang kampung. Padahal mereka adalah wujud rahasia, dari makhluk bernama manusia.
Saturday, December 15, 2018
Selamat Natal & Tahun Baru
Di bawah pijar lampu jalan, seorang mama mengais tumpukan sampah. Ia memilah beberapa kardus, merobeknya di beberapa sisi, lalu melipatnya rapi.
Ia tak sendiri. Ada anak laki-lakinya berusia sekitar lima, tengah memunguti sampah plastik. Anak itu sesekali berlari girang ke arah mamanya, lalu memberikan botol kosong air mineral.
Dua kantong plastik besar kian gemuk, tergeletak di samping mama itu. Sementara anaknya kembali berlarian memunguti sampah demi sampah. Tak lama kemudian mamanya memberi isyarat dengan tangan. Sepertinya mereka hendak pulang.
Anaknya menarik-narik noken yang mengembung di punggung mamanya. Jenak mama itu istirah. Ia mengeluarkan balon persegi dari nokennya. Balon seukuran bantal sofa itu berwarna emas, bertuliskan "Selamat Natal dan Tahun Baru 2018". Dari tahunnya, sepertinya balon itu hanya ditemukan di tumpukan sampah yang mereka sisir.
Setelah memastikan dua kantong plastik penuh, mama dan anaknya yang memeluk balon, berjalan menjauh dari pendar lampu jalan. Keduanya menghilang di ujung sebuah lorong, yang dihimpit barisan rumah bekerlapan lampu Natal.
Selamat Natal dan Tahun Baru sepanjang usia untuk kalian berdua...
Friday, December 7, 2018
Praduga di Nduga
Saya selalu tertarik membaca komentar di setiap pemberitaan Jubi terkait Nduga. Sebagian banyak komentar mengutuk kejadian itu.
Sebagai media lokal di Tanah Papua, sejak kejadian Nduga, makin banyak orang di luar Papua tertarik membaca Jubi. Mungkin karena media-media Mama Kota-Jakarta-lebih sering memakai narasi tunggal dari Polri atau TNI. Sementara Jubi, selain tetap mewawancarai Polri dan TNI, masyarakat di Nduga pun turut diwawancarai.
Narasumber yang diwawancarai Jubi ada dari anggota DPRD Nduga, pihak gereja, bahkan pekerja yang selamat dan eks pekerja Trans Papua. Saya pernah membaca berita kesaksian pekerja yang selamat di salah satu media Jakarta, yang keterangannya kemudian dituturkan kembali pihak TNI.
“Tidak lama kemudian para KKB dalam suasana kegirangan menari-nari sambil meneriakkan suara hutan khas pedalaman Papua. Mereka kemudian secara sadis menembaki para pekerja. Sebagian pekerja tertembak mati di tempat dan sebagian lagi pura-pura mati terkapar di tanah,” ungkap Aidi, sebagaimana disampaikan Jimmi.
Nukilan di atas dari pemberitaan Kompas. Jimmy Aritonang adalah salah satu pekerja yang selamat. Sementara Muhamad Aidi adalah Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Jayapura, Papua.
Membaca itu saya segera teringat narasi yang sama, ketika para Gerwani menyiksa tujuh jenderal di Lubang Buaya. Para Gerwani menyanyikan Genjer-Genjer, sambil menyayat wajah si jenderal. Sayangnya, peristiwa itu terbukti mengada-ada. Bahkan dibuatkan film propaganda Pengkhianatan G30 S-PKI. Tak ada penyiksaan seperti dalam film yang dilakukan di Lubang Buaya. Kesaksian demi kesaksian sudah banyak terungkap. Bahkan dari dokter-dokter yang mengautopsi. Tapi, diorama di Lubang Buaya mengekalkan semuanya, lagi-lagi, versi propaganda.
Ada beberapa komentar yang menarik perhatian saya, mengenai kesaksian TPNPB, bahwa kejadian itu bukan ekseksusi, akan tetapi kontak senjata. Salah satunya (bukan orang Papua) diawali frasa orang Papua "ko stop tipu-tipu", lalu mengatakan seorang korban meninggal adalah karibnya. Dan korban itu sangat peduli dengan orang Papua.
Komentarnya itu, hampir mirip dengan salah satu akun media sosial yang menceritakan dukanya, ketika mengetahui kawan baiknya meninggal. Ia merentang tentang jasa korban mendukung dan terlibat dalam banyak kegiatan, yang didedikasikan untuk Papua.
Membaca itu, saya hendak berkomentar. Tapi saya urung niat. Merasakan kepergian seorang sahabat memang sakit. Dan itu layak dihormati. Namun memahami Papua butuh kejernihan pikir. Amarah dan sedih karena kehilangan seorang sahabat, hanya menjadi kabut yang menghalangi kita memahami Papua.
Saya hampir setahun di Papua. Tapi waktu ini bahkan belum cukup untuk membangun kepercayaan orang-orang di sini. Kendati sering menyuarakan keberpihakan atas nasib-nasib orang Papua, itu tak menjamin kita bisa "dikenali". Apalagi oleh orang-orang Papua yang berada di pedalaman.
Kecurigaan dan ragu-ragu untuk menerima orang selain mereka, adalah sikap yang patut kita hormati pula. Itulah kenapa, membangun Papua adalah cara keliru untuk merebut hati mereka. Setulus apa pun itu, sikap yang mereka pilih sudah jelas. Yang mereka butuh ialah hak menentukan nasib sendiri.
Setelah kejadian ini, narasi tentang seperti apa kehidupan di pedalaman Papua, pun relasi antara Orang Asli Papua (OAP) dan non-OAP, banyak beredar. Baik dituturkan kawan-kawan OAP dan non-OAP. Dikatakan, telah berpuluh-puluh tahun sebuah kepercayaan dibangun antara OAP dan non-OAP di Nduga. Namun sejak pos-pos militer dan Trans Papua ini dikerjakan, praduga masyarakat OAP terhadap non-OAP kembali muncul.
Apalagi TPNPB, yang jelas-jelas menyatakan alergi dengan para pendatang. TPNPB menolak proyek jalan tersebut. Selain merusak hutan mereka, kata TPNPB, dalam zona perang jalan-jalan itu malah memudahkan militer ketika bertempur.
Terlepas dari perang, keterpencilan tak melulu buruk seperti yang digambarkan negara. Terisolasi bisa menjadi perisai. Orang-orang Papua tak kekurangan, karena hutan menyediakan segalanya. Justru modernisasilah yang mengubah pola hidup mereka, lantas membunuh mereka perlahan-lahan. Pola berburu dan meramu, berubah menjadi: belanja ke warung-warung.
Pernah seorang petugas kesehatan di Asmat bercerita, ia prihatin dengan mama-mama di sana. Mereka susah payah menanam kemudian memanen sayur-mayur, tapi setelah itu hanya dijual murah.
"Jadi yang memborong sayur sudah atur harga. Murah saja, bahkan ada sekarung hanya tiga puluh ribuan. Setelah laku, mama-mama pergi membeli satu nasi bungkus dan sisanya mi instan untuk anak-anaknya," katanya.
Mengingat ceritanya itu, saya sebagai anak kos merasa senasib dengan mama itu. Senasib karena sering membeli nasi bungkus dan mi instan.
Semalam saya sempat bercerita dengan kawan satu kos. Ia petugas kesehatan yang pernah bekerja di rumah sakit di Wamena. Sejak pemberitaan Nduga, ia aktif menyimak baik dari televisi dan media online.
"Saya heran, kenapa juga sudah mau 1 Desember, tapi mereka bertahan di sana. Harusnya mereka diperintahkan turun. Berita-berita juga hari ini bilang begini, besok lain lagi. Tidak tahu mana yang benar. Macam ada yang janggal," katanya.
Ia masih jernih dalam mendaras kejadian di Nduga. Meski sedih sebab korban kebanyakan anak Tator, sama seperti dia.
Wednesday, November 21, 2018
Senjata Itu Bernama Mikrofon
ilustrasi pixabay.com |
Sebagai pendatang di Negeri Bintang Kejora, Papua, saat ini telinga saya lebih akrab dengan hip hop dibandingkan punk atau dangdut koplo. Karena itu, saya ingin mengutarakan pendapat, terkait masalah antara rapper Gerry Konaedi a.k.a Xaqhala dan Ben Utomo. Selanjutnya, nama Saykoji pun masuk dalam lingkaran seteru itu.
Saya ingin mengurai pangkal masalah di antara mereka. Sejauh saya memindai pemberitaan dan postingan instastory mereka, masalah bermula dari kritikan Gerry terhadap acara Beef Rap Battle, yang diprakarsai Ben dan All Day Music. Saykoji, adalah salah satu juri acara tersebut. Dua juri lainnya ada Iwa K dan Laze.
Gerry menulis sebuah artikel di Hell Magz, berjudul Ketika Battle Rap Keseleo. Bagi yang mengikuti masalah ini, jelas harus membaca dulu artikel itu. Setelah mencari-cari, saya menemukan artikel itu di bio akun instagram @hellmagz.
Saat membaca artikel sepanjang kereta api dan ditulis dengan bahasa seenaknya itu, saya menyimpulkan Gerry memang bukan ingin mengulas soal sejarah freestyle rap battle. Meski porsi soal sejarah itu ia ulas begitu panjang, ujung-ujungnya, artikel itu berisi sindiran terhadap acara Beef Rap Battle. Dalam artikel Gerry, kritikannya tak berisi gagasan. Ia membicarakan tentang kue yang tak enak, tapi ia tak menawarkan bagaimana agar kue itu bisa enak.
Saya bukan anak hip hop, dan sejarah yang Gerry ulas, konon dari bocoran seorang kawan baik saya yang, lumayan tahu soal sejarah freestyle rap battle di Amerika, apa yang diulas Gerry keliru. Tapi saya tidak ingin membahas kekeliruan itu. Karena bagi para penikmat hip hop, pasti tahu apa saja celah yang bisa menggerus semua argumennya Gerry. Biarlah itu menjadi bahasan dalam majelis takzim hip hop Indonesia.
Setelah membaca artikel Gerry, saya cenderung bersepakat dengan Saykoji, bahwa Gerry sebenarnya iri dengan acara Beef Rap Battle. Tapi alih-alih membalas tulisan dengan tulisan, Ben memilih membuat diss track berjudul Basian. Mungkin Ben berpikir: saya rapper bukan penulis. Kemudian Gerry membalasnya dengan Phone Call From Hell. Saykoji kemudian ikut membuat diss track untuk Gerry dengan judul Melempem.
Saling diss ini menjalar. Seorang rapper Lilyo, membuat lagu yang menyasar Saykoji berjudul Bagi-Bagi. Disusul lagu Humblebrag dari rapper Explicit Verbal, yang juga ditujukan kepada Saykoji. Secepat kilat Saykoji membalas kedua rapper itu dengan lagu Gue Kasih.
Mabuk juga ya, kepoin mereka. Tapi baik dari kubu Ben atau Gerry, sama-sama masih berkutat pada tataran drama. Lirik-liriknya pun hujat-hujatan standar, menyinggung status sosial, fisik, karir, bahkan menjadikan orientasi seksual LGBT sebagai hujatan, dan sebagainya.
Kemudian, saya menemukan satu lagu yang menurut beberapa orang yang membagikannya, lagu itu untuk menyerang kubu Ben atau Saykoji. Apalagi memang garis para rapper ini beririsan dengan yang sedang berseteru. Namun lagu kali ini berbeda. Para rapper ini berasal dari Timur. Katanya mereka dari Ambon dan kini menetap di Bali. Lagu itu berjudul Cut the cRap dari Rendy O X Blvkindo. Dibandingkan jejer lagu diss terkait seteru Ben Vs Gerry, saya kira lagu Cut the cRap berbeda. Lirik-liriknya tidak frontal. Bertaburan metafora dan bermakna luas. Diss track semacam ini, tiada lekang oleh waktu dan bisa relevan kapan pun dan untuk siapa pun.
Saya jadi ingat seteru antara Malique dan Joe Flizzow. Dua eks Too Phat yang sampai sekarang masih saling memunggung. Belum lama ini, saya sempat membahas soal Malique dan Joe, sebelum saya tahu konflik Ben Vs Gerry.
Kalau menyoal kawan yang berubah jadi lawan, paling asyik dijadikan pelajaran ialah seteru antara Malique dan Joe. Malique, yang memilih mengasingkan diri setelah Too Phat bubar, masih terus berkarya. Setiap lagunya dirilis, kerap langganan awards di blantika musik Malaysia.
Joe, yang juga bersolo karir, lagu-lagunya sering bersikut-sikutan dengan lagu Malique di tangga lagu, atau dari jumlah viewers Youtube. Tapi Joe memang bukan kelasnya Malique soal bikin lirik. Malique punya lirik dan rima yang apik. Tentu saja, dengan irama khas Melayu yang kental.
Mungkin karena itu, Joe sering satire dalam lirik lagunya. Memancing agar Malique keluar dari persembunyiannya.
Sejak menikah dan memiliki anak, Malique memang memilih menjauh dari media. Bahkan ketika lagu-lagunya meraih Music Industry Awards, ia tak pernah hadir. Video klip lagu-lagunya pun jarang menampilkan wajahnya. Hanya suara dan diperankan orang lain. Malique benar-benar menjadi misterius.
Ada sih, satu lagu yang menghadirkan Malique dalam video klip. Lagunya berjudul Cerita Kedai Kopi. Diunggah pada 9 Maret 2017 di Youtube. Tapi setahu saya hanya itu saja.
Setelah Joe yang gemar menyindir Malique, giliran Altimet-kawan baik Joe-yang satire lewat lagu Mambang. Ia mengandaikan Malique bersembunyi di gua. Tak lama kemudian, lagu Mambang dibalas oleh Kmy Kmo ft Luca Sickta lewat lagu Gong Nekara. Liriknya terasa sekali ruhnya Malique. Menampar-nampar Altimet tapi dengan begitu puitis.
Kemudian, album Malique terbaru Malique TKO: Pejamkan Mata, yang sampulnya bergambar wajah yang memiliki mata di dahi, difitnah bersimbol Dajjal. Dikatakan pula itu simbol Illuminati. Padahal Dajjal dan Illuminati saja berbeda jauh artinya. Malique terpaksa meluruskan kekisruhan itu, bahwa gambar itu artinya mata hati.
Tapi, Malique memang sosok yang tetap menjadi idola di Negeri Jiran. Bukan hanya karena kerendahan hatinya, tapi cara ia meroketkan rapper baru, salah satunya rapper muda seperti Ben Ladin yang baru berusia 17.
Lagu Ben Ladin berjudul Hikayat Benladin, telah ditonton sebanyak 17 juta di Youtube. Lewat lagu ini, ia menitipkan "salam" kepada para "pembenci", termasuk Altimet dan Joe. Sebuah lagu sederhana, yang membuktikan Malique mampu mengubah kebencian orang, menjadi lagu yang enak didengar dan sarat makna.
Saya kira, lagu Cut the cRap, hampir mirip dengan cara Malique menulis lirik. Kebencian bisa puitis. Rapper pun adalah penyair. Apalagi mereka begitu akrab dengan rima.
Tapi, bukan soal siapa yang paling pintar membuat lirik atau rima. Namun apa gagasan dalam sebuah lagu. Sama seperti sebuah tulisan, bukan cara menulis yang baik dan benar yang terpenting, tapi apa isi gagasan dalam tulisan itu.
Dari semua musisi atau pengkhidmat hip hop di Indonesia yang pernah saya telusuri, hanya segelintir saja yang lagu-lagunya berisi gagasan. Saya bisa kenyang gagasan hanya ketika mendengar lagu-lagunya Homicide, Maderodog, Senartogok, Doyz, Rand Slam, Pangalo!, Joe Million, Altarlogika, dan mereka yang namanya pun belum terlalu akrab dengan telinga-telinga kami di negeri paling timur ini. Saya yakin masih ada banyak lagi musisi hip hop serupa deretan musisi yang saya akrabi itu.
Saya belum lama ini membaca artikelnya Holy Rafika di Remotivi, yang membicarakan tentang konflik antara Jerinx SID dan Via Vallen. Benar, apa yang tak boleh hilang dari konflik itu, ialah status selebriti Via Vallen yang dipermasalahkan Jerinx.
Sederhananya, Jerinx tak mempermasalahkan lagunya, jika saja ketika dinyanyikan kembali, Via Vallen mungkin bisa menyelipkan pesan-pesan mengenai makna lagu Sunset di Tanah Anarki. Via Vallen kini punya basis penggemar melimpah. Atribut selebritinya bersinar. Mungkin sedikit saja pesan tentang masalah-masalah sosial yang keluar dari mulutnya, mampu mengetuk nurani sebagian orang. Karena di hari-hari penuh dusta ini, keterlibatan orang-orang yang memiliki basis penggemar memang diperlukan. Cukup sudah frekuensi publik dikuasai pengusaha dan penguasa. Mereka yang terus memproduksi tontonan nirfaedah dan tidak bergizi. Sudah waktunya para idola turut andil mengedukasi masyarakat.
Dari debat di Twitter antara Jerinx dengan beberapa anarko dan musisi menyoal pemahaman anarkisme, saya kira mereka yang berdebat ini sebenarnya sejalan. Setidaknya, Jerinx pun sama dan turun melawan untuk rakyat Bali terkait reklamasi Teluk Benoa. Sama seperti beberapa musisi di Jawa yang ikut menyuarakan Kendeng, Kulon Progo, kasus 1965, para aktivis yang terbunuh, dan lain-lain. Atau, sama seperti para rapper yang berani bersuara tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua, yang bahkan beberapa di antaranya menetap di Papua, ada juga anak asli Papua.
Saya menaruh hormat, kepada para musisi yang bahkan baru memulai karir, tapi tiada mempedulikan deretan angka viral, tapi pada apa yang pantas disuarakan. Sebab ketika kau bungkam melihat ketidakadilan di sekitarmu, maka kau hanyalah sperma yang menjelma menjadi manusia percuma.
Mikrofon bisa menjadi senjata. Tapi pilihlah siapa yang layak untuk dimuntahkan peluru.
Monday, November 12, 2018
Genjer
Sejak bude langganan saya menghilang setelah lebaran, saya mencari rumah makan lain di sekitar kos, hanya untuk makan siang. Ada satu rumah makan Padang yang menunya variatif. Harganya pun terjangkau kantong anak kos. Saya mulai berlangganan.
Tadi ketika pergi membeli makanan, saya melihat ada menu sayuran baru. Selama berbulan-bulan, saya jarang melihat sayur ini.
"Ini sayur apa?"
"Genjer. Pernah makan?" kata ibu pemilik warung makan.
Mendengar nama sayur itu, ingatan saya langsung diseret ke masa-masa pembantaian 1965 terkait Partai Komunis Indonesia.
Karena penasaran, saya coba bertanya lagi ke ibu itu, "Ibu bukan dari Padang?"
"Suami saya orang Padang. Saya orang Banyuwangi."
Dalam hati saya, pantas saja sayur genjer ini ada. Saya kemudian meminta ibu itu menaruh genjer di nasi yang saya pesan.
"Bisa Bahasa Osing?" tanya saya.
"Bisa. Mas dari Jawa?"
"Bukan, saya Manado."
Ia coba menyelidiki saya balik, karena sepertinya dia sadar saya sedang menyelidiknya. Tapi saya tidak melanjutkan percakapan. Saya segera pamit. Sepanjang jalan pulang, saya tersenyum, karena saya iseng saja membayangkan: saya orang Mongondow, tinggal di Papua, beli makanan di rumah makan Padang, yang masak orang Banyuwangi.
Sebenarnya, di kolam ikan di belakang rumah saya di desa, biasanya genjer ini banyak tumbuh berdampingan dengan eceng gondok. Tapi kami tidak terbiasa memasaknya menjadi sayur. Karena itu, saya ingin mencobanya. Saya penasaran dengan rasanya, yang katanya sayuran orang miskin.
Genjer kerap dikaitkan dengan PKI karena lagu Genjer-Genjer ciptaan Muhammad Arief, pada 1942. Ia seniman asal Banyuwangi, yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ini organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia, yang inisiatornya di antaranya Nyoto, D.N. Aidit, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta.
M. Arief menciptakan lagu Genjer-Genjer, sebagai protes karena di masa penjajahan Jepang, banyak rakyat kelaparan lantas memilih memakan genjer. Padahal awalnya genjer ini hanya untuk makanan ternak.
Lagu itu semakin populer ketika dinyanyikan Bing Slamet dan Lilis Suryani medio 1960-an. Karena menyuarakan penderitaan rakyat dan menyentuh akar rumput, PKI sering memakai lagu ini saat kampanye.
Mengidentikkan Genjer-Genjer dengan PKI adalah kesalahpahaman. Lagu itu bukan lagu PKI. Seandainya salah satu lagu Iwan Fals dipakai kampanye sebuah partai, apakah lagu itu otomatis jadi milik partai? Kemudian ketika para tokoh partai itu difitnah membantai para jenderal, lantas Iwan Fals harus dihukum?
Iya, nasib M. Arief sungguh malang. Setelah peristiwa 30 September 1965, penangkapan dan pembantaian terhadap mereka yang dituduh PKI semakin gencar. M. Arief ikut ditangkap dan dipenjarakan di Lowokwaru, Malang. Hampir empat bulan ia ditahan, kemudian hilang tak berbekas.
Jika pernah menonton film G30S/PKI--salah satu film terbaik Indonesia karena sinematografinya yang keren, dan mampu menghantui kita sampai sekarang meski tidak ada dedemit di film itu--, ada bagian ketika para Gerwani menyanyikan Genjer-Genjer sambil menyayat wajah seorang jenderal. Padahal itu distorsi sejarah atau hoaks paling akbar, yang masih dipercayai oleh sebagian banyak orang Indonesia, hingga sekarang. Hasil autopsi dari tim forensik, salah satunya Liem Joe Thay melaporkan, tidak ada penyiksaan semacam itu.
Begitulah nasib Genjer-Genjer. Bahkan sebuah lagu telah dibungkus hoaks teramat lama. Artis mana yang berani menyanyikannya sekarang, meski Orba tumbang?
Saya membuka nasi bungkus berisi sayur genjer dengan takzim. Lagu Genjer-Genjer versi Lilis Suryani saya setel di Youtube. Lalu mencicipinya. Rasanya tidak pahit. Hanya kenangan di balik lagu ini yang teramat pahit.
Emake jebeng padha tuku nggawa welasah (Ibu si gadis membeli genjer sembari membawa wadah-anyaman-bambu)/ Genjer-genjer saiki wis arep diolah (Genjer-genjer sekarang akan dimasak)/ Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak (Genjer-genjer masuk periuk air mendidih)/ Setengah mateng dientas ya dienggo iwak (Setengah matang ditiriskan untuk lauk)/ Sego sak piring sambel jeruk ring pelanca (Nasi sepiring sambal jeruk di dipan)/ Genjer-genjer dipangan musuhe sega (Genjer-genjer dimakan bersama nasi).
Ah, seandainya lagu itu akhirnya bisa dinyanyikan Via Vallen versi dangdut koplo....
Wednesday, November 7, 2018
Kembalikan Mimpiku
Aku terbangun dengan terheran-heran. Kenapa aku berada di ruangan 3 x 3 meter ini? Tadinya aku tengah berada di sebuah ngarai yang indah. Kemudian aku sadar, ngarai itu hanyalah mimpi, sementara kamar ini nyata.
Ponsel di sebelah bantal segera kuraih. Penanda tanggal kuperhatikan, Rabu 7 November 2018, menjelang peralihan hari. Aku lekas mencatat mimpi ini sebelum lupa. Sembari terus mengingat perca demi perca.
*
Suasana desa menyergap. Ada masjid yang di sampingnya bermenara tinggi. Aku berada di belakang masjid. Tapi aku bukan mau sembahyang. Malah di tanganku ada senjata laras panjang. Tiba-tiba desingan peluru terdengar. Dua orang yang tampaknya kawan namun mereka tak kukenali, memberi aba-aba agar aku merunduk sambil mengikuti mereka.
Kami dengan gaya senyap-senyap menuju menara masjid. Suara tembakan datang dari berbagai arah. Seorang kawan tertembus peluru. Aku dan kawan satunya lagi, coba menolongnya. Tapi nafasnya berhenti. Dadanya mekar berdarah.
Segera kami melompati pagar masjid, melewati halaman sebuah rumah yang cukup aku kenali. Ini rumahnya Bedewin, kawan baikku yang telah berpulang.
Aku masih terheran-heran dan sempat membatin: kenapa di desaku terjadi perang?
Di seberang rumah, ada lagi tiga orang bersenjata yang juga sepertinya kawan, terus menembaki tentara di tanah lapang. Aku samar mengenali para tentara dari seragamnya. Mereka banyak. Tiga orang itu kemudian berlarian ke arah kebun belakang. Aku dan lelaki yang masih belum kukenali itu, segera mengikuti mereka. Puluhan tentara menyusul kami dengan rentetan peluru.
Di kebun belakang itu kami terpisah. Aku terus berlari di antara semak belukar. Peluru-peluru merobek dedaunan. Terasa pahaku seperti baru saja dilewati satu dua peluru. Jauh berlari, masih terdengar derap sepatu para tentara. Aku kelelahan dan pasrah. Tiba-tiba, dari semak-semak muncul seorang lelaki berkulit gelap. Tubuhnya setengah telanjang penuh coretan putih. Ia orang Papua.
Tak berlama-lama, lelaki itu menarik tanganku. Ia seperti menguasai medan kebun belakang itu, yang tiba-tiba saja berubah menjadi hutan belantara. Suara-suara tentara tak lagi terdengar. Kami sampai di sebuah ngarai yang dipenuhi pepohonan rindang menjulang di bawahnya. Ia mengajakku menuruni jalan setapak di balik rimbun dedaunan.
Cahaya matahari tiada mampu menembus lebatnya dedaunan. Sepertinya dedaunan itu dari cecabang pepohonan di bawah sana. Aku dituntunnya, sampai ke ujung setapak. Ketika ia menyibak dedaunan, apa yang ada di depan mataku adalah pemandangan yang tiada pernah aku saksikan seumur hidup.
Seorang mama tengah mencuci sayur mayur di anak sungai, ditemani dua bocah lelaki. Mereka tersenyum. Jemari mama itu menunjuk apa yang ada di belakangku. Aku terperangah. Di depanku ada air terjun tengah menjulurkan lidahnya yang membuih. Air terjun itu kira-kira setinggi pohon kelapa.
Ketakjubanku terhenti ketika lelaki itu memberi isyarat agar mengikutiku. Aku beranjak sambil melempar senyum kepada mama dan dua bocah itu. Hanya berjalan sekian meter, telah nampak beberapa honai. Sebuah pohon besar, berada di tengah-tengah kampung itu. Di atas pohon ada sebuah gubuk bertengger. Anak-anak tangga dari akar berjuntai dari gubuk ke tanah.
Aku sempat bertanya kepada lelaki itu, "Kalian tinggal di sini sudah lama?"
Anggukannya menandakan ia paham dengan perkataanku.
"Ada berapa orang kalian di sini?" Aku ingin memastikan apakah ia bisa berbahasa yang sama denganku, dengan melemparkan pertanyaan yang tak harus dijawabnya dengan anggukan atau gelengan kepala.
"Sekitar dua ratus orang," katanya.
Aku lega, sebab kami bisa berkomunikasi lebih banyak lagi.
"Apa nama kampung kalian?"
Ia menyebut nama yang terdiri dari dua suku kata, tapi aku sukar mengingatnya. Sepintas itu dari bahasa daerah. Menurutnya, kampungnya ini tidak diketahui orang-orang luar. Selanjutnya aku tak bertanya lagi. Aku kembali mengagumi kampung ini. Anehnya, kampung ini ternyata hanya berada tepat di kebun belakang di desaku.
Aku berlari-larian memasuki honai demi honai. Tapi orang-orangnya tak ada. Aku singgah di sebuah honai tepat di atas bukit mungil. Di sampingnya ada pohon rindang tapi rendah. Cecabangnya bahkan bisa diduduki. Dari sini, tampak kampung ini berada di tepian ngarai. Di bawahnya aku bisa menyaksikan bentangan perbukitan hijau. Sesekali kabut menebal dan bergeser bergantian menutupi puncak-puncak bukit.
Setelah menuruni jalan setapak, aku bersua dengan bangunan serupa honai tapi berukuran besar. Bangunan itu tak berdinding. Di sana, ada banyak orang lelaki dan perempuan tengah berbincang dan sesekali tertawa. Ketika melihatku, mereka serentak terdiam. Aku canggung dan berbalik arah. Di saat itulah, aku kembali bertemu lelaki itu. Ia mengarahkanku menuju ke pohon besar. Kali ini ada puluhan bocah lelaki dan perempuan di sana. Ia lanjut berjalan menuju ke bangunan honai yang besar tadi. Sepertinya ia hendak memberitahukan tentang keberadaanku kepada mereka.
Di bawah pohon besar, anak-anak itu menyambutku dengan riang. Mereka terus tertawa. Ada satu dua anak meluncur turun dari rumah pohon. Aku menoleh ke atas dan terlintas untuk menaiki anak tangganya. Tapi seorang anak menarik lenganku. Ia mengantarku ke sebuah taman di tepi ngarai. Aku duduk di sana, sambil menikmati keindahan kampung.
Tapi, tiba-tiba seorang lelaki menyapaku. Aku mengenalinya.
"Kenapa kau bisa di sini?" katanya.
"Kenapa kau juga bisa di sini?" tanyaku.
Kami berdua terheran-heran. Kemudian menyusul muncul satu per satu orang yang semuanya aku kenal. Mereka semua satu desa denganku. Desa Passi.
"Kenapa kalian semua ada di sini?"
Mereka hanya tertawa. Seseorang menghampiriku dan menunjukkan sebuah peta di ponselnya.
"Kami telah menandai kampung ini di map. Kami namai Kampung Pohon," katanya.
"Hei! Kenapa kalian menandai kampung ini. Nanti banyak orang yang tahu kampung ini!" teriakku.
Mereka hanya tertawa dan berlalu. Mereka sekitar belasan. Aku membuntuti mereka. Langkah mereka akhirnya berujung di sebuah jalan setapak yang menurun.
"Kami bekerja di sana," kata seseorang, sambil menunjuk ke arah lembah. Menurutnya, ada banyak lagi orang yang aku kenali berada di sana. Termasuk salah satunya kakak laki-lakiku.
Dahiku mengernyit. Jika tadi kata lelaki Papua di kampung ini tak ada orang lain yang tahu, kenapa ada banyak orang yang aku kenali berada di sekitar sini. Yang sepertinya mereka telah lama tahu tempat ini. Aku menyapu pandangan ke seisi kampung. Ke mana orang-orang kampung dan bocah-bocah tadi?
Aku panik. Meski berada di negeri yang begitu indah, aku ingin hanya aku saja yang tahu kampung ini. Tapi ternyata ada orang lain yang tahu tempat ini. Dan orang-orang itu semuanya penambang. Termasuk satu kakak laki-lakiku, meski aku belum berjumpa dengannya.
Aku kembali ke honai di atas bukit. Di sana, aku bisa menikmati kampung yang begitu sepi. Aku bersandar di pohon. Angin menyapa dan menenangkanku. Kini tak ada lagi orang-orang di sekitarku. Aku merasa damai. Aku sendiri...
Thursday, November 1, 2018
Merantau dalam Risau
Jika sebagian orang merantau karena berburu rezeki, saya memilih merantau karena ingin mewujudkan sebuah mimpi.
Semua orang tentu punya mimpi. Bahkan ketika bocah, kita selalu ditanyai guru tentang mimpi. Apa cita-cita kita? Tapi apakah mimpi kita ketika masa kanak-kanak sering terwujud?
Saat penerbangan ke Papua pada Februari lalu, lagu Merantau dari Kapal Udara saya dengarkan dari ketinggian 38 ribu kaki. Sama seperti lagu Kapal Udara lainnya berjudul Melaut, Menyambut, Menari, dan Menanam, lagu Merantau menyapa telinga dengan ceria. Tapi ketika memasuki lirik, saya dibuat tercenung.
Suatu hari sebelum menua/ Kau pergi/ Pergi/ Dalam hati kau menghibur diri/ Bernyanyi...
Hari itu, segala apa yang saya cintai di desa harus saya tinggalkan. Seorang ibu, putri mungilku Sigi, dan kawan-kawan yang kerap bersetia dalam duka dan tawa. Tapi benar, sebelum menua kita harus berani menyusuri negeri-negeri asing. Bukan berarti berdiam di tanah kelahiran sebagai bentuk ketidakberanian. Namun masing-masing memiliki alasan untuk pergi, atau memilih bertahan.
Mimpi apa yang ingin saya wujudkan dalam perantauan di Papua? Ini bukan mimpi tentang saya. Tapi mimpi orang-orang Papua yang selama ini tertindas di atas tanah mereka. Saya merantau dalam risau. Terlalu banyak yang rebah di tanah ini, dengan kepal tangan yang menggengam mimpi. Mereka menitipkan mimpi-mimpi itu kepada siapa saja yang berani bersuara.
Mimpi-mimpi itu dari Petrus Ayamiseba dan Leo Wandagau, buruh Freeport yang berunjuk rasa menuntut kesejahteraan, pada 10 Oktober 2011. Mereka tewas diterjang peluru. Jika sekarang buruh Freeport merasakan upah lebih dari cukup, maka dua nyawa itulah tumbalnya. Kendati hari ini, masih disaksikan PHK sepihak menimpa buruh Freeport.
Mimpi-mimpi itu dari Yulianus Pigai. Ia bersama warga Desa Oneibo, Deiyai, hendak meminjam mobil sebuah perusahaan, untuk mengantar salah satu warga yang nyaris tenggelam ke rumah sakit. Pihak perusahaan menolak membantu. Nyawa warga itu akhirnya tak tertolong, lantas mengundang kemarahan penduduk desa. Perusahaan memakai aparat sebagai perisai. Mereka yang protes diberondong peluru. Perut dan paha Pigai dirobek timah panas. Tubuhnya lempai ke tanah. Ia akhirnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Mimpi-mimpi itu dari Sabusek Kabak, Yenias Wanimbo, dan Demy Kepno. Ketiganya terbunuh pada kerusuhan 2 Juli 2014. Seorang polisi tewas ketika hendak mengamankan perjudian di Pasar Youtefa, Abepura. Tapi sorenya, saat penggerebekan para terduga pelaku, aksi "balas dendam" terjadi. Menyusul ditemukannya tiga jenazah orang Papua itu. Kabak hanyalah seorang mahasiswa yang terjebak saat kerusuhan terjadi.
Mimpi-mimpi itu dari Irwan Wenda. Ia ditembak polisi 8 Agustus 2013 di Wamena. Kaki kiri, perut, dan kepalanya ditembak dari jarak dua meter. Padahal Wenda yang menderita keterbelakangan mental, hanya memukul si polisi dengan batang tebu. Apakah berhak mengatakan Wenda tak memiliki mimpi karena dia gila, dan seenaknya menjabal nyawanya?
Mimpi-mimpi itu dari Yulinus Okoare dan Imanuel Mailmur. Keduanya terbunuh oleh senapan dua tentara di Mimika. Padahal kedua korban hanya ikut berpesta di rumah seorang warga asli Papua, yang menggelar syukuran karena berhasil meraih gelar doktor. Kedua tentara itu mabuk dan ingin membubarkan pesta. Sampai kerusuhan dan penembakan terjadi.
Mimpi-mimpi itu dari Emerikus Konakaimu, yang terkapar bersimbah darah pada 30 Oktober 2015 di Merauke. Pahanya ditembus peluru seorang polisi. Ia dan temannya dituduh mencuri motor. Polisi itu tidak tahu, kalau motor itu telah dikembalikan Emerikus dan temannya. Emerikus baru 19 tahun.
Mimpi-mimpi itu dari Mako Tabuni dan Hubertus Mabel. Tabuni adalah Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Pada 14 Juni 2012, polisi tak berseragam menembaknya. Ia dituding melakukan serangkaian penembakan terhadap warga non-Papua, termasuk salah seorang turis Jerman. Mabel pun dituduh serupa. Ia tewas pada 16 Desember 2012 di Jayawijaya. Tuduhan kepada mereka berdua tentu saja tidak pernah terbukti. Tidak ada penyelidikan imparsial atau independen terhadap dua kasus pembunuhan itu.
Ada banyak lagi deretan mimpi dari mereka yang melegenda seperti Arnold Ap, Theys Hiyo Eluay, dan Kelly Kwalik. Mereka yang nyawanya lingkap di tangan aparat. Setelah mereka ini, masih ada ratusan daftar kematian yang tak pernah diusut tuntas.
Atau para balita di Korowai dan Asmat yang baru mau mulai bermimpi, tapi akhirnya harus menyerah dilindas rasa lapar. Atau bocah-bocah berseragam lusuh yang merindukan guru. Atau impian mama-mama Papua yang setiap hari disengat matahari, saat berjualan di trotoar jalan. Atau mimpi suku-suku yang tanah adat mereka direbut korporasi.
Hampir setahun di Papua, saya merasa belum satu pun dari titipan mimpi-mimpi itu yang mampu saya wujudkan. Tapi saya percaya, ada banyak kawan-kawan sejalan pena dan sedarah juang di luar sana. Mereka yang bertafakur dengan mimpi orang-orang Papua. Mereka yang percaya ini akan menjadi mimpi besar yang menggetarkan.
Hingga kini separuh usia/ Pulang tak lagi menjadi mimpi/ Tak lagi menjadi mimpi...
Dengan lagu Merantau, saya merayakan kerisauan. Seandainya separuh usia saya lewati di Bumi Cenderawasih ini, benar sudah, pulang tak lagi menjadi mimpi. Sebab mimpi itu masih tertahan di sini.
Ketika kau pergi merantau ke negeri orang tanpa rakus dengan mimpi sendiri, mungkin itulah sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya... Merantau, Nak!
Catatan: Tulisan ini hasil interpretasi saya atas lagu Merantau dari Kapal Udara.
Monday, October 29, 2018
Terbang
Seorang kerabat mengantar saya ke Bandara Sam Ratulangi Manado, enam tahun silam. Ia menjelaskan langkah-langkah apa saja ketika berada di bandara.
"Nanti, setelah kau menunjukkan KTP dan tiket, masuk dan lewati pemeriksaan barang," kata Donni.
Selanjutnya ia menunjuk, tempat saya harus kembali menunjukkan KTP dan tiket, untuk mencetak boarding pass.
"Baru naik ke lantai dua, di sana tunggu panggilan sesuai nomor pesawat."
Saya berpamitan. Kemudian melambaikan tangan ketika memasuki ruang keberangkatan. Ia tampak masih mengawasi saya dari kejauhan. Memastikan apakah saya mendengar instruksinya. Setelah mencetak boarding pass, saya menoleh ke belakang dan masih menemukannya di sana.
Sampai di ruang tunggu, saya tak menemui kendala. Tak lama kemudian para penumpang dipanggil. Setelah memastikan itu nomor pesawatnya, saya mengekori orang-orang. Tiba di dalam pesawat, saya segera mencari kursi sesuai nomor, yang kebetulan tepat berada di samping jendela.
Sabuk pengaman saya pasang. Ponsel Blackberry saya matikan. Semua instruksi pramugari saya ikuti. Kemudian pesawat tinggal landas. Dada saya seperti ditekan sebongkah batu.
Saya bukan seorang high phobia atau takut ketinggian. Tapi sebelum saya terbang kali pertama itu menuju Makassar, saya hampir lima bulan hanya berdiam di kamar. Saya jatuh dari lantai dua gedung MCC Manado. Tulang pinggul dan paha saya retak. Dari kejadian itu, terbang perdana ini tentu membutuhkan keberanian.
Tapi, semua kecemasan itu sirna, ketika hamparan Kota Manado terlihat di bawah sana. Gedung-gedung, pepohonan, dan jalan-jalan mengecil. Gumpalan awan seperti perbukitan salju yang seolah-olah bisa dipijaki. Laut begitu biru dan menyatu dengan langit. Dari dalam, hanya deru pesawat terdengar. Tapi saya bisa merasakan ketenangan di luar sana.
Namun saya kembali cemas karena mengingat perkataan kerabat saya...
"Terbang dengan pesawat, seperti kita telah menyerahkan nyawa, dan kita pun diminta membayar."
Saya coba merenungkan kalimat itu. Ia benar, karena dari semua jenis kendaraan yang bisa membuat kita berpindah tempat, pesawat satu-satunya yang memiliki risiko paling tinggi. Kendaraan roda dua dan empat, atau kereta api, semuanya masih berpijak di daratan. Tapi pesawat, ia di udara. Satu-satunya tempat paling tidak aman, bagi makhluk yang tidak memiliki sayap seperti manusia. Mungkin itu pula kenapa ada ucapan: safe flight.
Baru-baru ini, Minggu, 28 Oktober 2018, saya terbang dari Makassar menuju Jayapura. Sebelumnya, siangnya saya sempat bercakap-cakap dengan kawan-kawan di Asrama Bogani. Kami membicarakan tentang: terbang.
Masing-masing dari kami menceritakan pengalaman ketika naik pesawat. Hampir semuanya sama. Perjalanan dari Manado ke Makassar atau sebaliknya, pasti pesawat akan melewati bagian udara Celebes yang tak bersahabat. Ada satu rute ketika melewati kawasan udara Sulawesi Barat dan Tengah, yang kerap membuat pesawat berguncang.
Konon, di lokasi itulah pesawat Adam Air DHI 574 hilang pada 1 Januari 2007 silam. Pesawat itu tinggal landas dari Bandara Juanda Surabaya, hendak menuju Bandara Sam Ratulangi Manado. Tapi pesawat itu putus kontak dengan pengatur lalu-lintas udara Bandara Hasanuddin Makassar. Baru setelah delapan bulan kemudian, pesawat itu diduga jatuh di Perairan Majene, Sulawesi Barat, berdasarkan penemuan kotak hitam di Perairan Majene pada 27 Agustus 2007.
Saya pernah mengalami penerbangan yang tak mulus itu ketika pulang menuju Manado dari Bali. Pesawat kami transit di Makassar. Setelah bertolak menuju Manado, tepat di rute yang sama itu, pesawat harus menembus awan tebal nan gelap. Pesawat berguncang hebat. Lampu di dalam pesawat dipadamkan dan jendela harus dibiarkan terbuka. Dari jendela yang buram oleh hujan, saya melihat petir berkali-kali. Beberapa penumpang merapal doa.
Hampir dua puluh menit jantung kami copot. Jantung berhasil kembali ke tempat semula setelah kami melihat sinar matahari. Tapi hanya belasan menit, kami kembali menemui cuaca buruk. Sekali lagi, doa-doa terdengar.
Pesawat akhirnya berhasil sampai di Manado. Meski di Manado pun pesawat itu harus mengitari langit kota beberapa kali, sebab bandara tertutup awan. Tapi pesawat akhirnya bisa mendarat dengan selamat. Ketika roda pesawat membentur daratan, dosa-dosa yang membayang selama di udara, sekejap sirna.
Di wilayah Papua, bagi yang sering menuju Timika pasti sering menemui cuaca buruk ketika akan mendarat. Saya dua kali hinggap di Bandara Mozes Kilangin Timika, dengan dada berdebar-debar. Tapi bagi kawan-kawan Papua, pengalaman seperti itu tak sebanding ketika naik pesawat perintis. Dan silakan memindai di internet, akan kita temui banyak kasus kecelakaan pesawat perintis di Papua.
Kemarin, satu lagi kasus kecelakaan pesawat. Kali ini menimpa maskapai penerbangan yang paling saya hindari. Lion Air memang maskapai yang memiliki rekam jejak penerbangan yang buruk. Baik dari keamanan dan pelayanan. Apalagi ketika buku-buku di dalam keril saya, pernah basah gara-gara maskapai ini.
Ketika berada di udara, saya pernah terbayang pesawat yang saya tumpangi jatuh ke samudra. Bayangan seperti itu tidak begitu saja hadir. Tapi ia berasal dari kecemasan. Meski saya coba membayangkan bahwa air bisa menyelamatkan. Dan ternyata tidak. Sebab ketika pesawat kehilangan kontrol kemudian jatuh ke lautan, maka tak ada bedanya lagi antara daratan dan lautan.
Turut berduka cita bagi para korban. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan.
Jalan pulang memang seringkali berbeda...
Sunday, October 28, 2018
Makassar
Enam tahun lalu, Makassar jadi kota terjauh pertama yang saya jejaki. Di kota ini saya merasakan atmosfer pengetahuan begitu berbeda. Di Pondok Patah Hati (PPH), ada banyak kawan-kawan baru asal Kotamobagu, yang tengah menempuh pendidikan di kota ini. Pada mereka saya banyak belajar. Yang teristimewa, blog Getah Semesta lahir di sana setelah dibidani beberapa kawan baik.
Setelah lama berlalu, kota ini beberapa kali menjadi tempat bertengger sementara, sebab ia adalah kota terbesar di Celebes yang menjadi titik transit pesawat. Tahun 2016, saya sekali transit di kota ini. Tahun 2017, saya diberi kesempatan untuk berkeliling kota ini untuk yang kedua kalinya. Kunjungan kali ini saya sial, karena sempat ketinggalan pesawat dan terpaksa kembali lagi untuk menginap semalam di PPH, yang telah bersalin tempat. Meski sial itu berujung pada pertemuan saya dengan penyair M. Aan Mansyur, yang memberikan saya buku puisinya Sebelum Sendiri, ketika berkunjung ke Kata Kerja.
Hanya berselang beberapa bulan masih di tahun 2017, saya kembali transit di Makassar hampir empat jam. Tapi saya hanya berdiam di bandara. Bayangan akan ketinggalan pesawat lagi, membikin saya tiada berani mengitari kotanya.
Akhirnya, tahun ini saya kembali berkunjung ke kota ini. Meski markas PPH tidak ada lagi, dan kawan-kawan telah tersebar di beberapa rumah kos, tapi pertemuan dengan mereka selalu berkesan. Ada beberapa yang telah melanjutkan pendidikan ke kota-kota besar di Jawa. Sebagian ada yang bertahan melanjutkan pendidikan di kota ini, dan sebagian lagi adalah generasi penerus PPH.
Tapi saya merasakan ada yang berubah. Tinggal sedikit yang tersisa dari generasi PPH. Mereka ini yang masih setia dengan buku-buku, dan kerap memancing diskusi ketika bertemu. Mereka selalu banyak tanya. Beruntung, masih ada Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow (KPMIBM) cabang Makassar di Asrama Bogani, yang menjadi wadah mereka belajar bersama.
Di asrama ini, saya sempat bertukar pikiran dengan mereka soal jurnalistik. Film Di Balik Frekuensi, mereka takzimi hingga selesai. Terus terang, film itu berdurasi hampir dua jam, tapi beberapa dari mereka bertahan. Mereka inilah yang sadar, ilmu pengetahuan akan melayani orang-orang yang meluangkan waktu untuknya. Semangat itulah, yang pernah membuat PPH riuh.
Makassar berkembang cukup pesat. Di kota ini, buku-buku dengan mudah ditemukan. Ruang-ruang belajar tersebar di mana-mana. Jujut menjujut acara bergizi digelar. Tapi itu semua menjadi pilihan, sebab kota besar akan selalu menawarkan hal-hal berkebalikan.
Saya selalu bangga pernah berlama-lama di kota ini, enam tahun lalu. Kendati hanya hampir empat bulan. Tentu tiada sebanding dengan kawan-kawan lain yang bertahun-tahun. Tapi dalam waktu yang singkat itu, saya membuka seluas-luasnya pikiran, untuk bisa menerima apa saja yang akhirnya menuntun saya hingga menjadi seperti sekarang ini.
Di kota ini pula, saya kali pertama membaca syair Imam Ali bin Ali Thalib yang tak akan pernah saya lupakan...
Kau pikir dirimu adalah sebuah tubuh yang kecil/ Namun tidak/ di dalam dirimu ada segala semesta.
Imam Ali benar, manusia bukan hanya seonggok daging alit bernyawa. Manusia dikaruniai akal yang bisa menampung pengetahuan sebanyak mungkin di dalamnya.
Kalimat itulah yang mengilhami saya untuk menamai blog saya dengan: Getah Semesta. Di blog inilah saya terus belajar dan mengasah bagaimana cara menulis. Kemudian serius terjun ke dunia jurnalistik.
Pada akhirnya, menulis, bagi saya hanyalah sebuah kerinduan akan kenangan masa kanak-kanak. Kerinduan ketika setiap kali disuruh menulis karangan bebas oleh guru. Makassarlah yang telah membuka kembali tabung kenangan itu.
Jangan pernah lupakan masa kanak-kanak, karena di masa itulah kita tiada hentinya bertanya-tanya dan belajar.
Jangan pernah dewasa...
Monday, October 22, 2018
Cepat Sembuh Ayah
Banjir bandang menerjang Manado, 15 Januari 2014. Kampung Arab tempat tinggalnya, tiada luput dari bah. Bundelan berisi tulisan tentang Sigi, menjelma menjadi lumpur dingin. Komputer jinjingnya pun beku. Tapi ia kembali menulis tentang Sigi.
"Cukup melihat foto Sigi, aku sudah bisa melanjutkan tulisan tentangnya," kata lelaki itu.
Aku takzim memanggilnya Ayah Amato. Ini serupa panggilan yang keluar dari mulut mungilnya Sigi. Seperti yang pernah ia utarakan: Sigi adalah putriku yang diculik takdir. Saat itu, aku tidak mengerti apa maksud kalimat Ayah itu. Ia dikaruniai dua orang putra. Abang dan Ateng. Tapi mungkinkah sesederhana itu, jika Ayah hanya ingin seorang anak perempuan, sampai menyebut Sigi ialah putrinya?
Sampai pada suatu malam, sebuah tulisan panjang tentang Sigi merayap ke keranjang pesanku. Aku menadaburkan. Lalu aku mafhum, setiap penulis membutuhkan suluh untuk menerangi jalan penanya. Sigi yang dalam artiannya pun suluh atau obor, adalah cahaya yang memilihnya. Bukan sebaliknya.
Jumat, 19 Oktober 2018, dua orang kawan di Padepokan Puisi Amato Assagaf di Manado mengabariku. Ayah masuk rumah sakit. Salah satu kawan menautkan foto di media sosial. Satu kawan lagi mengirimi pesan. Aku lama melihat foto itu. Salah satu tangannya meraba lambung. Tapi tak bisa kuterka, apakah itu sakit yang sedang ia khidmati. Sebab ia tersenyum.
Ayah baru saja merayakan hari raya usia padepokannya, Sabtu 22 September 2018. Aku melihatnya begitu bahagia, diitari anak-anak padepokan yang kerap setia menemaninya. Ada banyak orang yang mencintainya. Sebab ia selalu menebar pengetahuan yang menjunjung langit pikir.
Malam ini, aku tak sengaja melihat video dari akun Instagram padepokan. Video rekaman Insta Story itu melintas begitu saja, berdesak-desakan dengan ratusan akun. Apa yang ada di sana, hanya seperti versi gerak dari foto yang dikirim kawan lima hari yang lalu. Gesturnya pun serupa. Tangannya masih meraba lambung. Istrinya mengelus-elus telapak kakinya yang bersila tak sempurna. Tapi kali ini, Ayah sedang tidak tersenyum.
Tak ada yang bisa aku utarakan mengenai sakitmu. Sebab Ayah banyak mengajarkan kami anak-anak padepokan, bagaimana cara memuliakan setiap rasa sakit.
Aku yakin Ayah baik-baik saja...
Sunday, October 14, 2018
Anak-Anak /3-AN Eropassi
Kami tumbuh besar dengan lelucon dan kebiadaban di simpang tiga Desa Passi. Tak ada batas usia di sini. Tapi ketika bercanda, kami tahu batas-batas dan cara bergayung sambut candaan. Bukan apa-apa: karena kami pernah melewati batas-batas itu semua, dan akhirnya belajar.
Saling ejek wajib. Bertengkar sudah biasa. Saling tonjok, pastinya akan berakhir dengan erat jabat-tangan. Itu semua menganugerahi kami tiga makna; tenang, kenyang, dan senang. Iya, jangan lupakan tiga makna itu. Yang menjadi filosofi /3-AN.
TENANG: Pegang batok kepalamu lalu katakan tenang. Iya, pikiran tenang akan membawa kita pada hal-hal positif. Bahkan ketika tengkar hadir, cobalah berpikir tenang. Karena ketika pertengkaran usai, dan ketika pikiran kita mulai tenang, hanya penyesalan yang hadir.
KENYANG: Pegang perutmu lalu katakan kenyang. Iya, asal kita kenyang, pikiran pasti tenang. Saling berkaitan. Di Desa Passi ini, bahkan sisa makanan yang dibuang dan berisi biji-biji cabai pasti akan tumbuh. Umbi-umbian, pisang, sagu, bebas menjalar dan meninggi di kebun-kebun belakang. Kita juga kerap berbagi. Bahkan di lindap subuh, kita pernah saling mengantar lauk atau nasi.
SENANG: Pegang anumu lalu katakan senang. Iya, senang. Dalam arti: silakan bersenang-senang dengan anumu. Itu urusanmu. Itu ruang privasimu. Tak ada urusannya dengan moral, agama, atau aturan apa pun. Silakan. Itu kesenanganmu.
Ketiga itu saling berkaitan. Saling menjahit satu sama lain. Dan semua itu telah kami lewati selama bertahun-tahun. Jadi, hanya orang bodoh yang terus memendam dendam.
Friday, September 21, 2018
Selamat Menikah Mitra
Waktu terus menggelinding, hingga membawanya ke bangku kuliah di Manado. Di sana, kami dari bocah berleleh ingus, menjelma menjadi bocah-bocah dewasa yang sedang mencari arah hidup. Hidup kami tersita banyak di jalanan berlanskap lampu-lampu kota yang riuh. Manado, di era 2000-an, seolah kuali yang dipenuhi air berbusa yang gelembungnya saja mampu menenggelamkan kami. Tapi anak-anak Passi selalu bertahan, dengan saling menjadi pelampung untuk satu sama lainnya.
Di Kampung Kodo, kami pernah tinggal bersama. Di Kleak, kami pernah serumah. Manado, bukan hanya sekadar kota yang mengisi penuh tabung kenangan kami: para begundal desa yang tengah mengadu nasib, yang jarak dari rumah hanya empat jam berkendara. Kami bocah-bocah yang masih sering dikirimi beras oleh orangtua. Tapi Manado adalah kota yang akhirnya mengasah kami, tentang bagaimana kerasnya hidup di kota. Kami belum berkelana sejauh ingin kala itu. Manado, masih merantai kaki.
Zaman tak hanya memoles tabiat kami. Tapi telah berkali-kali menanggalkan nama-nama akrab. Ia, dari yang bernama Sut Mamonto, berubah menjadi Sutha. Saya dari Yanto, berubah menjadi Ya'. Kemudian sekali lagi, panggilan Mitra melekat kepadanya. Dan saya berubah menjadi Sigidad, setelah Sigi merangkak dari gua garba ibunya. Nama-nama busuk kami pun ada. Tentu saja, nama-nama itu hanya terucap dari kami yang menamakan diri: anak-anak pertigaan. Itu spot berkumpul kami, di simpang tiga desa.
Ketika saya menjadi jurnalis di salah satu koran di Kotamobagu tahun 2015, ia pernah sekantor dengan saya sebagai fotografer. Sampai sekarang, ia bertahan di sana. Kemudian kemarin, saya mendengar kabar ia telah memilih seorang perempuan yang dicintainya, Amelia Adampe, untuk menjadi pendamping hidupnya.
Menikah adalah pilihan masing-masing. Tiada seorang pun yang bisa mengendap masuk ke dalam pikiran orang lain, lantas menyumpahinya karena masih hidup sendiri. Tapi bagi kami: anak-anak pertigaan, soal pasangan hidup tetap menjadi rempah-rempah lelucon, yang selalu merawat keakraban. Sutha, adalah kawan sepantar saya yang terakhir memilih jalan untuk menikah. Sebuah jalan panjang menuju rimba yang rimbun oleh berbagai cobaan.
Selamat menikah. Akur hingga uzur, Mitra...
Tuesday, September 4, 2018
Dua Tahun, Boneng...
Pakowa menuju Kampus. Lorong-lorong dan jalan lurus yang pernah kita coreti tembok dan tiang listriknya. Kita kerap bersama usai senja, hingga pada lindap subuh yang sepi dari lalu-lalang kendaraan, tapi ramai dengan lampu-lampu kota dan bau comberan. Rokok kita beli batangan. Tapi rasanya sejuta. Setiap hari begitu. Kita jalan kaki menyusuri setapak menuju tempatmu bekerja, lalu kembali pulang ke rumah Abang.
Kau terbiasa mengeja huruf-huruf dan menjumlah angka-angka, demi rupiah yang akan kembali kosong di kantongmu. Katamu, hidup bukan untuk menabung. Tapi melekaskannya untuk jajan dan biaya sekolah adik dan keponakanmu.
Ah, Onang... Tubuhmu mungil, tapi tulang punggungmu logam.
Hampir semua kawan di 'pertigaan' punya kisah denganmu di Manado. Di Pakowa, Banjer (Tampa Potong), Kampung Arab, Kembang, Dolog, Kleak, Mapanget, Sario, dan Teling. Kau juga pernah menetap sementara di "sangkar", yang katamu melengkapi perjalanan hidupmu.
Lebaran adalah pertemuan terakhir denganmu. Di hari yang biasa kita riuhi bersama, akhirnya kau harus pasrah untuk terbaring memanjang di kursi tamu. Segelas air dan sepiring bubur menemanimu. Seperti biasa, kaus berlengan pendek selalu kau gulung hingga ke bahu. Lalu jabat tanganmu menyambut dengan senyum yang tampak lelah.
"Kalo somo bae, kita somo ka Mnado ulang. Nanti mobawa pa Pei cari karja di sana, baru sama-sama di sana ulang torang."
Itu percakapan terakhir denganmu lewat telepon beberapa pekan lalu. Aku merasakan girangmu saat percakapan itu. Keinginanmu untuk sembuh, sangat kuat terasa. Kendati putaran nafasmu begitu pelan terdengar. Suaramu seperti direbut udara dari rongga dadamu. Kemudian kau pamit untuk istirah dari lelah.
Kota Manado diguyur hujan ketika kesedihan itu berserakan di Eropassi. Namamu di sana. Duka untukmu di sana-sini. Belum dada kami reda oleh gemuruh kehilangan dua sahabat. Kau sudah kembali mendebur.
Maaf kali ini tidak bisa hadir pada pemakamanmu. Pertemanan dan persaudaraan kita sudah melampaui batas, untuk tak lagi saling menyalahkan siapa yang hadir dalam sakitmu. Atau, siapa yang paling di depan memikul kerandamu. Tak ada siapa pun yang mampu menakar kesedihan ini.
"Mereka memikul kerandamu. Aku memikul kenanganmu."
Hanya kata-kata itu yang bisa aku curi dari puisi Ayah Amato, untuk mengutarakan kesedihan ini.
Selamat jalan Onal Mokodompit. Maafkan kami yang tidak sempat hadir pada pemakamanmu. Tempat terbaik untukmu. Titip salam untuk Bd Win dan Eza Yayank Marhaen.
Rest in Paradise, ma bro...
(Catatan dua tahun lalu, ketika Onal berpulang)
Monday, August 13, 2018
Braga: Indie sejak dalam pikiran
Gambar dicuri dari akun Instagramnya Vicky. Sekalian promosi kausnya. |
Pram sendiri memilih Jean Marais, salah satu tokoh dalam novel Bumi Manusia sebagai pengutara kalimat: belajarlah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Jean adalah pelukis asal Prancis, yang berkarib dengan Minke.
"Saya akan menulis lagu tentang Pram," kata Vicky Mokoagow, gitaris Braga, setahun lalu.
Kemudian lagu berjudul Bilur-Bilur, mengindik di malam hari ke pesan WhatsApp saya, sebulan yang lalu. Vicky mengirimkannya. Saya mendengarkannya, dan seketika mengenali suaranya. Braga memiliki vokalis bernama Yedi Mamonto. Tapi di lagu Braga kali ini, Vicky yang membawakannya.
Saya pikir, lagu ini yang berkisah tentang Pram. Tapi seperti yang disampaikan Vicky, Bilur-Bilur berkisah tentang Genosida 1965. Sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi di Sumatra, Jawa, dan Bali, ketika kulit cokelat membantai kulit cokelat, atau orang Indonesia membunuh orang Indonesia yang sama-sama pernah berjuang memutus rantai penjajahan.
Ketika mendengar Bilur-Bilur, saya segera dihantar ke deretan payung-payung hitam, yang digenggam beberapa orang beruban. Lagu ini akan semakin iba, ketika kita tengah berada di aksi Kamisan di depan Istana Negara. Berada di antara mereka para orangtua yang anak-anaknya hilang atau terbunuh tanpa proses hukum yang jelas. Mereka para kerabat dekat dari korban-korban kebiadaban Genosida 1965. Mereka sahabat dan aktivis yang kekal melawan lupa.
Dalam rentang karya, saya tidak tahu pasti Braga telah mencipta berapa lagu. Sebab mungkin saja, ada beberapa lirik-lirik lagu yang berakhir ke tong sampah. Tapi sejauh ini, Braga telah mencipta lima lagu seingat saya. Lagu pertama berjudul Di Kedai Ini, kemudian yang kedua Patah Menjadi Air Mata. Saya pernah membuat dua puisi interpretasi, untuk kedua lagu itu.
Lagu ketiga, entah sudah dirilis atau belum, tapi sepanjang saya mengikuti gerak mereka di media sosial, lagu berjudul Kau belum dilempar ke Youtube. Lagu ini pernah dikirim Vicky ke email saya setahun lalu. Ketika mendengar lagu ini, saya kerap membayangkan Sigi. Lagunya memang tentang cinta dengan makna universal. Bisa kita lekatkan ke orangtua, kekasih, atau buah hati kita. Kemudian yang keempat Bilur-Bilur.
Saya masih menanti lagu tentang sosok Pram, yang dijanjikan Vicky. Saya orang yang selalu percaya, sebuah karya akan diingat bukan ketika karya itu viral. Sebab viral hanyalah deretan angka yang gampang terlupakan. Tapi karya yang lahir dari rahim perenungan pasti kekal. Seperti Pram yang mengatakan karya-karyanya adalah anak-anak rohaninya.
Saat ini, saya kira Braga ikonis sebagai anak-anak muda di Kotamobagu yang total dalam berkarya. Tak hanya bermusik, tapi mereka berhimpun dalam komunitas baca Literasik. Di Tondok Project, mereka membuat film-film pendek yang menghibur dengan berbagai tema. Mereka, yang menghirukkan Kotamobagu, sebuah kota kecil yang mampu mencicil rindu ini setiap kali kembali.
Wednesday, August 8, 2018
Suara Papua
Di tanah ini luka tak pernah sembuh
Duka serupa penyakit yang sering kambuh
Di sini tempat kalian berlabuh
Tapi kalian anggap kami setengah lembu!
Kami teriak karena berkalang tindas
Ratusan kasus tak pernah tuntas
HAM hanya jadi jualan culas
Usai pesta demokrasi kalian kembali beringas!
Kami tak mau percaya lagi janji-janji
Anak-anak kami banyak telah mati
Mama-Mama menangis tanpa henti
Ratapi darah anaknya yang menetes di dahi!
Di tanah ini populasi kami menyusut
Nyawa bayi satu per satu terenggut
Biaya sehat dan sekolah bikin otak puput
Kalian di sana tertawa serupa badut!
Di Korowai penduduknya terpuruk
Di Asmat mereka terbunuh gizi buruk
Di Timika gunung suci kami dikeruk
Di mana pun kami berada rasisme mengutuk!
Mampus kami dikoyak-koyak senjata
Dijuluki kelompok kriminal bersenjata
Padahal topeng-topeng itu telah terbuka
Stop ko tipu-tipu kami sudah!
Wednesday, July 11, 2018
Nama Gorontalo dan Pengaruh Lidah Orang Belanda
Jika Aceh disebut Serambi Mekkah, maka Gorontalo kerap dijuluki Serambi Madinah. Sejak ditetapkan sebagai provinsi pada 5 Desember 2000, Gorontalo yang berada di wilayah utara pulau Sulawesi, yang bersemboyankan “Aadati hula-hula to Sara’, Sara’ hula-hula to Kuru’ani (Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Al-Quran), memang sangat bernuansa Islami. Berpenduduk mayoritas muslim 96,82 persen, hampir setiap salat 5 waktu yang diwajibkan bagi penganut Islam, Kota Gorontalo bergemuruh oleh suara azan.
Mengenai awal mula nama Gorontalo sendiri, disampaikan Budayawan Gorontalo, Alim Niode, bahwa nama daerah itu sangat erat dengan kondisi geografisnya. Ada berbagai macam versi tentang asal usul nama Gorontalo, dari yang mengatakan berasal dari “Hulontalangio”, yakni nama salah satu kerajaan yang dipersingkat menjadi Hulontalo.
Kemudian dari “Hua lolontalengo” yang artinya orang-orang Gowa yang berjalan lalu lalang. Juga dari “Hulontalangi” yang artinya lembah mulia, dari “Hulua lo tola” yang artinya tempat berkembangnya ikan gabus, “Pongolatalo” atau “Puhulatalo” yang artinya tempat menunggu, Gunung Telu yang artinya tiga buah gunung, dan dari kata “Hunto” yang mengidentifikasikan suatu tempat yang senantiasa digenangi air.
Untuk itulah, terkait penamaan di atas, ada beberapa yang memang cukup identik dengan kondisi geografis Gorontalo, yang mirip belanga raksasa, sebab dulunya Gorontalo masih berupa lautan. Hal itu diperkuat oleh banyaknya renik laut yang terkandung di perbukitan yang mengelilingi Gorontalo.
“Namun saya cenderung sepakat dengan tafsir milik S.R. Nur yang menyebutkan Gorontalo berasal dari kata Huntu dan Langi-langi (Gundukan/perbukitan yang tergenang). Lalu menjadi Hulonthalangi,” katanya belum lama ini.
Sebagai sebuah nama, kata Gorontalo tidak bisa dilacak lebih jauh oleh S.R. Nur, penulis buku Ikilale Lo Bate Walu (Ikrar Delapan Kepala Adat) Kerajaan-Kerajaan Gorontalo (Ujung Pandang, tanpa penerbit, 23 Januari 1992), saat melakukan penelitian tahun 1960.
Namun ada hal menarik menyoal penamaan Gorontalo itu sendiri. Dari banyak literatur sejarah tentang Gorontalo, telah terjadi perubahan ejaan dan pengucapan nama Gorontalo. Yang mula-mula adalah Hulontalo lalu berubah menjadi Horontalo, dan terjadi perubahan lagi menjadi Gorontalo hingga sekarang. Hal tersebut diakibatkan influence dialek dari kolonialis Belanda.
Dituturkan Alim, Belanda tiba di Gorontalo sekitar tahun 1750. Akan tetapi Belanda secara total menguasai Gorontalo pada tahun 1889. Dari literatur pula, diketahui pada tahun 1889, sistem pemerintahan kerajaan dialihkan ke pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah “Rechtatreeks Bestur”. 1911 terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan daerah Uduluwo Lo Ulimo Lo PohalaA, yakni lima kerajaan di Gorontalo yang menjadi satu ikatan kekeluargaan yang disebut PohalaA. Di antaranya PolahaA Hulontalo (Gorontalo), Limuttu (Limboto), Bone-Suwawa-Bintauna, Bolango (Boalemo), dan Andagile (Atinggola).
Semuanya disusutkan menjadi tiga Onder Afdeling oleh kolonial Belanda yakni Onder Afdeling Kwandang, Boalemo, dan Gorontalo. 1920 berubah lagi menjadi lima distrik, masing-masing Distrik Kwandang, Limboto, Bone, Gorontalo, dan Boalemo.
Baru pada tahun 1922, Gorontalo ditetapkan menjadi tiga Afdeling lagi, yakni Afdeling Gorontalo, Boalemo, dan Buol. Di rentang waktu itulah mulai terjadi influence nama Gorontalo oleh pengaruh lidah orang Belanda, pada masyarakat kala itu. Hingga pada akhirnya dipelopori Teme Djonu atau yang lebih dikenal Nani Wartabone, pada 23 Januari 1942 Gorontalo menyatakan merdeka atas penjajahan kolonial. Lebih dulu dari negara Indonesia yang baru diproklamirkan kemerdekaannya, pada 17 Agustus 1945. Namun hingga sekarang, nama Gorontalo secara administratif tetap digunakan.
“Tapi penulis-penulis asal Belanda juga tetap menggunakan kata Hulontalo di buku-buku mereka. Seperti J.G.F. Riedel, Richard Tacco, dan Rosenberg. Gorontalo pada lidah orang Belanda sendiri dieja Horontalo, Listening-nya terdengar Hulontalo,” jelasnya.
Namun bisa ditemukan pula buku G.B.X. Rosenberg, contohnya yang berjudul Reistogten in de Afdeling Gorontalo (1865), yang masih menggunakan kata Gorontalo. Sama seperti karangan E.E.W.G Schroden yang berjudul Gorontalosche Woordenlijst (1908). Dalam karangan J. Breukink, Bijdragen tot eene Gorontalo’sche Spraakkunst, yang mengulas tentang fonologi, afiksasi, dan daftar-daftar kata Gorontalo, yang terbit di Den Haag, Belanda. Pun masih menggunakan kata Gorontalo. Menurut Alim, perlu pula membaca buku-buku, atau catatan-catatan itu.
Alim sendiri tidak bisa memastikan kenapa Horontalo akhirnya berubah menjadi Gorontalo secara administratif. Namun dikatakannya, Belanda menuliskan kata “Gorontalo” yang mereka eja menjadi Horontalo, lalu kembali dieja oleh orang Gorontalo sesuai kata “Gorontalo”. Itu yang dituturkan masyarakat lalu menjadi kebiasaan, yang selanjutnya bertahan hingga sekarang.
Adapun mengenai konsonan ‘h’ yang berubah menjadi ‘g’ pada kata Horontalo-Gorontalo, yang jika disepadankan dengan ejaan ‘gulden’ untuk mata uang bahasa Belanda berawalan ‘g’ diucap ‘kh’, yang nantinya secara artikulasi hampir terdengar seperti ‘hulden’. Mu’awal Panji Handoko, Fungsional Umum di Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo memiliki pendapat sendiri. Bahwa pengaruh lidah orang Belanda memang ada, sehingga terjadi perubahan konsonan.
“Contohnya marga Hubulo yang berubah menjadi Gobel,” katanya. Sedangkan mengenai dokumen tertulis soal perubahan konsonan ‘h’ ke ‘g’, Handoko tidak bisa memastikan bahwa dokumen itu ada.
Masyarakat Gorontalo minim historiografi tradisional, sebab masyarakatnya dikenal dengan folklore atau budaya tutur semacam tradisi Tanggomo; budaya tutur atau sastra lisannya orang Gorontalo. Meski di beberapa catatan diterangkan sebenarnya masyarakat Gorontalo mengenal sejarah tulisan, dan memiliki aksara Arab Pegon (Arab Gundul) lewat Catatan Buku Tua Gorontalo, karena afiliasi agama Islam yang mulai masuk ke Gorontalo pada tahun 1525. Tapi Gorontalo pun diketahui memiliki aksara lokal yakni aksara Suwawa-Gorontalo.
Namun pada akhirnya kebanyakan yang menulis tentang Gorontalo adalah para penulis asing, khususnya orang Belanda, atau yang lebih dikenal dengan historiografi kolonial.
Salah satu sejarawan dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Joni Apriyanto mengatakan, pada tahun 2000an saat melakukan wawancara dengan mendiang Prof. Dr. Mansoer Pateda, yang menerbitkan Kamus Bahasa Gorontalo, bahwa Mansoer sepakat menyoal perubahan konsonan dipengaruhi lafal orang Belanda.
“Waktu itu Mansoer masih hidup. Dikatakannya, soal perubahan konsonan ‘h’ menjadi ‘g’, dipengaruhi bahasa Belanda, hingga akhirnya ‘h’ berubah ‘g’ dalam ejaan Gorontalo yang awalnya Horontalo,” terangnya.
Peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo, Sukardi Gau, pun sepakat bahwa memang hal itu biasa terjadi. Mengenai perubahan konsonan, karena adanya pengaruh dialek orang Belanda, hingga disesuaikan dengan ejaan.
“Itu hal yang biasa. Sering terjadi, apalagi dalam artikulasi. Di samping itu, mungkin pengaruh dialek. Tapi memang dalam catatan beberapa peneliti asing, sering ditulis berbeda,” sampainya.
Meski demikian, dalam buku Mengukuhkan Jati Diri, Dinamika Pembentukan Provinsi Gorontalo 1999-2001 (Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2013), yang dikeroyok oleh tiga penulis yakni Basri Amin, Hasanuddin, dan Rustam, dijelaskan bahwa pada tahun 1980, saat Gorontalo masih menjadi bagian wilayah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Gubernur Sulut kala itu G.H. Mantik mencetuskan konsep kesatuan regional, bagi wilayah-wilayah Sulut dengan slogan “Bohusami”. Bohusami adalah akronim dari empat wilayah kabupaten di Sulut, yang terdiri dari Bolaang Mongondow, Hulontalo, Sangihe-Talaud, dan Minahasa. Dalam akronim itu sendiri, penamaan yang dipakai adalah Hulontalo, bukan Gorontalo. (*)
Dayango, agama leluhur orang Gorontalo
Beberapa warga Desa Bangga sedang menyiapkan bahan-bahan untuk ritual Dayango. - Sigidad |
Ritual Dayango sedang berlangsung. - Sigidad |
Wombuwa Rahim sedang mencuci jimat. - Sigidad |